KEKERASAN guru terhadap siswa bukan cerita lama. Terakhir kasus seorang guru Bahasa Inggris di Karanganyar yang menendang siswanya hingga gegar otak, masih segar dalam ingatan masyarakat pemerhati pendidikan. Beban tugas guru yang berat, kesejahteraan yang belum baik, rendahnya "kecerdasan" emosional, dst, merupakan salah satu sebab mengapa guru bisa berbuat khilaf dengan jalan menebarkan aroma kekerasan di dalam kelas. Pada sisi yang lain pengaruh gaya hidup TV, rendahnya perhatian orangtua terhadap para kelakuan dan sopan santun anaknya, perilaku konsumtifisme, narkoba, minuman keras, dan perilaku ”ngoboy” lainnya, merupakan sederetan sebab mengapa para siswa zaman sekarang juga susah di atur.
Dua sisi yang sangat ekstrem dari si guru dan siswa tersebut jika bertemu, maka akan terjadi benturan (fisik).
Singkatnya banyak siswa yang stres dan mencoba bunuh diri, sementara yang lain mencoba membakar dan merusak gedung sekolahnya, ketika tidak lulus ujian. Tampak bahwa dunia pendidikan di tanah air seakan tidak ramah terhadap perasaan dan nurani para siswa. Salah satu tujuan diselenggarakannya pendidikan sebagai sarana pemerdekaan dan pembebasan, hanya akan berada di awang-awang.
Pendidikan ahirnya hanya menghasilkan manusia cerdas namun seperti robot di satu sisi, dan manusia stres pada sisi lain. Sistem ranking, sistem penilaian, kebijakan yang tidak pernah konsisten, sistem dan proses pembelajaran yang monoton searah dan instruktif dari guru, menyebabkan anak-anak merasa tidak lagi "at home" di sekolahnya.
Stres itu belum usai, di rumah sudah menanti ”monster” yang bernama ambisi orang tua. Di teras sudah menunggu guru les, ada les bahasa Inggris, piano, matematika, tari, dst, dengan setumpuk buku dan latihan soal yang membosankan.
Benar kata Wapres bahwa untuk bisa menjadi bangsa yang maju arus ada kerja keras. Namun pertanyaannya, apakah sekolah dan sistem ujian sekarang ini sudah menunjukkan ke arah usaha kerja keras yang sesungguhnya? Sikap kerja keras tidak bisa dijalani dengan cara meniadakan rasa bahagia anak. Kerja keras bukan sekadar menghafal ratusan definisi dan latihan soal ala LKS (Lembar Kerja Siswa), namun juga melibatkan kecerdasan emosi anak.
Pembinaan kecerdasan emosi dilakukan dalam rangka untuk : 1). Menemukan pribadi, yakni memfasilitasi siswa untuk mengenali kekuatan dan kelemahan dirinya sendiri. Siswa menerimanya secara positif dan dinamis dalam rangka pengembangan dirinya lebih lanjut; 2). Mengenal lingkungan: guru memfasilitasi siswa agar mengenal lingkungannya seperti lingkungan sosial, ekonomi, budaya, dst dan menerima sebagai berbagai kondisi lingkungan itu secara positif dan dinamis; 3).
Merencanakan masa depan: guru memfasilitasi siswa agar mereka dapat merencanakan masa depannya. Menurut Carl Witherington, ada empat hal yang harus diketahui guru untuk mengetahui emosi siswanya, yakni: 1). Aspek emosi yang terlihat oleh mata seperti gemetar, takut sehingga matanya terbelalak, menggeretakkan gigi untuk mengekspresikan rasa marah dst; 2). Emosi yang ditunjukkan oleh sikap kurang senang, senang, benci; 3). Ungkapan-ungkapan atau umpatan dari siswa; dan 4).
Kecenderungan emosi yang bersifat kualitatif, misalnya dirangsang oleh individu lain hingga timbul rasa senang, benci, jijik, malu, marah, dan sebagainya. Umumnya anak-anak dari golongan ekonomi lemah yang mudah tersulut emosinya, meskipun anak dari keluarga mampu, juga memperlihatkan gejala serupa.
Anak-anak dari golongan ekonomi lemah akhirnya harus putus di tengah jalan, atau "layu sebelum berkembang". Hasil penelitian Silverstein dan Krate di lingkungan "ghetto" (dalam Megawangi, 1993) juga menunjukkan, bahwa anak-anak dari golongan ekonomi lemah harus rela mendapatkan lingkungan sekolah yang jelek. Demikian pula lingkungan tempat tinggal yang kumuh menyebabkan mereka memiliki sifat ambivalen, terlalu cepat dewasa (precocious independent), pasrah (submissive), dan kurang percaya diri serta penghargaan pada diri rendah (low self esteem).
Hasil penelitian di Amerika Serikat yang dilakukan oleh Goldens dan Birns (dalam Megawangi, 1993) menunjukkan bahwa hasil tes IQ dari berbagai kelompok strata sosialekonomi anak usia di bawah dua tahun tidak ada perbedaan yang berarti. Dengan kata lain anak dari keluarga ekonomi lemah memiliki potensi yang relatif sama dengan anak dari golongan ekonomi mampu.
Dengan kata lain, siswa-siswa di kota-kota besar sangat rawan terhadap pengaruh lingkungan yang buruk. Hal inilah yang menyulitkan guru-guru d kota-kota besar untuk mendidik siswanya. Ivan Illich atau Paulo Freire pernah mengkritik bahwa sekolah formal itu milik kaum pemodal dan tidak berpihak kepada kaum papa. Sekolah formal pada akhirnya hanya alat legitimasi untuk melanggengkan kekuasaan dengan jalan menciptakan kelas-kelas sosial. Bahkan Freire menyebut sebagai kekuatan untuk melanggengkan "kebudayaan bisu".
Demikian pula Betrand Russell (1993) pernah mengatakan bahwa mestinya pendidikan itu lebih mempertimbangkan hubungan komunitas daripada hubungan individu, meskipun tujuan pendidikan untuk membudayakan individu agar kapasitasnya berkembang maksimal.
Randall Collins dalam "The Credential Society: An Historical Sociology of Education and Stratification" mengatakan bahwa bukti-bukti empiris menunjukkan bahwa pendidikan formal merupakan awal dari proses stratifikasi sosial.
Sketsa singkat di atas rasanya pantas untuk dijadikan renungan para penentu kebijakan pendidikan, agar di masa depan generasi muda Indonesia mendapatkan sistem pendidikan yang tidak saja mampu meningkatkan kecerdasan hidup, namun juga mampu memberikan bekal keterampilan hidup, pandangan hidup dan nilai-nilai kehidupan yang merangsang kecerdasan emosi dan spiritualnya. Bangsa ini tidak ingin lagi mendengar ada siswa bunuh diri gara-gara tidak lulus ujian atau tidak dapat membayar SPP.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment