ditayangkan oleh susuwongi
Kami mahasiswa Indonesia bersumpah, bertanah air satu, tanah air tanpa penindasan. Kami mahasiswa Indonesia bersumpah, berbangsa satu, bangsa yang gandrung akan keadilan. Kami mahasiswa Indonesia bersumpah, berbahasa satu, bahasa tanpa kebohongan.
Sumpah Mahasiswa Indonesia Reformasi 98
Minggu, 28 Oktober 2007, merupakan hari penting bagi bangsa ini. Menjadi hari penting karena 79 tahun lalu pada tanggal yang sama generasi muda bangsa ini mengikrarkan rasa kesatuan. Unitas itu diungkapkan dalam tiga hal, yakni kesatuan dalam tanah air, kesatuan dalam bangsa, dan kesatuan dalam bahasa. Konvensi trilogi integralitas ini merupakan fakta sejarah yang tak terbantahkan bahwa generasi muda bangsa kala itu adalah generasi muda yang berkarakter.
Karakter seperti apa yang kaum muda Angkatan 28 nyatakan dalam Sumpah Pemuda? Menurut hemat penulis, sekurang-kurangnya tiga karakter yang mencuat di dalamnya. Pertama, karakter pemberani. Situasi pada waktu itu jelas kurang kondusif untuk menyatakan tekad yang bulat, apalagi untuk menggalang kebersamaan, yang tentunya upaya unitas ini dirasakan oleh kaum penjajah sebagai ancaman bagi eksistensi kekuasaannya.
Tetapi, keadaan terkungkung itu bukanlah hambatan bagi kaum muda mewujudkan semangatnya untuk bersatu. Justru situasi ini membangkitkan perasaan senasib dan sepenanggungan. Dengan demikian dapat dikatakan, meminjam pemikiran dialektis dari Hegel, kaum muda berjuang melawan tesis dengan antitesis. Tesisnya adalah upaya pemecah-belah dari penjajah terhadap bangsa ini, sedangkan antitesis adalah semangat untuk bersatu.
Terkait dengan butir pertama, karakter kedua adalah nasionalisme yang tangguh. Kala itu kaum muda menyadari betul bahwa kendati mereka berasal dari kelompok atau suku yang berbeda-beda dan berasal dari daerah yang berbeda-beda, namun mereka mengakui dirinya sebagai generasi bangsa yang senasib dan sepenanggungan. Lewat proses evolusi dunia pengajaran dan pendidikan model Barat, mereka menumbuhkan dan memekarkan akselerasi kesadaran nasional yang tinggi untuk merintis kemerdekaan bagi bangsanya.
Hal ini tentu bisa terwujudkan karena generasi 28 mampu mengalahkan naluri keberpihakannya pada kepentingan kelompok dan menempatkan kepentingan bersama sebagai skala prioritas. Di sinilah terlihat jelas semangat nasionalisme yang tangguh itu. Karena itulah mereka berani me- nyatakan tekad untuk bersatu dalam wilayah, dalam bangsa dan bahasa.
Karakter ketiga adalah intelektualis dan moralis. Intelektualis karena generasi 28 merintis refleksi serta debat tentang prinsip-prinsip dasar cita-cita kebangsaan dengan pikiran dan pengetahuan. Mereka tidak mau terjerembab dalam kubangan sikap yang dikhawatirkan oleh Julian Benda, yakni penghianatan intelektual demi kepentingan sesaat. Mereka justru mengkritisi sikap-sikap penjajah dan mendalami filsafat bangsa, masyarakat, dan negara yang dicita-citakan. Menjadi moralis, karena atas dasar solidaritas yang tinggi serta keberpihakan pada nilai-nilai mendasar kemanusiaan, mereka menyatakan perjuangan untuk melawan sang penindas dengan semangat yang sama.
Eksistensi Humanisme
Tiga karakter di atas menunjukkan bahwa kaum muda merupakan bagian integral dari perjuangan bangsa ini. Dalam bingkai ini, pengakuan akan peran serta mereka sangatlah penting. Namun, fakta partisipasi kaum muda dalam sejarah bangsa ini tidak hanya bersifat afirmatif, tetapi juga harus bersifat imperatif. Dengan kata lain, terhadap kaum muda, selain berani mengakui peran historisnya, perlu juga memperhatikan eksistensi humanismenya.
Kepedulian kita pada eksistensi kaum muda diwujudkan melalui pendidikan karakter. Karakter seperti apa yang perlu dihidupkan di kalangan generasi muda sekarang? Menurut hemat penulis, empat karakter penting berikut menjadi bagian pedagogi karakter itu.
Pertama, karakter perantau. Manusia perantau, meminjam istilah YB Mangunwijaya, adalah orang-orang yang menempatkan kerja keras, perjuangan serta usaha yang berkelanjutan sebagai prinsip hidup. Manusia seperti ini sadar akan keterbatasan dirinya. Karena kesadaran akan keterbatasan dirinya inilah maka nilai-nilai heroik menjadi bagian dari hidupnya. Hanya dengan modal keyakinan inilah dia mampu mengatasi keterbatasannya dan mampu membangun dunianya yang lebih humanis.
Menurut penulis bagi generasi muda sekarang karakter manusia perantau di atas sangat relevan. Kaum muda sekarang berhadapan dengan tantangan yang luar biasa berat. Penggunaan sumber daya alam yang tidak terkontrol serta kerusakan bumi yang semakin parah adalah realitas di hadapan mereka. Berhadapan dengan inilah mental manusia perantau sangat urgen. Dengan mental perantau itu mereka telah disiapkan menghadapi tantangan. Mereka tidak mudah menyerah.
Kedua, karakter intelektual. Generasi muda sekarang tentu tidak cukup dibekali dengan semangat juang yang tinggi serta kerja keras, melainkan juga perlu dibekali dengan pengetahuan yang memadai. Hal ini seiring dengan perkembangan zaman. Peter F Drucker telah mengingatkan kita bersama bahwa di era digital ini pengetahuan yang luas merupakan modal yang tak terhindarkan. Karena itulah semangat gemar membaca menjadi bagian penting dalam pendidikan karakter generasi muda.
Di era sekarang tuntutan ini merupakan tantangan besar. Kecanggihan teknologi justru telah membuat kaum muda lebih mencintai penemuan daripada pencarian. Tetapi, justru di tengah kultur pragmatisme ini karakter intelektual perlu mendapat perhatian.
Ketiga, karakter manusia otonom. Manusia otonom adalah orang yang memiliki prinsip yang jelas dalam hidupnya. Ia bukanlah orang yang mudah bimbang dan ragu terhadap keputusannya dan mudah tergiur dengan iming-iming kepuasan badaniah sesaat, melainkan memiliki pendirian yang teguh.
Menurut Immanuel Kant, otonomi merupakan sikap mendasar dalam diri manusia. Otonomi bersumber dari pengakuan kedirian. Karena itu sifatnya internal, muncul dari dalam setiap pribadi. Kebenaran bagi seorang yang otonom bersumber dari keyakinannya sendiri bahwa itu benar, bukan karena dikatakan orang lain bahwa itu benar. Namun, ini bukan berarti sikap otonom menafikan norma-norma, melainkan tetap menjadikannya bagian dari dasar pengambilan keputusan. Dengan demikian, bagi manusia otonom ada kesejajaran antara dimensi subyektif dan dimensi obyektif.
Dimensi subyektif adalah keyakinannya sendiri dan dimensi obyektif adalah sesuai dan sejalan dengan prinsip-prinsip atau norma etis yang berlaku di luar dirinya. Karakter ini perlu juga menjadi bagian dari pendidikan karakter kaum muda.
Keempat, karakter etis. Karakter ini terkait dengan karakter ketiga. Tekanan di sini adalah kebangkitan akan nilai-nilai moral di kalangan generasi muda. Kepada mereka diberikan modal yang kuat untuk mampu mempertimbangkan perbuatannya dari segi nilai-nilai. Ruang gerak agar karakter ini bisa tumbuh perlu tersedia, yakni kesempatan.
Bercermin dari Angkatan 28, kepedulian kita terhadap kaum muda semakin dituntut. Kepedulian bangsa ini terhadap mereka terwujud dalam substansi nilai-nilai yang dihidupkan di kalangan mereka sebagai dasar pembentukan karakter. Perhatian ini akan menentukan arah masa depan bangsa. Dengannya kita menyiapkan calon pemimpin bermutu di masa depan. Karena itu dalam refleksi Hari Sumpah Pemuda ini, Sumpah Mahasiswa Indonesia Reformasi 98, sebagaimana dikutip di awal tulisan ini, perlu menjadi dasar bagi pendidikan karakter generasi muda.
Kasdin Sihotang, Penulis adalah dosen Filsafat di FE dan staf inti PPE Unika Atma Jaya, Jakarta
Sumber: http://www.suarapembaruan.com/News/2007/10/27/index.html
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment