2. Sumber Karakter dan Metode Pendidikannya
Ketika Barat yang sekuler dan Timur yang religi mengakui adanya nilai-nilai universal yang bercorak spiritual dalam setiap kesuksesan yang diraih manusia, psikolog, filosof dan ilmuwan Barat bertanya-tanya dari mana sebenarnya nilai-nilai universal itu berasal dan bersumber. Pertanyaan mendasar inilah yang tidak mampu dijawab oleh kecanggihan psikologi Barat dan spiritualitas non Islam.Demikian pula halnya dalam perumusan karakter positif yang harus dimiliki anak.
Tasawuf sebagai sebuah filsafat akhlak sejak awal pertumbuhannya telah mampu menjawab pertanyaan tersebut. Jalan terang menuju sumber karakter ini ditunjukkan oleh sebuah hadits populer yang berbunyi تَخَلَّقُوْا بِأَخْلاَقِ اللهِ تعالى . Berakhlaklah dengan akhlak Allah. Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Allah memiliki 117 karakrer, barang siapa yang mempraktekan satu karakter saja ia akan masuk surga.[10] Bertitik tolak dari hadits inilah dalam tradisi sufi selalu dibicarakan upaya meneladani dan mengadopsi sifat-sifat Allah sebagai sumber dan metode pembentukan karakter.
Penjelasan terbaik dan terlengkap tentang pemaknaan al-Asma al-Husna sebagai sumber karakter barangkali terdapat dalam karya al-Ghazali, al-Maqshad al-Asna Syarh Asma Allah al-Husna (Tujuan Puncak dari Nama-Nama Allah). Al-Ghazali menyebutkan empat prinsip dalam memahami dan memaknai al-Asma al-Husna. Prinsip terakhir terakhir menjelaskan bahwa kesempurnaan dan kebahagiaan seorang hamba terletak pada peniruan dan pengadopsian karakter-karakter Allah dan menghasi diri dengan makna-makna yang terkandung dalam nama-nama Allah itu sesuai dengan dimensi kemanusiaannya.
Bagi seorang murid tasawuf yang sering disebut salik (penempuh jalan), nama-nama Allah bukan sekedar untuk didengar ungkapannya, dimengerti makna bahasany dan diyakini secara doktriner eksistensinya pada Allah. Banyak orang bisa melakukan tiga tahapan ini tanpa harus menempuh pendidikan tasawuf. Ada tiga langkah yang harus ditempuh seorang murid untuk meraih kesempurnaan dan kebahagiaan dimaksud. Pertama, memahami makna-makna setiap nama dengan cara mukasyafah dan musyahadah sehingga tampak jelas baginya hakikat-hakikatnya melalui dalil yang tidak mungkin salah dan tersingkap kebersifatan Allah dengan sifat-sifat itu dengan penuh keyakinan yang benar-benar terasa yang berbeda dengan keyakinan doktriner.
Kedua, menghormati dan memuliakan sifat-sifat keagungan yang telah tersingkap yang mendorong kerinduan untuk memiliki karakter seperti sifat-sifat Allah. Dalam tahapan ini al-Ghazali menganalogikan kerinduan berkarakter ini dengan hubungan guru-murid. Seorang murid bila telah menyaksikan kehebatan ilmu gurunya maka dalam dirinya akan tumbuh kerinduan untuk menyerupai dan mengikuti sang guru. Ketiga, berusaha mengadopsi sifat-sifat itu dan menghiasi diri dengannya sehingga ia menjadi seorang rabbâni, yaitu orang yang dekat dengan Allah.
Namun demikian sangat perlu digarisbawahi bahwa peniruan atau pengadopsian sifat-sifat Allah ini bukan berarti menyamakan Allah dengan manusia atau manusia mampu menyamai Allah. Prinsip bahwa Allah tidak menyerupai sesuatu pun dan tak sesuatu pun yang menyerupai Allah (adam al-Mumâtsalah) tetap menjadi prinsip. Dalam hal ini al-Ghazali memilah antara musyârakah dan mumâtsalah. Yang tidak mungkin terjadi adalah mumâtsalah atau kesamaan secara persis yang menjangkau sisi esensial atau dzat.
Ada pun musyarakah secara faktual itu telah terjadi karena hanya berkenaan dengan aspek lahir. Sebagai misal, ketika kita mengatakan Allah berkuasa (qâdir), Allah mendengar (samî’), Allah melihat (bashir), Allah berbicara (mutakallim), bukankah kita pun mengatakan demikian kepada manusia. Si berkuasa, si B mendengar, si C melihat, si D berbicara, dan seterusnya. Hal ini hanya menunjukkan keserupaan dalam segi penyebutan.
Adapun hakikat bekuasa, mendengar, melihat, berbicara Allah dengan manusia adalah wilayah yang tidak bisa dan tidak mungkin disamakan. Al-Ghazali dengan tegas menolak proses takhalluq atau pengadopsian karakter yang dilakukan melalui cara intiqâl, ittihâd dan hulûl. Intiqâl adalah mentransfer (hakikat) sifat-sifat Allah ke dalam diri manusia. Ittihâd adalah Dzat manusia menyatu dengan dzat Allah, atau manusia menjadi Allah. Dan Hulûl adalah Dzat Allah melebur dalam diri manusia. Yang dimaksud dengan takhalluq dalam pembahasan al-Ghazali adalah menetapkan aspek-aspek dari sifat-sifat Allah sebagai sifat manusia sesuai dengan dimensi kemanusiaannya, yang memiliki kesamaan dalam penyebutan tetapi tidak menjangkau kesamaan mutlak pada hakikat sifa-sifat Allah maupun Dzat Allah itu sendiri.
Dalam mengimplementasikan konsepnya ini, al-Ghazali membaginya ke dalam tiga kelompok. Kelompok pertama adalah sifat-sifat yang tidak memiliki aspek takhalluq atau adoption. Al-Ghazali tampak sekali sangat berhati-hati dalam kelompok pertama ini karena khwatit terjerumus ke dalam modus mumâtsalah, intiqâl, ittihâd dan hulûl. Kelompok kedua adalah sifat-sifat yang memiliki aspek takhalluq tetapi lebih dominan pada hubungan manusia dengan Tuhan.
Dalam kelompok ini pemaparan al-Ghazali sangat bersifat global. Kelomkpok ketiga adalah sifat-sifat yang memiliki aspek takhalluq dalam kontek hubungan manusia dengan sesamanya atau dengan lingkungan. Proses takhalluq untuk kelompok ini dijelaskan secara gamblang dan luas. Sebagai contoh, ketika al-Ghazali membahas sifat al-Razzâq menyebutkan bahwa manusia yang telah memahami sifat ini harus memiliki karakter peduli (caring) kepada semua makhluk Allah. Ia harus mampu menjadikan ilmu, petunjuk, lidah, tangan, dan semua yang Allah berikan sebagai jembatan bagi orang lain untuk meraih rejekinya. Ia harus menjadi perantara (wâsithah) yang membantu orang lain memenuhi kebutuhannya. Demikianlah al-Ghazali menunjukkan bahwa nama-nama Allah adalah sumber terbentuknya karakter positif dalam diri manusia.
Pemaparan al-Ghazali terhadap pemaknaan dan pengadopsian karakter ini didasarkan pada pemikirannya bahwa ma’rifat yang merupakan tujuan puncak tasawuf bukanlah ma’rifat terhadap Dzat Allah. Dzat Allah hanya bisa dijangkau oleh Allah sendiri. Dalam pada itu maka puncak ma’rifat para sufi adalah kelemahan mereka untuk ma’rifat, menjangkau Dzat Allah. Ada pun ma’rifat yang bisa dijangkau adalah ma’rifat terhadap sifat-sifat Allah dengan tiga langkah yang telah dijelaskan di muka.
Sebagai sebuah metode pembentukan karakter (character building), takhalluq ini sebenarnya berkaitan dengan dua proses lainnya, yaitu ta’alluq dan tahaqquq. Hal pertama yang harus dilakukan seorang hamba adalah menjalin hubungan yang baik dengan Allah. Inilah yang dimaksud dengan ta’alluq atau relationship. Tahapan ini dilakukan dengan memperbanyak dzikir untuk mengikatkan kesadaran dan pikiran kepada Allah sehingga di mana pun berada ia tidak terlepas dari berrdzikir dan berfikir untuk Allah. Dari tahapan inilah muncul kedekatan dan perkenalan yang akrab dengan Allah.
Pada fase ini seorang hamba mulai memahami Allah melalui pengenalan sifat-sifat-Nya. Pengenalan dimaksud bukan sekedar menyebut dan mendengar nama-Nya, memahami makna kebahasaan dari nama itu, dan meyakininya sebagai benar-benar sifat yang melekat kepada Allah. Lebih dari itu fase ini menghendaki seorang murid menjalani mukasyafah dan musyahadah dalam memahami sifat Allah itu. Ini lah yang dimaksud dengan tahaqquq atau realization.
Keberhasilan melampau tahapan ini akan membawa seorang murid kepada fase takhalluq atau adoption yang bisa dikatakan sebagai proses internalisasi sifat Tuhan ke dalam diri manusia. Di sini seorang murid secara sadar meniru sifat-sifat Tuhan sehingga seorang mukmin memiliki sifat-sifat mulia sebagaimana sifat-Nya. Ini lah awal terbentuknya karakter-karakter positif dalam diri murid.
Dalam riset kontemporer terhadap karakter-karakter unggulan yang membuat individu maupun korporasi meraih sukses, disimpulkan bahwa karakter-karakter itu memiliki pertautan dengan sifat-sifat Allah atau merujuk pada pembahasan terdahulu, merupakan hasil adopsi terhadap sifat-sifat Allah. Dalam upaya membentuk karakter positif manusia akan terus mencari sifat-sifat Allah meskipun mereka menamakannya dengan istilah lain, seperti Good Corporate Governence (GCG), CEO Characters, Good Characters, atau apapun namanya.[18]
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment