GURU
KERTAS
Oleh: Iwan Gunawan
(SD Salman Al Farisi)
“Ing ngarso sung
tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani”
“Didepan menjadi
teladan, di tengah membangun keinginan dan di belakang memberikan dorongan”
Guru kertas, itulah sebuah lontaran ringan
yang ditujukan untuk guru-guru yang memang sangat disibukkan dan disita
waktunya untuk membuat kelengkapan administrasi yang bertumpuk guna memenuhi
syarat-syarat menjadi ‘guru terbaik’. Guru kertas begitu sangat memuja dan
men’dewa’kan administrasi fisik. ‘Guru kertas’ akan berusaha sekuat tenaga
menyempurnakan administrasi fisik dengan berbagai cara, dan mungkin juga
melakukan ‘cara tidak halal’ untuk memenuhi tuntutan tersebut, misalnya dengan
membajak karya teman (plagiat) atau bisa juga dengan cara lain. Tapi apakah benar guru ‘terbaik’ itu yang
administrasinya bertumpuk? Jawabannya, bisa ya bisa tidak, tergantung dari sisi
mana kita melihatnya.
Sebagai sebuah perbandingan, Pada saat
program sertifikasi guru digulirkan oleh pemerintah, betapa banyak guru yang
dengan segala cara berusaha untuk memenuhi syarat-syarat administrasi fisik
yang diperlukan untuk mengikuti program sertifikasi tersebut. Akan tetapi ada
fakta yang mengejutkan dibalik usaha guru memenuhi syarat-syarat tersebut,
ternyata banyak guru yang membuat sertifikat pendidikan dan pelatihan palsu.
Tragis ! tapi itulah kenyataan bahwa apabila administrasi menjadi satu-satunya
tolok ukur untuk menjadi ‘guru terbaik’, guru bisa berlaku tidak jujur dan
menghalalkan segala cara. Apakah layak
guru seperti ini mendapat label ‘guru terbaik’?
Nama baik guru kini sedang berada pada
posisi yang tidak menguntungkan, terperosok, dan jatuh karena berbagai sikap
dan perilaku yang tidak mampu menampilkan figur seorang guru yang menjadi
teladan bagi semua murid-muridnya. Semua keterpurukan ini, bukan disebabkan
oleh jeleknya administrasi fisik yang mereka buat dan materi yang mereka
kuasai, tetapi lebih pada karakter guru itu sendiri. Para guru harus mencari
jalan keluar atau solusi bagaimana cara mengangkatnya kembali, sehingga guru
menjadi semakin wibawa, dan terasa sangat dibutuhkan anak didik dan masyarakat
luas.
Dunia pendidikan saat ini, khususnya
guru, tidak mengajarkan bagaimana menjadi manusia yang utuh. Tidak juga
diajarkan untuk memahami hubungan antarindividu yang justru penting untuk
menekan konflik dan perpecahan yang kian sering terjadi.
Di sinilah tugas seorang guru yang sebenarnya,
bukan hanya sebatas kata-kata dan data-data, akan tetapi juga dalam bentuk
perilaku, tindakan, dan contoh-contoh sehingga mampu menjadi teladan dan bisa
memberi motivasi bagi siswa-siswanya. Sikap dan tingkah laku seorang guru jauh
lebih efektif dibanding dengan perkataan yang tidak dibarengi dengan amal
nyata.
Guru sebagai orang yang memiliki
peran sentral dalam pendidikan sudah seharusnya menjadi manusia ‘setengah nabi’ yang berperilaku baik
dan mampu membangun semua sisi kehidupan siswa. Dalam The Professional Teacher,
Norlander-Case, Reagen, dan Charles Case mengungkapkan bahwa tugas
mengajar merupakan profesi moral yang mesti dimiliki oleh seorang guru. Senada
dengan prinsip tersebut, Zakiah Darajat menyatakan bahwa persyaratan seorang guru
di samping harus memiliki kedalaman ilmu pengetahuan, ia juga bahkan mesti
seorang yang bertakwa kepada Allah dan mempunyai akhlak atau berkelakuan baik.
Hal ini berarti bahwa syarat krusial
bagi seorang guru adalah kepribadiannya yang luhur, mulia, dan bermoral
sehingga mampu menjadi cermin yang memantulkan semua akhlak mulia tersebut bagi
seluruh murid-muridnya. Dengan kata
lain, seorang guru yang berkepribadian mulia adalah seorang guru yang mampu
memberi keteladanan bagi murid-muridnya.
Sebab, secara sederhana mudah dipahami
bahwa guru yang tidak bertakwa sangat sulit atau tidak mungkin bisa mendidik
murid-muridnya menjelma orang-orang yang bertakwa kepada Allah. Begitu pula
para guru yang tidak memiliki akhlak yang mulia atau budi pekerti yang luhur tidak
akan mungkin mampu mendidik siswa-siswa mereka menjadi orang-orang yang
berakhlak mulia. Padahal pendidikan moral atau akhlak merupakan tujuan utama
dari pendidikan Islam.
Pada saat ini, kita telah digiring untuk
menjadi ‘guru kertas’ terbaik di tengah kecanggihan teknologi yang ‘paperless’.
Tumpukan kertas telah menjadi simbol ‘profesionalisme’ semu dan guru terpasung
pada tebalnya administrasi yang mereka buat, dan bukan pada karya inonatif yang
bisa mereka buat dan mereka tularkan pada guru lain.
Kemampuan mengadministrasikan persiapan
dan pelaksanaan pembelajaran memang penting, tetapi bukan satu-satunya syarat penentu
bagi terciptanya ‘guru terbaik’. Bukankah Rosulullah pernah bersabda “Innama bu’itstu
liutammima makarimal akhlaq” Sesungguhnya aku diutus Tuhan untuk menyempurnakan kemuliaan (keshalihan)
akhlak. Berarti
hal terpenting dan utama dalam pembentukan seseorang adalah akhlak
Mengakhiri tulisan ini, seorang Presiden Teaching Profession International
Observatory Universidad ORT Uruguay Denise Vaillant berkata dalam sesi
debat ‘Can We Have Education Without Teachers?’ ”Jangan hanya guru yang disuruh
berubah, tetapi harus diikuti perbaikan sistem pendidikannya,”. ‘Guru kertas’
tidaklah terjadi dengan sendirinya, tetapi ia lahir dari sistem yang masih
memegang ‘primordialisme’ pendidikan
kaku. Lalu, maukah kita berubah menjadi guru taat administrasi dan berakhlak
baik? Anda sendiri yang harus menjawabnya.
0 comments:
Post a Comment