Selasa, 22-05-2007 08:14:52 oleh: Retty N. Hakim Kanal: Opini
Judul ini terinspirasi oleh artikel Hendriko L. Wiremmer di Info Serpong edisi Mei 2007. Ia menulis sebuah artikel dengan judul “Generasi Muda” dan sub judul “Suka atau tidak pergantian pemegang tongkat estafet generasi tidak bisa dihindari”.
Apa yang dituliskannya sedikit banyak menggambarkan apa yang ada di pikiran saya ketika saya menjanjikan teman-teman di milis untuk menulis tentang pendidikan dalam rangka merayakan kebangkitan nasional. Di tangan generasi penerus inilah kita mengharapkan kebangkitan nasional baru, kebangkitan yang akan terus diperbaharui sesuai dengan zamannya.
Tugas pendidikan anak bangsa yang akan meneruskan tongkat estafet pembangunan ini amat penting. Tugas untuk mengajarkan calon generasi penerus untuk sungguh-sungguh mencintai Indonesia sekaligus sungguh-sungguh siap menghadapi tantangan persaingan di dunia global.
Pada masa mendatang dunia mungkin tidak akan terasa lagi perbatasannya, sans frontrier, era internet dan multi media sudah mengubah banyak paradigma.
Saat ini sekolah-sekolah berkurikulum internasional menjamur, pelajaran bahasa Inggris, Mandarin maupun Arab seakan menjadi hal pokok sejak dari sekolah dasar (maaf, ini terutama berlaku untuk sekolah swasta). Tapi di balik kemajuan berpikir yang memungkinkannya maju setara dengan rekan-rekannya dari luar negeri, adakah kecintaan kepada negeri ini yang akan senantiasa memanggilnya untuk memajukan negeri? Bekerja demi kemajuan orang banyak, bukan untuk kepentingan kantong sendiri maupun nama pribadi?!
Kebangkitan nasional sendiri berawal dari sejumlah priyayi Jawa terdidik dari STOVIA yang bergerak dan mulai memikirkan paham kebangsaan walaupun dalam skala kedaerahan yaitu Jawa. Tapi dari sini kita perlu menyadari pentingnya arti pendidikan dalam membuka wawasan berbangsa dan bertanah air. Seperti yang dikutip Wiremmer dari Ketua Kwarnas Gerakan Pramuka Azrul Azwar, piramida pendidikan kita amat menyedihkan, anak-anak muda yang penganggur akhirnya bias terjebak pada kriminalitas dan narkotika. Menurut data yang diketahui Wiremmer, sekitar dua juta generasi muda Indonesia memakai obat-obatan terlarang.
Biaya pendidikan semakin melambung, sementara tenaga kerja terdidik yang mampu dan mau menjadi tenaga pengajar tidak banyak. Hal ini mengakibatkan adanya satu juta anak usia SD yang belum memiliki sekolah maupun guru tetap. Masih ada lagi 2,7 juta anak usia SMP yang sama sekali tidak mempunyai sekolah atau guru (Anggaran Pendidikan dan Prinsip Legal, Rusli Yunus, Kompas, 14 Januari 2006). Wiremmer mengutip indeks pembangunan manusia Indonesia berdasarkan data dari Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), di mana Indonesia berada pada urutan ke 110 dari 173 negara di dunia. Indeks yang cukup memprihatinkan sementara kita memiliki juara-juara olimpiade berskala internasional. Kesenjangan yang terlalu besar mau tidak mau akan berdampak pada kehidupan sosial ekonomi dan politik bangsa.
Pendidikan dan Budaya Politik
Kehidupan berbangsa dan bernegara tidak pernah bisa lepas dari kehidupan politik. Sebuah artikel dari Mochtar Buchori di harian Kompas, 17 Mei 2006 mempertanyakan: “Masih adakah yang dapat dilakukan oleh dunia pendidikan guna menjamin datangnya generasi politik yang lebih santun dan lebih bertanggung jawab di masa depan?” Menurut beliau, budaya politik berhubungan erat dengan pelaku politik, sementara perilaku pelaku politik sedikit banyak terpengaruh oleh pendidikan mereka. Untuk mencapai apa yang disebut dengan “pendidikan manusia Indonesia seutuhnya” maka perlu adanya penyelenggaraan pendidikan yang membimbing anak menjelajah enam wilayah makna yaitu simbolika, empirika, estetika, sinnoetika, etika dan sinoptis. Dengan ini diharapkan pendidikan bisa menghasilkan anak-anak muda yang mampu berpikir secara sistematik, mengenal dan memahami aneka persoalan empiris yang ada di masyarakatnya, memiliki rasa keindahan, memiliki kepekaan sosial, secara suka rela taat kepada norma-norma, dan mampu berpikir secara reflektif dan integratif.
Pendidikan yang baik akan mendasari pola pikir manusia di masa mendatang, sementara itu dengan pendidikan mungkin juga kesadaran berpolitik akan lebih terbentuk. Hal ini penting agar pada akhirnya pemuda tidak menjadi kuda tunggang politik yang hanya dijadikan tumbal dan terlupakan cita-citanya.
Pendidikan dan Persatuan Indonesia
Sekarang ini sekolah-sekolah berlomba-lomba menjanjikan berbagai keunggulan, diantaranya “character building”. Sebenarnya apakah perbedaan dari pendidikan karakter ini dari pendidikan etika dan agama? Menurut penulis pendidikan karakter seharusnya menjadi bagian dari pendidikan itu sendiri. Karakter seharusnya menjadi bagian dari keseluruhan pembelajaran yang terimplementasi dalam keseharian siswa.
Etika dan Agama merupakan koridor yang member jalan utama kepada pembentukan karakter ini. Hal ini seharusnya bukan menjadi hal yang baru lagi.
Yang mungkin penting untuk diingat adalah pendidikan dalam kesadaran berbangsa. Seperti yang dituliskan di awal artikel, kita menginginkan pembangunan manusia Indonesia yang seutuhnya. Inilah faktor utama dalam pembentukan karakter manusia Indonesia yang secara sadar akan senantiasa kembali untuk memajukan bangsa dan negaranya.
Bagaimana memberi nilai tambah dari kemanusiaan kita sebagai manusia Indonesia?.
Merupakan suatu tantangan bagi sekolah untuk menghadirkan pendidikan ini tanpa menambah beban menghafal bagi para murid yang pada akhirnya menjadi sumber keengganan bersekolah.
Keengganan bersekolah ini mengakibatkan gejala homeschooling semakin marak. Sementara itu keinginan untuk mengarah kepada kemampuan persaingan di era globalisasi membuat orang tua yang mampu dan masih memilih pendidikan di sekolah sebagai rekan dalam mendidik anak memilih sistem pendidikan internasional maupun homeschooling bagi anak. Tetapi perbedaan besar dalam biaya yang dikeluarkan mengakibatkan secara tidak langsung terjadi pengkotak-kotakan latar belakang ekonomi.
Walaupun dahulu saya bersekolah di sekolah swasta, saya memiliki teman-teman dengan berbagai macam latar belakang agama maupun kondisi ekonomi. Saya belajar empati melalui keberadaan teman-teman yang kurang mampu, sementara saya belajar memupuk kepercayaan diri berdasarkan kemampuan pribadi saya bila berhadapan dengan teman-teman yang secara finansial berasal dari keluarga yang jauh lebih mampu dari keluarga saya. Saya juga belajar menghargai agama teman-teman lain dari bergaulan bersama mereka.
Mungkin cakrawala pandangan saya masih agak terbatas, tetapi rasanya saya mulai merasakan kehilangan nilai-nilai ini dari pendidikan di sekolah saat ini. Demikian juga dengan homeschooling, walaupun anak bisa belajar dengan terjun langsung ke masyarakat dalam belajar berempati, tetap ada hal-hal kecil yang lebih mudah terserap dengan interaksi langsung di antara anak-anak.
Pergulatan untuk persaingan global sudah dimulai sejak usia dini anak-anak ini, tidak sedikit orang tua yang memaksakan pelajaran tambahan yang berifat akademis bagi anak-anaknya. Padahal nilai tambah dari kegiatan tambahan seperti olahraga, musik, pramuka, palang merah remaja, dan kegiatan organisasi seni dan kemasyarakatan lainnya sangat banyak memperkaya karakter dan kepribadian anak.
Dalam kegiatan tambahan seperti pada Pramuka atau Palang Merah Remaja, anak-anak dihadapkan pada berbagai kegiatan yang berdasarkan ilmu dengan aplikasi langsung. Kegiatan ini akan memperkaya anak baik dari segi intelektual, motorik, maupun komunikasi sosial. Hal ini amat berbeda dengan kegiatan bimbingan belajar atau kegiatan akademis lainnya yang cenderung hanya mengaktifkan kemampuan intelektual anak. Di samping itu anak juga dikenalkan pada kebanggaan berbangsa. Berkumpul bersama dalam perkemahan pramuka se-Nusantara akan membantu membuka cakrawala anak pada keadaan dan budaya dari daerah lain. Sementara berkumpul dengan para pramuka sedunia bisa membantu mereka memperluas cakrawala sebagai warga dunia.
Kegiatan-kegiatan bersifat sosial seperti ini tampaknya sangat berkurang apresiasinya saat ini. Mudah-mudahan kesadaran akan pentingnya hal ini bisa bertumbuh kita bisa mempersiapkan generasi muda yang tangguh dalam kemampuan intelektual maupun kemampuan sosial dan emosionalnya.
Saya berharap harapan akan kebangkitan nasional baru bukan sekedar penantian seperti dalam kisah teatrikal “Menanti Godot” dari Samuel Beckett. Semoga dunia pendidikan kita sanggup bangkit dan berdiri, berjalan maupun berlari menuju ke era teknologi maju yang serba cepat.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment