Wednesday, June 18, 2008

Status Sosial Guru Pudar akibat Gaji

JAKARTA (Republika) - Gaji guru yang saat ini rendah mengakibatkan kebangaan status sosial guru yang tinggi dalam masyarakat menjadi pudar. Kebijakan ini seakan membolehkan guru kerja rangkap hingga dua atau tiga jenis pekerjaan, bahkan terkadang empat. Guru-guru di kota lebih banyak tergoda untuk kerja rangkap.

Beban jam mengajar guru yang hanya rata-rata 2,5 jam per hari atau 15 jam per minggu membuat kerja rangkap terbuka lebar. `'Jumlah guru sekitar 50 persen dari seluruh PNS, namun hanya sedikit sekali yang memenuhi kualifikasi pendidikan dan kemampuan mengajar,'' ujar Prof Dr Hafid Abbas dalam orasi ilmiah pengukuhannya sebagai Guru Besar bidang Ilmu Pendidikan Luar Sekolah, Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Jakarta (UNJ) di kampus perguruan tinggi itu, Senin (16/6).

Tahun 2001, Hafid menuturkan, tunjangan fungsional guru PNS telah dinaikkan 50 persen. Namun, menurut studi KTT HAM PBB, meski gaji guru dinaikkan hingga dua kali lipat sekalipun, bagi sekitar 2 juta guru belum tentu berpengaruh positif bagi peningkatan mutu pendidikan.
`'Juga belum tentu berpengaruh positif bagi komitmen mereka menunaikan tugas,'' ujar mantan Dirjen Perlindungan HAM yang kini menjabat Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Hukum dan HAM RI itu.

Mantan Pembantu Rektor I UNJ ini melihat, pola promosi guru pun tidak terlihat. Misalnya, jumlah guru perempuan di SD 53 persen dari seluruh jumlah guru, pada jenjang SLTP 43 persen, dan di SLTA 34 persen. Namun yang dipromosikan menjadi kepala sekolah ternyata hanya 27 persen di SD, 11 persen di SLTP dan 10 persen di SLTA. Penyebabnya, karena belum ada blue print kebijakan nasional pengembangan profesi guru yang betul-betul dapat dijadikan acuan untuk menjadi guru sebagai pilihan utama.

Semua ini, menurut Hafid, adalah realitas-realitas yang perlu segera dibenahi. Sebagai pembanding, pada era Soeharto, meski memimpin dengan cara yang tidak demokratis, namun bagi setiap 500 anak kelompok usia 4 -14 tahun sudah tersedia 1 - 2 SD yang dapat menampungnya.

Langkah ini telah membuka akses pendidikan yang seluas-luasnya bagi anak didik dengan tanpa diskriminasi. Lahirlah generasi terdidik kelas menengah yang telah menjadi penggerak proses demokratisasi yang telah kita jalani sejak ia lengser.

Hafid melihat, formula masa itu dalam pengelolaan guru tampaknya masih relevan diteruskan. Intervensi negara diperlukan meski secara terbatas untuk menempatkan posisi guru sebagai perekat ekonomi kebangsaan. Misalnya, guru dari Sulawesi mengajar di Papau, guru dari Jawa mengajar di Sumatera, dan sebagainya. `'Dengan cara seperti ini akan terbentuk wawasan ke-Indonesiaan sejak dini pada anak didik,'' tuturnya.

Namun Hafid mengakui, perlakuan diskriminatif di masa lalu berupa perbedaan unit cost antara anak yang sekolah di madrasah/pesantren di bawah binaan Departemen Agama dan di bawah binaan Departemen Pendidikan Nasional, atau negeri dan swasta membawa implikasi yang rumit berupa adanya kesenjangan mutu antara kedua sistem pengelolaan tersebut. Mengutip laporan Asian Development Bank (ADB), Hafid mengatakan, pada tahun 1998 setiap siswa negeri menerima subsidi Rp 333.000 di tingkat SMA, sedangkan Madrasah Aliyah hanya Rp 4.000.

Tuesday, June 17, 2008

Siswa Razia Guru Merokok

Sumber: Republika
Pemerintah diminta melarang semua bentuk iklan dan promosi rokok.


BOGOR- Puluhan siswa merazia guru, orangtua siswa, dan teman sekolah mereka dalam peringatan Hari tanpa Tembakau Sedunia (HTTS) di Kota Bogor, Sabtu (31/5). Razia dilakukan di beberapa sekolah. Dalam razia tersebut para siswa perwakilan masing-masing sekolah mendapati guru dan orangtua siswa yang membawa rokok. Mereka tertangkap basah membawa rokok di dalam saku celana maupun tas mereka. Parahnya, ada beberapa guru yang kedapatan tengah merokok.

Razia dilakukan atas instruksi Wali Kota Bogor Diani Budiarto yang tertuang dalam surat edaran larangan merokok. Surat edaran yang dibuat Rabu (14/5) itu berisi tentang larangan merokok pada HTTS. Surat tersebut sebagai wujud penerapan Perda No 8/2006 dan SK Wali Kota. Jadi, perokok pasif diminta tegas melarang perokok aktif apalagi jika sudah mengganggu lingkungan. Tak hanya itu, program ini juga mendukung Smoke Free Bogor City. Untuk itu, para siswa melakukan razia, kemarin.

Setelah mendapati guru dan orangtua yang membawa maupun sedang merokok, para siswa memberikan penyuluhan bahaya merokok. Batang rokok yang sedang diisap para orangtua dan guru juga diambil, kemudian diinjak-injak. Sebagai gantinya, para siswa memberikan permen. ''Kami melakukan aksi ini secara spontan. Jadi, banyak yang tertangkap basah,'' kata Anita, siswi SMP di Kota Bogor.

Rencananya, Wali Kota Bogor, Diani Budiarto akan menerapkan kawasan bebas asap rokok di wilayah kota hujan ini. Kebijakan tersebut disambut baik para siswa. Bahkan, ''Kami berencana membentuk satgas antirokok di sekolah masing-masing,'' kata Reni, siswi SMA di Kota Bogor. Sedangkan Rusli, salah satu guru tertangkap basah mengaku kaget dan malu. ''Saya kaget sekaligus malu kena operasi ini. Mereka melakukan operasi ini tanpa perencanaan sebelumnya. Tapi, ini tujuan baik. Saya mendukung usaha mereka,'' ujar Rusli. Selain pelajar, operasi serupa juga dilakukan anggota masyarakat lain.

Antiiklan rokok
Pada hari yang sama, di Bundaran HI Jakarta, sekitar 50 orang anak yang tergabung dalam Forum Anak Bebas Tembakau (FABT) menggelar unjuk rasa menolak segala bentuk iklan, promosi, dan sponsor dari industri rokok terkait Hari tanpa Tembakau se-Dunia.

Menurut FABT, pemerintah harus segera mengeluarkan ketentuan hukum yang melarang segala bentuk iklan, promosi, dan sponsor rokok agar anak-anak tidak terjerumus untuk merokok. Industri rokok di Tanah Air bertumbuh dengan dukungan iklan serta promosi yang sangat gencar tanpa ketentuan pembatasan yang signifikan sama sekali.

Data Departemen Pertanian Amerika Serikat (AS) tahun 2004 menunjukkan bahwa Indonesia adalah negara konsumen rokok terbesar nomor lima sedunia, setelah Cina, India, Brazil, dan AS. Prevalensi perokok dewasa di Indonesia berdasarkan Data Laporan Pengendalian Tembakau ASEAN, Mei 2007, mencapai 34,4 persen. Sementara anak usia 13-15 tahun mencapai 24,5 persen.

Peningkatan jumlah populasi perokok di Indonesia tidak bisa lepas dari faktor belanja iklan rokok yang sebesar Rp 1,6 triliun per tahun. Ini belanja iklan terbesar kedua setelah telekomunikasi yang Rp 1,9 triliun. Iklan rokok telah menggurita, Evaluasi Pengawasan Iklan Rokok tahun 2006 Badan POM mencatat 14.249 iklan rokok tersebar di media elektronik, media luar ruangan, dan media cetak. Kondisi semacam ini dinilai oleh Komnas Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) sebagai satu bentuk kejahatan mengurangi hak hidup anak.

KPAI mendesak agar pemerintah segera mengeluarkan sebuah regulasi yang melarang secara komprehensif segala bentuk iklan, promosi, dan sponsor rokok demi kepentingan terbaik anak-anak Indonesia. Desakan yang sama disuarakan Badan Kesehatan Perserikatan Bangsa-Bangsa (WHO).

WHO pada Hari tanpa Tembakau se-Dunia 31 Mei ini memfokuskan kampanye yang mencermati industri iklan rokok yang bernilai miliaran dolar per tahunnya dan berorientasi mengajak generasi muda menjadi perokok. c63/ant

( )

Sunday, June 15, 2008

ATAS NAMA PERSAHABATAN

Oleh: Iwan Gunawan
Guru SD Salman Al Farisi - Bandung

Mempunyai teman (bersahabat) pada dasarnya adalah fitrah manusia, sebab manusia adalah mahluk social, mahluk yang tidak bisa hidup tanpa bantuan orang lain. Persahabatan harus didasari oleh adanya kebersamaan, kesamaan tujuan, saling menghargai, dan saling menghormati.

Persahabatan hendaknya tidak dilandasi oleh kesemuan, atau juga rasa kebencian. Apabaila kesemuan dan kebencian menjadi landasan, maka persahabatan akan berubah menjadi tindakan stereoratif dan tindakan anarkis, yang berujung pada pembenaran kelompoknya sendiri.

Hal ini pula yang melatarbelakangi munculnya genk wanita ‘nero’ di Pati Jawa Timur dan ‘genk’ wanita lainnya seperti halnya di Bangka Belitung.

Melihat adegan perkelahian yang ditayangkan di TV oleh para genk tersebut, seakan-akan kita teringat akan kejadian genk di Bandung, yang semuanya mengandalkan kekerasan dan persahabatan semu. Mengerikan! Itulah kira-kira kata yang bisa saya ucapkan, sebab wanita yang seharusnya berperangai halus, kini menjadi buas dan beringas…Masya Allah!

Siapakah yang salah? Kalau mencari siapa yang salah, tampaknya terlalu pelik dan semrawut. Bisa keluarga yang salah mendidik, guru yang tidak bisa jadi contoh, lingkungan yang tidak bersahabat, budaya luar yang diadopsi tanpa filter dan mungkin juga pribadinya yang jauh dari agama.

Satu hal yang pasti, bahwa makin maraknya genk-genk di sekitar kita, karena system kehidupan di Negara kita telah memberikan contoh yang tidak baik. Pejabat yang korup, premanisme yang makin mengakar dan merajalela, partai yang mementingkan golongannya,..wah kacau juga nih!

Tapi walaupuin demikian, kita tidak bias membiarkan hal ini terus terjadi, marilah kita benahi mulai dari sekarang. Orang tua harus menjaga anak dan menseleksi teman bergaulnya, guru harus memberikan pendidikan karakter yang baik dan bias menjadi teldan bagi anak didiknya, menfilter budaya asing dan mengagungkan keluhuran adat dan budaya timur, dan yang terpenting adalah dekatkan diri pada Sang Khalik dan laksanakan ajarannya dengan benar. Mungkin jalan terakir yang bias kita lakukan. Semoga kita bias memulainya hari ini!
 

WHEN SUHENG TALK... Template by Ipietoon Cute Blog Design