Thursday, July 3, 2008

Pendidikan Karakter: “Knowing the Good, Loving the Good, and Acting the Good”

Dahulu, ketika zaman Orde Baru, ada semacam penataran massal yang berlangsung di pelbagai tempat, terutama di instansi-instansi pemerintahan, sekolah, dan kampus-kampus. Penataran massal itu bernama “Pendidikan Moral Pancasila”. Bagus sih tujuan penataran tersebut. Namun, apakah penataran tersebut memiliki efek yang dahsyat dalam mengubah masyarakat Indonesia menjadi insan-insan yang bermoral luhur atau memiliki akhlak yang baik, tentulah waktu yang membuktikannya.

Setelah Orde Baru digantikan dengan orde yang lebih baru, penataran massal itu pun menghilang. Terdengar ada sebuah konsep baru dalam menjadikan anak didik dapat sekaligus dididik moralnya. Konsep baru itu bernama pendidikan budi pekerti. Namun, tidak sebagaimana penataran massal zaman Orde Baru, pendidikan budi pekerti ini hanya terdengar sayup-sayup dan sepertinya kurang mendapat tempat di dunia pendidikan di Indonesia.

Seorang ibu, yang juga menjadi Guru Besar di Institut Pertanian Bogor, tiba-tiba menyeruak di tengah sistem pendidikan di Indonesia yang, kayaknya, sedang dilanda oleh semacam kehampaan akut. Ibu ini membawa banyak sekali konsep untuk memperbaiki sistem pendidikan di sini. Salah satu konsepnya yang layak mendapat perhatian bernama pendidikan holistik berbasis karakter.

Karakter? Mengapa ibu ini menggunakan kata karakter? Apa tujuannya? “Kebanyakan sekolah di Indonesia hanya memperhatikan pengembangan kognitif (logika) sehingga pola ajar yang diberikan bersifat hafalan yang dogmatis dan tidak mengarah pada pemahaman dan pembentukan karakter,” ujar sang ibu suatu ketika dalam sebuah seminar.

Benar, dewasa ini, kita memang telah mengenal adanya potensi EQ (kecerdasan emosi) yang dipopulerkan oleh Dan Goleman. Juga ada SQ (kecerdasan spiritual) yang dibahas secara menarik oleh Danah Zohar dan Ian Marshall. Lantas ada pula kecerdasan majemuk (multiple intelligences) yang ditemukan Howard Gardner. Betapa kayanya potensi anak didik jika merujuk ke temuan-temuan itu?

Jika sekolah hanya menekankan pengembangan kognitif, betapa sayangnya upaya-upaya yang dilakukan oleh pendidikan kita. Mungkin, kata “holistik” yang digunakan oleh si ibu bertujuan agar pendidikan benar-benar dapat menggarap seluruh potensi anak didik yang ada ya? Lantas, apa itu karakter?

“Menurut Wynne, istilah karakter diambil dari bahasa Yunani yang berarti ‘to mark’ (menandai),” ujar si ibu lebih lanjut. “Istilah ini lebih fokus pada tindakan atau tingkah laku. Wynne mengatakan bahwa ada dua pengertian tentang karakter. Pertama, ia menunjukkan bagaimana seseorang bertingkah laku. Apabila seseorang berperilaku tidak jujur, kejam, atau rakus, tentulah orang tersebut memanifestasikan perilaku buruk. Sebaliknya, apabila seseorang berperilaku jujur, suka menolong, tentulah orang tersebut memanifestasikan karakter mulia. Kedua, istilah karakter erat kaitannya dengan ‘personality’. Seseorang baru bisa disebut ‘orang yang berkarakter’ (a person of character) apabila tingkah lakunya sesuai kaidah moral.”

Ringkasnya, menurut si ibu, membangun karakter memerlukan sebuah proses yang simultan dan berkesinambungan yang melibatkan seluruh aspek “knowing the good, loving the good, and acting the good”. Di sinilah perbedaannya dengan istilah moral. Pendidikan karakter menjadi berbeda dengan pendidikan moral karena pendidikan moral hanya terfokus pada pengetahuan tentang moral (lagi-lagi hanya menekankan aspek kognisi). Kurikulum pendidikan karakter adalah pendidikan untuk membentuk kepribadian siswa, yaitu pribadi yang bijaksana, terhormat, dan bertanggung jawab yang hasilnya terlihat dalam tindakan nyata. []

0 comments:

 

WHEN SUHENG TALK... Template by Ipietoon Cute Blog Design