Selasa, 22-05-2007 08:14:52 oleh: Retty N. Hakim Kanal: Opini
Judul ini terinspirasi oleh artikel Hendriko L. Wiremmer di Info Serpong edisi Mei 2007. Ia menulis sebuah artikel dengan judul “Generasi Muda” dan sub judul “Suka atau tidak pergantian pemegang tongkat estafet generasi tidak bisa dihindari”.
Apa yang dituliskannya sedikit banyak menggambarkan apa yang ada di pikiran saya ketika saya menjanjikan teman-teman di milis untuk menulis tentang pendidikan dalam rangka merayakan kebangkitan nasional. Di tangan generasi penerus inilah kita mengharapkan kebangkitan nasional baru, kebangkitan yang akan terus diperbaharui sesuai dengan zamannya.
Tugas pendidikan anak bangsa yang akan meneruskan tongkat estafet pembangunan ini amat penting. Tugas untuk mengajarkan calon generasi penerus untuk sungguh-sungguh mencintai Indonesia sekaligus sungguh-sungguh siap menghadapi tantangan persaingan di dunia global.
Pada masa mendatang dunia mungkin tidak akan terasa lagi perbatasannya, sans frontrier, era internet dan multi media sudah mengubah banyak paradigma.
Saat ini sekolah-sekolah berkurikulum internasional menjamur, pelajaran bahasa Inggris, Mandarin maupun Arab seakan menjadi hal pokok sejak dari sekolah dasar (maaf, ini terutama berlaku untuk sekolah swasta). Tapi di balik kemajuan berpikir yang memungkinkannya maju setara dengan rekan-rekannya dari luar negeri, adakah kecintaan kepada negeri ini yang akan senantiasa memanggilnya untuk memajukan negeri? Bekerja demi kemajuan orang banyak, bukan untuk kepentingan kantong sendiri maupun nama pribadi?!
Kebangkitan nasional sendiri berawal dari sejumlah priyayi Jawa terdidik dari STOVIA yang bergerak dan mulai memikirkan paham kebangsaan walaupun dalam skala kedaerahan yaitu Jawa. Tapi dari sini kita perlu menyadari pentingnya arti pendidikan dalam membuka wawasan berbangsa dan bertanah air. Seperti yang dikutip Wiremmer dari Ketua Kwarnas Gerakan Pramuka Azrul Azwar, piramida pendidikan kita amat menyedihkan, anak-anak muda yang penganggur akhirnya bias terjebak pada kriminalitas dan narkotika. Menurut data yang diketahui Wiremmer, sekitar dua juta generasi muda Indonesia memakai obat-obatan terlarang.
Biaya pendidikan semakin melambung, sementara tenaga kerja terdidik yang mampu dan mau menjadi tenaga pengajar tidak banyak. Hal ini mengakibatkan adanya satu juta anak usia SD yang belum memiliki sekolah maupun guru tetap. Masih ada lagi 2,7 juta anak usia SMP yang sama sekali tidak mempunyai sekolah atau guru (Anggaran Pendidikan dan Prinsip Legal, Rusli Yunus, Kompas, 14 Januari 2006). Wiremmer mengutip indeks pembangunan manusia Indonesia berdasarkan data dari Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), di mana Indonesia berada pada urutan ke 110 dari 173 negara di dunia. Indeks yang cukup memprihatinkan sementara kita memiliki juara-juara olimpiade berskala internasional. Kesenjangan yang terlalu besar mau tidak mau akan berdampak pada kehidupan sosial ekonomi dan politik bangsa.
Pendidikan dan Budaya Politik
Kehidupan berbangsa dan bernegara tidak pernah bisa lepas dari kehidupan politik. Sebuah artikel dari Mochtar Buchori di harian Kompas, 17 Mei 2006 mempertanyakan: “Masih adakah yang dapat dilakukan oleh dunia pendidikan guna menjamin datangnya generasi politik yang lebih santun dan lebih bertanggung jawab di masa depan?” Menurut beliau, budaya politik berhubungan erat dengan pelaku politik, sementara perilaku pelaku politik sedikit banyak terpengaruh oleh pendidikan mereka. Untuk mencapai apa yang disebut dengan “pendidikan manusia Indonesia seutuhnya” maka perlu adanya penyelenggaraan pendidikan yang membimbing anak menjelajah enam wilayah makna yaitu simbolika, empirika, estetika, sinnoetika, etika dan sinoptis. Dengan ini diharapkan pendidikan bisa menghasilkan anak-anak muda yang mampu berpikir secara sistematik, mengenal dan memahami aneka persoalan empiris yang ada di masyarakatnya, memiliki rasa keindahan, memiliki kepekaan sosial, secara suka rela taat kepada norma-norma, dan mampu berpikir secara reflektif dan integratif.
Pendidikan yang baik akan mendasari pola pikir manusia di masa mendatang, sementara itu dengan pendidikan mungkin juga kesadaran berpolitik akan lebih terbentuk. Hal ini penting agar pada akhirnya pemuda tidak menjadi kuda tunggang politik yang hanya dijadikan tumbal dan terlupakan cita-citanya.
Pendidikan dan Persatuan Indonesia
Sekarang ini sekolah-sekolah berlomba-lomba menjanjikan berbagai keunggulan, diantaranya “character building”. Sebenarnya apakah perbedaan dari pendidikan karakter ini dari pendidikan etika dan agama? Menurut penulis pendidikan karakter seharusnya menjadi bagian dari pendidikan itu sendiri. Karakter seharusnya menjadi bagian dari keseluruhan pembelajaran yang terimplementasi dalam keseharian siswa.
Etika dan Agama merupakan koridor yang member jalan utama kepada pembentukan karakter ini. Hal ini seharusnya bukan menjadi hal yang baru lagi.
Yang mungkin penting untuk diingat adalah pendidikan dalam kesadaran berbangsa. Seperti yang dituliskan di awal artikel, kita menginginkan pembangunan manusia Indonesia yang seutuhnya. Inilah faktor utama dalam pembentukan karakter manusia Indonesia yang secara sadar akan senantiasa kembali untuk memajukan bangsa dan negaranya.
Bagaimana memberi nilai tambah dari kemanusiaan kita sebagai manusia Indonesia?.
Merupakan suatu tantangan bagi sekolah untuk menghadirkan pendidikan ini tanpa menambah beban menghafal bagi para murid yang pada akhirnya menjadi sumber keengganan bersekolah.
Keengganan bersekolah ini mengakibatkan gejala homeschooling semakin marak. Sementara itu keinginan untuk mengarah kepada kemampuan persaingan di era globalisasi membuat orang tua yang mampu dan masih memilih pendidikan di sekolah sebagai rekan dalam mendidik anak memilih sistem pendidikan internasional maupun homeschooling bagi anak. Tetapi perbedaan besar dalam biaya yang dikeluarkan mengakibatkan secara tidak langsung terjadi pengkotak-kotakan latar belakang ekonomi.
Walaupun dahulu saya bersekolah di sekolah swasta, saya memiliki teman-teman dengan berbagai macam latar belakang agama maupun kondisi ekonomi. Saya belajar empati melalui keberadaan teman-teman yang kurang mampu, sementara saya belajar memupuk kepercayaan diri berdasarkan kemampuan pribadi saya bila berhadapan dengan teman-teman yang secara finansial berasal dari keluarga yang jauh lebih mampu dari keluarga saya. Saya juga belajar menghargai agama teman-teman lain dari bergaulan bersama mereka.
Mungkin cakrawala pandangan saya masih agak terbatas, tetapi rasanya saya mulai merasakan kehilangan nilai-nilai ini dari pendidikan di sekolah saat ini. Demikian juga dengan homeschooling, walaupun anak bisa belajar dengan terjun langsung ke masyarakat dalam belajar berempati, tetap ada hal-hal kecil yang lebih mudah terserap dengan interaksi langsung di antara anak-anak.
Pergulatan untuk persaingan global sudah dimulai sejak usia dini anak-anak ini, tidak sedikit orang tua yang memaksakan pelajaran tambahan yang berifat akademis bagi anak-anaknya. Padahal nilai tambah dari kegiatan tambahan seperti olahraga, musik, pramuka, palang merah remaja, dan kegiatan organisasi seni dan kemasyarakatan lainnya sangat banyak memperkaya karakter dan kepribadian anak.
Dalam kegiatan tambahan seperti pada Pramuka atau Palang Merah Remaja, anak-anak dihadapkan pada berbagai kegiatan yang berdasarkan ilmu dengan aplikasi langsung. Kegiatan ini akan memperkaya anak baik dari segi intelektual, motorik, maupun komunikasi sosial. Hal ini amat berbeda dengan kegiatan bimbingan belajar atau kegiatan akademis lainnya yang cenderung hanya mengaktifkan kemampuan intelektual anak. Di samping itu anak juga dikenalkan pada kebanggaan berbangsa. Berkumpul bersama dalam perkemahan pramuka se-Nusantara akan membantu membuka cakrawala anak pada keadaan dan budaya dari daerah lain. Sementara berkumpul dengan para pramuka sedunia bisa membantu mereka memperluas cakrawala sebagai warga dunia.
Kegiatan-kegiatan bersifat sosial seperti ini tampaknya sangat berkurang apresiasinya saat ini. Mudah-mudahan kesadaran akan pentingnya hal ini bisa bertumbuh kita bisa mempersiapkan generasi muda yang tangguh dalam kemampuan intelektual maupun kemampuan sosial dan emosionalnya.
Saya berharap harapan akan kebangkitan nasional baru bukan sekedar penantian seperti dalam kisah teatrikal “Menanti Godot” dari Samuel Beckett. Semoga dunia pendidikan kita sanggup bangkit dan berdiri, berjalan maupun berlari menuju ke era teknologi maju yang serba cepat.
Friday, December 28, 2007
Muhammadiyah: Pendidikan Karakter Jadi Pijakan
Jakarta, Kompas - Pendidikan karakter, penumbuhan tradisi baca-tulis, serta penguasaan ilmu-ilmu murni menjadi tiga hal yang akan dikembangkan oleh Muhammadiyah dalam mengelola institusi pendidikannya.
"Karakter akan menentukan anak didik dalam bertingkah laku sementara membaca dan menulis akan membantu anak mampu menganalisa dan berpikir sistematis. Adapun penguasaan ilmu murni akan membantu anak didik menguasai teknologi," kata Yahya Muhaimin selaku Ketua Majelis Dikdasmen PP Muhammadiyah dalam Rakernas Majelis Dikdasmen PP Muhammadiyah di Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta, Jumat (2/6).
Menurut Yahya, anak pandai tapi pecundang tak akan banyak gunanya. Maka, sopan santun menjadi hal yang perlu ditekankan sejak dini. Model pendidikan yang dilakukan pun bukan mengekang, namun mengarahkan.
Hal itu terlihat pada hasil didik anak-anak di AS dan Jepang yang sopan-sopan dan beradab. Di AS, anak-anak SMP juga sudah membaca tulisan Hemingway dan Charles Dicken serta bacaan yang memperkaya jiwa lainnya. Sementara di Indonesia, minat bacanya masih sangat rendah. Padahal, kebiasaan membaca terkait dengan peradaban.
"Minimal dua minggu sekali anak-anak diminta membuat karangan, walaupun satu lembar tidak apa-apa. Sedangkan membaca ditarget seminggu berapa buku," kata Yahya.
Menurut mantan Mendiknas era pemerintahan Abdurrahman Wahid ini, kemajuan yang dicapai Indonesia tak akan mungkin berlangsung dalam jangka panjang bilamana bidang pendidikan tidak mampu menopangnya. Sejak dulu pemerintah tampak memberi perhatian pada bidang pendidikan, namun belum sebagai program nasional yang terpadu.
"Pemerintah terkesan sambil lalu dalam mengelola pendidikan, bahkan kadangkala menjadikannya sebagai komoditas politik," kata Yahya. (WSI)
Pengembangan Karakter
Sindo
Minggu, 09/12/2007
KARAKTER adalah titian ilmu pengetahuan (knowledge) dan keterampilan (skill). Pengetahuan tanpa landasan kepribadian yang benar akan menyesatkan dan keterampilan tanpa kesadaran diri akan menghancurkan.
Karena itu, karakter menjadi prasyarat dasar dan integral. Karakter itu akan membentuk motivasi, pada saat yang sama karakter dibentuk dengan metode dan proses yang bermartabat. Karena itu, karakter bukan sekadar penampilan lahiriah, melainkan secara implisit mengungkapkan hal-hal tersembunyi.
Itu sebabnya orang mendefinisikan karakter sebagai ”siapa Anda dalam kegelapan”( character is what you are in the dark). Jika pembentukan karakter yang sehat dan benar itu membutuhkan suatu proses, pantaslah kita bertanya bagaimana caranya?
Buku Pendidikan Karakter - Strategi Mendidik Anak di Zaman Global ini adalah jawabannya. Proses metodologis yang tertuang di dalamnya memancing setiap individu untuk bisa bertanya tentang siapa dirinya dan bagaimana seharusnya dia mengembangkan diri secara sehat dan wajar.
Buku ini oleh penulisnya, Doni Koesoema, dibagi dalam sembilan bab. Pada Bab I dijelaskan bahwa manusia sejatinya selalu berusaha menaklukkan keterbatasan dirinya melalui pendidikan. Dengan tindakannya mendidik, manusia mewariskan kepada generasi berikutnya nilai-nilai budaya yang berharga bagi perkembangan dan pertumbuhannya sebagai individu dan anggota masyarakat.
Pada bab ini penulis mengajak kita berselancar melewati lautan gagasan dan pemahaman tentang proses pembentukan dan penyempurnaan manusia dalam arus waktu,terutama aktivitasnya dalam mendidik manusia- manusia yang lain. Pada Bab II, penulis membahas secara khusus pemahaman tentang pendidikan.
Di situ penulis menegaskan bahwa pendidikan merupakan sebuah kegiatan manusia yang di dalamnya terdapat tindakan edukatif dan didaktis yang diperuntukkan bagi generasi yang sedang bertumbuh. Dalam kegiatan mendidik ini, manusia menghayati adanya tujuan-tujuan pendidikan.
Perbedaan sudut pandang, perbedaan konsepsi tentang manusia membuat penentuan tujuan pendidikan menjadi bermasalah atau paling tidak memunculkan beberapa persoalan.Tanpa gagasan tentang tujuan pendidikan,praksis pendidikan karakter akan kehilangan visi.
Agar tidak terjadi demikian, pada Bab III penulis membahas pemahaman dan persoalan seputar istilah karakter. Karakter merupakan struktur antropologis manusia. Di sanalah manusia menghayati kebebasannya dan mengatasi keterbatasan dirinya.
Karakter Subyektif
Dengan dua pemahaman dasar tentang pendidikan dan karakter pada bab yang terpisah, penulis selanjutnya mencoba membuat sintesis tentang konsep pendidikan karakter. Menurut Doni Koesoema, karakter lebih bersifat subjektif karena berkaitan dengan struktur antropologis manusia dalam memaknai kebebasan sehingga ia mengukuhkan keunikannya berhadapan dengan orang lain.
Secara singkat, pendidikan karakter bisa diartikan sebagai sebuah bantuan sosial agar individu itu dapat bertumbuh dalam menghayati kebebasannya dalam hidup bersama dengan orang lain dalam dunia. Pendidikan karakter bertujuan membentuk setiap pribadi menjadi insan yang berkeutamaan.
Karena itulah bergema kembali persoalan dasar yang telah lama menjadi pertanyaan Plato, ”Apakah keutamaan itu dapat diajarkan?” Untuk mengakhiri Bab IV, penulis memberikan panorama tentang urgensi pendidikan karakter,faktor-faktor yang menyebabkan pendidikan karakter mengalami kemunduran, dan tujuan pendidikan karakter.
Ada dua macam paradigma dalam pendidikan karakter. Yang pertama memandang pendidikan karakter dalam cakupan pemahaman moral yang sifatnya lebih sempit (narrow scope to moral education). Yang kedua melihat pendidikan karakter dari sudut pandang pemahaman isu-isu moral yang lebih luas, terutama melihat keseluruhan peristiwa dalam dunia pendidikan itu sendiri (educational happenings).
Integrasi atas kedua paradigma inilah yang melahirkan gagasan baru tentang pendidikan karakter sebagai pedagogi yang menyertakan tiga matra pertumbuhan manusia. Pendidikan sebagai pedagogi dibahas oleh penulis dalam Bab V.
Penjelasan lebih spesifik tentang dua macam paradigma pendidikan karakter sebagai sebuah pedagogi dibahas dalam BabVI danVII.Pada Bab VI penulis melihat pendidikan karakter dari sudut pandang pemahaman isu-isu moral yang lebih luas, terutama melihat keseluruhan peristiwa dalam dunia pendidikan itu sendiri (educational happenings). Momen pertama dalam pendidikan karakter di dalam lembaga pendidikan adalah penentuan visi dan misi lembaga pendidikan (hlm 162).
Bab VII menelaah pendidikan karakter dalam cakupan pemahaman moral yang sifatnya lebih sempit.Pendekatan pada bab ini lebih analitis sistematis (hlm 193). Setelah membuat klarifikasi pemahaman, buku ini juga ingin menawarkan sebuah pemaparan tentang nilai-nilai yang bisa dipakai dan dimanfaatkan dalam pembuatan program pendidikan karakter di sekolah.
Tentu, tidak akan lengkap kalau tidak membahas metode dan prinsip-prinsip dasar pendidikan karakter di sekolah. Dua gagasan ini menutup pembahasan dalam Bab VI tentang pendidikan karakter di sekolah.
Praksis Pendidikan Karakter
Mungkin kita bertanya, setelah analisis sistematis tentang pendidikan karakter di sekolah, di mana saja kita bisa menerapkan pendidikan karakter itu secara praktis di sekolah? Pada Bab VIII yang berjudul Locus educationis pendidikan karakter di sekolah, penulis memetakan momen-momen khusus yang terjadi dalam lingkup pergaulan di sekolah yang dapat menjadi tempat praksis pendidikan karakter itu dapat dilaksanakan.
Jika kita ingin agar program pendidikan karakter itu berjalan dengan baik dan efektif, kita mesti memiliki parameter untuk mengukur berhasil tidaknya sebuah program pendidikan karakter. Persoalan seputar penilaian pendidikan karakter inilah yang dibahas dalam Bab IX. Bagaimana menilai dan mengevaluasi hasil dari pendidikan karakter?
Dalam pendidikan karakter yang terutama dinilai adalah perilaku, bukan pemahaman. Inilah persoalan pertama yang muncul berkaitan dengan penilaian pendidikan karakter. Untuk menjawab persoalan ini, pada Bab IX dipaparkan siapa subjek yang menilai, kesulitan-kesulitan apa yang menjadi kendala,kriteria apa saja yang menjadi pedoman penilaian serta hakikat penilaian pendidikan karakter.
Pendidikan karakter, jika berhasil, dapat meningkatkan performa sekolah dan performa sekolah bisa meningkat jika ada pola kepemimpinan yang berjiwa pendidikan karakter di sekolah. Sebagaimana setiap pembahasan konseptual tentang sebuah ide,pembahasan yang tersaji dalam buku ini merupakan cercahan ide yang terbuka bagi pendalaman dan pemahaman lebih lanjut.
Apa yang kurang dalam pembahasan, antara lain, tantangan pendidikan karakter dalam mempersiapkan setiap individu menjadi warga negara sebuah masyarakat global, juga program praktis pendidikan karakter di sekolah tidak dibahas secara lebih detail karena pemikiran dan pembuatan program pendidikan karakter di sekolah menurut penulis membutuhkan pemahaman mendalam tentang latar belakang historis sekolah, visi dan misi, kultur yang melingkupi, sumber daya manusiawi yang dipunyai serta kelengkapan sarana-sarana komunikasi sebagaimana dapat diakses secara berbeda oleh tiap sekolah.
Untuk itu, masih banyak tugas yang mesti dilakukan oleh sekolah,para pendidik,dan masyarakat pada umumnya yang berminat dan memberikan perhatian besar pada perkembangan pendidikan di Indonesia.(*)
Sixtus Tanje Wakil Kepala Sekolah Bidang Kurikulum di SMP St Kristoforus II,Jakbar
Minggu, 09/12/2007
KARAKTER adalah titian ilmu pengetahuan (knowledge) dan keterampilan (skill). Pengetahuan tanpa landasan kepribadian yang benar akan menyesatkan dan keterampilan tanpa kesadaran diri akan menghancurkan.
Karena itu, karakter menjadi prasyarat dasar dan integral. Karakter itu akan membentuk motivasi, pada saat yang sama karakter dibentuk dengan metode dan proses yang bermartabat. Karena itu, karakter bukan sekadar penampilan lahiriah, melainkan secara implisit mengungkapkan hal-hal tersembunyi.
Itu sebabnya orang mendefinisikan karakter sebagai ”siapa Anda dalam kegelapan”( character is what you are in the dark). Jika pembentukan karakter yang sehat dan benar itu membutuhkan suatu proses, pantaslah kita bertanya bagaimana caranya?
Buku Pendidikan Karakter - Strategi Mendidik Anak di Zaman Global ini adalah jawabannya. Proses metodologis yang tertuang di dalamnya memancing setiap individu untuk bisa bertanya tentang siapa dirinya dan bagaimana seharusnya dia mengembangkan diri secara sehat dan wajar.
Buku ini oleh penulisnya, Doni Koesoema, dibagi dalam sembilan bab. Pada Bab I dijelaskan bahwa manusia sejatinya selalu berusaha menaklukkan keterbatasan dirinya melalui pendidikan. Dengan tindakannya mendidik, manusia mewariskan kepada generasi berikutnya nilai-nilai budaya yang berharga bagi perkembangan dan pertumbuhannya sebagai individu dan anggota masyarakat.
Pada bab ini penulis mengajak kita berselancar melewati lautan gagasan dan pemahaman tentang proses pembentukan dan penyempurnaan manusia dalam arus waktu,terutama aktivitasnya dalam mendidik manusia- manusia yang lain. Pada Bab II, penulis membahas secara khusus pemahaman tentang pendidikan.
Di situ penulis menegaskan bahwa pendidikan merupakan sebuah kegiatan manusia yang di dalamnya terdapat tindakan edukatif dan didaktis yang diperuntukkan bagi generasi yang sedang bertumbuh. Dalam kegiatan mendidik ini, manusia menghayati adanya tujuan-tujuan pendidikan.
Perbedaan sudut pandang, perbedaan konsepsi tentang manusia membuat penentuan tujuan pendidikan menjadi bermasalah atau paling tidak memunculkan beberapa persoalan.Tanpa gagasan tentang tujuan pendidikan,praksis pendidikan karakter akan kehilangan visi.
Agar tidak terjadi demikian, pada Bab III penulis membahas pemahaman dan persoalan seputar istilah karakter. Karakter merupakan struktur antropologis manusia. Di sanalah manusia menghayati kebebasannya dan mengatasi keterbatasan dirinya.
Karakter Subyektif
Dengan dua pemahaman dasar tentang pendidikan dan karakter pada bab yang terpisah, penulis selanjutnya mencoba membuat sintesis tentang konsep pendidikan karakter. Menurut Doni Koesoema, karakter lebih bersifat subjektif karena berkaitan dengan struktur antropologis manusia dalam memaknai kebebasan sehingga ia mengukuhkan keunikannya berhadapan dengan orang lain.
Secara singkat, pendidikan karakter bisa diartikan sebagai sebuah bantuan sosial agar individu itu dapat bertumbuh dalam menghayati kebebasannya dalam hidup bersama dengan orang lain dalam dunia. Pendidikan karakter bertujuan membentuk setiap pribadi menjadi insan yang berkeutamaan.
Karena itulah bergema kembali persoalan dasar yang telah lama menjadi pertanyaan Plato, ”Apakah keutamaan itu dapat diajarkan?” Untuk mengakhiri Bab IV, penulis memberikan panorama tentang urgensi pendidikan karakter,faktor-faktor yang menyebabkan pendidikan karakter mengalami kemunduran, dan tujuan pendidikan karakter.
Ada dua macam paradigma dalam pendidikan karakter. Yang pertama memandang pendidikan karakter dalam cakupan pemahaman moral yang sifatnya lebih sempit (narrow scope to moral education). Yang kedua melihat pendidikan karakter dari sudut pandang pemahaman isu-isu moral yang lebih luas, terutama melihat keseluruhan peristiwa dalam dunia pendidikan itu sendiri (educational happenings).
Integrasi atas kedua paradigma inilah yang melahirkan gagasan baru tentang pendidikan karakter sebagai pedagogi yang menyertakan tiga matra pertumbuhan manusia. Pendidikan sebagai pedagogi dibahas oleh penulis dalam Bab V.
Penjelasan lebih spesifik tentang dua macam paradigma pendidikan karakter sebagai sebuah pedagogi dibahas dalam BabVI danVII.Pada Bab VI penulis melihat pendidikan karakter dari sudut pandang pemahaman isu-isu moral yang lebih luas, terutama melihat keseluruhan peristiwa dalam dunia pendidikan itu sendiri (educational happenings). Momen pertama dalam pendidikan karakter di dalam lembaga pendidikan adalah penentuan visi dan misi lembaga pendidikan (hlm 162).
Bab VII menelaah pendidikan karakter dalam cakupan pemahaman moral yang sifatnya lebih sempit.Pendekatan pada bab ini lebih analitis sistematis (hlm 193). Setelah membuat klarifikasi pemahaman, buku ini juga ingin menawarkan sebuah pemaparan tentang nilai-nilai yang bisa dipakai dan dimanfaatkan dalam pembuatan program pendidikan karakter di sekolah.
Tentu, tidak akan lengkap kalau tidak membahas metode dan prinsip-prinsip dasar pendidikan karakter di sekolah. Dua gagasan ini menutup pembahasan dalam Bab VI tentang pendidikan karakter di sekolah.
Praksis Pendidikan Karakter
Mungkin kita bertanya, setelah analisis sistematis tentang pendidikan karakter di sekolah, di mana saja kita bisa menerapkan pendidikan karakter itu secara praktis di sekolah? Pada Bab VIII yang berjudul Locus educationis pendidikan karakter di sekolah, penulis memetakan momen-momen khusus yang terjadi dalam lingkup pergaulan di sekolah yang dapat menjadi tempat praksis pendidikan karakter itu dapat dilaksanakan.
Jika kita ingin agar program pendidikan karakter itu berjalan dengan baik dan efektif, kita mesti memiliki parameter untuk mengukur berhasil tidaknya sebuah program pendidikan karakter. Persoalan seputar penilaian pendidikan karakter inilah yang dibahas dalam Bab IX. Bagaimana menilai dan mengevaluasi hasil dari pendidikan karakter?
Dalam pendidikan karakter yang terutama dinilai adalah perilaku, bukan pemahaman. Inilah persoalan pertama yang muncul berkaitan dengan penilaian pendidikan karakter. Untuk menjawab persoalan ini, pada Bab IX dipaparkan siapa subjek yang menilai, kesulitan-kesulitan apa yang menjadi kendala,kriteria apa saja yang menjadi pedoman penilaian serta hakikat penilaian pendidikan karakter.
Pendidikan karakter, jika berhasil, dapat meningkatkan performa sekolah dan performa sekolah bisa meningkat jika ada pola kepemimpinan yang berjiwa pendidikan karakter di sekolah. Sebagaimana setiap pembahasan konseptual tentang sebuah ide,pembahasan yang tersaji dalam buku ini merupakan cercahan ide yang terbuka bagi pendalaman dan pemahaman lebih lanjut.
Apa yang kurang dalam pembahasan, antara lain, tantangan pendidikan karakter dalam mempersiapkan setiap individu menjadi warga negara sebuah masyarakat global, juga program praktis pendidikan karakter di sekolah tidak dibahas secara lebih detail karena pemikiran dan pembuatan program pendidikan karakter di sekolah menurut penulis membutuhkan pemahaman mendalam tentang latar belakang historis sekolah, visi dan misi, kultur yang melingkupi, sumber daya manusiawi yang dipunyai serta kelengkapan sarana-sarana komunikasi sebagaimana dapat diakses secara berbeda oleh tiap sekolah.
Untuk itu, masih banyak tugas yang mesti dilakukan oleh sekolah,para pendidik,dan masyarakat pada umumnya yang berminat dan memberikan perhatian besar pada perkembangan pendidikan di Indonesia.(*)
Sixtus Tanje Wakil Kepala Sekolah Bidang Kurikulum di SMP St Kristoforus II,Jakbar
Wednesday, December 26, 2007
Pendidikan Karakter (Bagian 2)
By Healthy Wealthy on November 20th, 2007
Tulisannya disingkat aja ya, aku ambil yang penting-penting aja (at least according to my opinion).
Delapan Karakter Utama dalam Pendidikan Karakter:
1. Courage: Keberanian / Keteguhan Hati
Memiliki keinginan untuk berbuat yang benar meskipun yang lain tidak. Memiliki keberanian untuk mengikuti kesadaran / kebenaran dibandingkan mengikuti kebanyakan orang lain. Memilih hal-hal yang baik bila memang lebih bermanfaat.
2. Good Judgement: Pertimbangan yang Baik
Memilih tujuan hidup yang baik dan membuat prioritas yang sesuai, berfikir sampai pada konsekuensi dari setiap aksi, dan memutuskan berdasar pada kebijaksanaan dan pendirian yang baik.
3. Integrity: Integritas
Memiliki kekuatan dalam (inner strength) untuk jujur, dapat dipercaya, dan berkata benar dalam segala hal. Bersikap adil dan terhormat.
4. Kindness: Kebaikan hati
Perhatian, sopan, membantu, dan memahami orang lain; memperlihatkan perhatian, rasa kasihan, berkawan, dan dermawan, dan memperlakukan orang lain seperti halnya anda ingin diperlakukan.
5. Perseverance: Ketekunan
Tekun mengejar tujuan hidup meskipun dihalangi kesulitan, perlawanan, atau keputusasaan. Memperlihatkan kesabaran dan keinginan untuk mencoba lagi meskipun ada keterlambatan, kesalahan, atau kegagalan.
6. Respect: Penghargaan
Memperlihatkan penghargaan pada wewenang, pada orang lain, pada diri sendiri, untuk barang hak milik, dan untuk Negara. Dan memahami bahwa semua orang memiliki nilai sebagai manusia.
7. Responsibility: Tanggung Jawab
Bebas dalam menjalankan kewajiban dan tugas, menunjukkan dapat diandalkan dan konsisten dalam perkataan dan perbuatan, dapat dipercaya dalam setiap kegiatan, dan komitmen untuk aktif terlibat di lingkungan.
8. Self-Discipline: Disiplin Diri
Memperlihatkan kerja keras dan komitmen pada tujuan, mengatur diri untuk perbaikan diri dan juga menghindari perilaku tidak baik, dapat mengendalikan kata-kata, aksi, reaksi, dan juga keinginan. Menghindari seks di luar nikah, narkoba, alcohol, rokok, zat dan perilaku berbahaya lainnya. Melakukan yang terbaik dalam segala hal.
Nah, disambung lagi lain kali ya. Cape juga ternyata menterjemahkan. Mudah-mudahan jadi amal baik. Aamiin.
Tulisannya disingkat aja ya, aku ambil yang penting-penting aja (at least according to my opinion).
Delapan Karakter Utama dalam Pendidikan Karakter:
1. Courage: Keberanian / Keteguhan Hati
Memiliki keinginan untuk berbuat yang benar meskipun yang lain tidak. Memiliki keberanian untuk mengikuti kesadaran / kebenaran dibandingkan mengikuti kebanyakan orang lain. Memilih hal-hal yang baik bila memang lebih bermanfaat.
2. Good Judgement: Pertimbangan yang Baik
Memilih tujuan hidup yang baik dan membuat prioritas yang sesuai, berfikir sampai pada konsekuensi dari setiap aksi, dan memutuskan berdasar pada kebijaksanaan dan pendirian yang baik.
3. Integrity: Integritas
Memiliki kekuatan dalam (inner strength) untuk jujur, dapat dipercaya, dan berkata benar dalam segala hal. Bersikap adil dan terhormat.
4. Kindness: Kebaikan hati
Perhatian, sopan, membantu, dan memahami orang lain; memperlihatkan perhatian, rasa kasihan, berkawan, dan dermawan, dan memperlakukan orang lain seperti halnya anda ingin diperlakukan.
5. Perseverance: Ketekunan
Tekun mengejar tujuan hidup meskipun dihalangi kesulitan, perlawanan, atau keputusasaan. Memperlihatkan kesabaran dan keinginan untuk mencoba lagi meskipun ada keterlambatan, kesalahan, atau kegagalan.
6. Respect: Penghargaan
Memperlihatkan penghargaan pada wewenang, pada orang lain, pada diri sendiri, untuk barang hak milik, dan untuk Negara. Dan memahami bahwa semua orang memiliki nilai sebagai manusia.
7. Responsibility: Tanggung Jawab
Bebas dalam menjalankan kewajiban dan tugas, menunjukkan dapat diandalkan dan konsisten dalam perkataan dan perbuatan, dapat dipercaya dalam setiap kegiatan, dan komitmen untuk aktif terlibat di lingkungan.
8. Self-Discipline: Disiplin Diri
Memperlihatkan kerja keras dan komitmen pada tujuan, mengatur diri untuk perbaikan diri dan juga menghindari perilaku tidak baik, dapat mengendalikan kata-kata, aksi, reaksi, dan juga keinginan. Menghindari seks di luar nikah, narkoba, alcohol, rokok, zat dan perilaku berbahaya lainnya. Melakukan yang terbaik dalam segala hal.
Nah, disambung lagi lain kali ya. Cape juga ternyata menterjemahkan. Mudah-mudahan jadi amal baik. Aamiin.
Tuesday, December 25, 2007
Pendidikan Karakter (Bagian 1)
November 19th, 2007
Beberapa waktu yang lalu, lewat milis dan pembicaraan dengan orang-orang dekatku ada suatu fenomena yang aneh. Ceritanya ada seorang dosen asal Indonesia yang sengaja mencari pekerjaan di Malaysia sini untuk menghindarkan anaknya dari pengaruh negatif sekolah di Indonesia. Sedangkan ada juga orang Malaysia sini, yang ingin sekali anaknya sekolah di Indonesia supaya anaknya terhindar dari pengaruh negatif sekolah di Malaysia. Jadi mana yang benar nih?
Coba kita lihat satu-satu. Dosen asal Indonesia itu merasa takut melihat pergaulan anak di sekolah Indonesia yang makin liar. Hal-hal seperti narkoba, pergaulan bebas, dan perilaku negatif lainnya membuat dirinya merasa harus mengeluarkan anaknya dari Indonesia. Maklumlah, beliau sebelum ini tinggal di Jakarta, ibukotanya Indonesia. Sekarang beliau menyekolahkan anaknya di sekolah internasional di ibukota salah satu propinsi di Malaysia (di sini disebut negeri).
Sedangkan orang Malaysia yang ingin sekali menyekolahkan anaknya di Indonesia adalah orang yang dulu pernah belajar atau kuliah di Indonesia. Salah satunya pernah belajar di fakultas kedokteran unpad. Pada waktu sekolah dulu, dia berinteraksi dengan para pejuang (maksudnya aktivis) yang menurut dia, jauh lebih pintar dari dia. Tapi para pejuang ini harus mencari sendiri keperluan untuk sekolah mereka, dibandingkan dia yang hidup enak karena dibiayai oleh pemerintah Malaysia. Soalnya, tau sendiri kan di Indonesia ngga banyak yang beruntung memiliki ortu yang sanggup membiayai sekolah atau dapat meraih beasiswa.
Orang yang lain, merasa sekolah di Malaysia sini menghalangi perkembangan kemampuan sosial. Sekolah dibiayai sangat murah, sehingga mungkin dirasa bukanlah sesuatu yang berharga. Ngga perlu kerja keras, semua bisa sekolah. Bayangkan dengan hanya membayar 120 ringgit (mungkin sekitar 300ribu rupiah) sudah dapat bersekolah selama setahun lengkap dengan buku-buku pelajarannya. Cuma itu aja untuk daftar sekolah di sini. Selain itu untuk murid-murid yang berprestasi, sekolah sudah diasramakan. Mungkin inilah yang membuat kurangnya semangat berjuang dan bersosialisasi.
Pikir-punya pikir, kayaknya hal ini berhubungan erat dengan pendidikan karakter. Bagaimana ya caranya mendidik karakter anak-anak menjadi pejantan pejuang tangguh agar mereka dapat menjalani hidup mereka dengan baik? Regardless bagaimanapun keadaan lingkungan mereka yang penuh dengan tantangan dan resiko mereka bisa hidup dengan baik dan malah mungkin membawa kebaikan bagi lingkungannya.
Cuma pendidikan karakter bukanlah menjadi menu utama pendidikan di kebanyakan sekolah. Umumnya kan ke arah IQ gitu lah. Bukan EQ atau Q Q yang lainnya. Sudah ada sih sekolah yang menyediakan pendidikan karakter, tapi biasanya berharga mahal dan ngga ngikutin sistem. Dan yang ngga ngikuti sistem ya biasanya jadi terpinggirkan. Misalnya saja ada kawan yang menyekolahkan anaknya di School of Universe. Di sana dibina karakter pejuang berbasis entrepreneurship. Tapi ketika ujian, harus ikutan ujian persamaan paket B. Mengenaskan memang, tapi ya begitulah resiko para pejuang.
Setelah browsing, cura-cari ke sana ke mari, aku menemukan dua buah file pdf tentang pendidikan karakter. Pinginnya sih aku menterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, supaya lebih mudah dimengerti oleh aku sendiri maupun oleh istriku. Yah, aku coba jadikan proyek kecil-kecilan deh untuk menterjemahkannya. Mungkin secara teratur akan aku upload ke blog kecilku ini. Mudah-mudahan spacenya masih cukup. Kalo ngga cukup kayaknya harus pindah hosting nih ke yang ngasih space lebih besar hehehe. Oh iya, aslinya berjudul “Character Education: Informational Handbook & Guide” Public Schools of North Carolina yang didapat dari sini.
Oke deh aku mulai:
Mendefinisikan dan Memahami Pendidikan Karakter
Apakah Pendidikan Karakter Itu?
Pendidikan karakter adalah gerakan nasional untuk menciptakan sekolah yang membina generasi muda yang beretika, bertanggung jawab, dan perduli melalui pemodelan dan mengajarkan karakter baik dengan penekanan pada nilai universal yang kita setujui bersama. Ini adalah suatu usaha yang disengaja dan proaktif baik dari sekolah, daerah, dan juga negara untuk menanamkan siswanya pada nilai etika utama seperti menghargai diri sendiri dan orang lain, bertanggung jawab, integritas, dan disiplin diri. Ini bukanlah suatu “perbaikan cepat” atau “obat kilat untuk semua”. Dia menyediakan solusi jangka panjang pada moral, etika, dan isu akademis yang menjadi keprihatinan yang berkembang di masyarakat dan keselamatan di sekolah-sekolah kita. Pendidikan karakter boleh ditujukan pada keprihatinan kritis seperti siswa yang membolos, masalah disiplin, penggunaan obat terlarang, kekerasan berkelompok, hamil muda, dan performa akademis yang buruk. Pada kemungkinan yang terbaik, pendidikan karakter mengintegrasikan nilai positif ke setiap aspek dari hari-hari di sekolah.
Pendidikan karakter ..
Beberapa waktu yang lalu, lewat milis dan pembicaraan dengan orang-orang dekatku ada suatu fenomena yang aneh. Ceritanya ada seorang dosen asal Indonesia yang sengaja mencari pekerjaan di Malaysia sini untuk menghindarkan anaknya dari pengaruh negatif sekolah di Indonesia. Sedangkan ada juga orang Malaysia sini, yang ingin sekali anaknya sekolah di Indonesia supaya anaknya terhindar dari pengaruh negatif sekolah di Malaysia. Jadi mana yang benar nih?
Coba kita lihat satu-satu. Dosen asal Indonesia itu merasa takut melihat pergaulan anak di sekolah Indonesia yang makin liar. Hal-hal seperti narkoba, pergaulan bebas, dan perilaku negatif lainnya membuat dirinya merasa harus mengeluarkan anaknya dari Indonesia. Maklumlah, beliau sebelum ini tinggal di Jakarta, ibukotanya Indonesia. Sekarang beliau menyekolahkan anaknya di sekolah internasional di ibukota salah satu propinsi di Malaysia (di sini disebut negeri).
Sedangkan orang Malaysia yang ingin sekali menyekolahkan anaknya di Indonesia adalah orang yang dulu pernah belajar atau kuliah di Indonesia. Salah satunya pernah belajar di fakultas kedokteran unpad. Pada waktu sekolah dulu, dia berinteraksi dengan para pejuang (maksudnya aktivis) yang menurut dia, jauh lebih pintar dari dia. Tapi para pejuang ini harus mencari sendiri keperluan untuk sekolah mereka, dibandingkan dia yang hidup enak karena dibiayai oleh pemerintah Malaysia. Soalnya, tau sendiri kan di Indonesia ngga banyak yang beruntung memiliki ortu yang sanggup membiayai sekolah atau dapat meraih beasiswa.
Orang yang lain, merasa sekolah di Malaysia sini menghalangi perkembangan kemampuan sosial. Sekolah dibiayai sangat murah, sehingga mungkin dirasa bukanlah sesuatu yang berharga. Ngga perlu kerja keras, semua bisa sekolah. Bayangkan dengan hanya membayar 120 ringgit (mungkin sekitar 300ribu rupiah) sudah dapat bersekolah selama setahun lengkap dengan buku-buku pelajarannya. Cuma itu aja untuk daftar sekolah di sini. Selain itu untuk murid-murid yang berprestasi, sekolah sudah diasramakan. Mungkin inilah yang membuat kurangnya semangat berjuang dan bersosialisasi.
Pikir-punya pikir, kayaknya hal ini berhubungan erat dengan pendidikan karakter. Bagaimana ya caranya mendidik karakter anak-anak menjadi pejantan pejuang tangguh agar mereka dapat menjalani hidup mereka dengan baik? Regardless bagaimanapun keadaan lingkungan mereka yang penuh dengan tantangan dan resiko mereka bisa hidup dengan baik dan malah mungkin membawa kebaikan bagi lingkungannya.
Cuma pendidikan karakter bukanlah menjadi menu utama pendidikan di kebanyakan sekolah. Umumnya kan ke arah IQ gitu lah. Bukan EQ atau Q Q yang lainnya. Sudah ada sih sekolah yang menyediakan pendidikan karakter, tapi biasanya berharga mahal dan ngga ngikutin sistem. Dan yang ngga ngikuti sistem ya biasanya jadi terpinggirkan. Misalnya saja ada kawan yang menyekolahkan anaknya di School of Universe. Di sana dibina karakter pejuang berbasis entrepreneurship. Tapi ketika ujian, harus ikutan ujian persamaan paket B. Mengenaskan memang, tapi ya begitulah resiko para pejuang.
Setelah browsing, cura-cari ke sana ke mari, aku menemukan dua buah file pdf tentang pendidikan karakter. Pinginnya sih aku menterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, supaya lebih mudah dimengerti oleh aku sendiri maupun oleh istriku. Yah, aku coba jadikan proyek kecil-kecilan deh untuk menterjemahkannya. Mungkin secara teratur akan aku upload ke blog kecilku ini. Mudah-mudahan spacenya masih cukup. Kalo ngga cukup kayaknya harus pindah hosting nih ke yang ngasih space lebih besar hehehe. Oh iya, aslinya berjudul “Character Education: Informational Handbook & Guide” Public Schools of North Carolina yang didapat dari sini.
Oke deh aku mulai:
Mendefinisikan dan Memahami Pendidikan Karakter
Apakah Pendidikan Karakter Itu?
Pendidikan karakter adalah gerakan nasional untuk menciptakan sekolah yang membina generasi muda yang beretika, bertanggung jawab, dan perduli melalui pemodelan dan mengajarkan karakter baik dengan penekanan pada nilai universal yang kita setujui bersama. Ini adalah suatu usaha yang disengaja dan proaktif baik dari sekolah, daerah, dan juga negara untuk menanamkan siswanya pada nilai etika utama seperti menghargai diri sendiri dan orang lain, bertanggung jawab, integritas, dan disiplin diri. Ini bukanlah suatu “perbaikan cepat” atau “obat kilat untuk semua”. Dia menyediakan solusi jangka panjang pada moral, etika, dan isu akademis yang menjadi keprihatinan yang berkembang di masyarakat dan keselamatan di sekolah-sekolah kita. Pendidikan karakter boleh ditujukan pada keprihatinan kritis seperti siswa yang membolos, masalah disiplin, penggunaan obat terlarang, kekerasan berkelompok, hamil muda, dan performa akademis yang buruk. Pada kemungkinan yang terbaik, pendidikan karakter mengintegrasikan nilai positif ke setiap aspek dari hari-hari di sekolah.
Pendidikan karakter ..
- diajarkan melalu pemodelan, suasana, dan kurikulum
- datang dari rumah, komunitas, dan sekolah
- adalah jalan proaktif mengadaptasi dan menggunakan materi pendidikan yang sudah ada untuk meningkatkan pemahaman dan menginspirasi pengembangan ciri karakter yang baik di semua siswa di setiap bagian pengalaman belajar mereka
- adalah belajar untuk membuat pilihan dan keputusan yang baik
- adalah belajar tentang hubungan positif dan pengembangannya berdasarkan perkembangan dan kedalaman karakter kita
- adalah didasari hubungan dan budaya sekolah
- adalah proses, bukan hanya program
yang terbaik adalah, perubahan (reformasi) sekolah - adalah didasari oleh riset, teori, dan yang lebih penting lagi adalah keterlibatan guru dan siswa
- adalah mengeluarkan yang terbaik dari kita semua, guru dan siswa.
Sementara udah dulu segini ya, nanti di sambung lagi. Kalau ada yang mau bantuin, silahkan email ke karakter@schoolofuniverse.com untuk kerja sama penterjemahannya. Cape juga euy kalo ngerjain sendiri. Makasih, ditunggu juga komentarnya.
Subscribe to:
Posts (Atom)