oleh: Helena Asri Sinawang, Guru SMAN 1 Bandung
Berbagai kasus yang terjadi dalam beberapa dasa warsa terakhir ini telah menyadarkan semua pihak bahwa ada sesuatu yang kurang beres dalam dunia pendidikan secara keseluruhan. Misalnya gejala penyalahgunaan obat terlarang, pergaulan bebas, penggunaan ijazah dan gelar palsu, tawuran pelajar dan bahkan tawuran antar kelompok masyarakat yang dirasakan sangat mengkhawatirkan ketenangan hidup masyarakat. Hal ini dituding sebagai fenomena kegagalan pendidikan.
Banyak pihak (termasuk pakar pendidikan) mengatakan, pendidikan telah menyimpang dari amanatnya untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam realitasnya pendidikan tidak lagi berada dalam koridor platformnya sebagaimana diatur dalam pasal 1 ayat 1 UU No 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, yakni satu upaya sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdesan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Kecenderungan yang muncul, pendidikan dipersempit menjadi "persekolahan" yang kemudian dipersempit lagi dengan "pengajaran". Selanjutnya "pengajaran" dipersempit kembali dengan "pengajaran di ruang kelas" dan semakin sempit menjadi penyampaian materi kurikulum yang hanya berorientasi pada pencapaian ujian akhir (Ebtanas).
Penyempitan seperti ini hanya berorientasi pada aspek kognitif dan intelektual. Sedangkan unsur fundamental yang berakar pada nilai moral dari pendidikan itu sendiri terlupakan. Sehingga pendidikan hanya menghasilkan manusia yang skolastik dan pandai secara intelektual namun kurang memiliki keutuhan pribadi.
Keadaan ini telah menyadarkan pihak yang peduli untuk mengembalikan pendidikan pada supremasinya sebagai infrastruktur pembentukan dan pengembangan berbagai dimensi kepribadian secara serasi, selaras dan seimbang. Sehingga pendidikan tidak hanya bersifat skolastik namun juga memiliki nilai.
Untuk itu, diperlukan pendidikan budi pekerti yang merupakan aspek efektif dalam diri seseorang yang berlandasakan nilai-nilai sebagai rujukan berperilaku normatif. Ini didapatkan melalui pengalaman dan pendidikan yang memungkinkan seseorang untuk belajar dan berkembang. Melalui pengalaman inilah seseorang mendapatkan patokan dalam bertingkah laku di kehidupan sehari-hari. Hal inilah yang disebut nilai, yang menunjukkan apa yang cenderung kita lakukan dalam waktu-tempat tertentu atas dasar keyakinan dan penghargaan tertentu. Seiring dengan waktu, nilai ini akan berkembang dan menjadi matang.
Nilai merupakan bagian dari kehidupan, karenanya akan melibatkan tantangan, pertentangan, keseimbangan sehingga memerlukan suatu pertimbangan yang matang. Perwujudan suatu nilai dilakukan melalui suatu proses pemilihan, penghargaan dan tindakan. Dengan fungsi sebagai standar perilaku, dasar penyelesaian konflik dan pembuatan keputusan, sumber motivasi, dasar penyesuaian diri, dan dasar perwujudan diri. Nilai pada hakikatnya merupakan suatu bentuk pengalaman yang dirancang secara normatif, sistematis dan bertujuan. Karenanya pendidikan nilai harus mampu menyentuh sisi afektif peserta didik dengan menggunakan pendekatan-pendekatan afektif melalui keteladanan, pengajaran, pengalaman khusus, hukuman dan ganjaran, situasi lingkungan kelembagaan, dan layanan bimbingan .
didikan digunakan pendekatan holistik yang merupakan pendekatan yang mengharuskan pendidikan dipadang sebagai satu keutuhan dalam berbagai aspek dimensi. Seperti landasan, tujuan, isi, strategi, pelaksanaan dan operasional. Dengan fokus utama yaitu pemberdayaan pribadi, berpusat pada keluarga dengan berakar pada nilai religi, bernuansa pendidikan, dan berlangsung dalam harmoni budaya bangsa serta perkembangan global.
Untuk itu, guru harus menjadi pribadi efektif dan tolak ukur kualitas kebangsaan dengan didukung lima unsur, yaitu penalaran, sumber daya, pengetahuan, fungsi utama, dan kualitas watak. Watak bangsa merupakan manifestasi pendidikan, baik di sekolah maupun di luar sekolah (keluarga dan masyarakat) masyarakatnya.
Karenanya reformasi pendidikan yang paling fundamental hakikatnya adalah pembentukan watak yang utuh. Dalam era reformasi, pendidikan harus mampu mengembangkan peserta didik menjadi sumber daya manusia yang beriman dan bertaqwa, mandiri, kreatif, dan berwawasan masa depan. Sehingga lebih bermakna bagi individu, masyarakat ataupun bangsa dan negara.
Sunday, January 27, 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment