Oleh : Murni Ramli
SEBUAH poster di kereta bawah tanah di Nagoya, Jepang, mengilustrasikan ketidaksopanan sebagai penumpang kereta. Seorang siswa SMA digambarkan duduk dengan posisi kaki mengangkang sehingga mengambil tempat yang lebar, dan tas besarnya diletakkan di depan, menghalangi orang untuk berdiri bebas. Gambar lain tentang seorang gadis yang berbicara melalui telepon genggam dengan suara keras sehingga mengganggu penumpang lain.
Tidak hanya poster, kendaraan umum di Jepang sangat terkenal dengan sarat peringatan dan ajakan untuk mematuhi norma-norma, misalnya larangan untuk menelepon, berbicara keras, dan beberapa tindakan yang mengganggu.
Ketika datang pertama kali ke Jepang, saya berdecak kagum dengan kerapian, ketertiban dan kedisiplinan warga Jepang mengantre masuk ke kereta. Tidak ada yang berebut, bahkan anak kecil pun berdiri sabar menunggu giliran. Dari mana kedisiplinan itu dibangun?
Menjawab pertanyaan ini tidaklah gampang jika analisis hanya didasarkan pada peraturan hukum, pun tidak bisa sekadar dilihat sebagai wacana sosial politik. Secara teoretis dan empiris, dapat dikatakan bahwa kedisiplinan itu erat kaitannya dengan pendidikan.
Bagaimana sekolah sekolah di Jepang mengajarkan kedisiplinan dapat kita cermati melalui pendidikan moralnya. Norma dalam masyarakat Jepang sangat terkait dengan ajaran Shinto dan Budha, tetapi menariknya kedua agama ini tidak diajarkan di sekolah dalam bentuk pelajaran wajib, seperti halnya pelajaran agama di Indonesia. Namun nilai nilai agama itu diwujudkan dalam kehidupan sehari hari di sekolah.
Pendidikan moral di dalam bahasa Jepang disebut "doutokukyouiku". Kata doutoku berarti moral dan kyouiku berarti pendidikan. Kata "doutoku" terdiri dari dua kata, yaitu dou yang berarti jalan dan kata toku yang berarti virtue atau kebaikan. Penggunaan kata "dou" dalam terminologi Jepang banyak sekali, misalnya judou, kendou, akidou (olahraga tradisional Jepang), shodou (kaligrafi), sadou (tradisi minum teh) yang dalam pemahaman orang Jepang memerlukan ketekunan untuk mencapai taraf tertinggi. Moral atau kebaikan pun memerlukan ketekunan untuk menemukan "jalan" mencapainya.
Karenanya, pendidikan moral di sekolah sekolah di Jepang tidak diajarkan sebagai sebuah mata pelajaran khusus, tetapi diintegrasikan dalam semua mata pelajaran. Secara khusus wali kelas bertanggung jawab untuk mendiskusikan aturan kelas, aturan bermain bersama, atau hubungan kerja sama antaranggota kelas dalam 35 jam setiap tahun di SD dan SMP. Dalam pelajaran lain seperti "seikatsuka" atau pendidikan tentang kehidupan sehari hari, siswa SD diajari tatacara menyeberang jalan, adab di dalam kereta, yang tidak saja berupa teori, tetapi guru juga mengajak mereka untuk bersama naik kereta dan mempraktikkannya. Wali kelas juga menyampaikan kasus pelanggaran dan mengajak siswa untuk mendiskusikan pemecahannya.
Pendidikan moral di SMA selanjutnya menjadi pendidikan kewarganegaraan. Pembekalan prinsip dasar hidup yang kuat di masa pendidikan dasar inilah yang membuat kedisiplinan dan keteraturan dalam masyarakat Jepang.
Ketika berbicara tentang sains, yang muncul di kepala kita adalah teori dan rumus yang harus dihafalkan. Demikian pula ketika kita mendengar istilah pendidikan sosial, maka imajinasi akan mengerucut pada sejumlah uraian panjang tentang konsep hubungan manusia dengan makhluk, dan saat kita berbicara tentang pendidikan agama, maka otomatis kita merujuk kepada hubungan manusia dengan Tuhannya.
Pola pemikiran yang seperti itulah yang membuat kita terjebak dan memisahkan ranah pembicaraan sains dan moral, sains dan agama, sosial dan sains, dan sebagainya, padahal sebenarnya pembelajaran dengan menyatukan kesemua konsep akan menciptakan pemahaman yang mendalam.
Kegiatan mempelajari pohon dalam pelajaran IPA di sebuah SD di Jepang menggambarkan bahwa siswa diarahkan tidak saja untuk memahami pohon secara ilmiah, tetapi mereka diajak pula untuk menempatkan pohon sebagai bagian dari kehidupan sehari hari. Dengan konsep ini, siswa akan peduli dengan kondisi pohon di sekitarnya. Sebagai dampaknya, tidak ada penebangan liar di Jepang. Ketika mengajarkan dinamika air, guru tidak saja mengajarkan konsep bahwa air mengalir dari tempat yang tinggi ke rendah, atau air mempunyai kekuatan yang bisa menghasilkan energi, tetapi empati siswa untuk menjaga kebersihan sumber-sumber air dan ekosistemnya adalah bentuk pembelajaran yang melengkapi inti pembelajaran sains.
Jika ingin mencontoh Jepang, pendidikan moral di Indonesia sudah saatnya beralih dari pendidikan teori kepada pendidikan praktis.*
MURNI RAMLI
Mahasiswa Program Doktor Graduate School of Education and Human Development,
Nagoya University, Jepang
Monday, October 13, 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
2 comments:
informasi ini sgt bermanfaat utk bahan tulisan saya
arigato^^
bagus tulisan dan isinya...sehingga saya ikut reposting untuk buletin sekolah saya...lanjutkan
Post a Comment