Oleh: T. Tjahjo Widyasmoro
Tuntutan Menjadi Pemenang
Prof. Dr. Arief Rachman, seorang pendidik, menunjukkan salah satu budaya kekerasan itu di harian Kompas, 11 Juli 2008. Pada halaman 1, terdapat foto dua pemain sepakbola yang tengah menganiaya seorang hakim garis pertandingan, pada ajang Pekan Olah Raga Nasional. Diduga para pemain mengamuk karena tidak puas atas kekalahan timnya 0-2.
Arief yang sangat menyesalkan peristiwa itu menilai para pemain salah memahami sebauh kompetisi hingga berujung kepada tindak kekerasan. Interpretasi atas menang kalah sebuah pertandingan masih sempit. Dikiranya sebuah kekalahan akan menyebabkan turunnya harga diri. Orang yang yang tidak menang artinya habislah segalanya, gagal dan tidak berharga.
Tak mengherankan jika banyak orang bersikap begitu, karena dalam pandangan Arief, yang tengah dikembangkan di dunia sekarang adalah budaya kekuatan. Dengan hanya bermodalkan kekuatan, maka seseorang, kelompok, atau bahkan Negara, dapat memiliki kekuasaan, untuk kemudian menjadi pemenang. Akibatnya terjadi kompetisi untuk meraih kekuatan sebesar-besarnya. Di Indonesia, kita merasakan atmosfer budaya kekuatan ini pada pemilihan langsung pemimpin, seperti pada Pemilu atau Pilkada.
Sayangnya, budaya kekuatan itu membuat kita lupa pada budaya yang sesungguhnya kita anut sejak lama, yakni budaya consensus. Disinilah orang memprores komunikasi, mengedepankan proses dialog, serta mengdepankan dialog, serta menggunakan logika dan hati. Semangat kebersamaan dan gotong royong yang menjadi perwujudannya, perlahan-lahan mulai punah. Nilai-nilai local suatu masyarakat memang cenderung terlindas budaya global yang disponsori Negara-negara adikuasa.
Dalam institusi pendidikan, seperti sekolah, budaya kekuatan juga ikut bermain. Sebagai contoh adanya system penilaian, peringkat, bahkan standar kelulusan secara nasional sebagai ukuran prestasi. “Ada paradigma yang disebut prestasi. Yang dianggap berprestasi adalah hal-hal yang terukur, teramati,” kata guru besar Universitas Negeri Jakarta ini dengan nada prihatin.
Pada fenomena yang terjadi di seluruh dunia itu, sayangnya banyak orang yang lupa bahwa sesungguhnya kita hidup dalam keragaman. Ada banyak perbedaan karena berbagai fkator, yang tentu tidak bisa dikompetisikan begitu saja. Arief memberi contoh, “Apakah Indonesia bisa dibandingkan dengan Singapura, misalnya. Kecuali kita memiliki tolok ukur yang satu!”.
Prestasi menjadi “tuhan” jika kemudian secara structural dan cultural seseorang tidak bisa mencapainya, maka ia akan merasa tersisih dan tidak berdaya. Orang yang kalah akan merasa tidak berharga, seperti pada contoh pemain sepakbola yang mengamuk tadi. Atau seperti yang terjadi di sekolah, dimana system nilai dan peringkat telah menyisihkan siswa yang tidak cerdas, tidak kaya, atau bahkan lemah.
Secara psikologis, papar Arief, ketidakberdayaan selalu saja dibarengi dengan kekuatan untuk menunjukkan keberadaannya, yakni bahwa mereka ada. “Bentuknya bisa saja dengan memakai kekerasan, tiba-tiba bisa saja mengancam, memukul atau bentrok dengan pihak lain,” jelas Ketua Harian Komisi Nasional Indonesia untuk UNESCO ini.
Reaksi semacam itu bisa terjadi pada semua orang, pihak, atau kelompok yang terus-menerus mengalami tekanan. Maka lahirlah budaya kekerasan.(Bersambung)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment