Thursday, October 16, 2008

Aku Diwawancara di Radio

Tak pernah terbayangkan sebelumnya, kalau dari tulisan saya di republika tentang "berkarakterkah kita sebagai guru?" mendapat sambutan dari Dradio 103.4 fm Jakarta untuk mewancarai saya dengan dipandu oleh Ibu Neno Warisman..alhamdulillah. Berikut petikan wawancara saya.

Laporan: Nuning/Patricia

[''Jakarta Sore'' Senin - Jum'at, 16.00-18.00 WIB]

D Listener, Magic Daddy minggu ini membahas “sosok ayah takambang jadi guru” bersama Neno Warisman dan Nuning. Mengawali Magic Daddy, Neno Warisman menjelaskan fungsi ayah-guru yaitu untuk mengembangkan cakrawala untuk anak-anaknya, baik anak kandung, anak didik ataupun anak dalam pengasuhannya.

Sementara, definisi guru menurut Ayah Pengembara (Bp Irwan) bukan hanya pengajar tapi juga seorang trainer, seorang distributor, merangkap entertain. Sosok guru dari seorang ayah hanyalah 30% sebagai pengajar, selebihnya adalah sebagai fasilitator, entertain dll. Ditegaskan oleh Ayah Pengembara bahwa alam adalah guru paling utama untuk anak, dan jembatan pengenal bagi anak adalah ayah. 

DR Gutomo, Guru Besar Pendidikan Anak Dini Usia, juga urun bicara dan berbagi pengalaman sebagai guru. Pengertian guru yang benar bagi Pak Gutomo, guru bukan hanya memberikan ilmu tapi juga memberikan teladan, karena pendidikan harus seimbang antara mengembangkan ilmu pengetahuan dan tutur kata, pribadi serta perilaku. Guru pendidik usia dini, bukan hanya mengajarkan pada anak agar anak tahu, tapi memberikan contoh langsung.
Ditambahkan juga, kualitas guru ketika ditempatkan pada “ke-ayah-annya” sering ditempatkan salah. Ketika sang ayah menjadi guru, hanya akan mengajar dan memberikan ilmu pada anak murid terbatas pada profesinya, dan ketika berada di rumah akan mendelegasikan urusan anak pada ibunya. Padahal anak membutuhkan gambaran positif bagaimana seorang lelaki dari sang ayah, bagaimana menjadi orang yang perkasa dan penyayang. Pertanyaan Neno, “bagaimana sang ayah menjadi ayah takambang bagi anaknya disela waktu sibuknya?”. Menurut Pak Gutomo, “Ayah yang sibuk pun, harus bisa menjadi teman curhat dan teman untuk bertanya bagi anaknya, selain dari ibunya. Perhatian pada anak juga bisa ditunjukkan dengan mencium kening ketika sedang belajar, atau komunikasi via sms”

Di sela siaran Magic Daddy, Neno Warisman juga menyinggung guru yang sangat berarti dalam hidupnya, yang sudah memberikan support ketika Neno mengikuti perlombaan-perlombaan, bapak guru Bernhard Hutagaol, yang juga seorang ayah.

Maha Guru, Bp Buchori Nasution, Pendiri Sekolah bagi Kepala Sekolah (Lembaga Manajemen Pendidikan Indonesia School of Education, Jl Utan Kayu 20A, Jakarta Timur. Ph.021-8516129, 021-92733182), berhasil untuk diwawancarai dalam Magic Daddy. Pertanyaan pertama bagi bapak Buchori, ”mengapa tertarik untuk mendirikan sekolah bagi Kepala Sekolah?”. Dijawab lugas bahwa yang paling penting dari guru adalah profesi moral dan ahlak; Bagaimana ahlak kita terhadap Allah, terhadap sesama manusia dan terhadap alam. Perbedaan dari sekolah bagi Kepala Sekolah ini adalah penguasaan leadership, ada 7 item dalam hal kepemimpinan:

  1. Mengenal diri: siapa saya, apa potensi dalam diri saya, apa tujuan hidup dll
  2. Komunikasi: bukan hanya mendengar, berbicara, menulis, membaca tapi juga belajar bahasa isyarat
  3. Ahlak: dalam dunia kerja 90% akan dituntut ahlak. Ahlak terhadap manusia, dijabarkan: mau berbagi pada orang, loyal, jujur, mau bertanggung jawab dll
  4. Cara belajar yang baik : jika sudah didapatkan cara belajar yang baik, akan cocok dengan semua disiplin ilmu
  5. Proses Membuat Keputusan : bagaimana individu membuat keputusan dan bagaimana kelompok membuat keputusan
  6. Mengatur : Pemimpin harus bisa mengatur, mengetahui pola mengatur apa dan siapa
  7. Organisasi, himpunan potensi dengan visi, misi dan tujuan yang jelas

Dalam Magic Daddy edisi 12 Februari 2008 ini Dik Doang (musisi dan pendiri sekolah Kandang Jurang, Ph.021-9146523) juga menjelaskan historikal dan filosofi dari didirikannya sekolah Kandang Jurang.

Sms dari D Listener, Bp Rony, mempertanyakan sosok ayah takambang menjadi guru, terkait dengan sekolah gratis tapi kebebasan pemberdayaan guru dan ide guru dipasung. Pertanyaan ini pun terjawab setelah mewawancara seorang guru dan juga penulis, Bp Iwan Gunawan, (penulis dalam kolom guru menulis di harian Republika dengan artikel ”Berkarakterkah kita sebagai guru?” dan guru SD Salman Al-Farisi Bandung). Dijelaskan bahwa pemasungan tidak terjadi pada pengajar di SD Salman Al-Farisi Bandung dan anak-anak didiknya. Anak-anak didik diberikan kebebasan untuk “protes” jika melihat ada hal yang perlu dikoreksi dalam tugas atau pengajaran gurunya. Bukan hanya kebebasan berpendapat yang diberikan, tapi juga kedekatan pada anak-anak, menjadi teman bagi anak-anak.

Ketika disinggung mengenai gaji yang didapatkan dari guru, Bp Rony menjawab ”Secara logika, tidak cukup. Tetapi secara bersyukur, itu cukup. Kita harus bersyukur berapapun yang kita dapat.” 

Announcer : Nuning & Neno Warisman

Tuesday, October 14, 2008

Mencegah Premanisme Pelajar

Oleh :Sis Ariyanti
Guru SMP Al Hikmah Surabaya

Aksi premanisme yang dilakukan oleh pelajar kian memprihatinkan. Beberapa waktu yang lalu Geng Nero (Neko-neko dikeroyok) santer diberitakan di media massa karena melakukan penganiayaan terhadap anggotanya. Pelajar yang notabene merupakan agent of change (agen perubahan) belum mampu mengemban tugasnya dengan baik.

Geng Nero barangkali hanya salah satu potret dari sekian banyak geng yang ada di lingkungan sekolah. Kejadian ini mungkin juga pernah dialami oleh sekolah-sekolah lain. Namun, tidak terekspos dan dapat dicegah serta ditangani dengan baik oleh pihak sekolah.

Kecenderungan remaja untuk membentuk pear group harusnya disadari oleh guru. Apalagi pada usia SMP dan SMA. Keinginan itu sangat besar. Siswa biasanya berkelompok dengan teman-teman yang memiliki pandangan atau hobi yang sama dengan dirinya. Selama kegiatan mereka positif tentunya tidak masalah. Tapi, fakta yang ada di lapangan berkata sebaliknya. Dalam hal ini guru harus dapat "membaca" gerak-gerik setiap siswanya sehingga dapat dengan mudah "mencium" perilaku siswa-siswanya yang menyimpang atau tidak wajar.

Pencegahan
Sekolah sebagai institusi pencetak generasi bangsa tentu merasa sangat bertanggung jawab terhadap perilaku anak didiknya. Bukankah setiap sekolah ingin terkenal karena prestasi siswanya dalam berbagai kejuaraan bukan berita yang mencoreng nama baiknya?

Dalam upaya mencegah aksi serupa, ada beberapa hal yang dapat dilakukan pihak sekolah. Pertama, memperkuat pondasi diri anak didik dengan agama. Ketika anak didik kita memiliki pondasi agama yang kuat mereka tidak gampang terombang-ambing dan terpengaruh oleh hal-hal buruk.

Sebagai seorang guru, penulis sangat merasakan betul manfaatnya. Anak-anak pada dasarnya membutuhkan sentuhan-sentuhan rohani. Sehingga, saat ada masalah pada diri anak didik, guru dapat mengarahkan serta menyelesaikannya dengan mudah. Semua guru di sekolah penulis mengemban tugas sama yakni selain guru bidang studi yang diajarkan juga merangkap sebagai guru agama. Artinya, setiap guru yang mengajar wajib mengingatkan dan mengaitkan hal-hal yang diajarkan dengan Alquran, karena sekolah penulis adalah sekolah Islam.

Kedua, menjalin komunikasi yang baik dengan setiap siswa. Program curhat bersama dengan anak-anak yang dinamakan halaqoh sangat penting. Sekolah harus mengalokasikan waktu untuk program sharing ini. Setiap guru membawahi beberapa anak didik dan mendengarkan cerita serta keluh kesah dari anak-anak. Sehingga, guru dapat ikut merasakan apa yang sedang dialami oleh anak didiknya.

Harapan akhirnya guru tersebut dapat memberikan solusi terbaik untuk mereka. Dengan demikian, deteksi dini terhadap persoalan lebih besar dapat dilakukan melalui forum ini. Kita harus menghapus paradigma bahwa persoalan siswa di sekolah adalah tanggung jawab tim BK (konselor). Semua guru di sekolah adalah guru BK (konselor). Apabila guru menjumpai perilaku anak didik yang menyimpang dapat segera mengingatkannya. Jika, tidak mampu menanganinya baru mengomunikasikannya dengan konselor sekolah.

Ketiga, mengefektifkan peran walikelas. Sekolah perlu memberdayakan walikelas. Tugas walikelas tidak hanya rapat dengan walimurid atau membagikan rapor saja, tapi juga memantau perkembangan anak didiknya. Oleh karena itu, penting kiranya walikelas mendampingi anak-anak atau berada di dalam kelas ketika sedang tidak mengajar. Sehingga, walikelas dapat memantau dan mengetahui pembelajaran di kelas. Apabila terjadi konflik antar anak didik dapat segera tertangani dengan baik. Perkelahian yang sering terjadi di kelas seperti yang diungkapkan oleh Puspa (nama samaran) salah seorang siswi di Jakarta saat diwawancarai di TV One karena kurangnya pengawasan sekolah. Sehingga pihak sekolah tidak mengetahuinya.

Keempat, menjalin kerja sama dengan orang tua. Sekolah dapat mengadakan program buku penghubung dan home visit (kunjungan ke rumah walimurid). Buku penghubung ini diisi oleh orang tua dan walikelas. Setiap perkembangan anak baik di sekolah maupun di rumah dapat terpantau melalui buku ini. Sementara itu, home visit dimaksudkan untuk menjalin komunikasi dengan melakukan kunjungan ke rumah wali murid guna melakukan problem solvingterhadap perkembangan siswa baik di rumah maupun di sekolah.

Kelima, melarang stasiun televisi menayangkan sinetron yang berbau kekerasan. Bagaimanapun juga pengaruh televisi sangat besar terhadap perkembangan anak didik di sekolah. Penulis berharap agar pihak stasiun televisi lebih selektif dalam tayangannya, tidak hanya memikirkan permintaan pasar saja.

Salah satu sinetron remaja yang menyajikan tindak kekerasan pelajar yakni Cinta dalam Maut yang dibintangi aktor muda Rogger Danuarta yang ditayangkan oleh salah satu televisi swasta. Menurut penulis, potret remaja dalam sinetron tersebut sangat tidak pantas untuk dicontoh. Banyak hal baik dari pelajar kita yang dapat menjadi inspirasi para penulis skenario jika kekurangan ide dibandingkan cerita dengan tema yang tidak bermutu.

Jadikanlah setiap tayangan menjadi lahan untuk mengajak orang berbuat baik dan membawa Indonesia lebih baik. Akhirnya, penulis mengharapkan kerja sama berbagai pihak baik sekolah, orangtua, guru, dan segenap komponen masyarakat agar ikut andil dalam mencegah aksi premanisme pelajar. Apabila mengetahui tawuran pelajar mohon segera menginformasikan kepada sekolah yang bersangkutan.

Mempercepat UU Pornografi

Akh Muzakki
Dosen IAIN Sunan Ampel Surabaya, Kandidat PhD di The University of Queensland, Australia

Alkisah, tiga orang siswi berusia 13 tahun berusaha menjual produk foto dan video porno amatiran hasil produksi rumahan sendiri. Foto dan video itu merupakan rekaman atas sebuah pesta yang mereka selenggarakan.

Ketiga siswi itu berasal dari sebuah sekolah swasta bertarif mahal, Presbyterian Ladies' College, di negara bagian Australia Barat. Mereka hendak menjual produk porno itu kepada sekelompok siswa laki-laki sekolah lain, Hale School, dengan harga 90 dolar Australia.

Namun, belum sempat menerima uang hasil jualannya, polisi menangkap ketiga siswi yang memproduksi dan menjual produk foto dan video porno tersebut (The West Australian, 27 September2003). Tentu perlindungan atas masa depan anak secara lebih luas menjadi pertimbangan utama dalam kasus penangkapan tiga siswi ini.

Kisah di atas memang tidak terjadi di negeri kita, Indonesia, tetapi di Australia. Kasusnya pun terjadi lima tahun yang lalu. Namun, kisah di atas patut dimunculkan kembali menyusul terjadinya sesak napas legislasi akibat kebuntuan politik yang dihadapi oleh RUU Pornografi. RUU Pornografi itu sudah tiga tahun usianya. Namun, karena tarik-menarik kepentingan telah membuat RUU itu menemui jalan buntu yang akut.

Tarik-menarik yang mengitari rencana perundangan-undangan tentang pornografi di atas memang terjadi meluas. Tidak saja dipicu oleh kepentingan politik kepartaian di parlemen. Tetapi, sudah menyentuh sentimen agama, etnis, dan kultural.

Tentu, partai-partai politik (parpol) memanfaatkan dan memainkan isu yang menguat di balik rencana perundangan-undangan tentang pornografi tersebut untuk kepentingan kuasa politiknya. Dukungan atau penolakan yang dilakukan oleh masing-masing partai politik melalui wakil-wakilnya di Senayan bukan tanpa motif kuasa politik. Melalui dukungan atau penolakan tersebut, mereka sudah menghitung laba-rugi politiknya. Ujungnya, masing-masing mereka berkepentingan untuk memperkuat basis captive market demi pemenangan kontestasi politik puncak 2009.

Inilah yang membuat perdebatan dan tarik-menarik soal RUU tentang pornografi di atas tiada ujung. Ini karena isu agama, etnis, dan kultural sangat rentan untuk ditarik-tarik dan dimanfaatkan bagi penguatan basis captive market di atas. Kebuntuan politik pun tak bisa dihindari. RUU Pornografi itu pun belum jelas kembali antara ada dan tiada.

Memecah kebuntuan
Untuk memecah kebuntuan itu, sudah sangat perlu dilakukan terobosan dengan mendesakkan gagasan agar RUU Pornografi lebih membidik unsur industri dan distribusi pornografi. Penggeseran perdebatan atas RUU Pornografi dari isu agama, etnis, dan kultural ke isu perlindungan masa depan anak mendesak dilakukan.

Bagaimana caranya? Kali ini saya harus sepakat dengan gagasan Siti Musdah Mulia, bahwa pembahasan RUU Pornografi hendaknya bergerak dengan lebih fokus pada unsur industri dan distribusi pornografi. Semangat yang mendasari penggeseran itu, kata Musdah, adalah untuk melindungi anak-anak dari praktik pornografi.

Pada lembar penjelasan RUU tentang pornografi atas Pasal 14 memang diuraikan tentang tiga unsur penting, yakni, produksi, distribusi, dan penggunaan pornografi. Unsur produksi ini dijelaskan dengan istilah 'pembuatan' yang meliputi kegiatan memproduksi, membuat, memperbanyak, atau menggandakan.

Unsur distribusi diistilahkan dengan penyebarluasan yang meng-cover komponen menyiarkan, mengunduh, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, meminjamkan, atau menyediakan. Lalu, unsur penggunaan meliputi praktik memperdengarkan, mempertontonkan, memiliki, atau menyimpan.

Sudah saatnya fokus pembahasan mengenai RUU di atas harus diletakkan dalam konteks semangat perlindungan anak-anak dari praktik pornografi. Semangat inilah yang harus dijadikan hulu. Karena itu, masuklah ke wilayah hulu perlindungan masa depan anak dengan mengendus kegiatan produksi dan distribusi pornografi, termasuk praktik komersialisasi yang mengiringinya.

Perdebatan mengenai pornografi memang hendaknya tidak berkutat pada wilayah hilir menyangkut standard nilai. Pada wilayah hilir ini perdebatan mengenai isu pornografi harus mengalami proses deliberasi yang pelik nan cair. Sesuatu bisa dianggap sebagai sebuah nilai dasar oleh kalangan sosial tertentu, tetapi tidak oleh yang lainnya. Selain itu, perdebatan di wilayah hilir juga akan banyak berhadapan dengan khazanah kultural bangsa yang beragam latar etnis-kultural dan agama.

Jika pergerakan menguat di wilayah hulu perlindungan masa depan anak, kebuntuan politik bisa diminimalkan. Siapa pun dari elemen bangsa ini akan sepakat jika prinsip anakku masa depanku harus dilindungi. Tak peduli Anda beragama apa pun, pasti akan mengamini prinsip ini. Terlepas apakah Anda berasal dari etnis Jawa, Minang, Bugis, Sunda, atau dari Papua sekalipun, Anda tidak akan mengingkari pentingnya prinsip ini. Semangat dasar ini pun juga akan bergerak lintas batas kultural komponen bangsa ini.

Melalui penguatan prinsip anakku masa depanku, perdebatan yang menyeret isu agama, etnis, dan kultural diharapkan akan dengan sendirinya meredup. Kampanye antipornografi melalui proses legislasi pun akan bisa lebih efektif dari yang selama ini terjadi.

Pentingnya hulu
Kita sudah memiliki UU Perlindungan Anak UU Nomor 23 Tahun 2002. Inti dari produk hukum ini adalah untuk melindungi secara lebih baik anak-anak dari berbagai pelanggaran atas hak asasi mereka, baik hak untuk hidup, tumbuh dan berkembang secara layak. Termasuk juga hak untuk dilindungi dari segala macam diskriminasi dan kekerasan.

Namun, karena derasnya arus komersialisasi pornografi dengan dulangan kapital yang tinggi nan menawan, instrumen perlindungan masa depan anak harus diperkuat. Caranya, tidak lagi berkutat pada wilayah hilir soal standar nilai dari praktik pornografi seperti yang selama ini terjadi.

Negara-negara maju memang tidak steril dari pornografi. Negara-negara di Amerika serta Eropa, bahkan Australia sebagai tetangga dekat kita pun juga memiliki problem pornografi yang serupa. Namun, kasus penangkapan tiga siswi yang memproduksi dan menjual produk foto dan video porno di Australia memberikan pelajaran penting bahwa upaya pemberantasan pornografi mestinya harus lebih banyak menyentuh wilayah hulu dengan unsur produksi dan distribusi sebagai fokusnya.

Tentu, perlindungan atas masa depan anak bangsa harus menjadi pertimbangan utamanya. Mengasup nilai pelajaran dari penangkapan tiga siswi Australia Barat di atas, RUU Pornografi sudah selayaknya lebih fokus pada wilayah hulu perlindungan masa depan anak seperti dimaksud. Dengan demikian, sentimen negatif sejumlah kalangan pun akan berpotensi dengan sendirinya untuk menurun. Ini karena semua elemen bangsa bisa dipaksa memiliki satu tarikan napas yang sama demi perlindungan masa depan anak.

Ikhtisar:
- Australia yang sekuler saja secara tegas menerapkan peraturan antipornografi.
- Penggeseran perdebatan RUU Pornografi dari isu agama, etnis, dan kultural ke isu perlindungan masa depan anak mendesak dilakukan.

Monday, October 13, 2008

Pendidikan Moral Ala Jepang

Oleh : Murni Ramli

SEBUAH poster di kereta bawah tanah di Nagoya, Jepang, mengilustrasikan ketidaksopanan sebagai penumpang kereta. Seorang siswa SMA digambarkan duduk dengan posisi kaki mengangkang sehingga mengambil tempat yang lebar, dan tas besarnya diletakkan di depan, menghalangi orang untuk berdiri bebas. Gambar lain tentang seorang gadis yang berbicara melalui telepon genggam dengan suara keras sehingga mengganggu penumpang lain.

Tidak hanya poster, kendaraan umum di Jepang sangat terkenal dengan sarat peringatan dan ajakan untuk mematuhi norma-norma, misalnya larangan untuk menelepon, berbicara keras, dan beberapa tindakan yang mengganggu.

Ketika datang pertama kali ke Jepang, saya berdecak kagum dengan kerapian, ketertiban dan kedisiplinan warga Jepang mengantre masuk ke kereta. Tidak ada yang berebut, bahkan anak kecil pun berdiri sabar menunggu giliran. Dari mana kedisiplinan itu dibangun?

Menjawab pertanyaan ini tidaklah gampang jika analisis hanya didasarkan pada peraturan hukum, pun tidak bisa sekadar dilihat sebagai wacana sosial politik. Secara teoretis dan empiris, dapat dikatakan bahwa kedisiplinan itu erat kaitannya dengan pendidikan.

Bagaimana sekolah sekolah di Jepang mengajarkan kedisiplinan dapat kita cermati melalui pendidikan moralnya. Norma dalam masyarakat Jepang sangat terkait dengan ajaran Shinto dan Budha, tetapi menariknya kedua agama ini tidak diajarkan di sekolah dalam bentuk pelajaran wajib, seperti halnya pelajaran agama di Indonesia. Namun nilai nilai agama itu diwujudkan dalam kehidupan sehari hari di sekolah.

Pendidikan moral di dalam bahasa Jepang disebut "doutokukyouiku". Kata doutoku berarti moral dan kyouiku berarti pendidikan. Kata "doutoku" terdiri dari dua kata, yaitu dou yang berarti jalan dan kata toku yang berarti virtue atau kebaikan. Penggunaan kata "dou" dalam terminologi Jepang banyak sekali, misalnya judou, kendou, akidou (olahraga tradisional Jepang), shodou (kaligrafi), sadou (tradisi minum teh) yang dalam pemahaman orang Jepang memerlukan ketekunan untuk mencapai taraf tertinggi. Moral atau kebaikan pun memerlukan ketekunan untuk menemukan "jalan" mencapainya.

Karenanya, pendidikan moral di sekolah sekolah di Jepang tidak diajarkan sebagai sebuah mata pelajaran khusus, tetapi diintegrasikan dalam semua mata pelajaran. Secara khusus wali kelas bertanggung jawab untuk mendiskusikan aturan kelas, aturan bermain bersama, atau hubungan kerja sama antaranggota kelas dalam 35 jam setiap tahun di SD dan SMP. Dalam pelajaran lain seperti "seikatsuka" atau pendidikan tentang kehidupan sehari hari, siswa SD diajari tatacara menyeberang jalan, adab di dalam kereta, yang tidak saja berupa teori, tetapi guru juga mengajak mereka untuk bersama naik kereta dan mempraktikkannya. Wali kelas juga menyampaikan kasus pelanggaran dan mengajak siswa untuk mendiskusikan pemecahannya.

Pendidikan moral di SMA selanjutnya menjadi pendidikan kewarganegaraan. Pembekalan prinsip dasar hidup yang kuat di masa pendidikan dasar inilah yang membuat kedisiplinan dan keteraturan dalam masyarakat Jepang.

Ketika berbicara tentang sains, yang muncul di kepala kita adalah teori dan rumus yang harus dihafalkan. Demikian pula ketika kita mendengar istilah pendidikan sosial, maka imajinasi akan mengerucut pada sejumlah uraian panjang tentang konsep hubungan manusia dengan makhluk, dan saat kita berbicara tentang pendidikan agama, maka otomatis kita merujuk kepada hubungan manusia dengan Tuhannya.

Pola pemikiran yang seperti itulah yang membuat kita terjebak dan memisahkan ranah pembicaraan sains dan moral, sains dan agama, sosial dan sains, dan sebagainya, padahal sebenarnya pembelajaran dengan menyatukan kesemua konsep akan menciptakan pemahaman yang mendalam.

Kegiatan mempelajari pohon dalam pelajaran IPA di sebuah SD di Jepang menggambarkan bahwa siswa diarahkan tidak saja untuk memahami pohon secara ilmiah, tetapi mereka diajak pula untuk menempatkan pohon sebagai bagian dari kehidupan sehari hari. Dengan konsep ini, siswa akan peduli dengan kondisi pohon di sekitarnya. Sebagai dampaknya, tidak ada penebangan liar di Jepang. Ketika mengajarkan dinamika air, guru tidak saja mengajarkan konsep bahwa air mengalir dari tempat yang tinggi ke rendah, atau air mempunyai kekuatan yang bisa menghasilkan energi, tetapi empati siswa untuk menjaga kebersihan sumber-sumber air dan ekosistemnya adalah bentuk pembelajaran yang melengkapi inti pembelajaran sains.
Jika ingin mencontoh Jepang, pendidikan moral di Indonesia sudah saatnya beralih dari pendidikan teori kepada pendidikan praktis.*


MURNI RAMLI
Mahasiswa Program Doktor Graduate School of Education and Human Development,
Nagoya University, Jepang
 

WHEN SUHENG TALK... Template by Ipietoon Cute Blog Design