Friday, November 16, 2007

Yang Terlewatkan dalam Pendidikan

Oleh Komaruddin Hidayat

Ada kesan kuat, baik guru, orangtua, maupun murid, selalu didorong untuk mengejar dan menghimpun informasi keilmuan sebanyak mungkin, namun melupakan aspek pendidikan yang fundamental, yaitu bagaimana menjalani hidup dengan terhormat. Salah satu penyebab merebaknya korupsi ialah gagalnya dunia pendidikan dalam pembentukan karakter agar hidup selalu dipandu nurani.

Pagi-pagi, seorang ibu dan anaknya dengan wajah tegang menuju rumah seorang aparat pemerintah. Pertemuan itu tak lebih dari 10 menit. Ibu dan anak pamit, dan pulang dengan wajah ceria. Keceriaan disampaikan kepada ayahnya melalui telepon. Apa yang terjadi?Rupanya ibu dan anak itu berhasil memperoleh bocoran soal ujian setelah membayar sejumlah uang. Apa yang signifikan dari peristiwa ini? Jika peristiwa itu direnungkan, suatu hal amat jelas.

Orangtua telah menanamkan virus kehidupan kepada anak bahwa sukses bisa dibeli dengan uang, dengan menyogok, dan semua itu seolah sah-sah saja. Peristiwa itu juga menggoreskan catatan seumur hidup di hati anak. Pagi itu, orangtua telah merobohkan prinsip kejujuran. Akibatnya, jika suatu saat orang atau guru mengajarkan nilai-nilai kejujuran, anak akan menilai semua itu bisa ditawar.

Singkatnya, secara moral orangtua tidak lagi punya wibawa untuk mengajarkan kejujuran di mata anaknya.Belum lama ini saya dibuat tercenung membaca Pojok Kompas (15/1). Tertulis: "Kelulusan 322 calon PNS di Departemen Agama dibatalkan sebab yang bersangkutan tak ikut tes". Di lingkungan Depag, juga di departemen lain, kecurangan seperti ini bukan hal baru. Namun saat korupsi terjadi di Depag, implikasi moral politiknya lebih besar karena bisa mengarah pada logika bahwa Depag yang mestinya berperan sebagai "sapu yang bersih" telah terseret dan menyatu bersama sampah yang hendak dibersihkan.Pendidikan berbasis karakterPendidikan adalah usaha sistematis dengan penuh kasih untuk membangun peradaban bangsa.

Di balik sukses ekonomi dan teknologi yang ditunjukkan negara-negara maju, semua itu semula disemangati nilai-nilai kemanusiaan agar kehidupan bisa dijalani lebih mudah, lebih produktif, dan lebih bermakna. Namun banyak masyarakat yang lalu gagal menjaga komitmen kemanusiaannya setelah sukses di bidang materi, yang oleh John Naisbit diistilahkan High-Tech, Low-Touch. Yaitu gaya hidup yang selalu mengejar sukses materi, tetapi tidak disertai dengan pemaknaan hidup yang dalam.

Akibatnya, orang lalu menitipkan harga dirinya pada jabatan dan materi yang menempel, tetapi kepribadiannya keropos.Seseorang merasa diri hebat dan berharga bukan karena kualitas pribadinya, tetapi jabatan dan kekayaan, meski diraih dengan cara tidak terhormat. Pribadi semacam ini oleh Erich Fromm disebut having oriented, bukan being oriented, pribadi yang obsesif untuk selalu mengejar harta dan status, tetapi tidak peduli pada pengembangan kualitas moral.

Ketika pendidikan tidak lagi menempatkan prinsip-prinsip moralitas agung sebagai basisnya, maka yang akan dihasilkan adalah orang yang selalu mengejar materi untuk memenuhi tuntutan physical happiness yang durasinya hanya sesaat dan potensial membunuh nalar sehat dan nurani. Padahal, aktualisasi nilai kemanusiaan membutuhkan perjuangan hidup sehingga seseorang akan merasa lebih berharga dan bahagia saat mampu meraih kebahagiaan nonmateri, yaitu intellectual happiness, aesthetical happiness, moral happiness ,dan spiritual happiness.

Pendidikan yang sehat adalah yang secara sadar membantu anak didik bisa merasakan, menghayati, dan menghargai jenjang makna hidup dari yang bersifat fisikal sampai yang moral, estetikal, dan spiritual. Peradaban dunia selalu dibangun oleh tokoh-tokoh moral-spiritual, yang dihancurkan politisi dan teknokrat yang mabuk kekuasaan.Selama ini produk pendidikan amat kurang membantu pertumbuhan spiritualitas anak sehingga mereka sulit mengagumi keramahan langit terhadap bumi, gemercik air, festival awan, kekompakan hidup dunia semut, dan perilaku alam lain yang semua itu merupakan ayat-ayat Tuhan dan bacaan terbuka yang amat indah.

Ini semua disebabkan kesalahan proses pendidikan yang kita dapat, yang hampir melupakan dimensi akal budi dan emosi serta tidak memandang alam sebagai entitas yang hidup.Sebenarnya tak ada benda mati di hadapan orang yang akal budinya hidup. Terlebih di hadapan Tuhan, semuanya hidup dan bekerja atas perintah-Nya karena tercipta bukan tanpa tujuan.

Pendidikan kita kurang mengajarkan bagaimana bersahabat dan berdialog dengan kehidupan secara menyeluruh.Sebuah kasus menarik saat bencana tsunami di Aceh, hampir tidak ditemukan bangkai sapi atau kerbau dan hewan lain karena semuanya telah menyelamatkan diri. Hewan-hewan itu memiliki kepekaan dan mampu berdialog dengan sesama penghuni bumi saat bahaya akan datang.

Kalaupun ada yang mati, itu lebih dikarenakan hewan-hewan itu kurang makan atau terjebak di kandang.Belajar dan mengajar dengan hatiSeiring munculnya kesadaran dan tuntutan moral dalam dunia bisnis, dalam dunia pendidikan juga muncul gerakan baru untuk melibatkan emosi dan nurani dalam proses pembelajaran.

Dipopulerkan oleh Danah Zohar, Ian Marshall, dan Daniel Golleman, literatur seputar betapa vitalnya dimensi spiritual dan emosional dalam kerja dan belajar kian diapresiasi kalangan eksekutif muda dan praktisi pendidikan. Misalnya, Training ESQ- Leadership yang dimotori Ary Ginanjar mendapat sambutan masyarakat.Pelatihan ini menghasilkan lebih dari 50.000 alumni, tersebar di seluruh perusahaan di Indonesia, dan tiap bulan bertambah sedikitnya 7.000. Bahkan training ini telah masuk kurikulum SESKOAD Bandung.

Fenomena ini tentu amat menggembirakan, sebuah kebangkitan kesadaran etis dan spiritual dalam upaya membangun bangsa yang bermartabat serta mendorong lahirnya generasi baru yang setia dengan nilai-nilai luhur kemanusiaan dan ketuhanan.Ada beberapa buku yang sebaiknya dibaca para guru, misalnya karya-karya Eric Jensen, Thomas Armstrong, dan Dave Meier soal bagaimana menciptakan proses dan suasana pembelajaran dengan mengacu pada sifat otak dan emosi (brain based learning) sehingga suasana belajar menjadi nyaman, kreatif, dan kontemplatif.

Pembelajaran yang menjadikan siswa sebagai subyek, di mana anak-anak itu memiliki nurani dan potensi multikecerdasan, namun belum tergali dan teraktualisasi. Dengan demikian, proses pembelajaran sebaiknya dimulai dengan melihat, mengamati, dan merasakan lingkungan sosial yang dihadapi, guru dan murid berempati menjadi bagian integral dari realitas sosial dan semesta. Dari situ keilmuan dibangun untuk membantu memecahkan problem kemanusiaan.

Semua ilmu pengetahuan awalnya adalah produk kegelisahan akal budi dan nurani guna meringankan beban hidup manusia. Celakanya, banyak kaum profesional dan birokrat yang dengan ilmu dan jabatannya malah menjadi penindas rakyat. Rakyat amat merindukan pemimpin, birokrat, dan pelaku pasar yang senantiasa mempertahankan prinsip hidup terhormat, hidup yang dipimpin suara hati, meski bisa jadi harus siap hidup sederhana. Itu semua harus dimulai dari pendidikan keluarga dan sekolah yang menjunjung tinggi pendidikan karakter.Komaruddin Hidayat Pembina Sekolah Berwawasan Internasional (SBI) MadaniaSumber: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0502/03/opini/1538957.htm

Pendidikan Karakter

Written by Ines Setiawan

Kami percaya bahwa pendidikan akademis dan pendidikan karakter adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan sehingga karakter/nilai yang kami tanamkan terintegrasi dalam setiap pembelajaran yang bersifat akademis. Misalnya sewaktu belajar mengenai bakteri pembusuk (decomposing bacteria), anak tahu bahwa sampah plastik tidak akan terurai oleh bakteri ini dan akibatnya sangat buruk bagi tanah. Dari situ, dia tahu bahwa membuang sampah sembarangan itu tidak baik dan dia belajar untuk tidak melakukannya.

Sewaktu belajar mengenai komponen sesajian masyarakat Hindu Bali dan arti semua ini bagi mereka, anak mengerti bahwa setiap orang memiliki keyakinan berbeda yang harus kita hormati.

Sewaktu belajar mengenai hitungan persentase matematika dan beda menabung di bank dan di celengan, anak tahu pentingnya menabung dan melakukannya. Sewaktu belajar mengenai tabel elemen kimia dan mengetahui bahwa tabel tersebut belumlah final karena masih ada elemen yang belum ditemukan oleh manusia, anak mendapat inspirasi bahwa ada sebuah kesempatan dalam bidang apapun di dunia ini, dan seterusnya.

Pendidikan karakter/nilai tidak pernah kami ajarkan melalui hafalan ataupun kami beri ujian tertulis, tetapi selalu terintegrasi dalam setiap pembelajaran akademisnya.

Thursday, November 15, 2007

"Sekolah Pendidikan Karakter”

“Ilmu dapat dipelajari oleh segala orang yang cerdas dan tajam otaknya, tetapi manusia yang berkarakter tidak diperoleh begitu saja. Pangkal segala pendidikan karakter adalah cinta akan kebenaran dan berani mengatakan salah dalam menghadapi sesuatu yang tidak benar…” (Mohammad Hatta)
Disimpan pada blogroll mfajarsyah

Ramadhan Syahrul Tarbiyah telah datang, input Ramadhan berupa orang – orang beriman hendak diproses agar menjadi orang – orang yang bertakwa. Pada takwa ada kata melaksanakan perintah Allah dan menjauh laranganNya, artinya sebuah kemampuan menunjukkan puncak – puncaknya iman melalui amal nyata yang terlihat di keluhuran akhlaknya.Apabila imannya belum terejawantahkan dalam akhlak takwanya, maka belum sempurna iman seseorang tersebut, seperti yang termaktub dalam hadits“ Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya diantara mereka “ (H.R Tirmidzi dari Abu Hurairah)

Salah satu pengejawantahan iman dalam akhlak adalah cintanya kita pada kebenaran dan keberanian mengatakan salah dalam menghadapi sesuatu yang bertentangan dengan nilai – nilai kebenaran.Bangsa ini tengah mengalami relativitas dalam memaknai kebenaran. Ada kebenaran menurut diri sendiri, menurut masyarakat, menurut hukum dan menurut agama. Poin yang terjadi di bangsa ini adalah masih ada gap dalam pemaknaannya.

Kebenaran menurut diri sendiri, yang lebih layak disebut pembenaran, kental kaitannya dengan kepentingan pribadi seseorang terhadap sesuatu. Misalnya seorang artis yang rela memamerkan aurat atas nama estetika demi memperoleh penghasilan. Menurutnya hal itu benar menurutnya karena bernilai estetik, tapi bagi umat, tentunya bertanya etikanya dimana. Disini memang amat terlihat adanya penyimpangan pemikiran yang berakibat terjadinya paradoks antar nilai, dan ini terjadi karena pribadi tersebut belum memiliki dasar pemikiran yang kuat dalam memandang sesuatu hal secara menyeluruh untuk menentukan kadar kebenaran dari sesuatu hal.

Bukti lain adanya relativitas pemaknaan kebenaran adalah budaya main hakim sendiri di masyarakat. Bangsa ini telah menjadi bangsa yang barbar akibat pemahaman yang berbeda dalam menyikapi sesuatu hal tindakan kriminal sehingga diambil langkah – langkah yang cukup ’kriminal’ juga oleh masyarakat dan ini tidak dianggap salah olehnya. Apakah ini adalah buah dari pemaknaan kebenaran oleh masyarakat ?Bangsa ini pun menjadi sedemikian permisifnya bisa jadi akibat dari pemaknaan kebenaran yang kurang tepat juga. Nilai – nilai positif bangsa tergusur oleh arus mode hasil globalisasi dan liberalisme. Lihat saja dari bagaimana kaum muda kita berpakaian dan bertingkah laku seperti budaya barat, dan itu lagi – lagi tidak dianggap salah oleh masyarakat. Bahkan tidak dianggap modern, orang – orang yang tidak mengikuti mode yang bersumber dari barat.

Fenomena ini menggiring pada kenyataan bahwa kebenaran dalam masyarakat tidak selalu baik bagi masyarakat tersebut.Kebenaran dalam masyarakat ini erat kaitannnya dengan media massa dan institusi pendidikan. Saat ini peran institusi pendidikan dalam membentuk karakter masyarakat dan menghadirkan pemahaman akan makna menyeluruh sebuah kebenaran kalah oleh pengopinian publik oleh media massa yang banyak menyajikan kebenaran rancu yang penuh kepentingan.

Efisiensi institusi pendidikan masih amat rendah dalam menghasilkan individu – individu berkarakter yang memiliki visi kebangsaan, sedangkan efisiensi media massa dalam mencetak individu hedonis dan pragmatis cukup besar.Hal yang harus diperkuat sebab hal itu merupakan inti pengendali kebenaran pribadi dan masyarakat adalah kebenaran dalam hukum dan agama. Kondisi bangsa ini adalah hukumnya masih belum independen sehingga kebenarannya bisa diperjualbelikan, dan bangsa ini kondisi kehidupannya masih penuh dengan sekularitas yang meletakkan agama sebatas tempat ibadah dalam suatu ritual. Namun, adakalanya pada momen – momen tertentu kebenaran yang hakiki mengemuka, salah satunya adalah Ramadhan.

Ramadhan tentunya menjadi saat yang strategis untuk menghadirkan kembali kecintaan pada kebenaran yang bersumber dari fitrah. Pada bulan ramadhan, syiar keagamaan begitu nyata gaungnya dan orang – orangnya pun terkondisikan untuk menerima kebenaran dan mencintainya. Masjid – masjid mulai kembali ramai dikunjungi orang yang walaupun datang untuk berbuka puasa dan sholat maghrib tentunya dan terlihat makmur dengan kegiatan islami.Kecintaan pada kebenaran pun muncul dan dahsyatnya hal ini dibarengi dengan keberanian dalam mengatakan salah pada hal yang bertentangan dengan nilai kebenaran.

Seperti ketika seorang mahasiswa yang kesehariannya ’gaul abis’ kala melihat temannya mencontek pekerjaan rumah miliknya, dia menegurnya bahwa Bulan Ramadhan tidak boleh mencontek sebab bisa merusak pahala puasa katanya. Luar biasa sekali, bahwa pangkal dari pendidikan karakter itu muncul disana, pada momentum Ramadhan ini.Ada harapan besar akan terintegrasinya kebenaran – kebenaran individu, masyarakat, hukum dan agama ketika kedatangan Bulan Ramadhan ini.

Harapan akan menyemainya benih – benih karakter cinta pada kebenaran dan keberanian mengatakan kebenaran dari terintegrasinya pemahaman tentang hakikat kebenaran itu, akan menjadi pertanda lahirnya pribadi – pribadi berkesadaran. Kelahiran pribadi – pribadi ini menjadi sebuah keniscayaan atas perubahan menuju kemajuan peradaban sebuah bangsa. Sebab bagaimana mungkin seorang individu akan melakukan perubahan sedangkan ia sendiri tidak memiliki kesadaran atas hal apa yang harus diubah.Maka inilah individu itu, individu yang sadar akan realitas ditengah idealitas mereka.

Merekalah yang akan berjuang, memperjuangkan nilai - nilai kebenaran yang diperoleh lewat kesadarannya akan realitas. Merekalah yang akan mentransformasi kebenaran masyarakat yang akan menjadi tanda lahir peradaban. Peradaban inilah yang akan melahirkan hukum yang independen, bebas dari kepentingan siapun, hukum yang tidak memihak rakyat atau penguasa, namun hukum yang memihak kebenaranSekali lagi, kebenaran yang mereka perjuangkan bukan kebenaran perut mereka.

Namun kebenaran yang diperoleh dari akal dan hati mereka yang bersumber dari fitrah. Dan merekalah pribadi – pribadi yang akan diwisuda oleh sekolah pembentukan karakter berkurikulum langit yaitu Ramadhan. Mereka adalah orang – orang beriman yang akan melalui proses pembelajaran dan penempaan sehingga saat berakhirnya masa ajaran, akan mampu menampakkan puncak – puncak keimanan mereka melalui akhlak takwanya. Merekalah yang akan membidani persalinan peradaban baru bangsa mereka menuju peradaban yang berlandaskan nilai – nilai kebenaran hakiki, berdasarkan iman. Semoga bangsa itu adalah bangsa ini, Indonesia.

Pendidikan Karakter 3 M (Moral Knowing, Moral Feeling, dan Moral Action)

Oleh: DR. Ratna Megawangi

Hampir semua anak mengetahui bahwa menyontek, menjiplak, membawa kertas catatan ke ruang ujian, adalah perbuatan yang tidak jujur dan secara moral tidak bisa diterima. Namun ternyata banyak yang melakukannya. Jadi ada kesenjangan antara apa yang diketahui anak dengan apa yang dilakukannya. Namun sebagai orangtua, Anda harus dapat mengarahkan anak bertindak konsisten antara pikiran dan tindakannya.

Menurut William Kilpatrick, salah satu penyebab ketidakmampuan seseorang untuk berperilaku baik, walaupun secara kognitif ia mengetahuinya (moral knowing), yaitu karena ia tidak terlatih untuk melakukan kebajikan atau moral action. Untuk itu, orangtua tidak cukup memberikan pengetahuan tentang kebaikan, namun harus terus membimbing anak sampai pada tahap implementasi dalam kehidupan anak sehari-hari.

Dalam pendidikan karakter, Lickona (1992) menekankan pentingnya tiga komponen karakter yang baik (components of good character) yaitu moral knowing atau pengetahuan tentang moral, moral feeling atau perasaan tentang mental dan moral action atau perbuatan moral. Hal ini diperlukan agar anak mampu memahami, merasakan dan mengerjakan sekaligus nilia-niali kebajikan.

Moral knowing adalah hal yang penting untuk diajarkan, terdiri dari enam hal, yaitu: moral awareness (kesadaran moral), knowing moral values (mengetahui nilai-nilai moral), perspective taking, moral reasoning, decision making dan self knowledge.

Moral feeling adalah aspek yang lain yang harus ditanamkan kepada anak yang merupakan sumber energi dari diri manusia untuk bertindak sesuai dengan prinsip-prinsip moral. Terdapat 6 hal yang merupakan aspek emosi yang harus mampu dirasakan oleh seseorang untuk menjadi manusia berkarakter, yakni conscience (nurani), self esteem percaya diri), empathy (merasakan penderitaan orang lain), loving the good (mencintai kebenaran), self control (mampu mengontrol diri) dan humility (kerendahan hati).

Moral action adalah bagaimana membuat pengetahuan moral dapat diwujudkan menjadi tindakan nyata. Perbuatan tindakan moral ini merupakan hasil (outcome) dari dua komponen karakter lainya. Untuk memahami apa yang mendorong seseorang dalam perbuatan yang baik (act morally) maka harus dilihat tiga aspek lain dari karakter, yaitu kompetensi (competence), keinginan (will) dan kebiasaan (habit).

Melatih Kebiasaan BaikPendidikan karakter terhadap anak hendaknya menjadikan seorang anak terbiasa untuk berperilaku baik, sehingga ia menjadi terbiasa dan akan merasa bersalah kalau tidak melakukannya. Sebagai contoh, seorang anak yang terbiasa mandi dua kali sehari, akan merasa tidak enak bila mandi hanya satu kali sehari. Dengan demikian, kebiasaan baik yang sudah menjadi naluri, otomatis akan mebuat seorang anak merasa bersalah bila tidak melakukan kebiasaan baik tersebut.

Namun mendidik kebiasaan baik saja tidak cukup. Anak yang terbiasa berbuat baik belum tentu menghargai pentingnya nilai-nilai moral (valuing). Misalnya ia tidak mencuri karena mengetahui sanksi hukumnya, dan bukan karena ia menjunjung tinggi nilai kejujuran. Oleh karena itu, setelah anak memiliki pengetahuan (moral knowing), orangtua hendaknya dapat menumbuhkan rasa atau keinginan anak untuk berbuat baik (desiring the good).

Keinginan untuk berbuat baik adalah bersumber dari kecintaan untuk berbuat baik (loving the good). Aspek kecintaan inilah yang disebut Piaget sebagai sumber energi yang secara efektif membuat seseorang mempunyai karakter yang konsisten antara pengetahuan (moral knowing) dan tindakannya (moral action). Oleh karena itu, aspek ini merupakan yang paling sulit untuk diajarkan, karena menyangkut wilayah emosi (otak kanan).

Salah satu cara untuk menumbuhkan aspek moral feeling yaitu dengan cara membangkitkan kesadaran anak akan pentingnya memberikan komitmen terhadap nilai-nilai moral. Sebagai contoh untuk menanamkan kecintaan anak untuk jujur dengan tidak mencontek, orangtua harus dapat menumbuhkan rasa bersalah, malu dan tidak empati atas tindakan mencontek tersebut. Kecintaan ini (moral feeling) akan menjadi kontrol internal yang paling efektif, selain kontrol eksternal berupa pengawasan orangtua terhadap tindak tanduk anak dalam keseharian.

Terlepas dari adanya moral feeling anak yang mencintai kebajikan, orangtua tidak lantas menghilangkan perannya dalam melakukan kontrol eksternal. Kontrol eksternal juga penting dan perlu diberikan orangtua, khususnya dalam memberikan lingkungan yang kondusif kepada anak untuk membiasakan diri berperilaku baik.

"If a man continuously hears bad words, thinks bad thoughts, does bad actions, his mind will be full of bad impressions, and they will influence his thought and work without his being conscious of the fact. He will be like a machine in the hands of a man thinks good thoughts and does good works, the sum total of these impressions will be good, and they, in similar manner, will force him to do good, even in spite of himself. When such is the case, a man’s good character is said to be established".

"Apabila seorang manusia secara terus menerus mendengarkan kata-kata buruk, berpikir buruk dan bertindak buruk, pikirannya akan penuh dengan ide-ide buruk, dan ide-ide tersebut akan mempengaruhi pikiran dan kerjanya tanpa ia menyadari keberadaannya. Ia akan menjadi seperti sebuah mesin di tengah-tengah ide-idenya, dan mereka akan memaksanya untuk berbuat jahat, dan orang tersebut akan menjadi orang jahat; apabila seorang manusia berpikir baik dan mengerjakan pekerjaan-pekerjaan baik, total keseluruhan ide-idenya akan mendorongnya untuk berbuat baik. Apabila demikian halnya, karakter manusia yang baik telah dibentuk." (Swami Vivekanada)

Pendidikan Karakter,Sebuah Agenda Perbaikan Moral Bangsa

"EDUKASI "Jakarta, september 2005 lalu, sinar mentari menyengat kota metropolitan siang itu. Ketika kami hendak melangkah memburu berita menyusuri kota yang menjadi jantung ibukota itu, kami menyaksikan semangat yang berkobar untuk membasmi korupsi di negeri ini. Namun, panas mentari tak menjadi penghalang bagi para pahlawan pembasmi korupsi tersebut. Mereka yang mengaku tergabung dalam lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sedang ramai mengadakan kampanye pemberantasan korupsi dengan membagikan buku kecil berukuran 9x14 cm itu kepada setiap orang yang melintas di hadapan mereka. Buku kecil itu mereka sebut buku saku pemberantasan korupsi "Memahami Untuk Membasmi" yang diterbitkan oleh KPK sendiri. Ternyata pembagian buku saku secara gratis tersebut bukan hanya kami jumpai di tempat-tempat umum, kami pun melihat mereka mensosialisasikannya ke tempat-tempat kerja, tempat-tempat formal serta lembaga-lembaga masyarakat baik negeri maupun swasta."

Oleh : Nida nailly Illiyun

Gencarnya aksi pemberantasan korupsi tak pernah surut dan tak lekang dari hadapan kita. Berbagai jargon "Ayo….Lawan korupsi!" Koruptor sehat, rakyat sekarat", terpampang bukan hanya di jala-jalan dan tempat umum, namun tampilan media massa dan iklan pun berlomba-lomba mengusung issue tersebut. Kampanye yang selalu digembor-gemborkan oleh para elit politik dan janji yang ditawarkan kepada rakyat pun, selalu dengan dalih pemberantasan korupsi. Demikian pula yang ditawarkan dalam agenda awal SBY-Kalla dalam "Seratus (100) hari berantas korupsi" masih menjadi pertanyaan besar, sudah berapa prosentase keberhasilan agenda ini?

Masih menjadi negara terkorup
Berkembangnya praktek-praktek korupsi telah mengakar ke seluruh lini kehidupan bangsa Indonesia. Selama kurang lebih satu dasawarsa, sejak pertengahan tahun 1990 hingga sekarang, roda perputaran korupsi masih saja berhembus kencang, nyaris tanpa henti. Nampaknya, masa orde baru telah menjadi lahan subur dan merupakan imbas dari meluasnya praktek korupsi di tingkat elit puncak, yakni di lingkungan istana negara yang melibatkan keluarga Cendana. Skandal korupsi pada masa kepresidenan orde baru telah mencapai jumlah yang sangat fantastis, yaitu lebih dari Rp.700triliun. Sebagaimana yang pernah diteliti oleh George Junus Aditjondro, jumlah ini menurutnya merupakan rekor tertinggi dari prestasi "presidential graft" ditingkat dunia, mengalahkan jumlah korupsi yang diraih para diktator Afrika dan Amerika Latin.

Genderang keras praktek korupsi yang ditabuh pada masa orde baru telah menjadi pemicu berkembang dan berbuahnya praktek korupsi pada era reformasi hingga terus meningkat sampai sekarang. Meskipun berbagai kebijakan presiden SBY telah dilaksanakan, yakni tentang pembersihan korupsi yang dimulai dari lingkungan presiden dan membentuk Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Inpres No.5/2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi) serta Keputusan No.11 2005. Namun tetap tidak mampu mengubah posisi Indonesia menjadi negara terkorup. Hingga saat ini Indonesia masih menduduki peringkat 10 besar dalam indeks persepsi korupsi.

Dari data tersebut peringkat terburuk yang pernah dicapai Indonesia adalah pada tahun 1995 yang menduduki posisi terbawah sebagai negara paling korup se-Asia. Jika kita lihat pada tahun 1997 posisi Indonesia sedikit mengalami peningkatan, dan ini merupakan indeks terbaik yang pernah diperoleh Indonesia pada 12 tahun terakhir yakni dengan skor 2,72. Namun setelah tahun 1997, indeks persepsi korupsi tersebut terus mengalami penurunan. Dan akhirnya pada tengah tahun 1997 itu, Indonesia dinyatakan mengalami krisis ekonomi yang kemudian diikuti dengan berbagai krisis lain seperti politik, budaya, sosial dan multi krisis lain hingga pada parahnya krisis moral dan kepercayaan.

Berbagi ikhtiar, taktik, siasat dan berbagi pendekatan serta kebijakan hukum telah dilakukan di bawah lima kursi kepemimpinan presiden, mulai dari Soeharto, Habibie Gusdur, Megawati hingga SBY masing-masing mempunyai jalan tersendiri untuk memotong laju korupsi yang telah mengakar di negeri ini. Tetapi mulai dari orde baru, reformasi hingga sekarang hasilnya masih sama saja. Mengapa begitu sulit memberangus korupsi di negeri ini?

Memicu perdebatan, muatan anti korupsi masuk kurikulum
Meskipun telah menjamur dan menjadi bahasan yang tidak pernah berhenti untuk dibicarakan, namun masalah korupsi tak pernah mematahkan semangat para pakar patologi dan para founding fathers untuk terus mencari jalan keluar dalam mengatasi masalah korupsi tersebut. SBY telah mengimbau kepada semua pihak dari mulai masyarakat sipil, organisasi non pemerintah dan aktivis anti korupsi hingga media massa agar semuanya melibatkan diri dalam usaha pemberantasan korupsi.

Praktek korupsi memang sudah semakin sistemik dan susah untuk diurai akarnya. Berbagai cara untuk mencegah dan memeranginya telah diupayakan hingga melibatkan semua pihak, termasuk menggunakan institusi pendidikan sebagai media untuk memperbaiki moral bangsa dan menanamkan nilai-nilai anti korupsi. Pasalnya, institusi pendidikan adalah tempat terbaik untuk mencetak kader bangsa di masa depan. Dan diharapkan turut aktif untuk memerangi korupsi sebagai musuh terbesar bangsa kita selama ini.

Nampaknya, pemberantasan korupsi bukan hanya menjadi perdebatan dan issue hangat di dunia para elit politik. Para tokoh elit pendidikan akhir-akhir ini pun juga disibukkan dengan pro kontra penerapan "Pendidikan Anti Korupsi". "Misi-misi pendidikan anti korupsi memang perlu kita terapkan juga dalam lembaga pendidikan, kami yang akan mengawali", Ungkap Eko S. Djiptadi, anggota KPK ini dengan semangat ketika kami temui di tengah kesibukannya. "Itu sudah kami programkan, dan kami telah melakukan training of trainer ke beberapa sekolah untuk segera melaksanakan Pendidikan Anti Korupsi", tambahnya.

Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, Syahruddin Rosul juga menyatakan, "Bangsa ini perlu pendidikan seumur hidup. Saat ini kami mencoba membuat desain pendidikan anti korupsi seumur hidup, dan ini sudah mulai diajarkan dan ditanamkan sejak dalam lingkungan keluarga. Pendidikan anti korupsi tersebut memiliki efek jangka panjang dan langsung tertanam dalam mental generasi muda. Ujarnya, ketika kami temui di hotel Grand Candi, Semarang.

Disini, program yang dicetuskan oleh KPK memang telah berjalan sekitar pertengahan tahun 2006 lalu, dan telah dilaksanakan di beberapa institusi pendidikan, seperti Udayana (), Andalas (Ujung Pandang), dan di Jawa Tengah telah digodok oleh UNIKA Soegiyopranata. KPK hanya sebagai trainer, dan yang menjadi pelaksana untuk terjun langsung berhadapan dengan peserta didik adalah para tokoh masyarakat, dan para mahasiswa. Guru tidak diikutkan dalam hal ini, alasannya agar murid tidak merasa bosan karena yang mereka temui adalah wajah-wajah baru. Apalagi dipilihnya para mahasiswa, dapat menambah semangat baru untuk belajar.

Eko S.Djiptadi juga menuturkan bahwa dalam aplikasinya tidak perlu ada materi khusus pembelajaran anti korupsi dalam kurikulum di sekolah. Karena pendidikan anti korupsi dapat diberikan sebagai kegiatan ekstra kurikuler atau dengan menanamkan nilai-nilai pembelajaran anti korupsi secara terintegrasi dalam mata pelajaran yang sudah ada.

Pernyataan ini juga ditegaskan oleh ketua Badan Standar Nasoional Pendidikan (BSNP), Prof.Dr.M.Yunan Yusuf yang menyatakan bahwa tidak akan memasukkan muatan anti korupsi dalam mata pelajaran sendiri, mengingat kurikulum pendidikan saat ini sudah sarat beban sehingga tidak mungkin untuk menambah mata pelajaran baru anti korupsi. "Kami hanya akan merumuskan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar untuk memasukkan muatan anti korupsi ke dalam mata pelajaran yang ada kaitannya dengan moral dan budi pekerti, seperti Kewarganegaraan dan Pendidikan Agama. Setiap satuan pendidikan mempunyai otonomi untuk mengembangkannya sesuai dengan kemampuan dan local wisdom yang dimiliki masing-masing. Yang penting mereka telah mencapai SK-KD yang telah kami berikan", ungkap Ketua BSNP itu.
Sejak wacana pendidikan anti korupsi digulirkan pada pertengahan tahun 2006, disinyalir masih memicu perdebatan di kalangan para aktivis anti korupsi. Sepertinya penerapan konsep pendidikan anti korupsi mendapat tanggapan pesimis, dan malah hanya akan menjadi bumerang bagi institusi pendidikan sendiri.

Analisis dari anggota Indonesia Coruption Wach (ICW) dan anggota Koalisi Pendidikan, Ade Irawan menilai bahwa institusi pendidikan justru akan menjadi garda depan dalam upaya mendidik orang untuk melakukan korupsi. Terbukti, departemen yang mengusung tema pendidikan pun, yakni Diknas dan Depag merupakan institusi yang paling banyak penyelewengannya. ICW juga pernah membuat peta korupsi di institusi pendidikan yang dibagi menjadi 4 lapis korupsi di pendidikan. Lapis pertama adalah korupsi yang dilakukan oleh guru, ini mungkin disebabkan karena faktor kebutuhan (Corruption by need) karena selama ini kesejahteraan guru masih sangat minim. Yang kedua adalah korupsi yang dilakukan oleh kepala sekolah. Lapis ketiga korupsi yang dilakukan oleh komite sekolah, dan yang terakhir adalah korupsi yang dilakukan oleh dinas pendidikan (seperti Diknas dan Depag).

Masih menurut Ade Irawan, jika pendidikan anti korupsi dipaksa masuk kurikulum, maka dalam dataran teknis masih akan terbentur banyak kendala. Sebab problem intern dari pendidikan belum diselesaikan, harus ada pembenahan secara serius nalar koruptif dalam dunia pendidikan dan pemerintah harus mengutamakan kesejahteraan serta mutu guru. Katanya, "Sebaik apapun kurikulum yang akan digunakan, jika mutu guru rendah nonsent pendidikan tidak akan pernah berhasil".

Di tempat berbeda hal senada juga dibenarkan oleh Koordinator Koalisi Pendidikan, Lodi Paat, menurutnya ketika korupsi masih menggerogoti dunia pendidikan di Indonesia sampai tingkat sekolah, pelajaran anti korupsi hanya akan menjadi pengetahuan belaka. Jauh lebih baik jika nilai-nilai tentang keadilan dan kejujuran yang ditanamkan pada murid melalui berbagai mata pelajaran di sekolah. "Di sekolah jarang sekali ada murid berani protes dan bilang; ini tidak adil!. Pembentukan sikap seperti inilah yang lebih penting daripada hanya memberi pengetahuan tentang korupsi", katanya ketika crew edukasi menemuinya saat seminar PP guru di hotel Mustika, Jakarta.

Pemberantasan korupsi melalui jalur pendidikan harus kita sikapi secara positif. Kita sudah tidak lagi bisa, jika hanya mengandalkan kinerja lembaga-lembaga di bawah payung hukum untuk menangani kasus korupsi. Hasil survei Global Coruption Barometer yang dipapar Tranperency Internasional Indonesia (TII) belum lama ini, lembaga peradilan (pengadilan dan kejakssan) menempati posisi di bawah DPR (lembaga yang dianggap terkorup 2006). Setelah peradilan, menyusul kemudian kepolisian dengan skor sama 4,2 dan berikutnya parpol dengan indeks 4,1 persen (Jawa Pos, 8/01).

Tidak ada jalan lain, kita harus kembali menata konsep pendidikan kita untuk memotong laju korupsi dengan menerapkan pendidikan moral sejak dini sesuai dengan tujuan pendidikan nasional, agar negeri ini mempunyai SDM yang memiliki derajat moralitas tinggi.

Moralitas pendidikan
Prof. Schoorl (1982) berpendapat bahwa, praktek-praktek pendidikan merupakan wahana terbaik dalam menyiapkan SDM dengan derajat moralitas tinggi. Di negara kita, tujuan Pendidikan Nasional diidealisasikan sebagaimana termuat dalam UU-RI No.2 tahun 1989 pasal 4, "Pendidikan Nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan YME dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan ketrampilan, kepribadian yang mantap dan mandiri, serta bertanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan". Jika tujuan ini dapat terwujud dalam realita pendidikan kita, kita tidak perlu bermimpi untuk mempunyai bang yang berkepribadian tangguh, terdidik, bersih dari segala bentuk penyimpangan serta masyarakat yang menjunjung tinggi moralitas.

Sayangnya, praktek-praktek demoralisasi juga telah mewabah menjangkiti dunia pendidikan yang tidak pernah memberikan mainstream untuk berperilaku jujur dan hanya mengajarkan pendidikan moral dan budi pekerti sebatas tekstualis, yang ketika keluar dari pagar sekolah siswa harus menghadapi kehidupan yang kontradiktif.

Bahkan, fenomena lahirnya praktek korupsi juga berawal dari dunia pendidikan, ditandai dengan gejala tereduksinya moralitas dan nurani sebagian dari kalangan akademisi dengan bukti empirik masih tingginya angka kebocoran di institusi terkait, pengkatrolan nilai oleh guru, plagiatisme naskah-naskah skripsi dan tesis, menjamurnya budaya nyontek para murid, korupsi waktu mengajar, dan sebagainya.
Selama ini merosotnya kualitas pendidikan nasional hanya terfokus pada persoalan untuk menyiapkan peserta didik agar mampu bersaing di era pasar global, sehingga yang disorot hanyalah dari hasil kelulusan (output) belaka. Sementara penanaman moral dan pencapaian tujuan pendidikan nasional untuk mampu mencetak generasi yang bukan hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga cerdas secara emosional dan spiritual menjadi terlupakan. Disinilah perlu adanya pembenahan dalam pembentukan moralitas pendidikan yang secara praksisnya termuat secara tersembunyi di dalam kurikulum (hidden curriculum).

Perlu pendidikan holistik
Ratna Megawangi, pendiri IHF (Indonesia Heterage Foundation) berpendapat, "Pendidikan disebut holistik itu, adalah hol yang artinya menyeluruh. Kita membangun manusia bukan hanya dari dimensi kognitif saja. Bagaimana kita menyeimbangkan fungsi otak kanan dan otak kiri, itulah yang penting. Karena selama ini, hanya otak kiri saja (hafalan) itu, yang membuat negara kita tidak berkembang dan output nya belum bisa menjadi manusia seutuhnya".

Seutuhnya itu disebut holy. Dalam bahasa Inggris holistik itu dari kata holy dan healty. Orang yang bijak itu biasanya disebut holinan. Sebab ia berkembang secara menyeluruh, secara utuh. Bahwa ini menunjukkan kita pintar tapi tidak bermoral/licik. Atau pintar tapi suka iri, dengki terhadap orang lain, pintar tapi suka menghujat orang. Kita harus sadar bahwa ada sesuatu yang salah disini jadi manusia harus dikembangkan secara holistik dari emosinya, kretifitasnya, kemampuan dan interaksi sosialnya, kognitif motorik dan afektifnya juga. Kasar dan halus, semua tangan harus dilatih, sehingga seperti orang Jepang dengan origaminya yang bisa menciptakan produk-produk yang sangat halus karena terlatih.

Perdebatan mengenai wacana pendidikan anti korupsi signifikan atau tidak jika diterapkan dalam kurikulum menjadi berkepanjangan tanpa kata akhir, sebelum hasil penelitian mengemukakan data yang valid dan representatif yang memenuhi syarat normatif yang berlaku secara universal. Apapun itu hasilnya nanti, tujuan sebenarnya dimasukkannya pendidikan anti korupsi dalam kurikulum merupakan kerangka dalam rangka menciptakan manusia yang utuh (holistic), kokoh dan tangguh.

Disini kami mencoba memberikan beberapa sample pendidikan holistic dari beberapa lembaga yang selama ini telah berdiri atas dasar keprihatianan terhadap institusi pendidikan kita, khususnya dalam rangaka menata moral dan martabat bangsa.

Pentingnya penanaman karakter sejak dini
Dr. ir. Ratna Megawangi, M. Sc menilai, pendidikan karakter dan akhlak yang baik selama ini kurang mendapat penekanan dalam sistem pendidikan negara kita. Pelajaran PMP, agama atau budipekerti selama ini dianggap tidak berhasil. Karena pengajarannya hanya sebatas teori tanpa adanya refleksi dari nilai-nilai pendidikan tersebut. Akibatnya anak tumbuh menjadi manusia yang tidak memiliki karakter, bahkan dinilai lebih buruk lagi menjadi generasi yang tidak bermoral.

Melihat kondisi tersebut, Ratna Megawangi mempelopori sebuah sistem pendidikan yang menekankan pembentukan karakter dan akhlak bagi anak-anak indonesia melalui Yayasan Indonesia Heritage Foundation (IHF).(Mitranetra,24-05).

IHF ini telah membentuk sebuah model komprehensif pendidikan pra sekolah yang dapat diadopsi oleh masyarakat luas, terutama masyarakat miskin. Model ini adalah sebuah usaha untuk melakukan pendidikan karakter secara holistic yang melibatkan aspek "knowledge, felling, loving, dan acting". Model ini telah diterapkan melalui kegiatan Semai Benih Bangsa (SBB) dan TK.

Pada dasarnya anak yang kualitas karakternya rendah adalah anak yang tingkat perkembangan emosi-sosialnya rendah. Maka penerapan karakter di usia dini merupakan hal yang sangat penting untuk dilakukan. Thomas Lickona (1991) mendefinisikan orang yang berkarkter sebagai sifat alami seseorang dalam merespons situasi secara bermoral, yang dimanifestasikan dalam tindakan nyata melalui tingkah laku yang bak, jujur, bertanggung jawab, menghormati orang lain serta karakter mulia lainnya. Seperti yang diungkapkan Aristoteles bahwa karakteristik itu erat kaitannya dengan habit atau kebiasaan yang dilakukan secara terus –menerus.

Jadi konsep yang dibangun dari model ini adalah habit of the mind, habit of the heart dan habit of the hands. Sejauh ini sudah ada sekitar 200 SBB yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia. Jika anda tertarik untuk mendirikan TK informal ini atau ingin mengetahui lebih banyak, jangan lewatkan wawancara crew edukasi oleh Ratna Megawangi atau datang langsung ke IHF di Cimanggis, Depok.

Menyiapkan Guru yang tidak mudah stress
Terapi stres, sebut saja begitu. Program MTDS (Mengajar tanpa dihajar strees) ini adalah merupakan salah satu seni memberdaya diri bagi para pendidik yang dipelopori oleh Lembaga Anand Asrham dan didirikan oleh Anand Krishna serta telah diresmikan pad tahun 2002 oleh Menteri Pendidikan Nasional RI , Prof. Dr. H. Abdul Malik Fadjar, M.Sc.
Dalam institusi pendidikan, guru menjadi ujung tombak moralisasi anak, meskipun tidak semua guru menyadari akan tugas tersebut. Lawrence Kohlberg (1995) mengemukakan bahwa kebanyakan guru tidak menyadari sepenuhnya bahwa mereka seharusnya berurusan dengan persoalan-persoalan pendidikan moral. Guru disamping memberikan contoh perilaku bermoral, seharusnya juga merumuskan nilai-nilai dasar moral bagi anak, dan bahwa sebagian dari akibatnya secara tidak sadar telah mendidik mereka secara moral (Prof. Dr. sudarwan Danim).

Menurut Anand Krishna, bila kita ingin menyelamatkan bangsa dan negara kita dat\ri malapetaka, maka para guru kita, harus diselamatkan dulu. Para guru harus dalam keadaan fit dan bersemangat untuk mendidik, bukan hanya mengajar untuk upah saja. Pemerintah juga harus menyusun anggaran negara untuk pendidikan jauh lebih tinggi dari anggaran untuk kesejahteraan nyata dan "gaib" para politisi, wakil rakyat, pejabat tinggi dan sebagainya. Para wakil rakyat harus sadar bahwa tanpa guru, mereka tidak ada. Keberadaan mereka semata-mata karena guru. Urusi dulu kesejahteraan guru, baru lain-lain.

Program MTDS di Anand ashram dan 2 sayap di bawah naungannya, yaitu Forum Kebangkiatan Jiwa dan Institut Pendidikan Holistic, adalah mengembalikan semangat mendidik kepada para pendidik, kepada para guru. Serta mengajak para guru untuk menyiapkan payung sebelum turun hujan. Sebab temuan para medis kontemporer mengatakan menyatakan bahwa hampir 70 % penyakit kita disebabkan oleh stres. Profesi seorang guru memang tidak bisa dielakkan dari masalah stres seperti, beban pekerjaan, tuntutan orang tua murid, masih ditambah lagi kewajiban terhadap keluarga. Apalagi pada era milinium ketiga tantang yang dihadapi para guru, dosen, pendidik, jauh lebih berat dari era milinia sebelumnya.

Anand Krishna juga menambahkan, para guru harus menjadi sempurna, kamil, sehingga dapat menularkan kesempurnaannya, dan seorang guru harus mengurusi dirinya terlebih dahulu, mengurusi kesehatannya secara menyeluruh, holistic. Secara fisik, ia harus sehat. Intelektualnya pun sehat, ia memiliki apa yang disebut akal sehat. Emosinya tidak bergejolak. Wawasannya spiritual, universal-ia tidak lagi mengotakkan manusia berdasarkan latar belakang ras, agama, dan sebagainya.

Pendidikan Karakter K3 di Sekolah

Oleh Roni Tabroni

Betulkah kebersihan, keindahan, dan ketertiban atau K3 merupakan kosakata baru? Tentu tidak. Kata-kata ini sudah dikenal setiap orang, bahkan ketika kita masih berada di bangku sekolah dasar. Akan tetapi, mengapa kata ini sangat sulit diimplementasikan sehingga banyak pemerintah daerah, khususnya Kota Bandung, menegaskannya dalam bentuk peraturan daerah?

Seperti kata-kata yang lain, kebersihan, keindahan, dan ketertiban merupakan kata-kata yang hanya indah bila dikatakan, tetapi sangat berat dilaksanakan. Akibatnya, lingkungan tetap kotor dan semrawut. Persis ketika ustadz memberikan ceramah bahwa kebersihan itu sebagian dari iman, sementara dirinya membuang puntung rokok sembarangan. Begitu pun dengan istilah K3 ini, sangat mudah dikatakan. Namun, banyak orang tidak sadar dirinya melakukan sesuatu yang sebenarnya bertentangan dengan pernyataannya tentang K3 itu.

Maka dari itu, saya tidak terlalu heran ketika Pemerintah Kota Bandung agak kesulitan untuk mengaktifkan Peraturan Daerah tentang K3 (Perda K3). Walaupun untuk menyukseskannya diperlukan serangkaian acara sosialisasi di berbagai tempat dalam rentang waktu sangat lama, tetap saja saat perda diaktifkan masyarakat seperti tidak tersentuh sedikit pun.

Usaha sosialisasi tidak cukup. Upaya pemerintah kota menerjunkan sejumlah tenaga keamanan untuk memonitor perilaku masyarakat yang melanggar perda ini juga tidak efektif. Selain perlakuan fisik, masyarakat pun ditakut-takuti dengan denda sangat besar untuk setiap tindakan yang melanggar Perda K3. Lagi-lagi masyarakat cuek saja. Tidak menjadi karakter
Ada satu hal yang menurut saya membuat berbagai upaya menyukseskan program K3 ini begitu sulit. Problem yang saya maksud adalah bahwa K3 tidak menjadi bagian dari pola hidup masyarakat sejak dini. Jika K3 sudah menjadi karakter masyarakat, saya kira Perda K3 pun tidak perlu dibuat karena memakan biaya yang sangat tinggi.

Namun, jika ini sudah telanjur, yang harus diupayakan adalah bagaimana agar program K3 menjadi bagian dari pola hidup dan karakter masyarakat. Berbicara tentang karakter tentu tidak semudah membalikkan tangan, tetapi membutuhkan proses berkelanjutan dan waktu yang cukup lama. Karena itu, saya yakin bahwa Perda K3 bukan untuk saat ini, tetapi mungkin untuk 10-20 tahun ke depan. Mubazirkah Perda K3 saat ini? Tentu tidak. Jika saat ini tidak dimulai, mana mungkin 10-20 tahun ke depan Kota Bandung akan asri dan nyaman seperti yang diharapkan. Yang menjadi persoalan justru ketika kita memandang segala sesuatu harus serba instan.

Dalam rangka menciptakan sebuah karakter, saya kira harus diperhatikan dua hal. Pertama, dimulai dari usia dini karena usia inilah yang relatif mudah dibentuk. Ini berbeda dengan orang dewasa yang sudah memiliki kebiasaan, pola pikir, dan gaya hidup tersendiri sehingga relatif susah untuk diubah walaupun tentu bukan sesuatu yang tidak mungkin.

Kedua, membentuk karakter harus dilakukan secara terus-menerus. Satu kali atau dua kali mungkin anak hanya akan menganggap bahwa itu tidak penting atau selingan saja. Namun, jika diulang-ulang, hal itu secara tidak langsung akan menjadi bagian dari hidupnya.

Oleh karena itu, agenda membangun karakter masyarakat yang berbasis K3 saya kira harus dimulai dari SD atau kalau perlu dari taman kanak-kanak. Dari SD inilah seorang anak harus mulai belajar bagaimana berperilaku ketika melihat sampah, ketika melihat bangku yang tidak lurus di dalam kelas, atau hal-hal kecil lainnya.

Di SD saya kira sudah banyak sekali pelajaran tentang K3 walaupun secara tidak langsung karena tersebar di berbagai pelajaran, seperti Agama, PPKN, dan Kesehatan. Sebenarnya sudah begitu banyak pelajaran bagi anak sekolah untuk mengenal K3 dan bagaimana kita harus melaksanakannya. Akan tetapi, yang paling penting dari sebuah pelajaran karakter adalah bagaimana pengalaman dia dalam melakukan semua ajaran itu. Hanya wacana Itulah mengapa berbagai pelajaran yang ada di negara ini selalu hanya menjadi wacana atau dalam bahasa lain, ilmu hanya untuk dihafal dan bukan untuk dilakukan. Jadi, ke depan pelajaran-pelajaran yang berhubungan dengan K3 harus menjadi bagian dari perilaku anak didik di sekolah dan dilakukan secara rutin.

Salah satu contoh, ketika belajar tentang kebersihan adalah sebagian dari iman, anak-anak jangan dituntut untuk menghafal lalu ke depan satu-satu. Kemudian, anak yang tidak bisa mendapatkan nilai jelek atau perlakukan fisik. Ketika belajar tentang kebersihan, ajaklah anak-anak ke WC untuk membersihkan semua kotoran yang ada di dalamnya, atau minta mereka untuk melihat sekitar ruangan kelasnya, apakah masih ada sampah di sekitarnya. Kalau masih ada, sampah dibersihkan dan dibuang ke tempat sampah.

Ketika akan masuk kelas, biasanya anak-anak disuruh membaca bacaan-bacaan yang terkadang tidak diketahui artinya. Untuk menciptakan sebuah karakter anak didik, apa tidak lebih baik misalnya menyuruh anak membersihkan lingkungan sekitarnya sebelum masuk kelas atau membereskan segala sesuatu yang dianggap belum beres.

Ketika diajari tentang alam, apa tidak sebaiknya anak-anak diajak pergi ke luar kelas, menyaksikan alam di sekitarnya, dan bagaimana alam di sekitarnya bisa seperti itu. Tuntun mereka untuk merenung, lalu lakukan sesuatu yang dapat dilakukan untuk kelestarian alam. Ketika mereka menyaksikan hutan yang gundul, mengapa mereka tidak diminta untuk membawa bibit tanaman untuk ditanam bersama di tempat gundul tersebut.

Jika pola hidup sehat, bersih, dan tertib mulai dipraktikkan sejak kecil, saya kira beberapa tahun ke depan K3 tidak lagi menjadi bagian dari sosialisasi karena telah menjadi pola hidup anak-anak yang kelak sudah menjadi orangtua. Jika sekarang anak sudah dibiasakan dengan pelajaran-pelajaran praktis seperti ini, saya kira mereka tidak akan menjadi orang dewasa dan orangtua saat ini yang hanya hafal K3, tetapi sulit melaksanakannya.

RONI TABRONI Mahasiswa Pascasarjana Konsentrasi Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran Bandung

Muhammadiyah: Pendidikan Karakter Jadi Pijakan

Jakarta, Kompas - Pendidikan karakter, penumbuhan tradisi baca-tulis, serta penguasaan ilmu-ilmu murni menjadi tiga hal yang akan dikembangkan oleh Muhammadiyah dalam mengelola institusi pendidikannya.

"Karakter akan menentukan anak didik dalam bertingkah laku sementara membaca dan menulis akan membantu anak mampu menganalisa dan berpikir sistematis. Adapun penguasaan ilmu murni akan membantu anak didik menguasai teknologi," kata Yahya Muhaimin selaku Ketua Majelis Dikdasmen PP Muhammadiyah dalam Rakernas Majelis Dikdasmen PP Muhammadiyah di Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta, Jumat (2/6).

Menurut Yahya, anak pandai tapi pecundang tak akan banyak gunanya. Maka, sopan santun menjadi hal yang perlu ditekankan sejak dini. Model pendidikan yang dilakukan pun bukan mengekang, namun mengarahkan.

Hal itu terlihat pada hasil didik anak-anak di AS dan Jepang yang sopan-sopan dan beradab. Di AS, anak-anak SMP juga sudah membaca tulisan Hemingway dan Charles Dicken serta bacaan yang memperkaya jiwa lainnya. Sementara di Indonesia, minat bacanya masih sangat rendah. Padahal, kebiasaan membaca terkait dengan peradaban.

"Minimal dua minggu sekali anak-anak diminta membuat karangan, walaupun satu lembar tidak apa-apa. Sedangkan membaca ditarget seminggu berapa buku," kata Yahya.
Menurut mantan Mendiknas era pemerintahan Abdurrahman Wahid ini, kemajuan yang dicapai Indonesia tak akan mungkin berlangsung dalam jangka panjang bilamana bidang pendidikan tidak mampu menopangnya. Sejak dulu pemerintah tampak memberi perhatian pada bidang pendidikan, namun belum sebagai program nasional yang terpadu.
"Pemerintah terkesan sambil lalu dalam mengelola pendidikan, bahkan kadangkala menjadikannya sebagai komoditas politik," kata Yahya. (WSI)

Modal Sukses Anak Bukan Semata-mata "Ranking" di Sekolah

"Anggapan bahwa keberhasilan pendidikan anak ditentukan oleh kemampuannya membaca dan berhitung pada usia dini, tidak benar." Demikian penegasan Ratna Megawangi, Ph.D., direktur eksekutif Institut Pengembangan Pendidikan Holistik Indonesia Heritage Foundation.
Ratna sekarang tengah aktif menyebarluaskan model pendidikan anak berkarakter, yang dinamai Semai Benih Bangsa (SBB) untuk penduduk miskin, dan mengelelola sekolah percontohan untuk pendidikan karakter usia dini, yakni TK Karakter di Cimanggis, Bogor.

Menurut dia, justru kematangan emosi yang terbentuk pada usia prasekolah dan bukan kemampuan membaca dan berhitung- yang menentukan kesuksesan anak. Contohnya, ketertarikan anak terhadap hal-hal yang terjadi di sekitarnya, mempunyai rasa percaya diri, mengetahui cara dan kapan anak meminta bantuan dari guru atau orangorang dewasa lainnya, kesabaran menunggu, mematuhi instruksi, dan mampu bekerja sama dalam kelompok.
Landasan pada usia prasekolahMenurut Ratna, karakter berasal dari bahasa Yunani charassein, artinya mengukir hingga terbentuk sebuah pola. Jadi, untuk mendidik anak agar memiliki karakter diperlukan proses'mengukir', yakni pengasuhan dan pendidikan yang tepat. Kapan mulainya? "Sejak anak dilahirkan. Pendidikan moral hingga anak berusia 2 tahun dapat dilakukan hanya dengan memberikan kasih sayang sebesar-sebesarnya kepada anak," tandas Ratna.
Memasuki usia 2 tahun, anak sudah dapat diajari nilai-nilai moral, bahkan mereka sudah memiliki perasaan empati terhadap kesulitan atau penderitaan orang lain.Agama mengajarkan bahwa setiap manusia memiliki fitrah alami untuk mencintai kebaikan. Namun fitrah hanyalah berupa potensi, belum menjadi perilaku. Untuk mewujudkannya, anak perlu dididik dan diperkenalkan pada aspek perilaku kebaikan.
Anak-anak usia prasekolah harus sudah bisa membedakan beberapa jenis emosi yang dirasakannya, sehingga mereka tidak bingung. Ketika masuk sekolah, mereka harus sudah memiliki bekal kesadaran emosi. Ratna mencontohkan, misalnya rasa bersalah, rasa malu, perasaan disakiti, bangga, dan sebagainya.Untuk itu, Indonesia Heritage Foundation merumuskan nilai-nilai yang patut diajarkan kepada anak-anak untuk menjadikannya pribadi berkarakter.
Ratna menamakannya "9 Pilar Karakter", yakni (1 ) cinta Tuhan dan kebenaran, (2) bertanggung jawab, berdisiplinan, dan mandiri, (3) mempunyai amanah, (4) bersikap hormat dan santun, (5) mempunyai rasa kasih sayang, kepedulian, dan mampu kerja sama, (6) percaya diri, kreatif, dan pantang menyerah, (7) mempunyai rasa keadilan dan sikap kepemimpinan, (8) baik dan rendah hati, (9) mempunyai toleransi dan cinta damai.
Otak kanan = kecerdasan emosi, pentingLain dengan dulu, kini arah pendidikan tidak lagi mementingkan kecerdasan otak kiri (IQ), yang lazim disebut headstart. Namun, seperti diungkapkan Ratna, kini yang lebih dipentingkan adalah kecerdasan emosi yang lebih banyak menggunakan otak kanan, yang disebut heartstart.
Pada metode headstart, anak ditekankan "harus bisa" sehingga ada kecenderungan anak dipaksa belajar terlalu dini. Hal ini membuat anak stres, karena ada ketidaksesuaian dengan dunia bermain dan bereksplorasi yang saat itu sedang dialaminya. Sebaliknya, pola heartstart menekankan pentingnya anak mendapatkan pendidikan karakter (socialemotional learning), belajar dengan cara yang menyenangkan (joyful learning), dan terlibat aktif sebagai subjek bukan menjadi objek (active learning).
Dari data US Department Health and Human Services tahun 2000 terungkap bahwa faktor risiko penyebab kegagalan anak di sekolah, termasuk putus sekolah, adalah rendahnya rasa percaya diri dan keingintahuan, ketidakmampuan mengontrol diri, rendahnya motivasi, kegagalan bersosialisasi, ketidakmampuan bekerja sama, dan rendahnya rasa empati anak. Yang mencengangkan, karena bertolak belakang dengan keyakinan kita selama ini, sukses seseorang di kemudian hari ternyata justru lebih banyak (80%) ditentukan oleh kecerdasan emosi, sedangkan sisanya (20%) oleh kecerdasan koginitif'(IQ).
Dari ke-13 faktor penunjang keberhasilan, 10 di antaranya adalah kualitas karakter seseorang dan hanya 3 yang berkaitan dengan faktor kecerdasan (IQ).Ke-13 faktor tersebut adalah (1 ) jujur dan dapat diandalkan, (2) bisa dipercaya dan tepat waktu, (3) bisa menyesuaikan diri dengan orang lain, (4) bisa bekerja sama derigan atasan, (5) bisa menerima dan menjalankan kewajiban, (6) mempunyai motivasi kuat untuk terus belajar dan meningkatkan kualitas diri, (7) berpikir bahwa dirinya berharga, (8) bisa berkomunikasi dan mendengarkan secara efektif, (9) bisa bekerja mandiri dengan kontrol terbatas, (10) dapat menyelesaikan masalah pribadi dan profesinya.
Tiga yang terakhir yang berkaitan dengan IQ, adalah (1 1 ) mempunyai kemampuan dasar (kecerdasan), (12) bisa membaca dengan pemahaman memadai, (13) mengerti dasar-dasar matematika (berhitung).Jadi, sebagian besar kunci sukses menurut hasil penelitian mutakhir sesungguhnya lebih banyak ditentukan oleh pemberdayaan otak kanan (kecerdasan emosi) daripada otak kiri (kecerdasan intelektual). Namun ternyata kurikulum di sekolah justru sebaliknya! Hal ini menurut Ratna menjadi sumber kerawanan bagi siswa: melakukan tawuran, terjerumus pada narkoba, dan lain-lain, karena anak merasa terlalu terbebani dan stres.Apa yang bisa dilakukan orangtua?

Fase usia 0-3 tahun. Peran orangtua begitu besar, karena landasan moral dibentuk pada umur ini. Cinta dan kasih sayang dari orangtua sangat dibutuhkan anak sepanjang fase ini. Memasuki usia 2-3 tahun, anak sudah dapat diperkenalkan pada sopan santun serta perbuatan baik-buruk. Biasanya anak pada usia ini mencoba-coba melanggar aturan dan agak sulit diatur, sehingga memerlukan kesabaran orangtua.

Fase 0 (usia 4 tahun). Anak mengalami fase egosentris. la senang melanggar aturan, memamerkan diri, dan memaksakan keinginannya. Namun anak mudah didorong untuk berbuat baik, karena ia mengharapkan hadiah (pujian) dan menghindari hukuman. la sudah memiliki kemampuan berempati. Contoh pendidikan karakter: memberikan pujian agar anak berperilaku baik dan memberikan arahan yang jelas ("Anak yang baik, tidak akan memukul temannya."), memberikan aturan atau sanksi yang jelas ("Anak yang berteriak tidak sopan, tidak akan mendapat kesempatan menggambar di papan tulis.").

Fase 1 (umur 4,5-6 tahun). Anak-anak lebih penurut dan bisa diajak kerja sama, agar terhindar dari hukuman orangtua. Anak sudah dapat menerima pandangan orang lain, terutama orang dewasa; bisa menghormati otoritas orangtua/guru; menganggap orang dewasa maha tahu; senang mengadukan teman-temannya yang nakal. Namun jika pada fase ini perilakunya masih seperti fase 0 berarti perkembangan karakternya tidak optimal.Anak-anak pada fase ini sangat mempercayai orangtua/ guru, sehingga penekanan pentingnya perilaku baik dan sopan akan sangat efektif. Namun pendidikan karakter pada fase ini harus memberi peluang pada anak untuk memahami alasan-alasannya. Orangtua tidak cukup hanya mengatakan, misalnya, "Mencuri itu tidak baik." Namun juga perlu memberikan perspektif "Bagaimana kalau kawanmu mencuri mainan kesukaanmu?".

Fase 2 (usia 6,5 - 8 tahun). Anak merasa memiliki hak sebagaimana orang dewasa; tidak lagi berpikir bahwa orang dewasa bisa memerintah anak-anak; mempunyai potensi bertindak kasar akibat menurunnya otoritas orangtua/ guru dalam pikiran mereka; mempunyai konsep keadilan yang kaku, yaitu balas-membalas ("Kalau si A berbuat baik pada saya, saya akan baik pada dia"); memahami perlunya berperilaku baik agar disenangi orang lain; sering membanding-bandingkan dan minta perlakuan adil.Bagaimana mengajarkan pendidikan karakter pada anak usia ini? Berikan pengertian betapa pentingnya "cinta" dalam melakukan sesuatu, tidak semata-mata karena prinsip timbal balik.

Tekankan nilai-nilai agama yang menjunjung tinggi cinta dan pengorbanan. Ajak anak kita merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain. Bantu anak kita berbuat sesuai dengan harapan-harapan kita, tidak semata karena ingin dapat pujian atau menghindari hukuman. Ciptakan hubungan yang mesra, agar anak peduli terhadap keinginan dan harapan-harapan kita. Ingatkan pentingnya rasa sayang antaranggota keluarga dan perluas rasa sayang ini ke luar keluarga, yakni terhadap sesama. Berikan contoh perilaku dalam hal menolong dan peduli pada orang lain.
 

WHEN SUHENG TALK... Template by Ipietoon Cute Blog Design