Friday, November 27, 2015

JADUL BUKAN BERARTI AMBURADUL



JADUL BUKAN BERARTI AMBURADUL
Oleh: Iwan Gunawan
(SD Salman Al Farisi Bandung)

“Ajarilah anak-anakmu sesuai dengan zamannya, karena mereka hidup di zaman mereka bukan pada zamanmu. Sesungguhnya mereka diciptakan untuk zamannya, sedangkan kalian diciptakan untuk zaman kalian”

Zaman terus berkembang, peradaban semakin maju, teknologi semakin canggih, pergaulan semakin bebas, dan pendidikan semakin liberal. Pendidikan senantiasa bergerak maju dan terus berubah. Perubahan-perubahan ini menuntut para pelaku pendidikan untuk senantiasa mengikuti perubahan itu, termasuk guru di dalamnya.
Sering kali kita melihat, betapa banyak guru yang sudah lama mengajar dan merasa cocok dengan metode mengajar yang dijalaninya selama ini, maka ia akan meneruskan style dan metode mengajar tersebut pada murid generasi berikutnya. Tidak peduli apakah metode mengajarnya sudah jadul atau ketinggalan jaman, yang penting guru semacam ini akan ‘istiqomah’ dengan metode ‘jadul’nya. Dengan meminjam istilah Namin AB Ibnu Solihin guru semacam ini disebut “Guru Lontong Basi” adalah  guru yang gaya mengajarnya masih meniru guru zaman dahulu mereka sekolah, padahal kini zaman sudah semakin berkembang, eranya sudah era teknologi, tapi masih banyak guru yang mengajar dengan memberikan ilmu-ilmu dan gaya pada masa lalu. Jika kita sebagai guru tidak mau meningkatkan kapasitas dirinya untuk terus belajar, maka kita bisa menjadi guru ‘jadul dan amburadul’.
Begitu juga dalam mendidik dan mentrasfer ilmu pengetahuan, jika yang kita sampaikan adalah pendidikan yang sudah tidak relevan lagi dengan masa sekarang, maka akan sulit diterima anak-anak kita. Anak-anak kita saat ini hidup pada era digital, maka sudah sepatutnya kita juga memahami era ini, bahkan kita wajib lebih tahu dari anak-anak kita. Menghadapi era ini, selayak guru menjadi guru go blogging.
Sebenarnya, tidaklah masalah apabila seorang guru mendapat gelar ‘guru jadul’, sebab ‘guru jadul’ melambangkan bahwa ia sudah lama mengajar, punya banyak pengalaman menangani murid dan loyal pada lembaganya (sekolah) atau dengan meminjam istilah Bahasa Indonesia ‘sudah banyak makan garam’ alis profesional.
Ke’jadul’an tidaklah melulu melambangkan ketertinggalan jaman dan pemikiran, selama guru ini mau belajar dan terus memperbaharui pengetahuan serta senantiasa terbuka dengan perubahan-perubahan yang terjadi di dunia pendidikan. Bila kita terus konsisten dengan ke’jadul’an kita, maka siapa yang akan menjadi korban dunia pendidikan kita hari ini?
Cobalah kita lihat contoh dunia lain di luar dunia pendidikan, betapa ke’jadul’an tetap bisa menjadi pemain utama dan menguasai pasar, ada “Jamu Njonja Meneer” yang tetap eksis meskipun berdiri telah Tahun 1919, Teh Cap Botol yang berdiri 1940, dan Kecap Bango 1928. Merek-merek tersebut tetap menjual produk yang sama sejak jaman dulu, dan orang jaman sekarang masih bisa menikmatinya. Dimana letak keberhasilannya? Ternyata semua produk tersebut memodifikasi kualitas dan tampilan, baik dari segi bentuk dan kemasan. Semua merek tersebut senantiasa mengikuti arah pergerakan dan perubahan yang terjadi di masyarakat.
Guru ‘jadul’ bukanlah guru ‘mandul’ dalam memperbaharui ilmu, cara berpikir dan seluruh kemampuannya. Guru ‘jadul’ akan tetap bisa eksis selamanya dan tetap dicintai muridnya, apabila guru mau mengikuti perubahan dan mampu memodifikasi ke’jadul’annya, baik dari cara mengajar, gaya mengajar, metode mengajar, isi materi yang diajarkannya dan yang terpenting adalah perbaikan karakter dirinya, sehingga pada akhirnya nanti akan muncul guru ‘jadul’ baru yang berwawasan dan berkarakter mulia.
Mengakhiri tulisan ini, ada baiknya kita simak sebuah anekdot berikut ini “suatu saat dua orang yang berasal dari sekolah yang sama bertemu. Walaupun berbeda angkatan tetapi mereka cepat akrab dan pada saat mereka membicarakan salah seorang gurunya, mereka kemudian tertawa bersama-sama karena setelah obrolan yang panjang terungkap bahwa sang guru tersebut masih melakukan praktek pengajaran yang persis sama, bahkan ketika waktu kelulusan mereka terpaut lebih dari 7 tahun. Ini membuktikan bahwa guru yang bersangkutan tidak mau berubah dan menyejajarkan diri dengan kemajuan jaman. Sudah bukan jamannya lagi kita mengajar berdasarkan diktat kuliah serta keterangan dari dosen-dosen yang mengajar kita saat di universitas dahulu. Jaman berubah demikian cepat dan informasi bertambah terus menerus membuat sebuah ilmu menjadi cepat usang dan ketinggalan”.
Anekdot diatas sangat sesuai dengan istilah Jawa ‘GURU’ berarti digugu dan ditiru (dipatuhi dan dicontoh), berdasarkan perumpamaan tersebut dapat diketahui bahwa seorang guru memang dituntut untuk mengetahui hal-hal lebih dahulu sebelum muridnya (orang yang pintar). Sebenarnya guru yang pintar ialah guru yang lebih dahulu tahu. Lalu, guru seperti apakah kita?




           
           
           

0 comments:

 

WHEN SUHENG TALK... Template by Ipietoon Cute Blog Design