Oleh: Iwan Gunawan
Mungkin kita masih ingat peristiwa penangkapan Al Amin Nasution oleh KPK, berkaitan dengan kasus suap dilakukannya dalam mengubah status hutan lindung menjadi hutan produksi.
Sebelum kasus ini terungkap, Grup band Slank dengan keras menyuarakan anti korupsi melalui ‘Gosip jalan’ yang dinyanyikannya di Gedung KPK. Lagu ‘Gosip Jalan’ dalam waktu singkat telah mengguncang Gedung DPR, dan memang tak lama berselang Badan Kehormatan DPR berencana mengajukan gugatan kepada grup musik ini, karena memang DPR tidak merasa melakukan korupsi.
Tetapi, apa yang terjadi? Bagaikan disambar petir di siang hari, Badan kehormatan DPR mendapati ‘anak asuhannya’ ditangkap oleh KPK atas kasus suap yang dilakukannya, tak lama berselang setelah Badan Kehormatan DPR berang terhadap ‘Slank’…hari ini DPR telah termakan oleh ucapannya sendiri. Kejadian ‘termakan ucapan sendiri’ mungkin tidak hanya terjadi di DPR, tetapi juga bisa di sekolah/lembaga pendidikan.
Kalau kita mau jujur dan terbuka, betapa banyaknya guru yang merokok, baik secara sembunyi ataupun terang-terangan, tetapi disisi lain guru dengan gencarnya mengajarkan anak untuk hidup sehat, menjauhi narkoba, mengajarkan anak untuk tidak merokok.
Sama halnya dengan anjuran kita kepada murid untuk datang tepat waktu, tetapi masih banyak guru yang tidak bisa datang tepat waktu, sehingga ‘keterlambatan’ menjadi suatu hal biasa, bukan sesuatu ‘tidak biasa’.
Saya sendiri suka merasa heran, kenapa muncul istilah ‘ijin telat/terlambat’. Padahal ‘telat/terlambat’ adalah sebuat akibat dari proses yang kita alami. Kalau keterlambatan karena kejadian diluar dugaan kita seperti kecelakaan, ban kemps mungkin masih bisa ditolerir, tetapi ketika keterlambatan itu diakibatkan oleh kelalaian diri kita yang tidak bisa ‘memanage waktu’, tampaknya ‘ijin telat tidak berlaku.
Rumah jauh bisa disolusi dengan datang lebih pagi, macet bisa diatasi dengan mencari ‘jalan tikus’, hujan bisa diatasi dengan menggunakan jas hujan. Betapa banyak solusi yang bisa kita ambil. Hanya permasalahannya, mau atau tidak kita melakukannnya?
Di sekolah-sekolah yang sudah maju, keterlambatan telah dikaitkan dengan pemotongan biaya transport guru yang bersangkutan, sehingga semakin banyak telatnya, semakin besar potongan biaya transportnya. Tetapi masalahnya, kita sebagai guru bukan hanya mengajar, tetapi juga memberi contoh. Bila kita sebagai guru telah, secara langsung atau tidak telah memberi contoh untuk telat/terlambat kepada murid. Kita tidak senang melihat murid yang telat datang, tetapi mengapa anda sebagai gurunya juga datang telat?..lagi-lagi kita ‘termakan ucapan sendiri’
Wednesday, May 7, 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment