oleh: Ratna Megawangi
Bukan hal yang mudah untuk menyusun buku. Direktur Eksekutif Indonesia Heritage Foundation, Ratna Megawangi, merasakannya. Walau kompeten dalam bidang pendidikan, sesuai tema bukunya, Ratna tetap menerima kritik pedas dari kanan-kiri.
Salah satu kritik pedas datang dari Menneg BUMN Sofyan Djalil, sang suami. Ratna tak merinci isi kritik tersebut. Namun, bagi dia, ''Semua kritik dari suami justru memacu saya untuk membuat yang terbaik.'' Pemegang gelar doktor (PhD) dari Tufts University School ini berharap bukunya bisa bermanfaat untuk banyak orang.
Buku itu berjudul Semua Berakar pada Karakter. Acara peluncurannya berlangsung di Diamond Ballroom Hotel Nikko, Jakarta, Sabtu (19/5). Buku setebal 309 halaman ini merupakan kumpulan artikel dan tulisan Ratna yang sebagian besar pernah diterbitkan di surat kabar pada 2001-2005.
Penerbitan buku bersampul biru itu, menurut Ratna, tidak bisa dikatakan melalui jalan yang mulus-mulus saja. Kritik-kritik pedas adalah salah satu yang mewarnainya. Buku ini tidak bisa dilepaskan dari kondisi carut-marut bangsa Indonesia yang mulai kehilangan sifat-sifat kejujuran, toleransi, kerja sama (gotong-royong), dan rasa tanggung jawab.
''Di mana-mana yang terjadi adalah kekerasan dan konflik, sikap tidak toleransi, dan tidak mampu menjaga kebersihan. Inilah yang membuat bangsa ini dalam kondisi seperti sekarang ini,'' ujarnya.
Menurut Ratna, hal paling fundamental yang harus dilakukan bangsa ini adalah membangun karakter bangsa dimulai dari pendidikan karakter bagi anak-anak usia dini. ''Di tangan merekalah nasib bangsa ini di depan. Pendidikan holistik yang berbasis karakter sudah saatnya dilakukan untuk menyelamatkan bangsa ini.''
Tuesday, October 2, 2007
Membangun Karakter Anak
Karakter adalah kunci keberhasilan individu. Bagaimana cara menanamkannya pada anak?
Persaingan tahun 2021! Itu yang menjadi beban banyak orang tua masa kini. Saat itu, anak-anak masa kini akan menghadapi persaingan dengan rekan-rekannya dari berbagai negara di dunia.
`'Tuntutan kualitas sumber daya manusia tahun 2021 membutuhkan good character,'' kata Dr Ratna Megawangi dalam seminar setengah hari Membangun Karakter Anak Sejak Usia Dini, Seberapa Penting? di Jakarta, 3 Mei lalu.
Adalah orang-orang yang senang belajar, terampil menyelesaikan masalah, komunikator yang efektif, berani mengambil risiko, punya integritas -jujur, dapat dipercaya, dan dapat diandalkan--, dan penuh perhatian, toleransi, dan luwes yang bisa bersaing kelak. Itu adalah karakter yang bagus. Betapa tidak. Banyak orang yang pintar dan berpengetahuan.
`'Karakter adalah kunci keberhasilan individu,'' tambah Ratna. Ia lantas mengutip sebuah hasil penelitian di AS bahwa 90 persen kasus pemecatan disebabkan oleh perilaku buruk seperti tidak bertanggung jawab, tidak jujur, dan hubungan interpersonal yang buruk. Didukung pula penelitian lain yang menunjukkan bahwa 80 persen keberhasilan seseorang di masyarakat ditentukan oleh emotional quotient.
Bagaimana mendidik karakter anak? Menurut Ratna Megawangi, menciptakan lingkungan yang kondusif. Anak-anak akan tumbuh menjadi pribadi yang berkarakter jika dapat tumbuh pada lingkungan yang berkarakter, sehingga fitrah setiap anak ang dilahirkan suci dapat berkembang secara optimal. Untuk itu, pendiri sekaligus direktur eksekutif Indonesia Heritage Foundation ini melihat peran keluarga, sekolah, dan komunitas amat menentukan.
Membentuk karakter
Membentuk karakter, kata Ratna Megawangi, merupakan proses yang berlangsung seumur hidup. Anak-anak, jelas ketua bagian Tumbuh Kembang Anak, Fakultas Ekologi Manusia, IPB, ini, akan tumbuh menjadi pribadi yang berkarakter jika ia tumbuh pada lingkungan yang berkarakter pula. Dengan begitu, fitrah setiap anak yang dilahirkan suci bisa berkembang optimal. Untuk itu, ia melihat tiga pihak yang mempunyai peran penting. Yakni, keluarga, sekolah, dan komunitas.
Dalam pembentukan karakter, jelas Ratna, ada tiga hal yang berlangsung secara terintegrasi.
Pertama, anak mengerti baik dan buruk, mengerti tindakan apa yang harus diambil, mampu memberikan prioritas hal-hal yang baik.
Kemudian, mempunyai kecintaan terhadap kebajikan, dan membenci perbuatan buruk. Kecintaan ini merupakan obor atau semangat untuk berbuat kebajikan. Misalnya, anak tak mau berbohong. `'Karena tahu berbohong itu buruk, ia tidak mau melakukannya karena mencintai kebajikan,'' kata Ratna, mencontohkan.
Ketiga, anak mampu melakukan kebajikan, dan terbiasa melakukannya. Lewat proses itu, Ratna menyebut sembilan pilar karakter yang penting ditanamkan pada anak. Ia memulainya dari cinta Tuhan dan alam semesta beserta isinya; tanggung jawab, kedisiplinan, dan kemandirian; kejujuran; hormat dan santun; kasi sayang, kepedulian, dan kerja sama; percaya diri, kreatif, kerja keras, dan pantang menyerah; keadilan dan kepemimpinan; baik dan rendah hati; toleransi, cinta damai, dan persatuan. Karakter baik ini harus dipelihara. Lalu, bagaimana menanamkan karakter pada anak? Mengutip hasil riset otak mutakhir, Ratna menyebut usia di bawah tujuh tahun merupakan masa terpenting. `'Salah didik memengaruhi saat ia dewasa,'' katanya.
Mana yang disimpan?
Pendidikan karakter seharusnya dimulai saat anak masih balita. Praktisi pendidikan Edy Wiyono, pada acara yang sama, menggambarkan betapa balita masih kosong pengalaman. `'Jika ia melihat sesuatu langsung dimasukkan tanpa dipilih-pilih,'' katanya. Itu bisa terjadi karena dalam benak balita belum ada 'program' penyaring.
Nah, materi yang pertama masuk pada otak anak akan berfungsi sebagai penyaring. Karena itu, Edy mengingatkan orang tua agar waspada. Sebab, jika terlambat mengisi pengalaman pada anaknya, maka bisa lebih dulu diisi pihak lain. ''Orang tua yang jarang berinteraksi dengan anak pada usia ini, berhati-hatilah,'' katanya.
Anak tak hanya merekam materi yang masuk. Tapi juga yang lebih dipercaya, yang lebih menyenangkan, dan yang berlangsung terus-menerus. Saat anak sudah memasuki dunia sekolah, anak biasanya lebih percaya pada guru. Bila demikian adanya, Edy mengingatkan hal itu sebagai pertanda orang tua untuk mengevaluasi diri. `'Kita harus meningkatkan kemampuan kita untuk lebih dipercaya.''
Bagi orang tua bekerja, Edy juga mengingatkan agar selalu menyediakan waktu bagi anak-anaknya. ''Hati-hati, agar jangan sampai tv menggantikan peran orang tua bagi sang anak,'' ujarnya.
Bekerja maupun tidak, menurut Edy, orang tua harus berupaya menjadikan dirinya role model untuk membangun kepercayaan anak. Selain itu, mengupayakan komunikasi dengan anak secara menyenangkan, tidak hanya memerintah-merintah, mengkritik, dan membentak-bentak. ''Anak dirancang Tuhan tidak untuk dibentak-bentak,'' ujar Edy,''Karena sesungguhnya pendengaran anak itu amat tajam.''
Untuk mendampingi sang anak yang tengah dalam pertumbuhan, praktisi multiple intelligences and holistic learning ini menyarankan para orang tua agar berupaya menjadi 'konsultan pribadi' mereka. Bagaimana caranya? Yang paling utama, Edy menyarankan kebiasaan yang dilakukan para orang tua. ''Stop menghakimi anak dan stop mengungkit-ungkit,'' katanya. Ia juga mengingatkan agar tidak menggunakan amarah. Sebab, marah tidak pernah menyelesaikan masalah dengan baik. Tidak juga membanding-bandingkan anak.
Dalam berkomunikasi, orang tua hendaknya menjadi pendengar yang baik, tidak menyela pembicaraan, mengganti pernyataan dengan pertanyaan, berempati terhadap anak dan masalahnya, tidak berkomentar sebelum diminta. Kalaupun berkomentar, saran Edy, gunakan komentar yang menyenangkan. Yakni, misalnya, dengan metode ''rasa-rasa ...'', ''dulu pernah ...''.
Satu hal yang tak boleh dilupakan, kata Edy, orang tua jangan pernah membuat keputusan untuk anak. ''Biarkan anak yang memilih,'' katanya. Dan, selama pertumbuhan anak, Edy menyarankan para orang tua untuk selalu membangun kedekatan dan biasakan berdialog. ''Agar anak terbiasa untuk meminta pertimbangan dan nasihat dari Anda.''
Melewati Fase Kritis Anak
Ada enam fase kritis, menurut praktisi pendidikan Edy Wiyono, yang dilalui anak hingga menjadi dewasa. Orang tua dan guru hendaknya memahaminya sebagai suatu yang normal. ''Bahwa anak sudah pada fasenya,'' kata narasumber Smart Parenting di Smart FM 95,9 ini. Edy memberi bantuan pada para orang tua untuk menandai dan menyikapi fase-fase pertumbuhan anaknya mulai dari balita, usia TK, usia SD, usia SMP, usia SMA, hingga usia kuliah. Satu hal yang penting tak boleh dilepaskan dalam masing-masing fase itu, Edy menyarankan, ''Gunakan pujian untuk perilaku, atau perubahan perilaku yang baik. Berikut lima dari enam fase yang disampaikannya beberapa waktu lalu:
Usia balita
Ciri-ciri: merasa selalu benar, memaksakan kehendak, tidak mau berbagi. Peran orang tua:
- Berikan kesempatan anak beberapa detik untuk berkuasa.
- Berikan kesempatan beberapa detik untuk memiliki secara penuh.
- Perkenalkan pada arti boleh dan tidak boleh dengan menggunakan ekspresi wajah.
- Konsisten dan jangan menggunakan kekerasan baik suara maupun fisik.
Usia TK
Ciri-ciri: konflik adaptatif, imitatif, berbagi, dan mau mengalah. Ketiga sifat terakhir ini karena anak ingin diterima dalam kelompok.
Peran orang tua:
- Beri kesempatan untuk memerhatikan, mencoba, dan bekerja sama.
- Perhatikan dan luruskan perilaku imitatif yang cenderung negatif.
- Dukunglah anak untuk bisa berbagi dan mengalah.
Usia SD
Ciri-ciri: anak ingin mendapat pengakuan diri. Karena itu, ciri-ciri utamanya punya pendapat berbeda, penampilan berbeda, gaya bicara berbeda, dan hobinya pun berbeda.
Peran orang tua:
- Menghargai pendapatnya dan jangan menyalahkan.
- Ajaklah dialog logika dan pengalaman.
- Pujilah hal-hal yang baik dari penampilannya, bantulah dengan kalimat positif untuk bisa tampil lebih baik lagi.
- Jangan langsung menyela gaya bicaranya, bangun ketertarikan dan bantulah dia untuk bisa lebih punya gaya bicara yang menarik.
Usia SMP
Ciri-ciri: anak memasuki persaingan. Karena itu anak mengalami konflik antarpersonal, konflik antarkelompok, dan konflik sosial.
Peran orang tua:
- Meningkatkan proses kedekatan dengan anak melalui dialog dan berbagai cara.
- Jadilah pendengar yang baik dan buka menjadi hakim.
- Jangan pernah menyela pembicaraan dan cerianya.
- Jangan beri komentar atau nasihat sebelum tiba waktunya.
Persaingan tahun 2021! Itu yang menjadi beban banyak orang tua masa kini. Saat itu, anak-anak masa kini akan menghadapi persaingan dengan rekan-rekannya dari berbagai negara di dunia.
`'Tuntutan kualitas sumber daya manusia tahun 2021 membutuhkan good character,'' kata Dr Ratna Megawangi dalam seminar setengah hari Membangun Karakter Anak Sejak Usia Dini, Seberapa Penting? di Jakarta, 3 Mei lalu.
Adalah orang-orang yang senang belajar, terampil menyelesaikan masalah, komunikator yang efektif, berani mengambil risiko, punya integritas -jujur, dapat dipercaya, dan dapat diandalkan--, dan penuh perhatian, toleransi, dan luwes yang bisa bersaing kelak. Itu adalah karakter yang bagus. Betapa tidak. Banyak orang yang pintar dan berpengetahuan.
`'Karakter adalah kunci keberhasilan individu,'' tambah Ratna. Ia lantas mengutip sebuah hasil penelitian di AS bahwa 90 persen kasus pemecatan disebabkan oleh perilaku buruk seperti tidak bertanggung jawab, tidak jujur, dan hubungan interpersonal yang buruk. Didukung pula penelitian lain yang menunjukkan bahwa 80 persen keberhasilan seseorang di masyarakat ditentukan oleh emotional quotient.
Bagaimana mendidik karakter anak? Menurut Ratna Megawangi, menciptakan lingkungan yang kondusif. Anak-anak akan tumbuh menjadi pribadi yang berkarakter jika dapat tumbuh pada lingkungan yang berkarakter, sehingga fitrah setiap anak ang dilahirkan suci dapat berkembang secara optimal. Untuk itu, pendiri sekaligus direktur eksekutif Indonesia Heritage Foundation ini melihat peran keluarga, sekolah, dan komunitas amat menentukan.
Membentuk karakter
Membentuk karakter, kata Ratna Megawangi, merupakan proses yang berlangsung seumur hidup. Anak-anak, jelas ketua bagian Tumbuh Kembang Anak, Fakultas Ekologi Manusia, IPB, ini, akan tumbuh menjadi pribadi yang berkarakter jika ia tumbuh pada lingkungan yang berkarakter pula. Dengan begitu, fitrah setiap anak yang dilahirkan suci bisa berkembang optimal. Untuk itu, ia melihat tiga pihak yang mempunyai peran penting. Yakni, keluarga, sekolah, dan komunitas.
Dalam pembentukan karakter, jelas Ratna, ada tiga hal yang berlangsung secara terintegrasi.
Pertama, anak mengerti baik dan buruk, mengerti tindakan apa yang harus diambil, mampu memberikan prioritas hal-hal yang baik.
Kemudian, mempunyai kecintaan terhadap kebajikan, dan membenci perbuatan buruk. Kecintaan ini merupakan obor atau semangat untuk berbuat kebajikan. Misalnya, anak tak mau berbohong. `'Karena tahu berbohong itu buruk, ia tidak mau melakukannya karena mencintai kebajikan,'' kata Ratna, mencontohkan.
Ketiga, anak mampu melakukan kebajikan, dan terbiasa melakukannya. Lewat proses itu, Ratna menyebut sembilan pilar karakter yang penting ditanamkan pada anak. Ia memulainya dari cinta Tuhan dan alam semesta beserta isinya; tanggung jawab, kedisiplinan, dan kemandirian; kejujuran; hormat dan santun; kasi sayang, kepedulian, dan kerja sama; percaya diri, kreatif, kerja keras, dan pantang menyerah; keadilan dan kepemimpinan; baik dan rendah hati; toleransi, cinta damai, dan persatuan. Karakter baik ini harus dipelihara. Lalu, bagaimana menanamkan karakter pada anak? Mengutip hasil riset otak mutakhir, Ratna menyebut usia di bawah tujuh tahun merupakan masa terpenting. `'Salah didik memengaruhi saat ia dewasa,'' katanya.
Mana yang disimpan?
Pendidikan karakter seharusnya dimulai saat anak masih balita. Praktisi pendidikan Edy Wiyono, pada acara yang sama, menggambarkan betapa balita masih kosong pengalaman. `'Jika ia melihat sesuatu langsung dimasukkan tanpa dipilih-pilih,'' katanya. Itu bisa terjadi karena dalam benak balita belum ada 'program' penyaring.
Nah, materi yang pertama masuk pada otak anak akan berfungsi sebagai penyaring. Karena itu, Edy mengingatkan orang tua agar waspada. Sebab, jika terlambat mengisi pengalaman pada anaknya, maka bisa lebih dulu diisi pihak lain. ''Orang tua yang jarang berinteraksi dengan anak pada usia ini, berhati-hatilah,'' katanya.
Anak tak hanya merekam materi yang masuk. Tapi juga yang lebih dipercaya, yang lebih menyenangkan, dan yang berlangsung terus-menerus. Saat anak sudah memasuki dunia sekolah, anak biasanya lebih percaya pada guru. Bila demikian adanya, Edy mengingatkan hal itu sebagai pertanda orang tua untuk mengevaluasi diri. `'Kita harus meningkatkan kemampuan kita untuk lebih dipercaya.''
Bagi orang tua bekerja, Edy juga mengingatkan agar selalu menyediakan waktu bagi anak-anaknya. ''Hati-hati, agar jangan sampai tv menggantikan peran orang tua bagi sang anak,'' ujarnya.
Bekerja maupun tidak, menurut Edy, orang tua harus berupaya menjadikan dirinya role model untuk membangun kepercayaan anak. Selain itu, mengupayakan komunikasi dengan anak secara menyenangkan, tidak hanya memerintah-merintah, mengkritik, dan membentak-bentak. ''Anak dirancang Tuhan tidak untuk dibentak-bentak,'' ujar Edy,''Karena sesungguhnya pendengaran anak itu amat tajam.''
Untuk mendampingi sang anak yang tengah dalam pertumbuhan, praktisi multiple intelligences and holistic learning ini menyarankan para orang tua agar berupaya menjadi 'konsultan pribadi' mereka. Bagaimana caranya? Yang paling utama, Edy menyarankan kebiasaan yang dilakukan para orang tua. ''Stop menghakimi anak dan stop mengungkit-ungkit,'' katanya. Ia juga mengingatkan agar tidak menggunakan amarah. Sebab, marah tidak pernah menyelesaikan masalah dengan baik. Tidak juga membanding-bandingkan anak.
Dalam berkomunikasi, orang tua hendaknya menjadi pendengar yang baik, tidak menyela pembicaraan, mengganti pernyataan dengan pertanyaan, berempati terhadap anak dan masalahnya, tidak berkomentar sebelum diminta. Kalaupun berkomentar, saran Edy, gunakan komentar yang menyenangkan. Yakni, misalnya, dengan metode ''rasa-rasa ...'', ''dulu pernah ...''.
Satu hal yang tak boleh dilupakan, kata Edy, orang tua jangan pernah membuat keputusan untuk anak. ''Biarkan anak yang memilih,'' katanya. Dan, selama pertumbuhan anak, Edy menyarankan para orang tua untuk selalu membangun kedekatan dan biasakan berdialog. ''Agar anak terbiasa untuk meminta pertimbangan dan nasihat dari Anda.''
Melewati Fase Kritis Anak
Ada enam fase kritis, menurut praktisi pendidikan Edy Wiyono, yang dilalui anak hingga menjadi dewasa. Orang tua dan guru hendaknya memahaminya sebagai suatu yang normal. ''Bahwa anak sudah pada fasenya,'' kata narasumber Smart Parenting di Smart FM 95,9 ini. Edy memberi bantuan pada para orang tua untuk menandai dan menyikapi fase-fase pertumbuhan anaknya mulai dari balita, usia TK, usia SD, usia SMP, usia SMA, hingga usia kuliah. Satu hal yang penting tak boleh dilepaskan dalam masing-masing fase itu, Edy menyarankan, ''Gunakan pujian untuk perilaku, atau perubahan perilaku yang baik. Berikut lima dari enam fase yang disampaikannya beberapa waktu lalu:
Usia balita
Ciri-ciri: merasa selalu benar, memaksakan kehendak, tidak mau berbagi. Peran orang tua:
- Berikan kesempatan anak beberapa detik untuk berkuasa.
- Berikan kesempatan beberapa detik untuk memiliki secara penuh.
- Perkenalkan pada arti boleh dan tidak boleh dengan menggunakan ekspresi wajah.
- Konsisten dan jangan menggunakan kekerasan baik suara maupun fisik.
Usia TK
Ciri-ciri: konflik adaptatif, imitatif, berbagi, dan mau mengalah. Ketiga sifat terakhir ini karena anak ingin diterima dalam kelompok.
Peran orang tua:
- Beri kesempatan untuk memerhatikan, mencoba, dan bekerja sama.
- Perhatikan dan luruskan perilaku imitatif yang cenderung negatif.
- Dukunglah anak untuk bisa berbagi dan mengalah.
Usia SD
Ciri-ciri: anak ingin mendapat pengakuan diri. Karena itu, ciri-ciri utamanya punya pendapat berbeda, penampilan berbeda, gaya bicara berbeda, dan hobinya pun berbeda.
Peran orang tua:
- Menghargai pendapatnya dan jangan menyalahkan.
- Ajaklah dialog logika dan pengalaman.
- Pujilah hal-hal yang baik dari penampilannya, bantulah dengan kalimat positif untuk bisa tampil lebih baik lagi.
- Jangan langsung menyela gaya bicaranya, bangun ketertarikan dan bantulah dia untuk bisa lebih punya gaya bicara yang menarik.
Usia SMP
Ciri-ciri: anak memasuki persaingan. Karena itu anak mengalami konflik antarpersonal, konflik antarkelompok, dan konflik sosial.
Peran orang tua:
- Meningkatkan proses kedekatan dengan anak melalui dialog dan berbagai cara.
- Jadilah pendengar yang baik dan buka menjadi hakim.
- Jangan pernah menyela pembicaraan dan cerianya.
- Jangan beri komentar atau nasihat sebelum tiba waktunya.
Monday, October 1, 2007
Pra-SD Cukupkah Anak-anak hanya Masuk TK?
Memenuhi Pendidikan PENDIDIKAN anak pra-SD
selalu diidentikkan dengan pendidikan di Taman Kanak-kanak (TK). Tepatkah pendapat ini? Bukankah pendidikan di TK hanya dialami anak selama satu-dua tahun? Itu pun jika anak sempat mengalami pendidikan TK. Orangtua yang kurang mampu, umumnya, tidak memasukkan anaknya ke TK. Anak yang tinggal di pelosok, pedalaman, pegunungan, dan tempat terpencil lainnya banyak juga yang tidak mengenyam pendidikan di TK. Syukurlah orangtua si anak di tempat-tempat itu tidak pernah termakan "isu" persyaratan anak masuk SD harus punya ijazah TK.
Di sinilah pentingnya pendidikan anak usia dini (PAUD). Model pendidikan ini hanya dilaksanakan di keluarga dengan para tetangga (jika ada) sesuai dengan alam lingkungan tempat anak itu berada. PAUD adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan bagi anak sejak lahir sampai usia enam tahun (bahkan sampai delapan tahun) yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan. Tujuannya, membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut -- SD (Depdiknas, 2004).
Pemerintah lantas memandang perlu memberi penegasan karena PAUD merupakan salah satu bentuk penyelenggaraan pendidikan yang menitikberatkan pada peletakan dasar ke arah pertumbuhan dan perkembangan fisik, kecerdasan daya pikir, daya cipta, emosi, spiritual, berbahasa/komunikasi, dan sosial. Sementara ini, tempat untuk mengembangkan kecerdasan-kecerdasan itu adalah di TK.
Persoalannya, banyak anak tidak sempat mengenyam TK sehubungan dengan PAUD karena berbagai faktor. Karena itulah, peran keluarga, tetangga maupun masyarakat tempat anak itu tumbuh sangat menentukan perkembangan fisik dan mental anak. Jika keluarga dan masyarakat lingkungan anak memilih mencari penghidupan dengan cara meminta-minta, misalnya, besar kemungkinan anak nantinya tidak memperoleh pendidikan. Bahkan, anak nantinya akan memilih cara hidup mengemis karena dengan cepat bisa memperoleh uang tanpa kerja keras.
Perlu Dihidupkan
Sesungguhnya, budaya masyarakat yang berkaitan dengan pendidikan karakter perlu dihidupkan lagi. Jika budaya di suatu masyarakat (masa lalu) pernah kita dengar ada si tukang cerita atau pendongeng, maka budaya ini merupakan PAUD yang sangat efektif dalam memberi berbagai kecerdasan kepada anak usia dini. Di Bali misalnya, budaya ini biasa disebut masatua (mendongeng) sebelum anak tidur. Sayang, sejak hadirnya televisi di tengah keluarga, budaya masatua ini semakin langka.
Di masa lalu (di Bali), anak-anak yang kebanyakan belum masuk SD biasa berkumpul mendengar cerita pada seorang kakek, nenek atau si orangtua anak. Akhirnya anak-anak pun tidur bersama. Besoknya, anak-anak tersebut juga menciptakan permainan secara bersama-sama, mengalami proses belajar bagaimana hidup bekerja sama. Secara bersama-sama pula anak-anak itu membuat barong-barongan, bade-badean (menyerupai tempat pembakaran mayat), rumah-rumahan, sampai ogoh-ogoh.
Syukur, beberapa cara atau model pembelajaran "bekerja sama" seperti itu masih ada pada masa sekarang, misalnya membuat ogoh-ogoh menjelang hari raya Nyepi. Jelasnya, apapun yang dikerjakan oleh orang dewasa, si anak juga menirunya. Model ini sangatlah positif dalam membentuk karakter anak.
Sekarang zaman sudah berubah. Kakek, si tukang cerita, hanya masih dilakoni oleh segelintir orang di Bali. Made Taro (68) misalnya, sekadar menyebut nama. Ketika Made Taro mendongeng, anak-anak pun mendengarkan dengan baik. Saat Made Taro mendongeng, sering penulis ikuti di berbagai tempat, biasanya di sanggar seni. Dari wajah si anak, tampak anak-anak usia dini sungguh-sungguh mendengarkan cerita yang dituturkan oleh si tukang cerita.
Hal ini menunjukkan bahwa sesungguhnya aktivitas mendongeng masih disenangi oleh anak-anak walau ada film kartun di televisi. Setelah diadakan tanya-jawab, anak-anak pun bersemangat menjawab. Dengan cara ini, Made Taro sudah jelas menumbuhkembangkan kecerdasan anak berbahasa, selain nilai-nilai kecerdasan lainnya yang terkandung dalam cerita.
Pengganti peran si tukang cerita yang hampir punah itu adalah menggalakkan aktivitas budaya baca bagi orangtua sebagai model yang dapat ditiru oleh anak. Kenyataannya terbalik dari harapan, minat baca orangtua sangat rendah. Waktu orangtua di rumah lebih banyak dihabiskan untuk menonton televisi, anak pun mengikutinya. Jika televisi banyak menayangkan adegan kekerasan, anak pun menirunya. Bahkan televisi sering kurang memiliki "etika" saat mengajak anak-anak berimajinasi lewat film yang ditayangkan, karena tayangan itu bukan untuk anak seumurnya.
Bahkan, anak dirangsang agar menjadi konsumen produk tertentu dan tidak jarang pula menyesatkan anak. Akibatnya, anak minta barang mainan yang sudah jadi, misalnya, yang tidak menggugah daya-cipta si anak. Bukan itu saja, barang-barang mahal di luar jangkauan kantong orangtua pun ingin dimilikinya. Setelah barang mainan yang dibeli itu rusak, anak tidak bisa memperbaikinya.
Harus Diantisipasi
Fenomena seperti yang dipaparkan di atas itu tentu harus diantisipasi dalam PAUD agar anak bisa tumbuh-kembang dengan baik. Lembaga pendidikan TK tampaknya belum mampu mengantisipasi pengaruh televisi sebab media ini ada di keluarga si anak. Orangtua dan keluargalah bertugas untuk mencegah dampak negatif tayangan kekerasan di televisi. Jelaslah peran orangtua dan seluruh keluarga sangat penting untuk menimalisasi dampak negatif tayangan televisi yang memang bukan diperuntukkan kepada anak usia dini.
Kesibukan orangtua juga menjadi salah satu kendala PAUD. Jika orangtua sibuk, ada alternatif yakni jasa penitipan anak. Alternatif ini tampaknya bisa mengatasi masalah bagi suami-istri yang sama-sama bekerja. Namun, apakah alternatif ini baik dari sisi PAUD? Tampaknya perlu pengamatan. Memang dari sisi berlangsungnya aktivitas pekerjaan orangtua si anak, khususnya si ibu, penitipan anak dapat menjadi pilihan.
Oleh karenanya, di masa mendatang dibutuhkan tempat penitipan anak yang dapat memberi jaminan dalam PAUD. Tempat ini bukan sekadar menjaga, memberi makan, mengganti pakaian anak jika buang air, melainkan juga memberikan pendidikan yang dapat menumbuhkembangkan jiwa anak secara sehat. Karena itu, perlu pemantauan pihak pemerintah, khususnya Diknas.
Diknas sepantasnya memberi pembinaan sekaligus memberi bantuan sarana kepada penyedia jasa penitipan anak (dari sisi PAUD) demi masa depan anak bangsa. Tenaga pengasuh anak di tempat penitipan anak itu diberi pendidikan dan pelatihan sehingga nantinya benar-benar menjadi tenaga terdidik dan terlatih dalam PAUD. Selanjutnya diadakan pemantauan secara rutin. Di masa depan, tampaknya jasa penitipan anak semakin dibutuhkan demi kelangsungan karier kaum ibu yang selama ini selalu mengalah (berhenti bekerja) untuk pengasuhan anak.
* i gusti ketut tribana, guru SMA di Denpasar
selalu diidentikkan dengan pendidikan di Taman Kanak-kanak (TK). Tepatkah pendapat ini? Bukankah pendidikan di TK hanya dialami anak selama satu-dua tahun? Itu pun jika anak sempat mengalami pendidikan TK. Orangtua yang kurang mampu, umumnya, tidak memasukkan anaknya ke TK. Anak yang tinggal di pelosok, pedalaman, pegunungan, dan tempat terpencil lainnya banyak juga yang tidak mengenyam pendidikan di TK. Syukurlah orangtua si anak di tempat-tempat itu tidak pernah termakan "isu" persyaratan anak masuk SD harus punya ijazah TK.
Di sinilah pentingnya pendidikan anak usia dini (PAUD). Model pendidikan ini hanya dilaksanakan di keluarga dengan para tetangga (jika ada) sesuai dengan alam lingkungan tempat anak itu berada. PAUD adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan bagi anak sejak lahir sampai usia enam tahun (bahkan sampai delapan tahun) yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan. Tujuannya, membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut -- SD (Depdiknas, 2004).
Pemerintah lantas memandang perlu memberi penegasan karena PAUD merupakan salah satu bentuk penyelenggaraan pendidikan yang menitikberatkan pada peletakan dasar ke arah pertumbuhan dan perkembangan fisik, kecerdasan daya pikir, daya cipta, emosi, spiritual, berbahasa/komunikasi, dan sosial. Sementara ini, tempat untuk mengembangkan kecerdasan-kecerdasan itu adalah di TK.
Persoalannya, banyak anak tidak sempat mengenyam TK sehubungan dengan PAUD karena berbagai faktor. Karena itulah, peran keluarga, tetangga maupun masyarakat tempat anak itu tumbuh sangat menentukan perkembangan fisik dan mental anak. Jika keluarga dan masyarakat lingkungan anak memilih mencari penghidupan dengan cara meminta-minta, misalnya, besar kemungkinan anak nantinya tidak memperoleh pendidikan. Bahkan, anak nantinya akan memilih cara hidup mengemis karena dengan cepat bisa memperoleh uang tanpa kerja keras.
Perlu Dihidupkan
Sesungguhnya, budaya masyarakat yang berkaitan dengan pendidikan karakter perlu dihidupkan lagi. Jika budaya di suatu masyarakat (masa lalu) pernah kita dengar ada si tukang cerita atau pendongeng, maka budaya ini merupakan PAUD yang sangat efektif dalam memberi berbagai kecerdasan kepada anak usia dini. Di Bali misalnya, budaya ini biasa disebut masatua (mendongeng) sebelum anak tidur. Sayang, sejak hadirnya televisi di tengah keluarga, budaya masatua ini semakin langka.
Di masa lalu (di Bali), anak-anak yang kebanyakan belum masuk SD biasa berkumpul mendengar cerita pada seorang kakek, nenek atau si orangtua anak. Akhirnya anak-anak pun tidur bersama. Besoknya, anak-anak tersebut juga menciptakan permainan secara bersama-sama, mengalami proses belajar bagaimana hidup bekerja sama. Secara bersama-sama pula anak-anak itu membuat barong-barongan, bade-badean (menyerupai tempat pembakaran mayat), rumah-rumahan, sampai ogoh-ogoh.
Syukur, beberapa cara atau model pembelajaran "bekerja sama" seperti itu masih ada pada masa sekarang, misalnya membuat ogoh-ogoh menjelang hari raya Nyepi. Jelasnya, apapun yang dikerjakan oleh orang dewasa, si anak juga menirunya. Model ini sangatlah positif dalam membentuk karakter anak.
Sekarang zaman sudah berubah. Kakek, si tukang cerita, hanya masih dilakoni oleh segelintir orang di Bali. Made Taro (68) misalnya, sekadar menyebut nama. Ketika Made Taro mendongeng, anak-anak pun mendengarkan dengan baik. Saat Made Taro mendongeng, sering penulis ikuti di berbagai tempat, biasanya di sanggar seni. Dari wajah si anak, tampak anak-anak usia dini sungguh-sungguh mendengarkan cerita yang dituturkan oleh si tukang cerita.
Hal ini menunjukkan bahwa sesungguhnya aktivitas mendongeng masih disenangi oleh anak-anak walau ada film kartun di televisi. Setelah diadakan tanya-jawab, anak-anak pun bersemangat menjawab. Dengan cara ini, Made Taro sudah jelas menumbuhkembangkan kecerdasan anak berbahasa, selain nilai-nilai kecerdasan lainnya yang terkandung dalam cerita.
Pengganti peran si tukang cerita yang hampir punah itu adalah menggalakkan aktivitas budaya baca bagi orangtua sebagai model yang dapat ditiru oleh anak. Kenyataannya terbalik dari harapan, minat baca orangtua sangat rendah. Waktu orangtua di rumah lebih banyak dihabiskan untuk menonton televisi, anak pun mengikutinya. Jika televisi banyak menayangkan adegan kekerasan, anak pun menirunya. Bahkan televisi sering kurang memiliki "etika" saat mengajak anak-anak berimajinasi lewat film yang ditayangkan, karena tayangan itu bukan untuk anak seumurnya.
Bahkan, anak dirangsang agar menjadi konsumen produk tertentu dan tidak jarang pula menyesatkan anak. Akibatnya, anak minta barang mainan yang sudah jadi, misalnya, yang tidak menggugah daya-cipta si anak. Bukan itu saja, barang-barang mahal di luar jangkauan kantong orangtua pun ingin dimilikinya. Setelah barang mainan yang dibeli itu rusak, anak tidak bisa memperbaikinya.
Harus Diantisipasi
Fenomena seperti yang dipaparkan di atas itu tentu harus diantisipasi dalam PAUD agar anak bisa tumbuh-kembang dengan baik. Lembaga pendidikan TK tampaknya belum mampu mengantisipasi pengaruh televisi sebab media ini ada di keluarga si anak. Orangtua dan keluargalah bertugas untuk mencegah dampak negatif tayangan kekerasan di televisi. Jelaslah peran orangtua dan seluruh keluarga sangat penting untuk menimalisasi dampak negatif tayangan televisi yang memang bukan diperuntukkan kepada anak usia dini.
Kesibukan orangtua juga menjadi salah satu kendala PAUD. Jika orangtua sibuk, ada alternatif yakni jasa penitipan anak. Alternatif ini tampaknya bisa mengatasi masalah bagi suami-istri yang sama-sama bekerja. Namun, apakah alternatif ini baik dari sisi PAUD? Tampaknya perlu pengamatan. Memang dari sisi berlangsungnya aktivitas pekerjaan orangtua si anak, khususnya si ibu, penitipan anak dapat menjadi pilihan.
Oleh karenanya, di masa mendatang dibutuhkan tempat penitipan anak yang dapat memberi jaminan dalam PAUD. Tempat ini bukan sekadar menjaga, memberi makan, mengganti pakaian anak jika buang air, melainkan juga memberikan pendidikan yang dapat menumbuhkembangkan jiwa anak secara sehat. Karena itu, perlu pemantauan pihak pemerintah, khususnya Diknas.
Diknas sepantasnya memberi pembinaan sekaligus memberi bantuan sarana kepada penyedia jasa penitipan anak (dari sisi PAUD) demi masa depan anak bangsa. Tenaga pengasuh anak di tempat penitipan anak itu diberi pendidikan dan pelatihan sehingga nantinya benar-benar menjadi tenaga terdidik dan terlatih dalam PAUD. Selanjutnya diadakan pemantauan secara rutin. Di masa depan, tampaknya jasa penitipan anak semakin dibutuhkan demi kelangsungan karier kaum ibu yang selama ini selalu mengalah (berhenti bekerja) untuk pengasuhan anak.
* i gusti ketut tribana, guru SMA di Denpasar
Melepas Kepala tetapi Memegang Ekor
Monday, 02 October 2006
Jakarta (Kompas: 29/09/06) Ketika Kurikulum 2004 sedang dipelajari, dipraktikkan, dan dinikmati, muncul Kurikulum 2006. Kabarnya, Kurikulum 2006 tak banyak beda dengan Kurikulum 2004.
Benarkah demokratis?
Kurikulum 2006 memberi peluang bagi guru untuk kreatif karena yang disediakan hanya standar acuan (isi dan kompetensi lulusan). Kurikulum 2006 juga memberi keleluasaan bagi guru untuk mengembangkan kurikulum sendiri. Ungkapan itu terdengar amat positif, memberi kelegaan karena bernada demokratis, humanis. Benarkah?
Pemberian kesempatan berkreasi inilah yang membingungkan. Kebingungan tidak terletak pada kreativitas atau kebebasan, tetapi pada pengembangan. Mungkinkah para guru berkreasi, mengembangkan kurikulum dan menuangkannya dalam proses belajar-mengajar dengan penyesuaian pada kondisi dan kebutuhan peserta didik (termasuk indikator pencapaian kompetensi) serta lingkungan satuan pendidikan jika nanti dicegat ujian nasional. Penjabaran kurikulum mengandaikan perhatian besar pada proses belajar-mengajar. Sedangkan UN mengandaikan pemusatan perhatian pada hasil belajar. Pertanyaannya, terampilkah para guru mengawinkan dua pendekatan berbeda itu?
Pelajaran sejarah
Persoalan akan muncul saat kreativitas para guru diuji dengan UN sebagai satu-satunya penentu kelulusan siswa. Dalam lingkup lebih khusus, Kurikulum 2006 menegaskan terselenggaranya pelajaran Sejarah di semua jurusan (SMA), IPA maupun IPS atau Bahasa. Arahnya terdengar jelas, tetapi tidak realistis.
Coba simak. Realistiskah sebuah sekolah mendapat guru Sejarah (yang harus dicari dalam waktu relatif singkat)? Apalagi tuntutan pelajaran Sejarah itu baru diketahui setelah tahun ajaran baru 2006-2007 berjalan. Kalaupun tersedia, guru Sejarah macam apa yang diperlukan? Kompetenkah mereka? Pertanyaan itu diperjelas dengan kenyataan kecilnya animo masyarakat menjadi guru Sejarah.
Diakui, pelajaran sejarah akan menyokong pendidikan karakter. Namun, itu hanya terjadi bila disertai refleksi historis yang dipimpin oleh guru pengampu yang andal. Dengan demikian, pelajaran Sejarah tidak berhenti pada menghafal fakta-fakta historis belaka, seperti yang sudah terjadi dan dirasakan peserta didik sebagai hal yang membosankan. Masalahnya, apakah para guru Sejarah mahir mengajak siswa merefleksikan aneka peristiwa historis? Hal ini pantas dipertanyakan dan disangsikan. Pada gilirannya, dapat dipastikan tuntutan pengajaran Sejarah di semua jurusan tidak akan bermanfaat. Apalagi bila dilandasi "pesanan khusus" (dari departemen tertentu? kepentingan politik tertentu?). Jika demikian, bisa dipastikan tujuan penyelenggaraan pelajaran Sejarah tidak akan tercapai.
Otonomi berstandar ganda
Kurikulum 2006 yang diperkenalkan dengan nama KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, bukan "KaTe SiaPe" alias "tanpa konsep") merupakan hasil penegasan dari atau sejalan dengan kebijakan desentralisasi. Ini merupakan sebuah konsep yang indah karena memberikan peluang yang sebesar-besarnya kepada daerah untuk berkembang (bukan "semau gue"). Dengan ini, seluruh potensi setempat diharapkan dapat didayagunakan demi pengembangan setempat.
Dalam lingkup satuan pendidikan atau sekolah, paradigma yang sama juga ingin diberlakukan, yakni satuan pendidikan menjadi mandiri dan diberi kesempatan mengerahkan seluruh potensi demi kemajuan pendidikan yang kontekstual, meski harus disadari, hal ini tidak mudah dilaksanakan. Dalam dunia pendidikan, yang seharusnya menjadi ajang strategis pembaruan, banyak konsep dahsyat tak dijalankan sebagaimana mestinya, termasuk konsep pelaksanaan pemberian kepercayaan (otonomi daerah). Di sana- sini terjadi pelanggaran atas otonomi atau kemandirian.
Satuan pendidikan masih diganggu oleh yang punya power, satuan pendidikan dipaksa mengikuti ulangan umum bersama (dan semacamnya) meski sebenarnya tak menghendaki karena tidak melihat kegunaannya. Satuan pendidikan dipaksa (langsung atau tidak) untuk menggunakan sistem administrasi tertentu meski tidak sesuai dengan kondisi satuan pendidikan. Satuan pendidikan dipaksa membeli buku-buku atau barang-barang tertentu (kalender, spanduk, bendera, dan hiasan dinding) meski tak membutuhkannya atau sudah memilikinya.
Jelas, aneka paksaan semacam itu bertentangan dengan jiwa KBK, yaitu memberikan penghargaan kepada kekhasan dan potensi setiap satuan pendidikan demi kemajuan pendidikan, yang merupakan turunan dari kebijakan otonomi daerah. Jiwa KBK akan tumbuh subur jika yang diberlakukan adalah tawaran atau ajakan, bukan paksaan. Rumusnya sederhana, apabila menyukai dan mendapat otonomi, janganlah menghalang-halangi otonomi pihak lain. Pembaruan tiap kurikulum harus didukung pembaruan paradigma.
Energi terbuang percuma
Pemaksaan yang terjadi dalam dunia pendidikan, apalagi bila disertai ancaman (dalam segala bentuknya, baik secara jelas ataupun terselubung), tidak akan memajukan pendidikan. Yang terjadi justru sebaliknya alias kontraproduktif. Pemaksaan akan menghabiskan energi bagi yang memaksa dan yang dipaksa. Energi terbuang percuma.
Karena itu, segala kebijakan yang diwarnai semangat pemaksaan harus dibuang jauh-jauh dari dunia pendidikan karena bertentangan dengan esensi pendidikan yang mengedepankan kesediaan dan kehendak baik. Bila tidak, benarlah bahwa kebijakan pendidikan kita adalah "kebijakan melepas kepala dan memegang ekor".
Baskoro Poedjinoegroho E Direktur SMA Kanisius, Jakarta
Jakarta (Kompas: 29/09/06) Ketika Kurikulum 2004 sedang dipelajari, dipraktikkan, dan dinikmati, muncul Kurikulum 2006. Kabarnya, Kurikulum 2006 tak banyak beda dengan Kurikulum 2004.
Benarkah demokratis?
Kurikulum 2006 memberi peluang bagi guru untuk kreatif karena yang disediakan hanya standar acuan (isi dan kompetensi lulusan). Kurikulum 2006 juga memberi keleluasaan bagi guru untuk mengembangkan kurikulum sendiri. Ungkapan itu terdengar amat positif, memberi kelegaan karena bernada demokratis, humanis. Benarkah?
Pemberian kesempatan berkreasi inilah yang membingungkan. Kebingungan tidak terletak pada kreativitas atau kebebasan, tetapi pada pengembangan. Mungkinkah para guru berkreasi, mengembangkan kurikulum dan menuangkannya dalam proses belajar-mengajar dengan penyesuaian pada kondisi dan kebutuhan peserta didik (termasuk indikator pencapaian kompetensi) serta lingkungan satuan pendidikan jika nanti dicegat ujian nasional. Penjabaran kurikulum mengandaikan perhatian besar pada proses belajar-mengajar. Sedangkan UN mengandaikan pemusatan perhatian pada hasil belajar. Pertanyaannya, terampilkah para guru mengawinkan dua pendekatan berbeda itu?
Pelajaran sejarah
Persoalan akan muncul saat kreativitas para guru diuji dengan UN sebagai satu-satunya penentu kelulusan siswa. Dalam lingkup lebih khusus, Kurikulum 2006 menegaskan terselenggaranya pelajaran Sejarah di semua jurusan (SMA), IPA maupun IPS atau Bahasa. Arahnya terdengar jelas, tetapi tidak realistis.
Coba simak. Realistiskah sebuah sekolah mendapat guru Sejarah (yang harus dicari dalam waktu relatif singkat)? Apalagi tuntutan pelajaran Sejarah itu baru diketahui setelah tahun ajaran baru 2006-2007 berjalan. Kalaupun tersedia, guru Sejarah macam apa yang diperlukan? Kompetenkah mereka? Pertanyaan itu diperjelas dengan kenyataan kecilnya animo masyarakat menjadi guru Sejarah.
Diakui, pelajaran sejarah akan menyokong pendidikan karakter. Namun, itu hanya terjadi bila disertai refleksi historis yang dipimpin oleh guru pengampu yang andal. Dengan demikian, pelajaran Sejarah tidak berhenti pada menghafal fakta-fakta historis belaka, seperti yang sudah terjadi dan dirasakan peserta didik sebagai hal yang membosankan. Masalahnya, apakah para guru Sejarah mahir mengajak siswa merefleksikan aneka peristiwa historis? Hal ini pantas dipertanyakan dan disangsikan. Pada gilirannya, dapat dipastikan tuntutan pengajaran Sejarah di semua jurusan tidak akan bermanfaat. Apalagi bila dilandasi "pesanan khusus" (dari departemen tertentu? kepentingan politik tertentu?). Jika demikian, bisa dipastikan tujuan penyelenggaraan pelajaran Sejarah tidak akan tercapai.
Otonomi berstandar ganda
Kurikulum 2006 yang diperkenalkan dengan nama KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, bukan "KaTe SiaPe" alias "tanpa konsep") merupakan hasil penegasan dari atau sejalan dengan kebijakan desentralisasi. Ini merupakan sebuah konsep yang indah karena memberikan peluang yang sebesar-besarnya kepada daerah untuk berkembang (bukan "semau gue"). Dengan ini, seluruh potensi setempat diharapkan dapat didayagunakan demi pengembangan setempat.
Dalam lingkup satuan pendidikan atau sekolah, paradigma yang sama juga ingin diberlakukan, yakni satuan pendidikan menjadi mandiri dan diberi kesempatan mengerahkan seluruh potensi demi kemajuan pendidikan yang kontekstual, meski harus disadari, hal ini tidak mudah dilaksanakan. Dalam dunia pendidikan, yang seharusnya menjadi ajang strategis pembaruan, banyak konsep dahsyat tak dijalankan sebagaimana mestinya, termasuk konsep pelaksanaan pemberian kepercayaan (otonomi daerah). Di sana- sini terjadi pelanggaran atas otonomi atau kemandirian.
Satuan pendidikan masih diganggu oleh yang punya power, satuan pendidikan dipaksa mengikuti ulangan umum bersama (dan semacamnya) meski sebenarnya tak menghendaki karena tidak melihat kegunaannya. Satuan pendidikan dipaksa (langsung atau tidak) untuk menggunakan sistem administrasi tertentu meski tidak sesuai dengan kondisi satuan pendidikan. Satuan pendidikan dipaksa membeli buku-buku atau barang-barang tertentu (kalender, spanduk, bendera, dan hiasan dinding) meski tak membutuhkannya atau sudah memilikinya.
Jelas, aneka paksaan semacam itu bertentangan dengan jiwa KBK, yaitu memberikan penghargaan kepada kekhasan dan potensi setiap satuan pendidikan demi kemajuan pendidikan, yang merupakan turunan dari kebijakan otonomi daerah. Jiwa KBK akan tumbuh subur jika yang diberlakukan adalah tawaran atau ajakan, bukan paksaan. Rumusnya sederhana, apabila menyukai dan mendapat otonomi, janganlah menghalang-halangi otonomi pihak lain. Pembaruan tiap kurikulum harus didukung pembaruan paradigma.
Energi terbuang percuma
Pemaksaan yang terjadi dalam dunia pendidikan, apalagi bila disertai ancaman (dalam segala bentuknya, baik secara jelas ataupun terselubung), tidak akan memajukan pendidikan. Yang terjadi justru sebaliknya alias kontraproduktif. Pemaksaan akan menghabiskan energi bagi yang memaksa dan yang dipaksa. Energi terbuang percuma.
Karena itu, segala kebijakan yang diwarnai semangat pemaksaan harus dibuang jauh-jauh dari dunia pendidikan karena bertentangan dengan esensi pendidikan yang mengedepankan kesediaan dan kehendak baik. Bila tidak, benarlah bahwa kebijakan pendidikan kita adalah "kebijakan melepas kepala dan memegang ekor".
Baskoro Poedjinoegroho E Direktur SMA Kanisius, Jakarta
KARAKTERISTIK UTAMA SEKOLAH ISLAM TERPADU
Oleh: DR. Fahmy Alaydroes, Psi,MM,MEd
Format Sekolah Islam yang kita inginkan haruslah memperhatikan konsekwensi logis dari perkembangan era global, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, perubahan dan peristiwa yang terjadi di tengah masyarakat serta harapan tentang masyarakat dunia masa depan. “Komisi Internasional Untuk Pendidikan Abad Dua Puluh Satu” dalam laporannya ke UNESCO, mengajukan rumusan tentang empat pilar pendidikan yaitu:
Keempat pilar pendidikan masa depan itu kemudian diterjemahkan ke dalam format sekolah yang diharapkan mampu membantu siswa-siswi mereka untuk menguasai kompetensi yang berguna bagi kehidupan di masa depan, yaitu: kompetensi keagamaan, kompetensi akademik, kompetensi ekonomi, dan kompetensi social pribadi.
Format pendidikan yang berkualitas semestinya juga harus memperhatikan azas-azas psikologi, psikometri dan pedagogi. Semua aktivitas belajar selayaknya berlandaskan kepada pencapaian tugas-tugas perkembangan dan prinsip-prinsip belajar yang meliputi hal-hal yang terkait dengan kerja kognitif, individual differences, motivasi, bakat dan kecenderungan, serta tata hubungan antar individu. Semua itu kemudian akan mempengaruhi pola dan model instruksional, class management, class assessment, media belajar dan sebagainya.
Format sekolah yang menjanjikan perbaikan masa depan adalah sekolah yang memiliki paradigma pendidikan yang maju dan visioner. Pendidikan haruslah mampu menumbuhkan dan mengembangkan potensi fitrah peserta didik yang memiliki sederet keunggulan kompetitif guna menghadapi segala tantangan ke depan. Pendidikan harus mampu melahirkan lulusan-lulusan yang memiliki karakter dan kemampuan sebagai berikut:
Sekolah Islam yang ideal adalah sekolah yang melibatkan peran serta guru, orangtua dan masyarakat sesuai dengan proporsinya. Artinya, sekolah yang merupakan lembaga melairkan generasi yang berkualitas menjadi tanggung jawab bersama antara negara, sekolah, orangtua dan masyarakat. Pengelolaan sekolah yang efektif mestinya melibatkan peran serta keempat pihak tersebut, sesuai dengan peran dan fungsinya. Negara, dalam hal ini pemerintah, memberi dukungan, kemudahan dan perlindungan bagi terselenggaranya sekolah, Orangtua dapat memberi masukan, membantu memperkaya proses belajar, menjadi nara-sumber dan fasilitator dalam berbagai kegiatan sekolah. Masyarakat dapat membantu menyediakan sumber dan fasilitas belajar tambahan yang ada di luar sekolah.
Lingkungan yang baik (biah solihah)juga merupakan salah satu criteria penting bagi sekolah Islam. Lingkungan yang bersih, rapih, sehat dan nyaman merupakan syarat mutlak bagi sekolah Islam. Sekolah Islam seharusnya juga mampu menciptakan suasana pergaulan dan interaksi yang Islami: santun, saling menyayangi dan menghormati, saling melindungi dan saling berbagi. Cerminan sekolah Islam yang baik juga ditunjukkan oleh warganya yang tertib, disiplin dan rapih.
Format Sekolah Islam yang kita inginkan haruslah memperhatikan konsekwensi logis dari perkembangan era global, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, perubahan dan peristiwa yang terjadi di tengah masyarakat serta harapan tentang masyarakat dunia masa depan. “Komisi Internasional Untuk Pendidikan Abad Dua Puluh Satu” dalam laporannya ke UNESCO, mengajukan rumusan tentang empat pilar pendidikan yaitu:
- Learning to live together: belajar untuk memahami dan menghargai orang lain, sejarah mereka dan nilai-nilai agamanya.
- Learning to know: penguasaan yang dalam dan luas akan bidang ilmu tertentu, termasuk di dalamnya learning to how
- Learning to do: belajar untuk mengaplikasi ilmu, bekerjasama dalam team, belajar memecahkan masalah dalam berbagai situasi.
- Learning to be: belajar untuk dapat mandiri, menjadi orang yang bertanggung jawab untuk mewujudkan tujuan bersama.
Keempat pilar pendidikan masa depan itu kemudian diterjemahkan ke dalam format sekolah yang diharapkan mampu membantu siswa-siswi mereka untuk menguasai kompetensi yang berguna bagi kehidupan di masa depan, yaitu: kompetensi keagamaan, kompetensi akademik, kompetensi ekonomi, dan kompetensi social pribadi.
Format pendidikan yang berkualitas semestinya juga harus memperhatikan azas-azas psikologi, psikometri dan pedagogi. Semua aktivitas belajar selayaknya berlandaskan kepada pencapaian tugas-tugas perkembangan dan prinsip-prinsip belajar yang meliputi hal-hal yang terkait dengan kerja kognitif, individual differences, motivasi, bakat dan kecenderungan, serta tata hubungan antar individu. Semua itu kemudian akan mempengaruhi pola dan model instruksional, class management, class assessment, media belajar dan sebagainya.
Format sekolah yang menjanjikan perbaikan masa depan adalah sekolah yang memiliki paradigma pendidikan yang maju dan visioner. Pendidikan haruslah mampu menumbuhkan dan mengembangkan potensi fitrah peserta didik yang memiliki sederet keunggulan kompetitif guna menghadapi segala tantangan ke depan. Pendidikan harus mampu melahirkan lulusan-lulusan yang memiliki karakter dan kemampuan sebagai berikut:
- Memiliki pemahaman yang benar terhadap ajaran agamanya dan landasan keimanan dan ketaqwaan yang kokoh sebagai wujud dari kefahaman tersebut
- Kemampuan riset dan teknologi yang tepat
- Penguasaan bahasa international yang cakap
- Motivasi berprestasi dan Keterampilan belajar yang tinggi
- Kepemimpinan yang kuat
- Kesehatan yang prima
- Keterampilan hidup (life skill)
- Memiliki etos kerja dan disiplin yang tinggi
- Kepedulian terhadap kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara”
- Rasa percaya diri yang kuat, dan kebanggaan terhadap sejarah kepemimpinan Islam.
Format sekolah Islam seharusnya adalah sekolah yang mampu memadukan secara harmonis dan seimbang antara apa yang disebut sebagai “ayatul qauliyah” berupa ajaran Al Qur’an dan Hadis Nabi yang suci sebagai petunjuk dan pedoman hidup (minhajul hayah) dan “ayatul kauniyah” berupa segala fenomena alam yang perupakan sunnatul kaun yang menjadi sarana dan fasilitas kehidupan (wasailul hayah).Dengan perpaduan yang harmonis dan seimbang maka sekolah Islam telah membebaskan dirinya dari keterjebakan arus “sekulerisasi kurkulum”, ataupun kejumudan dalam arus “sakralisasi kurikulum”.
Sekolah Islam yang ideal adalah sekolah yang melibatkan peran serta guru, orangtua dan masyarakat sesuai dengan proporsinya. Artinya, sekolah yang merupakan lembaga melairkan generasi yang berkualitas menjadi tanggung jawab bersama antara negara, sekolah, orangtua dan masyarakat. Pengelolaan sekolah yang efektif mestinya melibatkan peran serta keempat pihak tersebut, sesuai dengan peran dan fungsinya. Negara, dalam hal ini pemerintah, memberi dukungan, kemudahan dan perlindungan bagi terselenggaranya sekolah, Orangtua dapat memberi masukan, membantu memperkaya proses belajar, menjadi nara-sumber dan fasilitator dalam berbagai kegiatan sekolah. Masyarakat dapat membantu menyediakan sumber dan fasilitas belajar tambahan yang ada di luar sekolah.
Lingkungan yang baik (biah solihah)juga merupakan salah satu criteria penting bagi sekolah Islam. Lingkungan yang bersih, rapih, sehat dan nyaman merupakan syarat mutlak bagi sekolah Islam. Sekolah Islam seharusnya juga mampu menciptakan suasana pergaulan dan interaksi yang Islami: santun, saling menyayangi dan menghormati, saling melindungi dan saling berbagi. Cerminan sekolah Islam yang baik juga ditunjukkan oleh warganya yang tertib, disiplin dan rapih.
KECERDASAN PLUS KARAKTER
Russel T. Williams (Jefferson Center For Character Education-USA)
Ratna Megawangi (Indonesia Heritage Foundation)
Apa dampak pendidikan karakter terhadap keberhasilan akademik? Beberapa penelitian bermunculan untuk menjawab pertanyaan ini. Ringkasan dari beberapa penemuan penting mengenai hal ini diterbitkan oleh sebuah buletin, Character Educator, yang diterbitkan oleh Character Education Partnership.
Dalam buletin tersebut diuraikan bahwa hasil studi Dr. Marvin Berkowitz dari University of Missouri- St. Louis, menunjukan peningkatan motivasi siswa sekolah dalam meraih prestasi akademik pada sekolah-sekolah yang menerapkan pendidikan karakter. Kelas-kelas yang secara komprehensif terlibat dalam pendidikan karakter menunjukan penurunan drastis pada perilaku negatif siswa yang dapat menghambat keberhasilan akademik.Pendidikan karakter adalah pendidikan budi pekerti plus, yaitu yang melibatkan aspek pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action).
Menurut Thomas Lickona, tanpa ketiga aspek ini, maka pendidikan karakter tidak akan efektif, dan pelaksanaannya pun harus dilakukan secara sistematis dan berkelanjutan. Dengan pendidikan karakter, seorang anak akan menjadi cerdas emosinya. Kecerdasan emosi adalah bekal terpenting dalam mempersiapkan anak menyongsong masa depan, karena dengannya seseorang akan dapat berhasil dalam menghadapi segala macam tantangan, termasuk tantangan untuk berhasil secara akademis.Sebuah buku yang baru terbit berjudul Emotional Intelligence and School Success (Joseph Zins, et.al, 2001) mengkompilasikan berbagai hasil penelitian tentang pengaruh positif kecerdasan emosi anak terhadap keberhasilan di sekolah. Dikatakan bahwa ada sederet faktor-faktor resiko penyebab kegagalan anak di sekolah.
Faktor-faktor resiko yang disebutkan ternyata bukan terletak pada kecerdasan otak, tetapi pada karakter, yaitu rasa percaya diri, kemampuan bekerja sama, kemampuan bergaul, kemampuan berkonsentrasi, rasa empati, dan kemampuan berkomunikasi. Hal ini sesuai dengan pendapat Daniel Goleman tentang keberhasilan seseorang di masyarakat, ternyata 80 persen dipengaruhi oleh kecerdasan emosi, dan hanya 20 persen ditentukan oleh kecerdasan otak (IQ).Anak-anak yang mempunyai masalah dalam kecerdasan emosinya, akan mengalami kesulitan belajar, bergaul dan tidak dapat mengontrol emosinya. Anak-anak yang bermasalah ini sudah dapat dilihat sejak usia pra-sekolah, dan kalau tidak ditangani akan terbawa sampai usia dewasa.
Sebaliknya para remaja yang berkarakter atau mempunyai kecerdasan emosi tinggi akan terhindar dari masalah-masalah umum yang dihadapi oleh remaja seperti kenakalan, tawuran, narkoba, miras, perilaku seks bebas, dan sebagainya.Pendidikan karakter di sekolah sangat diperlukan, walaupun dasar dari pendidikan karakter adalah di dalam keluarga. Kalau seorang anak mendapatkan pendidikan karakter yang baik dari keluarganya, anak tersebut akan berkarakter baik selanjutnya. Namun banyak orang tua yang lebih mementingkan aspek kecerdasan otak ketimbang pendidikan karakter.
Selain itu Daniel Goleman juga mengatakan bahwa banyak orang tua yang gagal dalam mendidik karakter anak-anaknya entah karena kesibukan atau karena lebih mementingkan aspek kognitif anak. Namun ini semua dapat dikoreksi dengan memberikan pendidikan karakter di sekolah. Namun masalahnya, kebijakan pendidikan di Indonesia juga lebih mementingkan aspek kecerdasan otak, dan hanya baru-baru ini saja pentingnya pendidikan budi pekerti menjadi bahan pembicaraan ramai.
Ada yang mengatakan bahwa kurikulum pendidikan di Indonesia dibuat hanya cocok untuk diberikan pada 10-20 persen otak-otak terbaik. Artinya sebagian besar anak sekolah (80-90 persen) tidak dapat mengikuti kurikulum pelajaran di sekolah. Akibatnya sejak usia dini, sebagian besar anak-anak akan merasa “bodoh” karena kesulitan menyesuaikan dengan kurikulum yang ada. Ditambah lagi dengan adanya sistem ranking yang telah “memvonis” anak-anak yang tidak masuk “10 besar”, sebagai anak yang kurang pandai. Sistem seperti ini tentunya berpengaruh negatif terhadap usaha membangun karakter, dimana sejak dini anak-anak justru sudah “dibunuh” rasa percaya dirinya.Rasa tidak mampu yang berkepanjangan yang akan membentuk pribadi yang tidak percaya diri, akan menimbulkan stress berkepanjangan. Pada usia remaja biasanya keadaan ini akan mendorong remaja berperilaku negatif.
Maka, tidak heran kalau kita lihat perilaku remaja kita yang senang tawuran, terlibat kriminalitas, putus sekolah, dan menurunnya mutu lulusan SMP dan SMU. Jadi, pendidikan karakter atau budi pekerti plus adalah suatu yang urgent untuk dilakukan. Kalau kita peduli untuk meningkatkan mutu lulusan SD, SMP dan SMU, maka tanpa pendidikan karakter adalah usaha yang sia-sia. Kami ingin mengutip kata-kata bijak dari pemikir besar dunia. Mahatma Gandhi memperingatkan tentang salah satu tujuh dosa fatal, yaitu “education without character”(pendidikan tanpa karakter).
Dr. Martin Luther King juga pernah berkata: “Intelligence plus character….that is the goal of true education” (Kecerdasan plus karakter….itu adalah tujuan akhir dari pendidikan sebenarnya). Juga Theodore Roosevelt yang mengatakan: “To educate a person in mind and not in morals is to educate a menace to society” (Mendidik seseorang dalam aspek kecerdasan otak dan bukan aspek moral adalah ancaman mara-bahaya kepada masyarakat).
Ratna Megawangi (Indonesia Heritage Foundation)
Apa dampak pendidikan karakter terhadap keberhasilan akademik? Beberapa penelitian bermunculan untuk menjawab pertanyaan ini. Ringkasan dari beberapa penemuan penting mengenai hal ini diterbitkan oleh sebuah buletin, Character Educator, yang diterbitkan oleh Character Education Partnership.
Dalam buletin tersebut diuraikan bahwa hasil studi Dr. Marvin Berkowitz dari University of Missouri- St. Louis, menunjukan peningkatan motivasi siswa sekolah dalam meraih prestasi akademik pada sekolah-sekolah yang menerapkan pendidikan karakter. Kelas-kelas yang secara komprehensif terlibat dalam pendidikan karakter menunjukan penurunan drastis pada perilaku negatif siswa yang dapat menghambat keberhasilan akademik.Pendidikan karakter adalah pendidikan budi pekerti plus, yaitu yang melibatkan aspek pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action).
Menurut Thomas Lickona, tanpa ketiga aspek ini, maka pendidikan karakter tidak akan efektif, dan pelaksanaannya pun harus dilakukan secara sistematis dan berkelanjutan. Dengan pendidikan karakter, seorang anak akan menjadi cerdas emosinya. Kecerdasan emosi adalah bekal terpenting dalam mempersiapkan anak menyongsong masa depan, karena dengannya seseorang akan dapat berhasil dalam menghadapi segala macam tantangan, termasuk tantangan untuk berhasil secara akademis.Sebuah buku yang baru terbit berjudul Emotional Intelligence and School Success (Joseph Zins, et.al, 2001) mengkompilasikan berbagai hasil penelitian tentang pengaruh positif kecerdasan emosi anak terhadap keberhasilan di sekolah. Dikatakan bahwa ada sederet faktor-faktor resiko penyebab kegagalan anak di sekolah.
Faktor-faktor resiko yang disebutkan ternyata bukan terletak pada kecerdasan otak, tetapi pada karakter, yaitu rasa percaya diri, kemampuan bekerja sama, kemampuan bergaul, kemampuan berkonsentrasi, rasa empati, dan kemampuan berkomunikasi. Hal ini sesuai dengan pendapat Daniel Goleman tentang keberhasilan seseorang di masyarakat, ternyata 80 persen dipengaruhi oleh kecerdasan emosi, dan hanya 20 persen ditentukan oleh kecerdasan otak (IQ).Anak-anak yang mempunyai masalah dalam kecerdasan emosinya, akan mengalami kesulitan belajar, bergaul dan tidak dapat mengontrol emosinya. Anak-anak yang bermasalah ini sudah dapat dilihat sejak usia pra-sekolah, dan kalau tidak ditangani akan terbawa sampai usia dewasa.
Sebaliknya para remaja yang berkarakter atau mempunyai kecerdasan emosi tinggi akan terhindar dari masalah-masalah umum yang dihadapi oleh remaja seperti kenakalan, tawuran, narkoba, miras, perilaku seks bebas, dan sebagainya.Pendidikan karakter di sekolah sangat diperlukan, walaupun dasar dari pendidikan karakter adalah di dalam keluarga. Kalau seorang anak mendapatkan pendidikan karakter yang baik dari keluarganya, anak tersebut akan berkarakter baik selanjutnya. Namun banyak orang tua yang lebih mementingkan aspek kecerdasan otak ketimbang pendidikan karakter.
Selain itu Daniel Goleman juga mengatakan bahwa banyak orang tua yang gagal dalam mendidik karakter anak-anaknya entah karena kesibukan atau karena lebih mementingkan aspek kognitif anak. Namun ini semua dapat dikoreksi dengan memberikan pendidikan karakter di sekolah. Namun masalahnya, kebijakan pendidikan di Indonesia juga lebih mementingkan aspek kecerdasan otak, dan hanya baru-baru ini saja pentingnya pendidikan budi pekerti menjadi bahan pembicaraan ramai.
Ada yang mengatakan bahwa kurikulum pendidikan di Indonesia dibuat hanya cocok untuk diberikan pada 10-20 persen otak-otak terbaik. Artinya sebagian besar anak sekolah (80-90 persen) tidak dapat mengikuti kurikulum pelajaran di sekolah. Akibatnya sejak usia dini, sebagian besar anak-anak akan merasa “bodoh” karena kesulitan menyesuaikan dengan kurikulum yang ada. Ditambah lagi dengan adanya sistem ranking yang telah “memvonis” anak-anak yang tidak masuk “10 besar”, sebagai anak yang kurang pandai. Sistem seperti ini tentunya berpengaruh negatif terhadap usaha membangun karakter, dimana sejak dini anak-anak justru sudah “dibunuh” rasa percaya dirinya.Rasa tidak mampu yang berkepanjangan yang akan membentuk pribadi yang tidak percaya diri, akan menimbulkan stress berkepanjangan. Pada usia remaja biasanya keadaan ini akan mendorong remaja berperilaku negatif.
Maka, tidak heran kalau kita lihat perilaku remaja kita yang senang tawuran, terlibat kriminalitas, putus sekolah, dan menurunnya mutu lulusan SMP dan SMU. Jadi, pendidikan karakter atau budi pekerti plus adalah suatu yang urgent untuk dilakukan. Kalau kita peduli untuk meningkatkan mutu lulusan SD, SMP dan SMU, maka tanpa pendidikan karakter adalah usaha yang sia-sia. Kami ingin mengutip kata-kata bijak dari pemikir besar dunia. Mahatma Gandhi memperingatkan tentang salah satu tujuh dosa fatal, yaitu “education without character”(pendidikan tanpa karakter).
Dr. Martin Luther King juga pernah berkata: “Intelligence plus character….that is the goal of true education” (Kecerdasan plus karakter….itu adalah tujuan akhir dari pendidikan sebenarnya). Juga Theodore Roosevelt yang mengatakan: “To educate a person in mind and not in morals is to educate a menace to society” (Mendidik seseorang dalam aspek kecerdasan otak dan bukan aspek moral adalah ancaman mara-bahaya kepada masyarakat).
'Bullying' Bentuk Kebobrokan Mental
Posted on: 01 May 2007 by ypha
JAKARTA (Media): Terjadinya bullying atau aksi intimidasi fisik, verbal, maupun psikologis yang terjadi di sekolah akibat krisis pendidikan karakter dan budi pekerti. Bullying harus dianggap sebagai musuh bersama.Menteri Pemberdayaan Perempuan Meutia Hatta Swasono menyampaikan hal itu kemarin di Jakarta. Menurutnya, orang tua harus sadar dan paham bahwa bullying bukan sekadar permainan yang dilakukan anak-anak pada teman sebayanya.
"Bila dilihat lebih jauh, bullying telah berakar pada kebobrokan mental akibat kurangnya pendidikan karakter dan budi pekerti," kata Meutia dalam acara workshop nasional bertema Intervensi efektif untuk mengurangi bullying di sekolah-sekolah, di Jakarta, kemarin.Lebih lanjut Meutia menjelaskan, sesungguhnya bullying adalah awal dari suatu teror berkepanjangan yang perlu diatasi dengan gerakan masyarakat secara menyeluruh.
Seluruh komponen masyarakat mulai dari orang tua, pendidik, lingkungan masyarakat, hingga media massa harus punya peran untuk menghentikan bullying.Tidak sedikit kasus bullying di sekolah yang akhirnya menimbulkan trauma besar bagi siswa untuk melanjutkan pendidikan. Beberapa contoh bullying seperti kasus seorang guru SD di Bali menjewer seorang murid hingga telinganya luka. Kasus lain terjadi di Banten, seorang guru memukul kepala muridnya dengan penghapus gara-gara ketahuan mencontek saat ula-ngan.Dan belakangan ini kasus bullying yang menjadi isu nasional adalah kematian praja Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) Cliff Muntu akibat kekerasan yang dilakukan oleh praja maupun pem-bimbingnya.Meutia menambahkan, komite sekolah atau dewan pengawas harus berperan aktif memantau indikasi kasus-kasus bullying yang terjadi di sekolah.
Organisasi-organisasi bentukan sekolah bukan hanya sekadar pelengkap atau perhiasan sekolah. Organisasi itu harus berperan aktif menciptakan demokrasi di sekolah."Demikian juga media televisi, dapat berperan dalam mengurangi aksi-aksi bullying, melalui tayangan yang menanamkan nilai-nilai keluhuran budi pekerti dan menonjolkan aspek pendidikan bangsa," saran Meutia.Untuk itu Komisi Penyiaran Indonesia, Departemen Komunikasi dan Informatika, serta asosiasi televisi swasta harus mengawasi konten produk-produk hiburannya.
Antidemokrasi Dalam kesempatan sama, Direktur Pembinaan Sekolah Luar Biasa Departemen Pendidikan Nasional Eko Djatmiko menambahkan bahwa perlu ada pengawasan dari pihak luar atau organisasi masyarakat mengenai kemungkinan terjadinya bullying di sekolah. "Bila perlu, mereka dapat mengadukan pelakunya ke polisi," kata Eko.Idealnya, pengawasan dari pihak-pihak luar itu dilakukan pada masa penerimaan siswa atau mahasiswa baru. "Jangan sampai sudah ada korban meninggal baru bertindak.
Tapi bagaimana inisiatif itu muncul sejak awal," lanjutnya.Apalagi pemerintah telah mengeluarkan beberapa undang-undang (UU) seperti UU Perlindungan Anak dan UU Sisdiknas yang bertujuan membangun manusia yang demokratis.
"Bullying jelas-jelas antidemokrasi."Ketua Yayasan Semai Jiwa Amini (Sejiwa) Diena Haryana menambahkan, terjadinya bullying memang bertujuan membuat korban merasa kecil, marah, takut, atau tidak berarti. "Intinya you are nothing, i am something. Maka orang tua harus bisa mengajari anak-anak bagaimana menanamkan rasa hormat dan toleransi terhadap perbedaan," tukasnya. (Isy/H-4)(Sunday, 29 April 2007, Media Indonesia, Page : 7, Size : 539.3333 mmc Circulation : 250,000, Author: Unknown)
JAKARTA (Media): Terjadinya bullying atau aksi intimidasi fisik, verbal, maupun psikologis yang terjadi di sekolah akibat krisis pendidikan karakter dan budi pekerti. Bullying harus dianggap sebagai musuh bersama.Menteri Pemberdayaan Perempuan Meutia Hatta Swasono menyampaikan hal itu kemarin di Jakarta. Menurutnya, orang tua harus sadar dan paham bahwa bullying bukan sekadar permainan yang dilakukan anak-anak pada teman sebayanya.
"Bila dilihat lebih jauh, bullying telah berakar pada kebobrokan mental akibat kurangnya pendidikan karakter dan budi pekerti," kata Meutia dalam acara workshop nasional bertema Intervensi efektif untuk mengurangi bullying di sekolah-sekolah, di Jakarta, kemarin.Lebih lanjut Meutia menjelaskan, sesungguhnya bullying adalah awal dari suatu teror berkepanjangan yang perlu diatasi dengan gerakan masyarakat secara menyeluruh.
Seluruh komponen masyarakat mulai dari orang tua, pendidik, lingkungan masyarakat, hingga media massa harus punya peran untuk menghentikan bullying.Tidak sedikit kasus bullying di sekolah yang akhirnya menimbulkan trauma besar bagi siswa untuk melanjutkan pendidikan. Beberapa contoh bullying seperti kasus seorang guru SD di Bali menjewer seorang murid hingga telinganya luka. Kasus lain terjadi di Banten, seorang guru memukul kepala muridnya dengan penghapus gara-gara ketahuan mencontek saat ula-ngan.Dan belakangan ini kasus bullying yang menjadi isu nasional adalah kematian praja Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) Cliff Muntu akibat kekerasan yang dilakukan oleh praja maupun pem-bimbingnya.Meutia menambahkan, komite sekolah atau dewan pengawas harus berperan aktif memantau indikasi kasus-kasus bullying yang terjadi di sekolah.
Organisasi-organisasi bentukan sekolah bukan hanya sekadar pelengkap atau perhiasan sekolah. Organisasi itu harus berperan aktif menciptakan demokrasi di sekolah."Demikian juga media televisi, dapat berperan dalam mengurangi aksi-aksi bullying, melalui tayangan yang menanamkan nilai-nilai keluhuran budi pekerti dan menonjolkan aspek pendidikan bangsa," saran Meutia.Untuk itu Komisi Penyiaran Indonesia, Departemen Komunikasi dan Informatika, serta asosiasi televisi swasta harus mengawasi konten produk-produk hiburannya.
Antidemokrasi Dalam kesempatan sama, Direktur Pembinaan Sekolah Luar Biasa Departemen Pendidikan Nasional Eko Djatmiko menambahkan bahwa perlu ada pengawasan dari pihak luar atau organisasi masyarakat mengenai kemungkinan terjadinya bullying di sekolah. "Bila perlu, mereka dapat mengadukan pelakunya ke polisi," kata Eko.Idealnya, pengawasan dari pihak-pihak luar itu dilakukan pada masa penerimaan siswa atau mahasiswa baru. "Jangan sampai sudah ada korban meninggal baru bertindak.
Tapi bagaimana inisiatif itu muncul sejak awal," lanjutnya.Apalagi pemerintah telah mengeluarkan beberapa undang-undang (UU) seperti UU Perlindungan Anak dan UU Sisdiknas yang bertujuan membangun manusia yang demokratis.
"Bullying jelas-jelas antidemokrasi."Ketua Yayasan Semai Jiwa Amini (Sejiwa) Diena Haryana menambahkan, terjadinya bullying memang bertujuan membuat korban merasa kecil, marah, takut, atau tidak berarti. "Intinya you are nothing, i am something. Maka orang tua harus bisa mengajari anak-anak bagaimana menanamkan rasa hormat dan toleransi terhadap perbedaan," tukasnya. (Isy/H-4)(Sunday, 29 April 2007, Media Indonesia, Page : 7, Size : 539.3333 mmc Circulation : 250,000, Author: Unknown)
Pendidikan Politik dan Demokrasi Sejak Dini
Malang (14/8/07)-Pendidikan politik dan demokrasi seharusnya ditanamkan sejak usia dini. Saat ini sering terjadi dalam kehidupan kita dan di masyarakat perselisihan antar anggota keluarga, antar siswa, rapat yang ricuh, berbagai macam demonstrasi yang panas dan beringas. Juga kericuhan dalam pertandingan, pilkades, pilkada, sampai pilpres.
Bahkan Dewan Perwakilan Rakyat yang saling serang sampai baku hantam, perkelahian antar kampung, antar pelajar dan antar etnis. Berlatar belakang masalah ini mendorong persatuan guru-guru RA/TK se Kabupaten Malang menggelar acara seminar sehari yang bertema, Peran Guru RA/TK dalam Pendidikan Politik dan Demokrasi di Bawah Kibaran Sang Merah Putih. Acara ini kerjasa Ikatan Guru Raudlatul Athfal (RA) Kab.Malang dengan Kesbang dan Linmas kab.Malang. Bertempat di DEKOPIN Kab.Malang acara secara resmi di buka oleh Bupati Malang Sujud Pribadi, selasa (14/8).
Dalam sambutannya Bupati Malang menyampaikan bahwa peran guru RA/TK sangat membantu Pemerintah Kabupaten Malang. Terimakasih kepada guru TK yang telah mendidik dengan kesabaran walaupun dengan waktu yang singkat dan keterbatasan fasilitas. Apa yang telah dilakukan oleh Guru-guru RA/TK harus ditindak lanjuti oleh para orang tua di rumah. Maju dan tidaknya negara ditentukan oleh sejauh mana tugas dan tanggung jawab orang tua dalam mendidik putra-putri mereka, demikian ungkap Bupati. Dalam sambutannya Bupati juga menyampaikan rasa iba dan kekecewaannya melihat saat ini banyak anak-anak usia sekolah yang diajari untuk meminta-minta di jalan-jalan, betapa tidak bertanggung jawabnya orang tua mereka. Tidak sedikit pula keluarga yang kondisi ekonominya tidak mampu tetapi memiliki anak banyak.
Bupati berharap dengan kegiatan seminar sehari ini dapat meningkatkan kualitas profesionalisme Guru-guru RA/BA/TA/TK/PAUD dan elemen masyarakat yang peduli terhadap peran wanita berpolitik dalam mengatasi problematik yang ada, mengantarkan generasi wanita yang tangguh, meningkatkan kepribadian yang bermoral dan mandiri dalam berpolitik, untuk memberdayakan semua wanita/gender agar berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan pro aktif menjawab tantangan jaman yang selalu berubah, dapat mengembangkan pola pikir dan pola tindak sebagai warga negara berdasarkan pada konsep, prinsip, dan nilai yang terkandung dalam Pancasila.
Dalam laporannya Ketua Panitia Penyelenggara Ibu Ari Wahyu Astuti menyampaikan bahwa tujuan diselenggarakannya acara seminar sehari ini bukan bermaksud mengajak Guru-guru TK dalam kegiatan politik praktis namun berdasarkan keinginan para Guru-guru TK se Kab.Mlg yang haus menambah ilmu, wawasan dan untuk meningkatkan SDM. Karena mereka yang berperan aktif dalam mendidik anak yang santun serta menanamkan nilai-nilai politik dan demokrasi kepada anak didik.
Ibu Ari juga menyampaikan rasa terimakasihnya kepada Bupati Malang yang telah memberikan perhatiannya dengan diberikannya insentif kepada seluruh Guru-guru TK se Kab.Malang. Acara seminar ini diikuti oleh Guru-guru TK Muslimat sebanyak 30 orang, TK Aisiyah sebanyak 15 orang, TK PKK sebanyak 10 orang, TK Persit sebanyak 10 orang, TK Bayangkari sebanyak 10 orang, Pemerhati anak sebanyak 10 orang serta TK RA sebanyak 100 orang.
Adapun materi seminar yang akan disampaikan antara lain: Pendidikan Politik dan Demokrasi yang disampaikan dari Kesbang dan Linmas, Pendidikan Anak Ramah Gender disampaikan oleh Dra. Mufidah. M.Ag, Pendidikan Karakter Bekal Dasar Kehidupan Demokrasi disampaikan oleh Drs, Luqman Hakim. Hadir pada kesempatan tersebut Kepala Dinas Pendidikan Kab.Malang, Kepala Kantor Depag Kab.Malang, Kepala Kesbang dan Linmas Kab.Mlg, Tim penggerak PKK, Ketua IGRA Kab.Mlg, Ketua DEKOPIN Kab.Mlg, Camat Dau serta Organisasi TK se Kab.Mlg.(Humas) Malang (14/8/07)-Pendidikan politik dan demokrasi seharusnya ditanamkan sejak usia dini.
Saat ini sering terjadi dalam kehidupan kita dan di masyarakat perselisihan antar anggota keluarga, antar siswa, rapat yang ricuh, berbagai macam demonstrasi yang panas dan beringas. Juga kericuhan dalam pertandingan, pilkades, pilkada, sampai pilpres. Bahkan Dewan Perwakilan Rakyat yang saling serang sampai baku hantam, perkelahian antar kampung, antar pelajar dan antar etnis. Berlatar belakang masalah ini mendorong persatuan guru-guru RA/TK se Kabupaten Malang menggelar acara seminar sehari yang bertema, Peran Guru RA/TK dalam Pendidikan Politik dan Demokrasi di Bawah Kibaran Sang Merah Putih.
Acara ini kerjasa Ikatan Guru Raudlatul Athfal (RA) Kab.Malang dengan Kesbang dan Linmas kab.Malang. Bertempat di DEKOPIN Kab.Malang acara secara resmi di buka oleh Bupati Malang Sujud Pribadi, selasa (14/8). Dalam sambutannya Bupati Malang menyampaikan bahwa peran guru RA/TK sangat membantu Pemerintah Kabupaten Malang. Terimakasih kepada guru TK yang telah mendidik dengan kesabaran walaupun dengan waktu yang singkat dan keterbatasan fasilitas. Apa yang telah dilakukan oleh Guru-guru RA/TK harus ditindak lanjuti oleh para orang tua di rumah.
Maju dan tidaknya negara ditentukan oleh sejauh mana tugas dan tanggung jawab orang tua dalam mendidik putra-putri mereka, demikian ungkap Bupati. Dalam sambutannya Bupati juga menyampaikan rasa iba dan kekecewaannya melihat saat ini banyak anak-anak usia sekolah yang diajari untuk meminta-minta di jalan-jalan, betapa tidak bertanggung jawabnya orang tua mereka. Tidak sedikit pula keluarga yang kondisi ekonominya tidak mampu tetapi memiliki anak banyak.
Bupati berharap dengan kegiatan seminar sehari ini dapat meningkatkan kualitas profesionalisme Guru-guru RA/BA/TA/TK/PAUD dan elemen masyarakat yang peduli terhadap peran wanita berpolitik dalam mengatasi problematik yang ada, mengantarkan generasi wanita yang tangguh, meningkatkan kepribadian yang bermoral dan mandiri dalam berpolitik, untuk memberdayakan semua wanita/gender agar berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan pro aktif menjawab tantangan jaman yang selalu berubah, dapat mengembangkan pola pikir dan pola tindak sebagai warga negara berdasarkan pada konsep, prinsip, dan nilai yang terkandung dalam Pancasila.
Dalam laporannya Ketua Panitia Penyelenggara Ibu Ari Wahyu Astuti menyampaikan bahwa tujuan diselenggarakannya acara seminar sehari ini bukan bermaksud mengajak Guru-guru TK dalam kegiatan politik praktis namun berdasarkan keinginan para Guru-guru TK se Kab.Mlg yang haus menambah ilmu, wawasan dan untuk meningkatkan SDM. Karena mereka yang berperan aktif dalam mendidik anak yang santun serta menanamkan nilai-nilai politik dan demokrasi kepada anak didik.
Ibu Ari juga menyampaikan rasa terimakasihnya kepada Bupati Malang yang telah memberikan perhatiannya dengan diberikannya insentif kepada seluruh Guru-guru TK se Kab.Malang. Acara seminar ini diikuti oleh Guru-guru TK Muslimat sebanyak 30 orang, TK Aisiyah sebanyak 15 orang, TK PKK sebanyak 10 orang, TK Persit sebanyak 10 orang, TK Bayangkari sebanyak 10 orang, Pemerhati anak sebanyak 10 orang serta TK RA sebanyak 100 orang.
Adapun materi seminar yang akan disampaikan antara lain: Pendidikan Politik dan Demokrasi yang disampaikan dari Kesbang dan Linmas, Pendidikan Anak Ramah Gender disampaikan oleh Dra. Mufidah. M.Ag, Pendidikan Karakter Bekal Dasar Kehidupan Demokrasi disampaikan oleh Drs, Luqman Hakim. Hadir pada kesempatan tersebut Kepala Dinas Pendidikan Kab.Malang, Kepala Kantor Depag Kab.Malang, Kepala Kesbang dan Linmas Kab.Mlg, Tim penggerak PKK, Ketua IGRA Kab.Mlg, Ketua DEKOPIN Kab.Mlg, Camat Dau serta Organisasi TK se Kab.Mlg.(Humas)
Bahkan Dewan Perwakilan Rakyat yang saling serang sampai baku hantam, perkelahian antar kampung, antar pelajar dan antar etnis. Berlatar belakang masalah ini mendorong persatuan guru-guru RA/TK se Kabupaten Malang menggelar acara seminar sehari yang bertema, Peran Guru RA/TK dalam Pendidikan Politik dan Demokrasi di Bawah Kibaran Sang Merah Putih. Acara ini kerjasa Ikatan Guru Raudlatul Athfal (RA) Kab.Malang dengan Kesbang dan Linmas kab.Malang. Bertempat di DEKOPIN Kab.Malang acara secara resmi di buka oleh Bupati Malang Sujud Pribadi, selasa (14/8).
Dalam sambutannya Bupati Malang menyampaikan bahwa peran guru RA/TK sangat membantu Pemerintah Kabupaten Malang. Terimakasih kepada guru TK yang telah mendidik dengan kesabaran walaupun dengan waktu yang singkat dan keterbatasan fasilitas. Apa yang telah dilakukan oleh Guru-guru RA/TK harus ditindak lanjuti oleh para orang tua di rumah. Maju dan tidaknya negara ditentukan oleh sejauh mana tugas dan tanggung jawab orang tua dalam mendidik putra-putri mereka, demikian ungkap Bupati. Dalam sambutannya Bupati juga menyampaikan rasa iba dan kekecewaannya melihat saat ini banyak anak-anak usia sekolah yang diajari untuk meminta-minta di jalan-jalan, betapa tidak bertanggung jawabnya orang tua mereka. Tidak sedikit pula keluarga yang kondisi ekonominya tidak mampu tetapi memiliki anak banyak.
Bupati berharap dengan kegiatan seminar sehari ini dapat meningkatkan kualitas profesionalisme Guru-guru RA/BA/TA/TK/PAUD dan elemen masyarakat yang peduli terhadap peran wanita berpolitik dalam mengatasi problematik yang ada, mengantarkan generasi wanita yang tangguh, meningkatkan kepribadian yang bermoral dan mandiri dalam berpolitik, untuk memberdayakan semua wanita/gender agar berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan pro aktif menjawab tantangan jaman yang selalu berubah, dapat mengembangkan pola pikir dan pola tindak sebagai warga negara berdasarkan pada konsep, prinsip, dan nilai yang terkandung dalam Pancasila.
Dalam laporannya Ketua Panitia Penyelenggara Ibu Ari Wahyu Astuti menyampaikan bahwa tujuan diselenggarakannya acara seminar sehari ini bukan bermaksud mengajak Guru-guru TK dalam kegiatan politik praktis namun berdasarkan keinginan para Guru-guru TK se Kab.Mlg yang haus menambah ilmu, wawasan dan untuk meningkatkan SDM. Karena mereka yang berperan aktif dalam mendidik anak yang santun serta menanamkan nilai-nilai politik dan demokrasi kepada anak didik.
Ibu Ari juga menyampaikan rasa terimakasihnya kepada Bupati Malang yang telah memberikan perhatiannya dengan diberikannya insentif kepada seluruh Guru-guru TK se Kab.Malang. Acara seminar ini diikuti oleh Guru-guru TK Muslimat sebanyak 30 orang, TK Aisiyah sebanyak 15 orang, TK PKK sebanyak 10 orang, TK Persit sebanyak 10 orang, TK Bayangkari sebanyak 10 orang, Pemerhati anak sebanyak 10 orang serta TK RA sebanyak 100 orang.
Adapun materi seminar yang akan disampaikan antara lain: Pendidikan Politik dan Demokrasi yang disampaikan dari Kesbang dan Linmas, Pendidikan Anak Ramah Gender disampaikan oleh Dra. Mufidah. M.Ag, Pendidikan Karakter Bekal Dasar Kehidupan Demokrasi disampaikan oleh Drs, Luqman Hakim. Hadir pada kesempatan tersebut Kepala Dinas Pendidikan Kab.Malang, Kepala Kantor Depag Kab.Malang, Kepala Kesbang dan Linmas Kab.Mlg, Tim penggerak PKK, Ketua IGRA Kab.Mlg, Ketua DEKOPIN Kab.Mlg, Camat Dau serta Organisasi TK se Kab.Mlg.(Humas) Malang (14/8/07)-Pendidikan politik dan demokrasi seharusnya ditanamkan sejak usia dini.
Saat ini sering terjadi dalam kehidupan kita dan di masyarakat perselisihan antar anggota keluarga, antar siswa, rapat yang ricuh, berbagai macam demonstrasi yang panas dan beringas. Juga kericuhan dalam pertandingan, pilkades, pilkada, sampai pilpres. Bahkan Dewan Perwakilan Rakyat yang saling serang sampai baku hantam, perkelahian antar kampung, antar pelajar dan antar etnis. Berlatar belakang masalah ini mendorong persatuan guru-guru RA/TK se Kabupaten Malang menggelar acara seminar sehari yang bertema, Peran Guru RA/TK dalam Pendidikan Politik dan Demokrasi di Bawah Kibaran Sang Merah Putih.
Acara ini kerjasa Ikatan Guru Raudlatul Athfal (RA) Kab.Malang dengan Kesbang dan Linmas kab.Malang. Bertempat di DEKOPIN Kab.Malang acara secara resmi di buka oleh Bupati Malang Sujud Pribadi, selasa (14/8). Dalam sambutannya Bupati Malang menyampaikan bahwa peran guru RA/TK sangat membantu Pemerintah Kabupaten Malang. Terimakasih kepada guru TK yang telah mendidik dengan kesabaran walaupun dengan waktu yang singkat dan keterbatasan fasilitas. Apa yang telah dilakukan oleh Guru-guru RA/TK harus ditindak lanjuti oleh para orang tua di rumah.
Maju dan tidaknya negara ditentukan oleh sejauh mana tugas dan tanggung jawab orang tua dalam mendidik putra-putri mereka, demikian ungkap Bupati. Dalam sambutannya Bupati juga menyampaikan rasa iba dan kekecewaannya melihat saat ini banyak anak-anak usia sekolah yang diajari untuk meminta-minta di jalan-jalan, betapa tidak bertanggung jawabnya orang tua mereka. Tidak sedikit pula keluarga yang kondisi ekonominya tidak mampu tetapi memiliki anak banyak.
Bupati berharap dengan kegiatan seminar sehari ini dapat meningkatkan kualitas profesionalisme Guru-guru RA/BA/TA/TK/PAUD dan elemen masyarakat yang peduli terhadap peran wanita berpolitik dalam mengatasi problematik yang ada, mengantarkan generasi wanita yang tangguh, meningkatkan kepribadian yang bermoral dan mandiri dalam berpolitik, untuk memberdayakan semua wanita/gender agar berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan pro aktif menjawab tantangan jaman yang selalu berubah, dapat mengembangkan pola pikir dan pola tindak sebagai warga negara berdasarkan pada konsep, prinsip, dan nilai yang terkandung dalam Pancasila.
Dalam laporannya Ketua Panitia Penyelenggara Ibu Ari Wahyu Astuti menyampaikan bahwa tujuan diselenggarakannya acara seminar sehari ini bukan bermaksud mengajak Guru-guru TK dalam kegiatan politik praktis namun berdasarkan keinginan para Guru-guru TK se Kab.Mlg yang haus menambah ilmu, wawasan dan untuk meningkatkan SDM. Karena mereka yang berperan aktif dalam mendidik anak yang santun serta menanamkan nilai-nilai politik dan demokrasi kepada anak didik.
Ibu Ari juga menyampaikan rasa terimakasihnya kepada Bupati Malang yang telah memberikan perhatiannya dengan diberikannya insentif kepada seluruh Guru-guru TK se Kab.Malang. Acara seminar ini diikuti oleh Guru-guru TK Muslimat sebanyak 30 orang, TK Aisiyah sebanyak 15 orang, TK PKK sebanyak 10 orang, TK Persit sebanyak 10 orang, TK Bayangkari sebanyak 10 orang, Pemerhati anak sebanyak 10 orang serta TK RA sebanyak 100 orang.
Adapun materi seminar yang akan disampaikan antara lain: Pendidikan Politik dan Demokrasi yang disampaikan dari Kesbang dan Linmas, Pendidikan Anak Ramah Gender disampaikan oleh Dra. Mufidah. M.Ag, Pendidikan Karakter Bekal Dasar Kehidupan Demokrasi disampaikan oleh Drs, Luqman Hakim. Hadir pada kesempatan tersebut Kepala Dinas Pendidikan Kab.Malang, Kepala Kantor Depag Kab.Malang, Kepala Kesbang dan Linmas Kab.Mlg, Tim penggerak PKK, Ketua IGRA Kab.Mlg, Ketua DEKOPIN Kab.Mlg, Camat Dau serta Organisasi TK se Kab.Mlg.(Humas)
Pendidikan Karakter 3 M (Moral Knowing, Moral Feeling, dan Moral Action)
Hampir semua anak mengetahui bahwa menyontek, menjiplak, membawa kertas catatan ke ruang ujian, adalah perbuatan yang tidak jujur dan secara moral tidak bisa diterima. Namun ternyata banyak yang melakukannya. Jadi ada kesenjangan antara apa yang diketahui anak dengan apa yang dilakukannya. Namun sebagai orangtua, Anda harus dapat megnarahkan anak bertindak konsisten antara pikiran dan tindakannya.
Menurut William Kilpatrick, salah satu penyebab ketidakmampuan seseorang untuk berperilaku baik, walaupun secara kognitif ia mengetahuinya (moral knowing), yaitu karena ia tidak terlatih untuk melakukan kebajikan atau moral action. Untuk itu, orangtua tidak cukup memberikan pengetahuan tentang kebaikan, namun harus terus membimbing anak sampai pada tahap implementasi dalam kehidupan anak sehari-hari.
Dalam pendidikan karakter, Lickona (1992) menekankan pentingnya tiga komponen karakter yang baik (components of good character) yaitu moral knowing atau pengetahuan tentang moral, moral feeling atau perasaan tentang mental dan moral action atau perbuatan moral. Hal ini diperlukan agar anak mampu memahami, merasakan dan mengerjakan sekaligus nilia-niali kebajikan.
Moral knowing adalah hal yang penting untuk diajarkan, terdiri dari enam hal, yaitu: moral awareness(kesadaran moral), knowing moral values(mengetahui nilai-nilai moral), prespective taking, moral reasoning, decision making dan self knowledge.
Moral feeling adalah aspek yang lain yang harus ditanamkan kepada anak yang merupakan sumber energi dari diri manusia untuk bertindak sesuai dengan prinsip-prinsip moral. Terdapat 6 hal yang merupakan aspek emosi yang harus mampu dirasakan oleh seseorang untuk menjadi manusia berkarakter, yakni conscience (nurani), self esteem percaya diri), empathy (merasakan penderitaan orang lain), loving the good (mencintai kebenaran), self control (mampu mengontrol diri) dan humility(kerendahan hati).
Moral action adalah bagaimana membuat pengetahuan moral dapat diwujudkan menjadi tindakan nyata. Perbuatan tindakan moral ini merupakan hasil (outcome) dari dua komponen karakter lainya. Untuk memahami apa yang mendorong seseorang dalam perbuatan yang baik (act morally) maka harus dilihat tiga aspek lain dari karakter, yaitu kompetensi (competence), keinginan (will) dan kebiasaan (habit).
Melatih kebiasaan Baik
Pendidikan karakter terhadap anak hendaknya menjadikan seorang anak terbiasa untuk berperilaku baik, sehingga ia menjadi terbiasa dan akan merasa bersalah kalau tidak melakukannya. Sebagai contoh, seorang anak yang terbiasa mandi dua kali sehari, akan merasa tidak enak bila mandi hanya satu kali sehari. Dengan demikian, kebiasaan baik yang sudah menjadi instink, otomatis akan mebuat seorang anak merasa bersalah bila tidak melakukan kebiasaan baik tersebut.
Namun mendidik kebiasaan baik saja tidak cukup. Anak yang terbiasa berbuat baik belum tentu menghargai pentingnya nilai-nilai moral (valuing). Misalnya ia tidak mencuri karena mengetahui sanksi hukumnya, dan bukan karena ia menjunjung tinggi nilai kejujuran. Oleh karena itu, setelah anak memiliki pengetahuan (moral knowing), orangtua hendaknya dapat menumbuhkan rasa atau keinginan anak untuk berbuat baik (desiring the good).
Keinginan untuk berbuat baik adalah bersumber dari kecintaan untuk berbuat baik (loving the good). Aspek kecintaan inilah yang disebut Piaget sebagai sumber energi yang secara efektif membuat seseorang mempunyai karakter yang konsisten antara pengetahuan (moral knowing) dan tindakannya (moral action). Oleh karen aitu, aspek ini merupakan yang paling sulit untuk diajarkan, karena menyangkut wilayah emosi (otak kanan).
Salah satu cara untuk menumbuhkan aspek moral feeling yaitu dengan cara membangkitkan kesadaran anak akan pentingnya memberikan komitmen terhadap nilai-nilai moral. Sebagai contoh untuk menanamkan kecintaan anak untuk jujur dengan tidak mencontek, orangtua harus dapat menumbuhkan rasa bersalah, malu dan tidak empati atas tindakan mencontek tersebut. Kecintaan ini (moral feeling) akan menjadi kontrol internal yang paling efektif, selain kontrol eksternal berupa pengawasan orangtua terhadap tindak tanduk anak dalam keseharian.
Terlepas dari adanya moral feeling anak yang mencintai kebajikan, orangtua tidak lantas menghilangkan perannya dalam melakukan kontrol eksternal. Kontrol eksternal juga penting dan perlu diberikan orangtua, khususnya dalam memberikan lingkungan yang kondusif kepada anak untuk membiasakan diri berperilaku baik.
“ If a man continuosly hears bad words, thinks bad thoughts, does bad actions, his mind will be full of bad impressions, and they will influence his thought and work without his being conscious of the fact. He will belike a machine in the hands of a man thinks good thoughts and does good works, the sum total of hese impressions will be good, and they, in similar manner, will force him to do good, even in spite of himself. When such is the case, a man’s good character is said to be established”.
Apabila seorang manusia secara terus menerus mendengarkan kata-kata buruk, berpikir buruk dan bertindak buruk, pikirannya aka penuh dengan ide-ide buruk, dan ide-ide tersebut akan mempengaruhi pikiran dan kerjanya tanpa ia menyadari keberadaannya. Ia akan menjadi seperti sebuah mesin di tengah-tengah ide-idenya, dan mereka akan memaksanya untuk berbuat jahat, dan orang tersebut akan menjadi orang jahat; apabila seorang manusia berpiir baik dan mengerjakan pekerjaan-pekerjaan baik, total keseluruhan ide-idenya akan mendorongnya untuk berbuat baik. Apabila demikian halnya, karakter manusia yang baik telah dibentuk.
(Swami Vivekanada)
Menurut William Kilpatrick, salah satu penyebab ketidakmampuan seseorang untuk berperilaku baik, walaupun secara kognitif ia mengetahuinya (moral knowing), yaitu karena ia tidak terlatih untuk melakukan kebajikan atau moral action. Untuk itu, orangtua tidak cukup memberikan pengetahuan tentang kebaikan, namun harus terus membimbing anak sampai pada tahap implementasi dalam kehidupan anak sehari-hari.
Dalam pendidikan karakter, Lickona (1992) menekankan pentingnya tiga komponen karakter yang baik (components of good character) yaitu moral knowing atau pengetahuan tentang moral, moral feeling atau perasaan tentang mental dan moral action atau perbuatan moral. Hal ini diperlukan agar anak mampu memahami, merasakan dan mengerjakan sekaligus nilia-niali kebajikan.
Moral knowing adalah hal yang penting untuk diajarkan, terdiri dari enam hal, yaitu: moral awareness(kesadaran moral), knowing moral values(mengetahui nilai-nilai moral), prespective taking, moral reasoning, decision making dan self knowledge.
Moral feeling adalah aspek yang lain yang harus ditanamkan kepada anak yang merupakan sumber energi dari diri manusia untuk bertindak sesuai dengan prinsip-prinsip moral. Terdapat 6 hal yang merupakan aspek emosi yang harus mampu dirasakan oleh seseorang untuk menjadi manusia berkarakter, yakni conscience (nurani), self esteem percaya diri), empathy (merasakan penderitaan orang lain), loving the good (mencintai kebenaran), self control (mampu mengontrol diri) dan humility(kerendahan hati).
Moral action adalah bagaimana membuat pengetahuan moral dapat diwujudkan menjadi tindakan nyata. Perbuatan tindakan moral ini merupakan hasil (outcome) dari dua komponen karakter lainya. Untuk memahami apa yang mendorong seseorang dalam perbuatan yang baik (act morally) maka harus dilihat tiga aspek lain dari karakter, yaitu kompetensi (competence), keinginan (will) dan kebiasaan (habit).
Melatih kebiasaan Baik
Pendidikan karakter terhadap anak hendaknya menjadikan seorang anak terbiasa untuk berperilaku baik, sehingga ia menjadi terbiasa dan akan merasa bersalah kalau tidak melakukannya. Sebagai contoh, seorang anak yang terbiasa mandi dua kali sehari, akan merasa tidak enak bila mandi hanya satu kali sehari. Dengan demikian, kebiasaan baik yang sudah menjadi instink, otomatis akan mebuat seorang anak merasa bersalah bila tidak melakukan kebiasaan baik tersebut.
Namun mendidik kebiasaan baik saja tidak cukup. Anak yang terbiasa berbuat baik belum tentu menghargai pentingnya nilai-nilai moral (valuing). Misalnya ia tidak mencuri karena mengetahui sanksi hukumnya, dan bukan karena ia menjunjung tinggi nilai kejujuran. Oleh karena itu, setelah anak memiliki pengetahuan (moral knowing), orangtua hendaknya dapat menumbuhkan rasa atau keinginan anak untuk berbuat baik (desiring the good).
Keinginan untuk berbuat baik adalah bersumber dari kecintaan untuk berbuat baik (loving the good). Aspek kecintaan inilah yang disebut Piaget sebagai sumber energi yang secara efektif membuat seseorang mempunyai karakter yang konsisten antara pengetahuan (moral knowing) dan tindakannya (moral action). Oleh karen aitu, aspek ini merupakan yang paling sulit untuk diajarkan, karena menyangkut wilayah emosi (otak kanan).
Salah satu cara untuk menumbuhkan aspek moral feeling yaitu dengan cara membangkitkan kesadaran anak akan pentingnya memberikan komitmen terhadap nilai-nilai moral. Sebagai contoh untuk menanamkan kecintaan anak untuk jujur dengan tidak mencontek, orangtua harus dapat menumbuhkan rasa bersalah, malu dan tidak empati atas tindakan mencontek tersebut. Kecintaan ini (moral feeling) akan menjadi kontrol internal yang paling efektif, selain kontrol eksternal berupa pengawasan orangtua terhadap tindak tanduk anak dalam keseharian.
Terlepas dari adanya moral feeling anak yang mencintai kebajikan, orangtua tidak lantas menghilangkan perannya dalam melakukan kontrol eksternal. Kontrol eksternal juga penting dan perlu diberikan orangtua, khususnya dalam memberikan lingkungan yang kondusif kepada anak untuk membiasakan diri berperilaku baik.
“ If a man continuosly hears bad words, thinks bad thoughts, does bad actions, his mind will be full of bad impressions, and they will influence his thought and work without his being conscious of the fact. He will belike a machine in the hands of a man thinks good thoughts and does good works, the sum total of hese impressions will be good, and they, in similar manner, will force him to do good, even in spite of himself. When such is the case, a man’s good character is said to be established”.
Apabila seorang manusia secara terus menerus mendengarkan kata-kata buruk, berpikir buruk dan bertindak buruk, pikirannya aka penuh dengan ide-ide buruk, dan ide-ide tersebut akan mempengaruhi pikiran dan kerjanya tanpa ia menyadari keberadaannya. Ia akan menjadi seperti sebuah mesin di tengah-tengah ide-idenya, dan mereka akan memaksanya untuk berbuat jahat, dan orang tersebut akan menjadi orang jahat; apabila seorang manusia berpiir baik dan mengerjakan pekerjaan-pekerjaan baik, total keseluruhan ide-idenya akan mendorongnya untuk berbuat baik. Apabila demikian halnya, karakter manusia yang baik telah dibentuk.
(Swami Vivekanada)
PLH dan Pendidikan Karakter Anak Didik Kita
Oleh: ASEP KUSNAWAN, S.Pd.
( Bandung, Klik-galamedia.com, 25 Mei 2007 ).
WACANA pendidikan dengan menekankan pada aspek lingkungan, kini menjadi hal penting untuk segera direalisasikan. Muatan lokal (mulok) wajib menjadi alternatif bagi pengembangan kurikulum sekolah, khususnya di Kota Bandung, untuk mengembangkan konsep pendidikan lingkungan hidup (PLH) atau yang kini telah dikembangkan oleh pemerintah Kota Bandung dengan istilah PLH yang secara resmi telah menjadi mulok wajib di setiap sekolah.
Konsep ini identik dengan konsep green education yang jauh hari telah dikembangkan di negara-negara maju, seperti Jerman. Konsepnya berangkat dari sebuah kesadaran akan pentingnya menjaga lingkungan sebagai aset berharga.
Di Indonesia, khususnya Kota Bandung, filosofi dasar konsep ini jelas menjadi sangat penting di tengah-tengah keprihatinan kita terhadap kerusakan alam, seperti kebakaran hutan, banjir, dan sampah di mana-mana. Selain itu, yang paling mencolok adalah kesadaran pelajar bahkan kaum terdidik untuk bersama-sama menjaga dan memelihara lingkungan dirasakan masih rendah.
Pendidikan, mungkin salah satu alternatif untuk mengembalikan semua kesadaran ini melalui jalur formal. Membangun kesadaran terhadap lingkungan erat kaitannya dengan membangun budaya atau karakter itu sendiri. Artinya, diperlukan waktu cukup lama disertai konsistensi para pembuat kebijakan dan pelaksana di bawahnya untuk menjadikan budaya cinta lingkungan menjadi karakter sebuah bangsa. Singapura, misalnya, untuk membangun budaya antre memerlukan waktu belasan tahun. Malaysia, kini menuju masyarakat yang knowledge society, masyarakat berkarakter yang menyadari sepenuhnya dengan kesadaran betapa pentingnya lingkungan hidup yang tertib.
Konsep lingkungan hidup atau green education hendaknya dimaknai bukan hanya sebagai wacana kurikulum yang pada akhirnya akan terjebak menjadi konsep hapalan atau kognisi, tak jauh beda dengan pelajaran PKPS/PPKn atau pelajaran agama di sekolah yang tidak membentuk nilai dan karakter siswa.
PLH, seharusnya menjadi implementasi dari bentuk kepedulian terhadap lingkungan sebagai manifestasi rasa syukur atas karunia yang diberikan Allah SWT melalui alam semesta sehingga pembelajaran menjadi lebih bermakna. Bahwa belajar tidak lagi identik dengan konsep in door, seharusnya mulai ditinggalkan.
Siswa akan diperkenalkan dengan konsep pendidikan yang menyatu dengan alam. Mereka bagian dari alam itu sendiri. Dalam QS Ali Imran ayat 190 Allah SWT berfirman yang artinya, "Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda kebesaran Allah bagi orang yang berakal." Pendekatan pembelajaran lingkungan pada intinya adalah mendekatkan anak pada kekuasaan Sang Pencipta. Kesadaran bahwa segala sesuatu di alam menjadi objek pembelajaran.
Wujud sekolah dengan konsep lingkungan hidup yang nyata akan tercermin dari beberapa hal, di antaranya sekolah memiliki kurikulum yang bermuatan wawasan lingkungan, sekolah mempunyai rancang bangun, dan penggunaan bahan/pemeliharaan sarana serta prasarana berdasarkan prinsip-prinsip ramah lingkungan. Sekolah memiliki manajemen yang efektif dan efisien, sementara warga sekolah memiliki kepedulian lingkungan sebagai manifestasi rasa syukur kepada Allah.
Pendidikan lingkungan hidup yang benar seharusnya menghasilkan output anak didik yang mempunyai karakter sidiq, istikamah, fatanah, amanah, dan tablig. Karakter ini jika terhimpun pada diri anak didik akan menjadi kunci bagi keseimbangan alam dan lingkungan. Dengan demikian, konsep lingkungan hidup atau GE yang akan diterapkan harus bersifat partisipatif yang menyertakan semua komponen masyarakat, kemudian berkelanjutan dengan tetap istikamah serta ajek yang berorientasi pada pendidikan karakter yang akan dibangun serta bersifat menyeluruh. Wallahualam. (penulis adalah staf pengajar smp islam salman al farisi bandung)**
Pendidikan Karakter (bagian 2)
Di tengah kebangkrutan moral bangsa, maraknya tindak kekerasan, inkoherensi politisi atas retorika politik, dan perilaku keseharian, pendidikan karakter yang menekankan dimensi etis-religius menjadi relevan untuk diterapkan.
Pendidikan karakter ala Foerster yang berkembang pada awal abad ke-19 merupakan perjalanan panjang pemikiran umat manusia untuk mendudukkan kembali idealisme kemanusiaan yang lama hilang ditelan arus positivisme. Karena itu, pendidikan karakter tetap mengandaikan pedagogi yang kental dengan rigorisme ilmiah dan sarat muatan puerocentrisme yang menghargai aktivitas manusia.
Tradisi pendidikan di Indonesia tampaknya belum matang untuk memeluk pendidikan karakter sebagai kinerja budaya dan religius dalam kehidupan bermasyarakat. Pedagogi aktif Deweyan baru muncul lewat pengalaman sekolah Mangunan tahun 1990-an.
Kebiasaan berpikir kritis melalui pendasaran logika yang kuat dalam setiap argumentasi juga belum menjadi habitus. Guru hanya mengajarkan apa yang harus dihapalkan. Mereka membuat anak didik menjadi beo yang dalam setiap ujian cuma mengulang apa yang dikatakan guru.
Loncatan sejarah
Apakah mungkin sebuah loncatan sejarah dapat terjadi dalam tradisi pendidikan kita? Mungkinkah pendidikan karakter diterapkan di Indonesia tanpa melewati tahap-tahap positivisme dan naturalisme lebih dahulu?
Pendidikan karakter yang digagas Foerster tidak menghapus pentingnya peran metodologi eksperimental maupun relevansi pedagogi naturalis Rousseauian yang merayakan spontanitas dalam pendidikan anak-anak. Yang ingin ditebas arus ”idealisme” pendidikan adalah determinisme dan naturalisme yang mendasari paham mereka tentang manusia.
Bertentangan dengan determinisme, melalui pendidikan karakter manusia mempercayakan dirinya pada dunia nilai (bildung). Sebab, nilai merupakan kekuatan penggerak perubahan sejarah. Kemampuan membentuk diri dan mengaktualisasikan nilai-nilai etis merupakan ciri hakiki manusia. Karena itu, mereka mampu menjadi agen perubahan sejarah.
Jika nilai merupakan motor penggerak sejarah, aktualisasi atasnya akan merupakan sebuah pergulatan dinamis terus-menerus. Manusia, apa pun kultur yang melingkupinya, tetap agen bagi perjalanan sejarahnya sendiri. Karena itu, loncatan sejarah masih bisa terjadi di negeri kita. Pendidikan karakter masih memiliki tempat bagi optimisme idealis pendidikan di negeri kita, terlebih karena bangsa kita kaya akan tradisi religius dan budaya.
Manusia yang memiliki religiusitas kuat akan semakin termotivasi untuk menjadi agen perubahan dalam masyarakat, bertanggung jawab atas penghargaan hidup orang lain dan mampu berbagi nilai-nilai kerohanian bersama yang mengatasi keterbatasan eksistensi natural manusia yang mudah tercabik oleh berbagai macam konflik yang tak jarang malah mengatasnamakan religiusitas itu sendiri.
Doni Koesoema, A: Mahasiswa Jurusan Pedagogi Sekolah dan Pengembangan Profesional Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Kepausan Salesian, Roma
KOMPAS, Jumat, 03 Februari 2006
Pendidikan karakter ala Foerster yang berkembang pada awal abad ke-19 merupakan perjalanan panjang pemikiran umat manusia untuk mendudukkan kembali idealisme kemanusiaan yang lama hilang ditelan arus positivisme. Karena itu, pendidikan karakter tetap mengandaikan pedagogi yang kental dengan rigorisme ilmiah dan sarat muatan puerocentrisme yang menghargai aktivitas manusia.
Tradisi pendidikan di Indonesia tampaknya belum matang untuk memeluk pendidikan karakter sebagai kinerja budaya dan religius dalam kehidupan bermasyarakat. Pedagogi aktif Deweyan baru muncul lewat pengalaman sekolah Mangunan tahun 1990-an.
Kebiasaan berpikir kritis melalui pendasaran logika yang kuat dalam setiap argumentasi juga belum menjadi habitus. Guru hanya mengajarkan apa yang harus dihapalkan. Mereka membuat anak didik menjadi beo yang dalam setiap ujian cuma mengulang apa yang dikatakan guru.
Loncatan sejarah
Apakah mungkin sebuah loncatan sejarah dapat terjadi dalam tradisi pendidikan kita? Mungkinkah pendidikan karakter diterapkan di Indonesia tanpa melewati tahap-tahap positivisme dan naturalisme lebih dahulu?
Pendidikan karakter yang digagas Foerster tidak menghapus pentingnya peran metodologi eksperimental maupun relevansi pedagogi naturalis Rousseauian yang merayakan spontanitas dalam pendidikan anak-anak. Yang ingin ditebas arus ”idealisme” pendidikan adalah determinisme dan naturalisme yang mendasari paham mereka tentang manusia.
Bertentangan dengan determinisme, melalui pendidikan karakter manusia mempercayakan dirinya pada dunia nilai (bildung). Sebab, nilai merupakan kekuatan penggerak perubahan sejarah. Kemampuan membentuk diri dan mengaktualisasikan nilai-nilai etis merupakan ciri hakiki manusia. Karena itu, mereka mampu menjadi agen perubahan sejarah.
Jika nilai merupakan motor penggerak sejarah, aktualisasi atasnya akan merupakan sebuah pergulatan dinamis terus-menerus. Manusia, apa pun kultur yang melingkupinya, tetap agen bagi perjalanan sejarahnya sendiri. Karena itu, loncatan sejarah masih bisa terjadi di negeri kita. Pendidikan karakter masih memiliki tempat bagi optimisme idealis pendidikan di negeri kita, terlebih karena bangsa kita kaya akan tradisi religius dan budaya.
Manusia yang memiliki religiusitas kuat akan semakin termotivasi untuk menjadi agen perubahan dalam masyarakat, bertanggung jawab atas penghargaan hidup orang lain dan mampu berbagi nilai-nilai kerohanian bersama yang mengatasi keterbatasan eksistensi natural manusia yang mudah tercabik oleh berbagai macam konflik yang tak jarang malah mengatasnamakan religiusitas itu sendiri.
Doni Koesoema, A: Mahasiswa Jurusan Pedagogi Sekolah dan Pengembangan Profesional Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Kepausan Salesian, Roma
KOMPAS, Jumat, 03 Februari 2006
Pendidikan Karakter (bagian 1)
oleh: Doni Koesoema, A
Pencetus pendidikan karakter yang menekankan dimensi etis-spiritual dalam proses pembentukan pribadi ialah pedagog Jerman FW Foerster (1869-1966). Pendidikan karakter merupakan reaksi atas kejumudan pedagogi natural Rousseauian dan instrumentalisme pedagogis Deweyan.
Lebih dari itu, pedagogi puerocentris lewat perayaan atas spontanitas anak-anak (Edouard Claparède, Ovide Decroly, Maria Montessori) yang mewarnai Eropa dan Amerika Serikat awal abad ke-19 kian dianggap tak mencukupi lagi bagi formasi intelektual dan kultural seorang pribadi.
Polemik anti-positivis dan anti-naturalis di Eropa awal abad ke-19 merupakan gerakan pembebasan dari determinisme natural menuju dimensi spiritual, bergerak dari formasi personal dengan pendekatan psiko-sosial menuju cita-cita humanisme yang lebih integral. Pendidikan karakter merupakan sebuah usaha untuk menghidupkan kembali pedagogi ideal-spiritual yang sempat hilang diterjang gelombang positivisme ala Comte.
Tujuan pendidikan adalah untuk pembentukan karakter yang terwujud dalam kesatuan esensial si subyek dengan perilaku dan sikap hidup yang dimilikinya. Bagi Foerster, karakter merupakan sesuatu yang mengualifikasi seorang pribadi. Karakter menjadi identitas yang mengatasi pengalaman kontingen yang selalu berubah. Dari kematangan karakter inilah, kualitas seorang pribadi diukur.
Empat karakter
Menurut Foerster ada empat ciri dasar dalam pendidikan karakter. Pertama, keteraturan interior di mana setiap tindakan diukur berdasar hierarki nilai. Nilai menjadi pedoman normatif setiap tindakan.
Kedua, koherensi yang memberi keberanian, membuat seseorang teguh pada prinsip, tidak mudah terombang-ambing pada situasi baru atau takut risiko. Koherensi merupakan dasar yang membangun rasa percaya satu sama lain. Tidak adanya koherensi meruntuhkan kredibilitas seseorang.
Ketiga, otonomi. Di situ seseorang menginternalisasikan aturan dari luar sampai menjadi nilai-nilai bagi pribadi. Ini dapat dilihat lewat penilaian atas keputusan pribadi tanpa terpengaruh atau desakan pihak lain.
Keempat, keteguhan dan kesetiaan. Keteguhan merupakan daya tahan seseorang guna mengingini apa yang dipandang baik. Dan kesetiaan merupakan dasar bagi penghormatan atas komitmen yang dipilih.
Kematangan keempat karakter ini, lanjut Foerster, memungkinkan manusia melewati tahap individualitas menuju personalitas. ”Orang-orang modern sering mencampuradukkan antara individualitas dan personalitas, antara aku alami dan aku rohani, antara independensi eksterior dan interior.” Karakter inilah yang menentukan forma seorang pribadi dalam segala tindakannya.
Pencetus pendidikan karakter yang menekankan dimensi etis-spiritual dalam proses pembentukan pribadi ialah pedagog Jerman FW Foerster (1869-1966). Pendidikan karakter merupakan reaksi atas kejumudan pedagogi natural Rousseauian dan instrumentalisme pedagogis Deweyan.
Lebih dari itu, pedagogi puerocentris lewat perayaan atas spontanitas anak-anak (Edouard Claparède, Ovide Decroly, Maria Montessori) yang mewarnai Eropa dan Amerika Serikat awal abad ke-19 kian dianggap tak mencukupi lagi bagi formasi intelektual dan kultural seorang pribadi.
Polemik anti-positivis dan anti-naturalis di Eropa awal abad ke-19 merupakan gerakan pembebasan dari determinisme natural menuju dimensi spiritual, bergerak dari formasi personal dengan pendekatan psiko-sosial menuju cita-cita humanisme yang lebih integral. Pendidikan karakter merupakan sebuah usaha untuk menghidupkan kembali pedagogi ideal-spiritual yang sempat hilang diterjang gelombang positivisme ala Comte.
Tujuan pendidikan adalah untuk pembentukan karakter yang terwujud dalam kesatuan esensial si subyek dengan perilaku dan sikap hidup yang dimilikinya. Bagi Foerster, karakter merupakan sesuatu yang mengualifikasi seorang pribadi. Karakter menjadi identitas yang mengatasi pengalaman kontingen yang selalu berubah. Dari kematangan karakter inilah, kualitas seorang pribadi diukur.
Empat karakter
Menurut Foerster ada empat ciri dasar dalam pendidikan karakter. Pertama, keteraturan interior di mana setiap tindakan diukur berdasar hierarki nilai. Nilai menjadi pedoman normatif setiap tindakan.
Kedua, koherensi yang memberi keberanian, membuat seseorang teguh pada prinsip, tidak mudah terombang-ambing pada situasi baru atau takut risiko. Koherensi merupakan dasar yang membangun rasa percaya satu sama lain. Tidak adanya koherensi meruntuhkan kredibilitas seseorang.
Ketiga, otonomi. Di situ seseorang menginternalisasikan aturan dari luar sampai menjadi nilai-nilai bagi pribadi. Ini dapat dilihat lewat penilaian atas keputusan pribadi tanpa terpengaruh atau desakan pihak lain.
Keempat, keteguhan dan kesetiaan. Keteguhan merupakan daya tahan seseorang guna mengingini apa yang dipandang baik. Dan kesetiaan merupakan dasar bagi penghormatan atas komitmen yang dipilih.
Kematangan keempat karakter ini, lanjut Foerster, memungkinkan manusia melewati tahap individualitas menuju personalitas. ”Orang-orang modern sering mencampuradukkan antara individualitas dan personalitas, antara aku alami dan aku rohani, antara independensi eksterior dan interior.” Karakter inilah yang menentukan forma seorang pribadi dalam segala tindakannya.
Subscribe to:
Posts (Atom)