Friday, October 3, 2008

STOP KEKERASAN MULAI DARI RUMAH, SEKARANG! (Bagian I)

Oleh: T. Tjahjo Widyasmoro

Banyak pihak merasa prihatin dengan maraknya peristiwa kekerasan yang terjadi akhir-akhir ini. Padahal jika dirunut lebih jauh, segala kekerasan itu barulah pada tingkat permukaan saja. Banyak bentuk kekerasan yang justru berada di lingkungan terdekat kita, bahkan mungkin kita sendiri melakukannya. Bisakah kita menghentikannya?

Entah, apakah kita boleh berbangga hati mengetahui bahwa salah satu kosakata bahasa Inggris AMOK, adalah serapan dari bahasa Melayu ‘amuk’. Kamus-kamus ternama di Inggis dan Amerika Serikat memberi penjelasan kata itu sebagai : marah, turun ke jalan, dan menyerang secara membabi buta. Saat ini kita memberinya imbuhan menjadi “mengamuk”.

Online Etymologi Dictionary menjelaskan, kata run amok tercatat pertama kali pada 1672, ketika tiba-tiba saja orang-orang Melayu (kini Malaysia) mengamuk lepas kendali dan menyerang orang sekitarnya. Sebuah tindakan beringas kaum bumiputera yang boleh jadi membuat orang-orang bule Eropa tercengang saat itu.

Ah, Tapi mohon jangan keburu mencibir orang Melayu. Jauh sebelumnya, tepatnya 1516. Duarte Barbosa, dalam cantatan perjalannnya yang dibukukan menjadi An Account of the Countries Bordering on the Indian and Their Inhabitants, juga mencatat fenomena dalam masyarakat suku Jawa yang turun ke jalan dan membunuh sebanyak mungkin orang yang ditemui. Penulis asal Portugis itu mengistilahkannya amuco.

Apakah budaya mengamuk secara tiba-tiba, beringas, rusuh tak terkendali, adalah budaya masyarakat kita? Tidak ada jawaban pasti. Yang jelas, hamper lima abad setelah “amuk” dicomot orang barat, budaya kekerasan masih menjadi keprihatinan kita bersama. Bahkan hingga negeri kepulauan yang dinamakan Indonesia ini merayakan peringatan hari ulang tahun kemerdekaan yang ke-63 tahun ini.

Indikator budaya kekerasan ini mudah saja. Cobalah tengok media massa hari ini, dan akan mudah kita temui kata-kata: ancam, bentrok, rusak, serang, gusur, terror, pukul, fitnah, bantai, bunuh, dan sejenisnya. Kekerasan bisa dilakukan pemerintah, aliran politik, kelompok, bahkan Individu, terhadap orang-orang yang dianggap berbeda dengannya. Disisi lain, yang menjadi keprihatinan, iklim dialog yang menjadi salah satu ciri masyarakat intelektual dan beradab semakin jauh ditinggalkan. (bersambung)

0 comments:

 

WHEN SUHENG TALK... Template by Ipietoon Cute Blog Design