Oleh: Iwan Gunawan
Jabatan wakil rakyat adalah jabatan
yang masih memiliki prestise dan daya tawar tinggi di kalangan
masyarakat Indonesia, sehingga banyak orang yang notene anggota partai
selalu ‘bermimpi’ untuk menduduki jabatan ini. Berbagai upaya dilakukan
untuk merebut tahta ini, mulai dari menyajikan janji-janji manis
melalui berbagai macam media promosi, menampilkan muka manis, senyum
lebar yang selalu tersebar, senantiasa mau membantu kepada rakyatnya
pada saat kampanye hingga konsultasi dengan para dukun politik. Mungkin
inilah cara yang efektif untuk meraup banyak suara rakyat yang akan
diperjuangkannya nanti di parlemen.Dibalik prestise dan menariknya jabatan ini, ternyata betapa banyak dosa terselip yang mengiringinya. Entah disadari atau tidak, dosa-dosa ini senantiasa berulang dan bergulir dari tahun ke tahun tanpa ada niat untuk memperbaikinya. Lengkingan suara-suara rakyat yang meneriakan dosa-dosa ini hanya dianggap angin lalu, seolah-olah bukan rakyatlah yang memilihnya. Janji-janji manis dulu yang diucapkan pada saat kampanye hanya menjadi catatan-catatan kecil dalam sejarah pemenangan dirinya menjadi wakil rakyat.
Memang, tidak semua wakil rakyat berbuat dosa-dosa ini, tetapi setidaknya masyarakat memiliki penilaian akan kerja anggota dewan. Mata media telah menjadi senjata ampuh bagi masyarakat untuk memberikan penilaian terhadap ‘amal baik’ dan ‘dosa’ yang telah dilakukan para anggota dewan.
Setidaknya ada beberapa potret buram “dosa” anggota dewan yang biasa dilakukan. Pandangan pertama ditujukan kepada banyaknya kursi kosong dalam rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) ditambah datang telat (jam karet) pada saat sidang hingga satu jam sudah menjadi pemandangan yang lazim terjadi. Hal ini terjadi karena lemahnya pengawasan dan sanksi yang diberikan oleh Badan Kehormatan (BK) DPR. Padahal dalam Undang-undang nomor 27 tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPRD, dan DPD dan Tata Tertib DPR disebutkan anggota dewan yang 6 kali berturut-turut tidak mengikuti rapat maka harus diberhentikan (JAKARTA, KOMPAS.com). Tapi sayangnya, UU ini belum bertaji bagi anggota dewan dan inilah yang menjadi salah satu penyebab bertumpuknya RUU yang belum disahkan menjadi undang-undang oleh DPR, karena rapat paripurna sering menghadapi masalah ‘tidak memenuhi quorum’.
Kalaupun anggota dewan hadir, mungkin hanya sebatas memenuhi absen saja. Tidak sedikit anggota dewan yang hadir, mengantuk pada saat rapat paripurna. Mengantuk adalah hal yang manusiawi, begitupula halnya dengan anggota DPR. Akan tetapi tidur ketika sedang rapat paripurna membahas hal-hal yang semuanya langsung berkaitan dengan kepentingan rakyat adalah sebuah perbuatan yang sangat memalukan, terlebih alasan tertidurnya karena habis menonton sepakbola. Sangat tragis !
Membahas program yang pro rakyat memang tidak boleh asal-asalan dan asal jadi. Butuh waktu lama hingga berjam-jam dan cukup melelahkan untuk membahas satu persoalan krusial. Anggota dewan yang dipilih rakyat harus siap menerima resiko ini, dan tidak boleh menjadikan alasan kelelahan dan kejenuhan untuk mencari hiburan ‘on location’ dengan membuka situs porno melalui gadget kesayangannya. So sweet !
Tidak bisa dipungkiri bahwa keasyikan membuka situs porno, akan berlanjut dalam kehidupan nyata, seperti halnya kasus perselingkungan anggota dewan dengan penyanyi dangdut, bahkan seperti dilansir sebuah media online bahwa “Toilet di DPR Sering Jadi Tempat Seks Kilat : Ditemukan Kondom Ditempat Sampah. Banyak Cewek Seksi di Gedung DPR” (http://www.nonstop-online.com/2013/09). Lebih lanjut media inipun menjelaskan “Kisah seks kilat di Gedung DPR memang bukan hal baru. Ketua DPR Marzuki Alie sebelumnya pernah meminta kepada kesekjenan agar tidak ada lagi sampah kondom yang ditemukan di tempat sampah.”
Kebiasaan menghabiskan uang untuk para cewek seksi mungkin hal kecil bagi anggota dewan tertentu, sebab ada juga kegiatan anggota dewan lain yang menghabiskan dana hingga milyaran rupiah, sebagaimana ditulis http://www.tempo.co “DPR berencana mengunjungi empat negara Eropa, yaitu Inggris, Prancis, Belanda, dan Rusia untuk membahas Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Kitab UU Hukum Pidana (KUHP) pada 14 April 2013 mendatang. Dalam lawatan tersebut, dana yang dihabiskan anggota Dewan diduga mencapai Rp 6,5 miliar. Sangat Fantastik ! padahal yang dijadikan objek studi banding hanya masalah santet. Uang rakyat habis dengan sia-sia !
Seandainya uang milyaran rupiah tersebut dipakai untuk memperbaiki sekolah yang rusak dan bukan untuk mengurusi masalah santet, tentunya akan lebih bermanfaat bagi rakyat yang dulu memilihnya. Akan tetapi, masalah santet tampaknya lebih menarik bagi anggota dewan daripada sekolah rusak dan ambruk. Anggota dewan sudah tidak memiliki kepedulian terhadap masalah yang dihadapi masyarakat.
Sebagaimana diketahui, bahwa satu bangsa akan menjadi besar, tentu akan di awali dari pendidikan yang memadai. Tanpa ada pendidikan yang memadai dan up to date, upaya apapun hasilnya tidak akan maksimal. Kalaupun DPR telah memutuskan bahwa anggaran pendidikan dinaikan menjadi 20%, akan tetapi dalam pelaksanaannya masih jauh panggang dari api. Praktik "titip proyek" dilakukan hampir semua anggota Komisi X DPR yang membidangi pendidikan dan olahraga. Titip-menitip proyek ini telah dianggap sebagai hal yang lumrah. (http://nasional.kompas.com). Ada udang dibalik batu !
Banyaknya anggota DPR -yang notabene anggota partai politik- terlibat dalam proyek-proyek tertentu, secara langsung atau tidak punya keterkaitan dengan parpolnya, sebab “partai politik tidak memberikan kebebasan terhadap anggotanya di parlemen dalam menjalankan tugas dan wewenang mereka. Akibatnya, para anggota dewan lebih mementingkan kepentingan partai dibandingkan kepentingan rakyat. (http://nasional.kompas.com). Kasus Hambalang adalah salah satu contoh betapa sistematisnya partai besar melalui anggotanya di parlemen dalam merampok uang rakyat. Mereka berkolaborasi merampok uang negara dengan perahunya masing-masing. Kerugian negara akibat kasus Hambalang sangat fantastis sehingga menyebabkan rakyat menderita. Berdasarkan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan atas kasus hambalang kerugian negara mencapai 243,6 milyar. (http://inaleaks.blogspot.com). Slogan-slogan pro rakyat yang dulu didengungkan saat kampanye, hanya menjadi harapan-harapan kosong belaka.
Proyek-proyek bermasalah yang digarap anggota dewan akan bermuara pada satu kata yaitu korupsi. Inilah masalah terbesar bangsa ini. Menurut hasil kajian Transparency International Inggris menunjukkan mayoritas parlemen dari 82 negara di dunia gagal dalam melakukan pengawasan korupsi di sektor pertahanan. Parlemen di Indonesia masuk dalam kategori level berisiko tinggi dalam hal pengawasan ini. Ini menandakan “semakin buruknya indeks korupsi Indonesia, dimana berdasarkan rilis Transparancy Internasional indeks tingkat korupsi di Indonesia naik dari peringkat 100 menjadi 118 pada 2012. ( http://inaleaks.blogspot.com/2013/05).
Ironis memang, tapi begitulah realita dan kondisi anggota dewan di Indonesia. Untuk itu, masyarakat harus lebih cerdas dalam memilih pemimpin yang lebih mementingkan kepentingan negara daripada golongannya.
0 comments:
Post a Comment