"Anggapan bahwa keberhasilan pendidikan anak ditentukan oleh kemampuannya membaca dan berhitung pada usia dini, tidak benar." Demikian penegasan Ratna Megawangi, Ph.D., direktur eksekutif Institut Pengembangan Pendidikan Holistik Indonesia Heritage Foundation.
Ratna sekarang tengah aktif menyebarluaskan model pendidikan anak berkarakter, yang dinamai Semai Benih Bangsa (SBB) untuk penduduk miskin, dan mengelelola sekolah percontohan untuk pendidikan karakter usia dini, yakni TK Karakter di Cimanggis, Bogor.
Menurut dia, justru kematangan emosi yang terbentuk pada usia prasekolah dan bukan kemampuan membaca dan berhitung- yang menentukan kesuksesan anak. Contohnya, ketertarikan anak terhadap hal-hal yang terjadi di sekitarnya, mempunyai rasa percaya diri, mengetahui cara dan kapan anak meminta bantuan dari guru atau orangorang dewasa lainnya, kesabaran menunggu, mematuhi instruksi, dan mampu bekerja sama dalam kelompok.
Menurut dia, justru kematangan emosi yang terbentuk pada usia prasekolah dan bukan kemampuan membaca dan berhitung- yang menentukan kesuksesan anak. Contohnya, ketertarikan anak terhadap hal-hal yang terjadi di sekitarnya, mempunyai rasa percaya diri, mengetahui cara dan kapan anak meminta bantuan dari guru atau orangorang dewasa lainnya, kesabaran menunggu, mematuhi instruksi, dan mampu bekerja sama dalam kelompok.
Landasan pada usia prasekolahMenurut Ratna, karakter berasal dari bahasa Yunani charassein, artinya mengukir hingga terbentuk sebuah pola. Jadi, untuk mendidik anak agar memiliki karakter diperlukan proses'mengukir', yakni pengasuhan dan pendidikan yang tepat. Kapan mulainya? "Sejak anak dilahirkan. Pendidikan moral hingga anak berusia 2 tahun dapat dilakukan hanya dengan memberikan kasih sayang sebesar-sebesarnya kepada anak," tandas Ratna.
Memasuki usia 2 tahun, anak sudah dapat diajari nilai-nilai moral, bahkan mereka sudah memiliki perasaan empati terhadap kesulitan atau penderitaan orang lain.Agama mengajarkan bahwa setiap manusia memiliki fitrah alami untuk mencintai kebaikan. Namun fitrah hanyalah berupa potensi, belum menjadi perilaku. Untuk mewujudkannya, anak perlu dididik dan diperkenalkan pada aspek perilaku kebaikan.
Anak-anak usia prasekolah harus sudah bisa membedakan beberapa jenis emosi yang dirasakannya, sehingga mereka tidak bingung. Ketika masuk sekolah, mereka harus sudah memiliki bekal kesadaran emosi. Ratna mencontohkan, misalnya rasa bersalah, rasa malu, perasaan disakiti, bangga, dan sebagainya.Untuk itu, Indonesia Heritage Foundation merumuskan nilai-nilai yang patut diajarkan kepada anak-anak untuk menjadikannya pribadi berkarakter.
Ratna menamakannya "9 Pilar Karakter", yakni (1 ) cinta Tuhan dan kebenaran, (2) bertanggung jawab, berdisiplinan, dan mandiri, (3) mempunyai amanah, (4) bersikap hormat dan santun, (5) mempunyai rasa kasih sayang, kepedulian, dan mampu kerja sama, (6) percaya diri, kreatif, dan pantang menyerah, (7) mempunyai rasa keadilan dan sikap kepemimpinan, (8) baik dan rendah hati, (9) mempunyai toleransi dan cinta damai.
Otak kanan = kecerdasan emosi, pentingLain dengan dulu, kini arah pendidikan tidak lagi mementingkan kecerdasan otak kiri (IQ), yang lazim disebut headstart. Namun, seperti diungkapkan Ratna, kini yang lebih dipentingkan adalah kecerdasan emosi yang lebih banyak menggunakan otak kanan, yang disebut heartstart.
Pada metode headstart, anak ditekankan "harus bisa" sehingga ada kecenderungan anak dipaksa belajar terlalu dini. Hal ini membuat anak stres, karena ada ketidaksesuaian dengan dunia bermain dan bereksplorasi yang saat itu sedang dialaminya. Sebaliknya, pola heartstart menekankan pentingnya anak mendapatkan pendidikan karakter (socialemotional learning), belajar dengan cara yang menyenangkan (joyful learning), dan terlibat aktif sebagai subjek bukan menjadi objek (active learning).
Dari data US Department Health and Human Services tahun 2000 terungkap bahwa faktor risiko penyebab kegagalan anak di sekolah, termasuk putus sekolah, adalah rendahnya rasa percaya diri dan keingintahuan, ketidakmampuan mengontrol diri, rendahnya motivasi, kegagalan bersosialisasi, ketidakmampuan bekerja sama, dan rendahnya rasa empati anak. Yang mencengangkan, karena bertolak belakang dengan keyakinan kita selama ini, sukses seseorang di kemudian hari ternyata justru lebih banyak (80%) ditentukan oleh kecerdasan emosi, sedangkan sisanya (20%) oleh kecerdasan koginitif'(IQ).
Dari ke-13 faktor penunjang keberhasilan, 10 di antaranya adalah kualitas karakter seseorang dan hanya 3 yang berkaitan dengan faktor kecerdasan (IQ).Ke-13 faktor tersebut adalah (1 ) jujur dan dapat diandalkan, (2) bisa dipercaya dan tepat waktu, (3) bisa menyesuaikan diri dengan orang lain, (4) bisa bekerja sama derigan atasan, (5) bisa menerima dan menjalankan kewajiban, (6) mempunyai motivasi kuat untuk terus belajar dan meningkatkan kualitas diri, (7) berpikir bahwa dirinya berharga, (8) bisa berkomunikasi dan mendengarkan secara efektif, (9) bisa bekerja mandiri dengan kontrol terbatas, (10) dapat menyelesaikan masalah pribadi dan profesinya.
Tiga yang terakhir yang berkaitan dengan IQ, adalah (1 1 ) mempunyai kemampuan dasar (kecerdasan), (12) bisa membaca dengan pemahaman memadai, (13) mengerti dasar-dasar matematika (berhitung).Jadi, sebagian besar kunci sukses menurut hasil penelitian mutakhir sesungguhnya lebih banyak ditentukan oleh pemberdayaan otak kanan (kecerdasan emosi) daripada otak kiri (kecerdasan intelektual). Namun ternyata kurikulum di sekolah justru sebaliknya! Hal ini menurut Ratna menjadi sumber kerawanan bagi siswa: melakukan tawuran, terjerumus pada narkoba, dan lain-lain, karena anak merasa terlalu terbebani dan stres.Apa yang bisa dilakukan orangtua?
Fase usia 0-3 tahun. Peran orangtua begitu besar, karena landasan moral dibentuk pada umur ini. Cinta dan kasih sayang dari orangtua sangat dibutuhkan anak sepanjang fase ini. Memasuki usia 2-3 tahun, anak sudah dapat diperkenalkan pada sopan santun serta perbuatan baik-buruk. Biasanya anak pada usia ini mencoba-coba melanggar aturan dan agak sulit diatur, sehingga memerlukan kesabaran orangtua.
Fase 0 (usia 4 tahun). Anak mengalami fase egosentris. la senang melanggar aturan, memamerkan diri, dan memaksakan keinginannya. Namun anak mudah didorong untuk berbuat baik, karena ia mengharapkan hadiah (pujian) dan menghindari hukuman. la sudah memiliki kemampuan berempati. Contoh pendidikan karakter: memberikan pujian agar anak berperilaku baik dan memberikan arahan yang jelas ("Anak yang baik, tidak akan memukul temannya."), memberikan aturan atau sanksi yang jelas ("Anak yang berteriak tidak sopan, tidak akan mendapat kesempatan menggambar di papan tulis.").
Fase 1 (umur 4,5-6 tahun). Anak-anak lebih penurut dan bisa diajak kerja sama, agar terhindar dari hukuman orangtua. Anak sudah dapat menerima pandangan orang lain, terutama orang dewasa; bisa menghormati otoritas orangtua/guru; menganggap orang dewasa maha tahu; senang mengadukan teman-temannya yang nakal. Namun jika pada fase ini perilakunya masih seperti fase 0 berarti perkembangan karakternya tidak optimal.Anak-anak pada fase ini sangat mempercayai orangtua/ guru, sehingga penekanan pentingnya perilaku baik dan sopan akan sangat efektif. Namun pendidikan karakter pada fase ini harus memberi peluang pada anak untuk memahami alasan-alasannya. Orangtua tidak cukup hanya mengatakan, misalnya, "Mencuri itu tidak baik." Namun juga perlu memberikan perspektif "Bagaimana kalau kawanmu mencuri mainan kesukaanmu?".
Fase 2 (usia 6,5 - 8 tahun). Anak merasa memiliki hak sebagaimana orang dewasa; tidak lagi berpikir bahwa orang dewasa bisa memerintah anak-anak; mempunyai potensi bertindak kasar akibat menurunnya otoritas orangtua/ guru dalam pikiran mereka; mempunyai konsep keadilan yang kaku, yaitu balas-membalas ("Kalau si A berbuat baik pada saya, saya akan baik pada dia"); memahami perlunya berperilaku baik agar disenangi orang lain; sering membanding-bandingkan dan minta perlakuan adil.Bagaimana mengajarkan pendidikan karakter pada anak usia ini? Berikan pengertian betapa pentingnya "cinta" dalam melakukan sesuatu, tidak semata-mata karena prinsip timbal balik.
Tekankan nilai-nilai agama yang menjunjung tinggi cinta dan pengorbanan. Ajak anak kita merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain. Bantu anak kita berbuat sesuai dengan harapan-harapan kita, tidak semata karena ingin dapat pujian atau menghindari hukuman. Ciptakan hubungan yang mesra, agar anak peduli terhadap keinginan dan harapan-harapan kita. Ingatkan pentingnya rasa sayang antaranggota keluarga dan perluas rasa sayang ini ke luar keluarga, yakni terhadap sesama. Berikan contoh perilaku dalam hal menolong dan peduli pada orang lain.
Fase usia 0-3 tahun. Peran orangtua begitu besar, karena landasan moral dibentuk pada umur ini. Cinta dan kasih sayang dari orangtua sangat dibutuhkan anak sepanjang fase ini. Memasuki usia 2-3 tahun, anak sudah dapat diperkenalkan pada sopan santun serta perbuatan baik-buruk. Biasanya anak pada usia ini mencoba-coba melanggar aturan dan agak sulit diatur, sehingga memerlukan kesabaran orangtua.
Fase 0 (usia 4 tahun). Anak mengalami fase egosentris. la senang melanggar aturan, memamerkan diri, dan memaksakan keinginannya. Namun anak mudah didorong untuk berbuat baik, karena ia mengharapkan hadiah (pujian) dan menghindari hukuman. la sudah memiliki kemampuan berempati. Contoh pendidikan karakter: memberikan pujian agar anak berperilaku baik dan memberikan arahan yang jelas ("Anak yang baik, tidak akan memukul temannya."), memberikan aturan atau sanksi yang jelas ("Anak yang berteriak tidak sopan, tidak akan mendapat kesempatan menggambar di papan tulis.").
Fase 1 (umur 4,5-6 tahun). Anak-anak lebih penurut dan bisa diajak kerja sama, agar terhindar dari hukuman orangtua. Anak sudah dapat menerima pandangan orang lain, terutama orang dewasa; bisa menghormati otoritas orangtua/guru; menganggap orang dewasa maha tahu; senang mengadukan teman-temannya yang nakal. Namun jika pada fase ini perilakunya masih seperti fase 0 berarti perkembangan karakternya tidak optimal.Anak-anak pada fase ini sangat mempercayai orangtua/ guru, sehingga penekanan pentingnya perilaku baik dan sopan akan sangat efektif. Namun pendidikan karakter pada fase ini harus memberi peluang pada anak untuk memahami alasan-alasannya. Orangtua tidak cukup hanya mengatakan, misalnya, "Mencuri itu tidak baik." Namun juga perlu memberikan perspektif "Bagaimana kalau kawanmu mencuri mainan kesukaanmu?".
Fase 2 (usia 6,5 - 8 tahun). Anak merasa memiliki hak sebagaimana orang dewasa; tidak lagi berpikir bahwa orang dewasa bisa memerintah anak-anak; mempunyai potensi bertindak kasar akibat menurunnya otoritas orangtua/ guru dalam pikiran mereka; mempunyai konsep keadilan yang kaku, yaitu balas-membalas ("Kalau si A berbuat baik pada saya, saya akan baik pada dia"); memahami perlunya berperilaku baik agar disenangi orang lain; sering membanding-bandingkan dan minta perlakuan adil.Bagaimana mengajarkan pendidikan karakter pada anak usia ini? Berikan pengertian betapa pentingnya "cinta" dalam melakukan sesuatu, tidak semata-mata karena prinsip timbal balik.
Tekankan nilai-nilai agama yang menjunjung tinggi cinta dan pengorbanan. Ajak anak kita merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain. Bantu anak kita berbuat sesuai dengan harapan-harapan kita, tidak semata karena ingin dapat pujian atau menghindari hukuman. Ciptakan hubungan yang mesra, agar anak peduli terhadap keinginan dan harapan-harapan kita. Ingatkan pentingnya rasa sayang antaranggota keluarga dan perluas rasa sayang ini ke luar keluarga, yakni terhadap sesama. Berikan contoh perilaku dalam hal menolong dan peduli pada orang lain.
0 comments:
Post a Comment