Thursday, November 15, 2007

Pendidikan Karakter,Sebuah Agenda Perbaikan Moral Bangsa

"EDUKASI "Jakarta, september 2005 lalu, sinar mentari menyengat kota metropolitan siang itu. Ketika kami hendak melangkah memburu berita menyusuri kota yang menjadi jantung ibukota itu, kami menyaksikan semangat yang berkobar untuk membasmi korupsi di negeri ini. Namun, panas mentari tak menjadi penghalang bagi para pahlawan pembasmi korupsi tersebut. Mereka yang mengaku tergabung dalam lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sedang ramai mengadakan kampanye pemberantasan korupsi dengan membagikan buku kecil berukuran 9x14 cm itu kepada setiap orang yang melintas di hadapan mereka. Buku kecil itu mereka sebut buku saku pemberantasan korupsi "Memahami Untuk Membasmi" yang diterbitkan oleh KPK sendiri. Ternyata pembagian buku saku secara gratis tersebut bukan hanya kami jumpai di tempat-tempat umum, kami pun melihat mereka mensosialisasikannya ke tempat-tempat kerja, tempat-tempat formal serta lembaga-lembaga masyarakat baik negeri maupun swasta."

Oleh : Nida nailly Illiyun

Gencarnya aksi pemberantasan korupsi tak pernah surut dan tak lekang dari hadapan kita. Berbagai jargon "Ayo….Lawan korupsi!" Koruptor sehat, rakyat sekarat", terpampang bukan hanya di jala-jalan dan tempat umum, namun tampilan media massa dan iklan pun berlomba-lomba mengusung issue tersebut. Kampanye yang selalu digembor-gemborkan oleh para elit politik dan janji yang ditawarkan kepada rakyat pun, selalu dengan dalih pemberantasan korupsi. Demikian pula yang ditawarkan dalam agenda awal SBY-Kalla dalam "Seratus (100) hari berantas korupsi" masih menjadi pertanyaan besar, sudah berapa prosentase keberhasilan agenda ini?

Masih menjadi negara terkorup
Berkembangnya praktek-praktek korupsi telah mengakar ke seluruh lini kehidupan bangsa Indonesia. Selama kurang lebih satu dasawarsa, sejak pertengahan tahun 1990 hingga sekarang, roda perputaran korupsi masih saja berhembus kencang, nyaris tanpa henti. Nampaknya, masa orde baru telah menjadi lahan subur dan merupakan imbas dari meluasnya praktek korupsi di tingkat elit puncak, yakni di lingkungan istana negara yang melibatkan keluarga Cendana. Skandal korupsi pada masa kepresidenan orde baru telah mencapai jumlah yang sangat fantastis, yaitu lebih dari Rp.700triliun. Sebagaimana yang pernah diteliti oleh George Junus Aditjondro, jumlah ini menurutnya merupakan rekor tertinggi dari prestasi "presidential graft" ditingkat dunia, mengalahkan jumlah korupsi yang diraih para diktator Afrika dan Amerika Latin.

Genderang keras praktek korupsi yang ditabuh pada masa orde baru telah menjadi pemicu berkembang dan berbuahnya praktek korupsi pada era reformasi hingga terus meningkat sampai sekarang. Meskipun berbagai kebijakan presiden SBY telah dilaksanakan, yakni tentang pembersihan korupsi yang dimulai dari lingkungan presiden dan membentuk Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Inpres No.5/2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi) serta Keputusan No.11 2005. Namun tetap tidak mampu mengubah posisi Indonesia menjadi negara terkorup. Hingga saat ini Indonesia masih menduduki peringkat 10 besar dalam indeks persepsi korupsi.

Dari data tersebut peringkat terburuk yang pernah dicapai Indonesia adalah pada tahun 1995 yang menduduki posisi terbawah sebagai negara paling korup se-Asia. Jika kita lihat pada tahun 1997 posisi Indonesia sedikit mengalami peningkatan, dan ini merupakan indeks terbaik yang pernah diperoleh Indonesia pada 12 tahun terakhir yakni dengan skor 2,72. Namun setelah tahun 1997, indeks persepsi korupsi tersebut terus mengalami penurunan. Dan akhirnya pada tengah tahun 1997 itu, Indonesia dinyatakan mengalami krisis ekonomi yang kemudian diikuti dengan berbagai krisis lain seperti politik, budaya, sosial dan multi krisis lain hingga pada parahnya krisis moral dan kepercayaan.

Berbagi ikhtiar, taktik, siasat dan berbagi pendekatan serta kebijakan hukum telah dilakukan di bawah lima kursi kepemimpinan presiden, mulai dari Soeharto, Habibie Gusdur, Megawati hingga SBY masing-masing mempunyai jalan tersendiri untuk memotong laju korupsi yang telah mengakar di negeri ini. Tetapi mulai dari orde baru, reformasi hingga sekarang hasilnya masih sama saja. Mengapa begitu sulit memberangus korupsi di negeri ini?

Memicu perdebatan, muatan anti korupsi masuk kurikulum
Meskipun telah menjamur dan menjadi bahasan yang tidak pernah berhenti untuk dibicarakan, namun masalah korupsi tak pernah mematahkan semangat para pakar patologi dan para founding fathers untuk terus mencari jalan keluar dalam mengatasi masalah korupsi tersebut. SBY telah mengimbau kepada semua pihak dari mulai masyarakat sipil, organisasi non pemerintah dan aktivis anti korupsi hingga media massa agar semuanya melibatkan diri dalam usaha pemberantasan korupsi.

Praktek korupsi memang sudah semakin sistemik dan susah untuk diurai akarnya. Berbagai cara untuk mencegah dan memeranginya telah diupayakan hingga melibatkan semua pihak, termasuk menggunakan institusi pendidikan sebagai media untuk memperbaiki moral bangsa dan menanamkan nilai-nilai anti korupsi. Pasalnya, institusi pendidikan adalah tempat terbaik untuk mencetak kader bangsa di masa depan. Dan diharapkan turut aktif untuk memerangi korupsi sebagai musuh terbesar bangsa kita selama ini.

Nampaknya, pemberantasan korupsi bukan hanya menjadi perdebatan dan issue hangat di dunia para elit politik. Para tokoh elit pendidikan akhir-akhir ini pun juga disibukkan dengan pro kontra penerapan "Pendidikan Anti Korupsi". "Misi-misi pendidikan anti korupsi memang perlu kita terapkan juga dalam lembaga pendidikan, kami yang akan mengawali", Ungkap Eko S. Djiptadi, anggota KPK ini dengan semangat ketika kami temui di tengah kesibukannya. "Itu sudah kami programkan, dan kami telah melakukan training of trainer ke beberapa sekolah untuk segera melaksanakan Pendidikan Anti Korupsi", tambahnya.

Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, Syahruddin Rosul juga menyatakan, "Bangsa ini perlu pendidikan seumur hidup. Saat ini kami mencoba membuat desain pendidikan anti korupsi seumur hidup, dan ini sudah mulai diajarkan dan ditanamkan sejak dalam lingkungan keluarga. Pendidikan anti korupsi tersebut memiliki efek jangka panjang dan langsung tertanam dalam mental generasi muda. Ujarnya, ketika kami temui di hotel Grand Candi, Semarang.

Disini, program yang dicetuskan oleh KPK memang telah berjalan sekitar pertengahan tahun 2006 lalu, dan telah dilaksanakan di beberapa institusi pendidikan, seperti Udayana (), Andalas (Ujung Pandang), dan di Jawa Tengah telah digodok oleh UNIKA Soegiyopranata. KPK hanya sebagai trainer, dan yang menjadi pelaksana untuk terjun langsung berhadapan dengan peserta didik adalah para tokoh masyarakat, dan para mahasiswa. Guru tidak diikutkan dalam hal ini, alasannya agar murid tidak merasa bosan karena yang mereka temui adalah wajah-wajah baru. Apalagi dipilihnya para mahasiswa, dapat menambah semangat baru untuk belajar.

Eko S.Djiptadi juga menuturkan bahwa dalam aplikasinya tidak perlu ada materi khusus pembelajaran anti korupsi dalam kurikulum di sekolah. Karena pendidikan anti korupsi dapat diberikan sebagai kegiatan ekstra kurikuler atau dengan menanamkan nilai-nilai pembelajaran anti korupsi secara terintegrasi dalam mata pelajaran yang sudah ada.

Pernyataan ini juga ditegaskan oleh ketua Badan Standar Nasoional Pendidikan (BSNP), Prof.Dr.M.Yunan Yusuf yang menyatakan bahwa tidak akan memasukkan muatan anti korupsi dalam mata pelajaran sendiri, mengingat kurikulum pendidikan saat ini sudah sarat beban sehingga tidak mungkin untuk menambah mata pelajaran baru anti korupsi. "Kami hanya akan merumuskan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar untuk memasukkan muatan anti korupsi ke dalam mata pelajaran yang ada kaitannya dengan moral dan budi pekerti, seperti Kewarganegaraan dan Pendidikan Agama. Setiap satuan pendidikan mempunyai otonomi untuk mengembangkannya sesuai dengan kemampuan dan local wisdom yang dimiliki masing-masing. Yang penting mereka telah mencapai SK-KD yang telah kami berikan", ungkap Ketua BSNP itu.
Sejak wacana pendidikan anti korupsi digulirkan pada pertengahan tahun 2006, disinyalir masih memicu perdebatan di kalangan para aktivis anti korupsi. Sepertinya penerapan konsep pendidikan anti korupsi mendapat tanggapan pesimis, dan malah hanya akan menjadi bumerang bagi institusi pendidikan sendiri.

Analisis dari anggota Indonesia Coruption Wach (ICW) dan anggota Koalisi Pendidikan, Ade Irawan menilai bahwa institusi pendidikan justru akan menjadi garda depan dalam upaya mendidik orang untuk melakukan korupsi. Terbukti, departemen yang mengusung tema pendidikan pun, yakni Diknas dan Depag merupakan institusi yang paling banyak penyelewengannya. ICW juga pernah membuat peta korupsi di institusi pendidikan yang dibagi menjadi 4 lapis korupsi di pendidikan. Lapis pertama adalah korupsi yang dilakukan oleh guru, ini mungkin disebabkan karena faktor kebutuhan (Corruption by need) karena selama ini kesejahteraan guru masih sangat minim. Yang kedua adalah korupsi yang dilakukan oleh kepala sekolah. Lapis ketiga korupsi yang dilakukan oleh komite sekolah, dan yang terakhir adalah korupsi yang dilakukan oleh dinas pendidikan (seperti Diknas dan Depag).

Masih menurut Ade Irawan, jika pendidikan anti korupsi dipaksa masuk kurikulum, maka dalam dataran teknis masih akan terbentur banyak kendala. Sebab problem intern dari pendidikan belum diselesaikan, harus ada pembenahan secara serius nalar koruptif dalam dunia pendidikan dan pemerintah harus mengutamakan kesejahteraan serta mutu guru. Katanya, "Sebaik apapun kurikulum yang akan digunakan, jika mutu guru rendah nonsent pendidikan tidak akan pernah berhasil".

Di tempat berbeda hal senada juga dibenarkan oleh Koordinator Koalisi Pendidikan, Lodi Paat, menurutnya ketika korupsi masih menggerogoti dunia pendidikan di Indonesia sampai tingkat sekolah, pelajaran anti korupsi hanya akan menjadi pengetahuan belaka. Jauh lebih baik jika nilai-nilai tentang keadilan dan kejujuran yang ditanamkan pada murid melalui berbagai mata pelajaran di sekolah. "Di sekolah jarang sekali ada murid berani protes dan bilang; ini tidak adil!. Pembentukan sikap seperti inilah yang lebih penting daripada hanya memberi pengetahuan tentang korupsi", katanya ketika crew edukasi menemuinya saat seminar PP guru di hotel Mustika, Jakarta.

Pemberantasan korupsi melalui jalur pendidikan harus kita sikapi secara positif. Kita sudah tidak lagi bisa, jika hanya mengandalkan kinerja lembaga-lembaga di bawah payung hukum untuk menangani kasus korupsi. Hasil survei Global Coruption Barometer yang dipapar Tranperency Internasional Indonesia (TII) belum lama ini, lembaga peradilan (pengadilan dan kejakssan) menempati posisi di bawah DPR (lembaga yang dianggap terkorup 2006). Setelah peradilan, menyusul kemudian kepolisian dengan skor sama 4,2 dan berikutnya parpol dengan indeks 4,1 persen (Jawa Pos, 8/01).

Tidak ada jalan lain, kita harus kembali menata konsep pendidikan kita untuk memotong laju korupsi dengan menerapkan pendidikan moral sejak dini sesuai dengan tujuan pendidikan nasional, agar negeri ini mempunyai SDM yang memiliki derajat moralitas tinggi.

Moralitas pendidikan
Prof. Schoorl (1982) berpendapat bahwa, praktek-praktek pendidikan merupakan wahana terbaik dalam menyiapkan SDM dengan derajat moralitas tinggi. Di negara kita, tujuan Pendidikan Nasional diidealisasikan sebagaimana termuat dalam UU-RI No.2 tahun 1989 pasal 4, "Pendidikan Nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan YME dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan ketrampilan, kepribadian yang mantap dan mandiri, serta bertanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan". Jika tujuan ini dapat terwujud dalam realita pendidikan kita, kita tidak perlu bermimpi untuk mempunyai bang yang berkepribadian tangguh, terdidik, bersih dari segala bentuk penyimpangan serta masyarakat yang menjunjung tinggi moralitas.

Sayangnya, praktek-praktek demoralisasi juga telah mewabah menjangkiti dunia pendidikan yang tidak pernah memberikan mainstream untuk berperilaku jujur dan hanya mengajarkan pendidikan moral dan budi pekerti sebatas tekstualis, yang ketika keluar dari pagar sekolah siswa harus menghadapi kehidupan yang kontradiktif.

Bahkan, fenomena lahirnya praktek korupsi juga berawal dari dunia pendidikan, ditandai dengan gejala tereduksinya moralitas dan nurani sebagian dari kalangan akademisi dengan bukti empirik masih tingginya angka kebocoran di institusi terkait, pengkatrolan nilai oleh guru, plagiatisme naskah-naskah skripsi dan tesis, menjamurnya budaya nyontek para murid, korupsi waktu mengajar, dan sebagainya.
Selama ini merosotnya kualitas pendidikan nasional hanya terfokus pada persoalan untuk menyiapkan peserta didik agar mampu bersaing di era pasar global, sehingga yang disorot hanyalah dari hasil kelulusan (output) belaka. Sementara penanaman moral dan pencapaian tujuan pendidikan nasional untuk mampu mencetak generasi yang bukan hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga cerdas secara emosional dan spiritual menjadi terlupakan. Disinilah perlu adanya pembenahan dalam pembentukan moralitas pendidikan yang secara praksisnya termuat secara tersembunyi di dalam kurikulum (hidden curriculum).

Perlu pendidikan holistik
Ratna Megawangi, pendiri IHF (Indonesia Heterage Foundation) berpendapat, "Pendidikan disebut holistik itu, adalah hol yang artinya menyeluruh. Kita membangun manusia bukan hanya dari dimensi kognitif saja. Bagaimana kita menyeimbangkan fungsi otak kanan dan otak kiri, itulah yang penting. Karena selama ini, hanya otak kiri saja (hafalan) itu, yang membuat negara kita tidak berkembang dan output nya belum bisa menjadi manusia seutuhnya".

Seutuhnya itu disebut holy. Dalam bahasa Inggris holistik itu dari kata holy dan healty. Orang yang bijak itu biasanya disebut holinan. Sebab ia berkembang secara menyeluruh, secara utuh. Bahwa ini menunjukkan kita pintar tapi tidak bermoral/licik. Atau pintar tapi suka iri, dengki terhadap orang lain, pintar tapi suka menghujat orang. Kita harus sadar bahwa ada sesuatu yang salah disini jadi manusia harus dikembangkan secara holistik dari emosinya, kretifitasnya, kemampuan dan interaksi sosialnya, kognitif motorik dan afektifnya juga. Kasar dan halus, semua tangan harus dilatih, sehingga seperti orang Jepang dengan origaminya yang bisa menciptakan produk-produk yang sangat halus karena terlatih.

Perdebatan mengenai wacana pendidikan anti korupsi signifikan atau tidak jika diterapkan dalam kurikulum menjadi berkepanjangan tanpa kata akhir, sebelum hasil penelitian mengemukakan data yang valid dan representatif yang memenuhi syarat normatif yang berlaku secara universal. Apapun itu hasilnya nanti, tujuan sebenarnya dimasukkannya pendidikan anti korupsi dalam kurikulum merupakan kerangka dalam rangka menciptakan manusia yang utuh (holistic), kokoh dan tangguh.

Disini kami mencoba memberikan beberapa sample pendidikan holistic dari beberapa lembaga yang selama ini telah berdiri atas dasar keprihatianan terhadap institusi pendidikan kita, khususnya dalam rangaka menata moral dan martabat bangsa.

Pentingnya penanaman karakter sejak dini
Dr. ir. Ratna Megawangi, M. Sc menilai, pendidikan karakter dan akhlak yang baik selama ini kurang mendapat penekanan dalam sistem pendidikan negara kita. Pelajaran PMP, agama atau budipekerti selama ini dianggap tidak berhasil. Karena pengajarannya hanya sebatas teori tanpa adanya refleksi dari nilai-nilai pendidikan tersebut. Akibatnya anak tumbuh menjadi manusia yang tidak memiliki karakter, bahkan dinilai lebih buruk lagi menjadi generasi yang tidak bermoral.

Melihat kondisi tersebut, Ratna Megawangi mempelopori sebuah sistem pendidikan yang menekankan pembentukan karakter dan akhlak bagi anak-anak indonesia melalui Yayasan Indonesia Heritage Foundation (IHF).(Mitranetra,24-05).

IHF ini telah membentuk sebuah model komprehensif pendidikan pra sekolah yang dapat diadopsi oleh masyarakat luas, terutama masyarakat miskin. Model ini adalah sebuah usaha untuk melakukan pendidikan karakter secara holistic yang melibatkan aspek "knowledge, felling, loving, dan acting". Model ini telah diterapkan melalui kegiatan Semai Benih Bangsa (SBB) dan TK.

Pada dasarnya anak yang kualitas karakternya rendah adalah anak yang tingkat perkembangan emosi-sosialnya rendah. Maka penerapan karakter di usia dini merupakan hal yang sangat penting untuk dilakukan. Thomas Lickona (1991) mendefinisikan orang yang berkarkter sebagai sifat alami seseorang dalam merespons situasi secara bermoral, yang dimanifestasikan dalam tindakan nyata melalui tingkah laku yang bak, jujur, bertanggung jawab, menghormati orang lain serta karakter mulia lainnya. Seperti yang diungkapkan Aristoteles bahwa karakteristik itu erat kaitannya dengan habit atau kebiasaan yang dilakukan secara terus –menerus.

Jadi konsep yang dibangun dari model ini adalah habit of the mind, habit of the heart dan habit of the hands. Sejauh ini sudah ada sekitar 200 SBB yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia. Jika anda tertarik untuk mendirikan TK informal ini atau ingin mengetahui lebih banyak, jangan lewatkan wawancara crew edukasi oleh Ratna Megawangi atau datang langsung ke IHF di Cimanggis, Depok.

Menyiapkan Guru yang tidak mudah stress
Terapi stres, sebut saja begitu. Program MTDS (Mengajar tanpa dihajar strees) ini adalah merupakan salah satu seni memberdaya diri bagi para pendidik yang dipelopori oleh Lembaga Anand Asrham dan didirikan oleh Anand Krishna serta telah diresmikan pad tahun 2002 oleh Menteri Pendidikan Nasional RI , Prof. Dr. H. Abdul Malik Fadjar, M.Sc.
Dalam institusi pendidikan, guru menjadi ujung tombak moralisasi anak, meskipun tidak semua guru menyadari akan tugas tersebut. Lawrence Kohlberg (1995) mengemukakan bahwa kebanyakan guru tidak menyadari sepenuhnya bahwa mereka seharusnya berurusan dengan persoalan-persoalan pendidikan moral. Guru disamping memberikan contoh perilaku bermoral, seharusnya juga merumuskan nilai-nilai dasar moral bagi anak, dan bahwa sebagian dari akibatnya secara tidak sadar telah mendidik mereka secara moral (Prof. Dr. sudarwan Danim).

Menurut Anand Krishna, bila kita ingin menyelamatkan bangsa dan negara kita dat\ri malapetaka, maka para guru kita, harus diselamatkan dulu. Para guru harus dalam keadaan fit dan bersemangat untuk mendidik, bukan hanya mengajar untuk upah saja. Pemerintah juga harus menyusun anggaran negara untuk pendidikan jauh lebih tinggi dari anggaran untuk kesejahteraan nyata dan "gaib" para politisi, wakil rakyat, pejabat tinggi dan sebagainya. Para wakil rakyat harus sadar bahwa tanpa guru, mereka tidak ada. Keberadaan mereka semata-mata karena guru. Urusi dulu kesejahteraan guru, baru lain-lain.

Program MTDS di Anand ashram dan 2 sayap di bawah naungannya, yaitu Forum Kebangkiatan Jiwa dan Institut Pendidikan Holistic, adalah mengembalikan semangat mendidik kepada para pendidik, kepada para guru. Serta mengajak para guru untuk menyiapkan payung sebelum turun hujan. Sebab temuan para medis kontemporer mengatakan menyatakan bahwa hampir 70 % penyakit kita disebabkan oleh stres. Profesi seorang guru memang tidak bisa dielakkan dari masalah stres seperti, beban pekerjaan, tuntutan orang tua murid, masih ditambah lagi kewajiban terhadap keluarga. Apalagi pada era milinium ketiga tantang yang dihadapi para guru, dosen, pendidik, jauh lebih berat dari era milinia sebelumnya.

Anand Krishna juga menambahkan, para guru harus menjadi sempurna, kamil, sehingga dapat menularkan kesempurnaannya, dan seorang guru harus mengurusi dirinya terlebih dahulu, mengurusi kesehatannya secara menyeluruh, holistic. Secara fisik, ia harus sehat. Intelektualnya pun sehat, ia memiliki apa yang disebut akal sehat. Emosinya tidak bergejolak. Wawasannya spiritual, universal-ia tidak lagi mengotakkan manusia berdasarkan latar belakang ras, agama, dan sebagainya.

0 comments:

 

WHEN SUHENG TALK... Template by Ipietoon Cute Blog Design