Tuesday, December 11, 2007

'Banyak Sekolah Sengsarakan Anak'

Senin, 21 Mei 2007
Sekolah bisa jadi ajang penyiksaan karakter.

JAKARTA--Orang tua dianjurkan untuk berhati-hati dalam memilih sekolah untuk anak-anak. Pasalnya, jika salah memilih lembaga pendidikan formal yang sejatinya bertujuan mendidik dan mengembangkan potensi anak ini, justru malah bisa menyengsarakan anak. Anjuran itu disampaikan oleh pendiri dan direktur eksekutif Indonesia Heritage Foundation (IHF), Ratna Megawangi.

Menurut Ratna, kebanyakan sekolah di Indonesia hanya memperhatikan pengembangan kognitif (logika) para siswanya, sehingga pola ajar yang diberikan bersifat hafalan yang dogmatis dan tidak mengarah pada pemahaman dan pembentukan karakter. Sekolah seperti ini sebenarnya menyengsarakan anak karena anak menjadi terbebani dengan tugas-tugas sekolah. Mereka tidak fun, kata Ratna pada acara seminar dan workshop Pendidikan Karakter Melalui Brain Based Parenting(Pola Asuh Ramah Otak) di Jakarta, Sabtu (19/5).

Dia mencontohkan, di antara pola ajar sekolah-sekolah yang menyengsarakan anak ini yaitu dengan pemberian tugas atau pekerjaan rumah yang bertumpuk-tumpuk serta tidak memperhatikan tingkat pemahaman siswa terhadap mata pelajaran. Dalam kondisi ini, siswa jadi stress. Dia penuh tekanan sehingga perkembangan karakternya pun tidak begitu baik, kata Ratna yang sebelum seminar meluncurkan buku terbarunya yang berjudul Semua Berakar pada Karakter.

Hal yang mendukung sekolah justru menjadi ajang `penyiksaan' karakter anak, yaitu perbandingan jumlah peserta didik dan guru dalam satu kelas. Kelas yang terlalu banyak jumlah siswanya dengan hanya satu orang guru, kata Ratna, membuat anak tak leluasa menanyakan apa yang tidak ia pahami tentang tema mata pelajaran. Padahal, lanjut Ratna, untuk menumbuhkembangkan potensi anak, lembaga pendidikan sekolah seharusnya menerapkan kurikulum yang holistik berbasis karakter dengan menempatkan anak sebagai subjek dalam belajar.

Para siswa, kata Ratna tidak hanya diajarkan bagaimana untuk mengerti (knowing) tentang sesuatu, tetapi juga merasakan (feeling), dan mengerjakan (acting). Ratna menuturkan, lingkungan sekolah yang tidak `ramah' terhadap perkembangan karakter anak justru akan membuat semua potensi anak tidak berkembang. Armada, orang tua siswa bernama Kalam (11 tahun), juga memberikan testimoninya tentang pengaruh sekolah dalam perkembangan karakter anaknya.

Armada mengatakan, sepulang dari Amerika Serikat selepas menjalani studi, dia dan istrinya menyekolahkan Kalam di sebuah sekolah unggulan. Namun yang terjadi justru mengejutkan saya. Anak saya semakin hari bertambah stress dan terlihat tidak happy, tutur Armada. Setelah empat tahun, Armada baru menyadari ternyata anaknya mengalami tekanan yang luar biasa dengan cara belajar di sekolah. Itu terlihat ketika dia ingin berangkat sekolah. Dia selalu murung, imbuh Armada.

Saat Armada Kalam dipindahkan ke sekolah lain yang mendasarkan kurikulumnya pada pengembangan karakter anak, barulah terjadi perubahan perilaku. Ikhtisar - Salah memilih lembaga pendidikan bisa menyengsarakan anak. - Sekolah harusnya menerapkan kurikulum yang holistik. (ade ) Sumber: Republika Online

0 comments:

 

WHEN SUHENG TALK... Template by Ipietoon Cute Blog Design