JADUL BUKAN BERARTI AMBURADUL
Oleh: Iwan Gunawan
(SD Salman Al Farisi Bandung)
“Ajarilah anak-anakmu sesuai
dengan zamannya, karena mereka hidup di zaman mereka bukan pada zamanmu.
Sesungguhnya mereka diciptakan untuk zamannya, sedangkan kalian diciptakan
untuk zaman kalian”
Zaman terus berkembang,
peradaban semakin maju, teknologi semakin canggih, pergaulan semakin bebas, dan
pendidikan semakin liberal. Pendidikan senantiasa bergerak maju dan terus
berubah. Perubahan-perubahan ini menuntut para pelaku pendidikan untuk
senantiasa mengikuti perubahan itu, termasuk guru di dalamnya.
Sering kali kita
melihat, betapa banyak guru yang sudah lama mengajar dan merasa cocok dengan
metode mengajar yang dijalaninya selama ini, maka ia akan meneruskan style dan
metode mengajar tersebut pada murid generasi berikutnya. Tidak peduli apakah
metode mengajarnya sudah jadul atau ketinggalan jaman, yang penting guru
semacam ini akan ‘istiqomah’ dengan metode ‘jadul’nya. Dengan meminjam istilah
Namin AB Ibnu Solihin guru semacam ini disebut “Guru Lontong Basi” adalah guru yang gaya mengajarnya masih meniru guru
zaman dahulu mereka sekolah, padahal kini zaman sudah semakin berkembang,
eranya sudah era teknologi, tapi masih banyak guru yang mengajar dengan
memberikan ilmu-ilmu dan gaya pada masa lalu. Jika kita sebagai guru tidak mau
meningkatkan kapasitas dirinya untuk terus belajar, maka kita bisa menjadi guru
‘jadul dan amburadul’.
Begitu juga dalam
mendidik dan mentrasfer ilmu pengetahuan, jika yang kita sampaikan adalah
pendidikan yang sudah tidak relevan lagi dengan masa sekarang, maka akan sulit
diterima anak-anak kita. Anak-anak kita saat ini hidup pada era digital, maka
sudah sepatutnya kita juga memahami era ini, bahkan kita wajib lebih tahu dari
anak-anak kita. Menghadapi era ini, selayak guru menjadi guru go blogging.
Sebenarnya, tidaklah
masalah apabila seorang guru mendapat gelar ‘guru jadul’, sebab ‘guru jadul’
melambangkan bahwa ia sudah lama mengajar, punya banyak pengalaman menangani
murid dan loyal pada lembaganya (sekolah) atau dengan meminjam istilah Bahasa
Indonesia ‘sudah banyak makan garam’ alis profesional.
Ke’jadul’an tidaklah
melulu melambangkan ketertinggalan jaman dan pemikiran, selama guru ini mau
belajar dan terus memperbaharui pengetahuan serta senantiasa terbuka dengan
perubahan-perubahan yang terjadi di dunia pendidikan. Bila kita terus konsisten
dengan ke’jadul’an kita, maka siapa yang akan menjadi korban dunia pendidikan
kita hari ini?
Cobalah kita lihat
contoh dunia lain di luar dunia pendidikan, betapa ke’jadul’an tetap bisa
menjadi pemain utama dan menguasai pasar, ada “Jamu Njonja Meneer” yang tetap
eksis meskipun berdiri telah Tahun 1919, Teh Cap Botol yang berdiri 1940, dan Kecap
Bango 1928. Merek-merek tersebut tetap menjual produk yang sama sejak jaman
dulu, dan orang jaman sekarang masih bisa menikmatinya. Dimana letak
keberhasilannya? Ternyata semua produk tersebut memodifikasi kualitas dan tampilan,
baik dari segi bentuk dan kemasan. Semua merek tersebut senantiasa mengikuti
arah pergerakan dan perubahan yang terjadi di masyarakat.
Guru ‘jadul’ bukanlah guru ‘mandul’ dalam memperbaharui ilmu,
cara berpikir dan seluruh kemampuannya. Guru ‘jadul’ akan tetap bisa eksis
selamanya dan tetap dicintai muridnya, apabila guru mau mengikuti perubahan dan
mampu memodifikasi ke’jadul’annya, baik dari cara mengajar, gaya mengajar,
metode mengajar, isi materi yang diajarkannya dan yang terpenting adalah
perbaikan karakter dirinya, sehingga pada akhirnya nanti akan muncul guru ‘jadul’
baru yang berwawasan dan berkarakter mulia.
Mengakhiri tulisan ini,
ada baiknya kita simak sebuah anekdot berikut ini “suatu saat dua orang yang
berasal dari sekolah yang sama bertemu. Walaupun berbeda angkatan tetapi mereka
cepat akrab dan pada saat mereka membicarakan salah seorang gurunya, mereka
kemudian tertawa bersama-sama karena setelah obrolan yang panjang terungkap
bahwa sang guru tersebut masih melakukan praktek pengajaran yang persis sama,
bahkan ketika waktu kelulusan mereka terpaut lebih dari 7 tahun. Ini
membuktikan bahwa guru yang bersangkutan tidak mau berubah dan menyejajarkan
diri dengan kemajuan jaman. Sudah bukan jamannya lagi kita mengajar berdasarkan
diktat kuliah serta keterangan dari dosen-dosen yang mengajar kita saat di universitas
dahulu. Jaman berubah demikian cepat dan informasi bertambah terus menerus
membuat sebuah ilmu menjadi cepat usang dan ketinggalan”.
Anekdot diatas sangat sesuai dengan istilah Jawa ‘GURU’
berarti digugu dan ditiru (dipatuhi dan dicontoh), berdasarkan
perumpamaan tersebut dapat diketahui bahwa seorang guru memang dituntut untuk
mengetahui hal-hal lebih dahulu sebelum muridnya (orang yang pintar).
Sebenarnya guru yang pintar ialah guru yang lebih dahulu tahu. Lalu, guru
seperti apakah kita?
0 comments:
Post a Comment