Monday, October 1, 2007

Pra-SD Cukupkah Anak-anak hanya Masuk TK?

Memenuhi Pendidikan PENDIDIKAN anak pra-SD
selalu diidentikkan dengan pendidikan di Taman Kanak-kanak (TK). Tepatkah pendapat ini? Bukankah pendidikan di TK hanya dialami anak selama satu-dua tahun? Itu pun jika anak sempat mengalami pendidikan TK. Orangtua yang kurang mampu, umumnya, tidak memasukkan anaknya ke TK. Anak yang tinggal di pelosok, pedalaman, pegunungan, dan tempat terpencil lainnya banyak juga yang tidak mengenyam pendidikan di TK. Syukurlah orangtua si anak di tempat-tempat itu tidak pernah termakan "isu" persyaratan anak masuk SD harus punya ijazah TK.


Di sinilah pentingnya pendidikan anak usia dini (PAUD). Model pendidikan ini hanya dilaksanakan di keluarga dengan para tetangga (jika ada) sesuai dengan alam lingkungan tempat anak itu berada. PAUD adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan bagi anak sejak lahir sampai usia enam tahun (bahkan sampai delapan tahun) yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan. Tujuannya, membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut -- SD (Depdiknas, 2004).

Pemerintah lantas memandang perlu memberi penegasan karena PAUD merupakan salah satu bentuk penyelenggaraan pendidikan yang menitikberatkan pada peletakan dasar ke arah pertumbuhan dan perkembangan fisik, kecerdasan daya pikir, daya cipta, emosi, spiritual, berbahasa/komunikasi, dan sosial. Sementara ini, tempat untuk mengembangkan kecerdasan-kecerdasan itu adalah di TK.

Persoalannya, banyak anak tidak sempat mengenyam TK sehubungan dengan PAUD karena berbagai faktor. Karena itulah, peran keluarga, tetangga maupun masyarakat tempat anak itu tumbuh sangat menentukan perkembangan fisik dan mental anak. Jika keluarga dan masyarakat lingkungan anak memilih mencari penghidupan dengan cara meminta-minta, misalnya, besar kemungkinan anak nantinya tidak memperoleh pendidikan. Bahkan, anak nantinya akan memilih cara hidup mengemis karena dengan cepat bisa memperoleh uang tanpa kerja keras.

Perlu Dihidupkan
Sesungguhnya, budaya masyarakat yang berkaitan dengan pendidikan karakter perlu dihidupkan lagi. Jika budaya di suatu masyarakat (masa lalu) pernah kita dengar ada si tukang cerita atau pendongeng, maka budaya ini merupakan PAUD yang sangat efektif dalam memberi berbagai kecerdasan kepada anak usia dini. Di Bali misalnya, budaya ini biasa disebut masatua (mendongeng) sebelum anak tidur. Sayang, sejak hadirnya televisi di tengah keluarga, budaya masatua ini semakin langka.

Di masa lalu (di Bali), anak-anak yang kebanyakan belum masuk SD biasa berkumpul mendengar cerita pada seorang kakek, nenek atau si orangtua anak. Akhirnya anak-anak pun tidur bersama. Besoknya, anak-anak tersebut juga menciptakan permainan secara bersama-sama, mengalami proses belajar bagaimana hidup bekerja sama. Secara bersama-sama pula anak-anak itu membuat barong-barongan, bade-badean (menyerupai tempat pembakaran mayat), rumah-rumahan, sampai ogoh-ogoh.

Syukur, beberapa cara atau model pembelajaran "bekerja sama" seperti itu masih ada pada masa sekarang, misalnya membuat ogoh-ogoh menjelang hari raya Nyepi. Jelasnya, apapun yang dikerjakan oleh orang dewasa, si anak juga menirunya. Model ini sangatlah positif dalam membentuk karakter anak.

Sekarang zaman sudah berubah. Kakek, si tukang cerita, hanya masih dilakoni oleh segelintir orang di Bali. Made Taro (68) misalnya, sekadar menyebut nama. Ketika Made Taro mendongeng, anak-anak pun mendengarkan dengan baik. Saat Made Taro mendongeng, sering penulis ikuti di berbagai tempat, biasanya di sanggar seni. Dari wajah si anak, tampak anak-anak usia dini sungguh-sungguh mendengarkan cerita yang dituturkan oleh si tukang cerita.
Hal ini menunjukkan bahwa sesungguhnya aktivitas mendongeng masih disenangi oleh anak-anak walau ada film kartun di televisi. Setelah diadakan tanya-jawab, anak-anak pun bersemangat menjawab. Dengan cara ini, Made Taro sudah jelas menumbuhkembangkan kecerdasan anak berbahasa, selain nilai-nilai kecerdasan lainnya yang terkandung dalam cerita.
Pengganti peran si tukang cerita yang hampir punah itu adalah menggalakkan aktivitas budaya baca bagi orangtua sebagai model yang dapat ditiru oleh anak. Kenyataannya terbalik dari harapan, minat baca orangtua sangat rendah. Waktu orangtua di rumah lebih banyak dihabiskan untuk menonton televisi, anak pun mengikutinya. Jika televisi banyak menayangkan adegan kekerasan, anak pun menirunya. Bahkan televisi sering kurang memiliki "etika" saat mengajak anak-anak berimajinasi lewat film yang ditayangkan, karena tayangan itu bukan untuk anak seumurnya.

Bahkan, anak dirangsang agar menjadi konsumen produk tertentu dan tidak jarang pula menyesatkan anak. Akibatnya, anak minta barang mainan yang sudah jadi, misalnya, yang tidak menggugah daya-cipta si anak. Bukan itu saja, barang-barang mahal di luar jangkauan kantong orangtua pun ingin dimilikinya. Setelah barang mainan yang dibeli itu rusak, anak tidak bisa memperbaikinya.

Harus Diantisipasi
Fenomena seperti yang dipaparkan di atas itu tentu harus diantisipasi dalam PAUD agar anak bisa tumbuh-kembang dengan baik. Lembaga pendidikan TK tampaknya belum mampu mengantisipasi pengaruh televisi sebab media ini ada di keluarga si anak. Orangtua dan keluargalah bertugas untuk mencegah dampak negatif tayangan kekerasan di televisi. Jelaslah peran orangtua dan seluruh keluarga sangat penting untuk menimalisasi dampak negatif tayangan televisi yang memang bukan diperuntukkan kepada anak usia dini.
Kesibukan orangtua juga menjadi salah satu kendala PAUD. Jika orangtua sibuk, ada alternatif yakni jasa penitipan anak. Alternatif ini tampaknya bisa mengatasi masalah bagi suami-istri yang sama-sama bekerja. Namun, apakah alternatif ini baik dari sisi PAUD? Tampaknya perlu pengamatan. Memang dari sisi berlangsungnya aktivitas pekerjaan orangtua si anak, khususnya si ibu, penitipan anak dapat menjadi pilihan.

Oleh karenanya, di masa mendatang dibutuhkan tempat penitipan anak yang dapat memberi jaminan dalam PAUD. Tempat ini bukan sekadar menjaga, memberi makan, mengganti pakaian anak jika buang air, melainkan juga memberikan pendidikan yang dapat menumbuhkembangkan jiwa anak secara sehat. Karena itu, perlu pemantauan pihak pemerintah, khususnya Diknas.

Diknas sepantasnya memberi pembinaan sekaligus memberi bantuan sarana kepada penyedia jasa penitipan anak (dari sisi PAUD) demi masa depan anak bangsa. Tenaga pengasuh anak di tempat penitipan anak itu diberi pendidikan dan pelatihan sehingga nantinya benar-benar menjadi tenaga terdidik dan terlatih dalam PAUD. Selanjutnya diadakan pemantauan secara rutin. Di masa depan, tampaknya jasa penitipan anak semakin dibutuhkan demi kelangsungan karier kaum ibu yang selama ini selalu mengalah (berhenti bekerja) untuk pengasuhan anak.

* i gusti ketut tribana, guru SMA di Denpasar

0 comments:

 

WHEN SUHENG TALK... Template by Ipietoon Cute Blog Design