Oleh: Slamet Widiantoro, S.Pd
Guru Sains SD Muhammadiyah Condongcatur, Yogyakarta
Sumber: Republika
Musibah bertubi-tubi melanda negeri ini mulai dari gempa bumi, tsunami, gunung meletus, puting beliung, tanah longsor. Dan, terakhir-terakhir ini di musim penghujan ada daerah-daerah yang menjadi langganan bencana banjir, atau bencana yang lebih besar lagi bagi dunia yaitu adanya pemanasan global yang luar biasa dampaknya bagi bumi kita.
Bencana-bencana di atas tentunya secara langsung atau tidak langsung akan membawa dampak terhadap dunia pendidikan kita. Karena, dengan adanya bencana yang melanda tersebut maka banyak yang menjadi korban pendidikan, mulai dari fasilitas pendidikan dengan rusaknya bangunan sekolah, rusaknya transportasi menuju sekolah, atau terendamnya sarana sekolah lain karena banjir.
Belum lagi dampak psikologis yang dialami oleh anak akibat bencana tersebut. Tentunya kita masih teringat di tayangan televisi bencana tsunami di Aceh atau gempa bumi 27 Mei yang melanda di Yogyakarta bagaimana anak-anak menangis karena kehilangan saudara-saudaranya.
Bencana-bencana ini tentunya tidak lepas hanya sekadar dari peristiwa alam biasa. Tentunya, ada faktor kesalahan manusia baik itu secara fisik atau ada hubungannya dengan perusakan alam atau secara nonfisik akibat dari banyaknya kesalahan-kesalahan yang diakibatkan dari tingkah laku manusia. Sehingga, sang pencipta memberikan peringatan atau hukuman-Nya.
Dengan melihat latar belakang di atas tentunya kita melihat sangat perlunya pendidikan yang berwawasan lingkungan sejak dini. INi untuk mempersiapkan anak-anak kita yang siap mencegah dan menghadapi bencana lingkungan.
Pendidikan berwawasan lingkungan ini tentunya secara tidak langsung sudah terdapat di dalam kurikulum atau materi di sekolah dasar salah satunya dalam bidang studi IPA. Namun, dalam pelaksanaannya masih dirasa kurang karena permasalahan bencana tidak semata-mata hanya karena proses alam saja. Juga, diakibatkan dari pengaruh akhlak dari anak-anak bangsa, sehingga memang sangat diperlukan keterpaduan dalam pendidikan lingkungan ini. Sehingga, pendidikan lingkungan bisa diintergrasikan masuk juga dalam pelajaran yang lain misalnya IPS, agama, bahasa Indonesia, bahsa Jawa, bahkan matematika.
Sehingga, dari sini penting diperlukan adanya pembelajaran tematik tentang tema lingkungan di kelas. Walaupun sekarang sudah dikenalkan metode pembelajaran ini namun kita mengamati masih banyak dilakukan pada kelas-kelas kecil. Karena, di kelas atas ada guru bidang studi, hal ini kadang sebagian guru kita terjebak dalam dikotomi pendidikan. Sehingga, ketika kita berbicara IPA maka ada maka kita hanya berbicara IPA kita tidak membicarakan masalah agama, sosial, atau bahasa.
Pembelajaran tematik yang berhubungan dengan lingkungan ini agar lebih menarik bisa diwujudkan dengan field trip misalnya. Field trip ini bisa dalam bentuk pengenalan lingkungan sekitar misalnya saja pergi ke sawah. Di sawah anak bisa mempelajari semua pelajaran yang ada. Misalnya, untuk mempelajari IPA bisa dikenalkan dengan cara perkembangbiakan tanaman, pelajaran matematika belajar simetri lipat pada daun, pelajaran bahasa Jawa berlatih berbicara bahasa jawa dengan pak tani, pelajaran bahasa indonesia dengan menulis puisi, pelajaran KTK dengan menggambar pemandangan, pelajaran olah raga misalnya adanya game-game dengan lumpur di sawah.
Dengan adanya pembelajaran ini mungkin lebih membawa makna tersendiri bagi anak karena anak praktik langsung, selain mengurangi rutinitas pembelajaran di kelas. Walaupun tentunya membawa konsekuensi bagi guru karena harus bekerja ekstra dengan pengawasan anak di luar kelas.
Model pembelajaran lingkungan ini tidak hanya dengan model seperti di atas. Ada sekolah dengan media terbatas dapat melakukan dengan pemutaran film atau CD tentang lingkungan, membuat kliping bencana alam, mendaur ulang limbah rumah tangga, membuat taman, mempraktikkan simulasi gempa, yang hal ini sering dilakukan oleh negara maju seperti Jepang yang sering terjadi bencana gempa.
Untuk mengenalkan anak terhadap teknologi lingkungan anak-anak membuat model alat yang berhubungan dengan penangan bencana misalnya alam banjir atau alam gempa. Bisa juga dengan berkunjung ke suatu tempat pengolahan limbah industri, atau pendaurulangan sampah rumah tangga.
Bekerja sama dengan LSM yang berkecimpung dengan lingkungan atau stake holder yang peduli terhadap lingkungan untuk datang ke sekolah memberikan pelatihan juga menjadi alternatif bagi sekolah yang tidak memiliki dana atau kemampuan yang cukup untuk memberikan hal-hal seperti di atas. Sehingga, dengan cara ini tidak menjadi sesuatu yang memberatkan bagi sekolah.
Pembelajaran seperti di atas sudah diterapkan oleh beberapa sekolah yang memang di sekolahnya memiliki kurikulum pendidikan berwawasan lingkungan atau adanya guru-guru yang peduli terhadap lingkungan. Namun, dirasa akan lebih membawa dampak yang besar jika diwujudkan oleh seluruh sekolah negeri ini.
Dari uraian di atas kita melihat begitu pentingnya pendidikan lingkungan sejak dini agar anak memiliki wawasan lingkungan yang lebih luas dan diharapkan dapat peduli terhadap lingkungan di daerahnya dan tentunya siap menghadapi bencana akibat lingkungan. Dari pembahasan di atas pula kita berpikir tidak diperlukannya pendidikan lingkungan sebagai suatu pelajaran yang berdiri tersendiri. Karena, bisa terintegrasi dengan bidang studi yang lain dalam bentuk model pembelajaran tematik.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment