Friday, November 27, 2015

GURU KERTAS


GURU KERTAS
Oleh: Iwan Gunawan
(SD Salman Al Farisi)

“Ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani”
“Didepan menjadi teladan, di tengah membangun keinginan dan di belakang memberikan dorongan”

            Guru kertas, itulah sebuah lontaran ringan yang ditujukan untuk guru-guru yang memang sangat disibukkan dan disita waktunya untuk membuat kelengkapan administrasi yang bertumpuk guna memenuhi syarat-syarat menjadi ‘guru terbaik’. Guru kertas begitu sangat memuja dan men’dewa’kan administrasi fisik. ‘Guru kertas’ akan berusaha sekuat tenaga menyempurnakan administrasi fisik dengan berbagai cara, dan mungkin juga melakukan ‘cara tidak halal’ untuk memenuhi tuntutan tersebut, misalnya dengan membajak karya teman (plagiat) atau bisa juga dengan cara lain.  Tapi apakah benar guru ‘terbaik’ itu yang administrasinya bertumpuk? Jawabannya, bisa ya bisa tidak, tergantung dari sisi mana kita melihatnya.
Sebagai sebuah perbandingan, Pada saat program sertifikasi guru digulirkan oleh pemerintah, betapa banyak guru yang dengan segala cara berusaha untuk memenuhi syarat-syarat administrasi fisik yang diperlukan untuk mengikuti program sertifikasi tersebut. Akan tetapi ada fakta yang mengejutkan dibalik usaha guru memenuhi syarat-syarat tersebut, ternyata banyak guru yang membuat sertifikat pendidikan dan pelatihan palsu. Tragis ! tapi itulah kenyataan bahwa apabila administrasi menjadi satu-satunya tolok ukur untuk menjadi ‘guru terbaik’, guru bisa berlaku tidak jujur dan menghalalkan segala cara.  Apakah layak guru seperti ini mendapat label ‘guru terbaik’?
Nama baik guru kini sedang berada pada posisi yang tidak menguntungkan, terperosok, dan jatuh karena berbagai sikap dan perilaku yang tidak mampu menampilkan figur seorang guru yang menjadi teladan bagi semua murid-muridnya. Semua keterpurukan ini, bukan disebabkan oleh jeleknya administrasi fisik yang mereka buat dan materi yang mereka kuasai, tetapi lebih pada karakter guru itu sendiri. Para guru harus mencari jalan keluar atau solusi bagaimana cara mengangkatnya kembali, sehingga guru menjadi semakin wibawa, dan terasa sangat dibutuhkan anak didik dan masyarakat luas.
Dunia pendidikan saat ini, khususnya guru, tidak mengajarkan bagaimana menjadi manusia yang utuh. Tidak juga diajarkan untuk memahami hubungan antarindividu yang justru penting untuk menekan konflik dan perpecahan yang kian sering terjadi.
Di sinilah tugas seorang guru yang sebenarnya, bukan hanya sebatas kata-kata dan data-data, akan tetapi juga dalam bentuk perilaku, tindakan, dan contoh-contoh sehingga mampu menjadi teladan dan bisa memberi motivasi bagi siswa-siswanya. Sikap dan tingkah laku seorang guru jauh lebih efektif dibanding dengan perkataan yang tidak dibarengi dengan amal nyata.
            Guru sebagai orang yang memiliki peran sentral dalam pendidikan sudah seharusnya menjadi manusia ‘setengah nabi’ yang berperilaku baik dan mampu membangun semua sisi kehidupan siswa.  Dalam The Professional Teacher, Norlander-Case, Reagen, dan Charles Case  mengungkapkan bahwa tugas mengajar merupakan profesi moral yang mesti dimiliki oleh seorang guru. Senada dengan prinsip tersebut, Zakiah Darajat menyatakan bahwa persyaratan seorang guru di samping harus memiliki kedalaman ilmu pengetahuan, ia juga bahkan mesti seorang yang bertakwa kepada Allah dan mempunyai akhlak atau berkelakuan baik.
Hal ini berarti bahwa syarat krusial bagi seorang guru adalah kepribadiannya yang luhur, mulia, dan bermoral sehingga mampu menjadi cermin yang memantulkan semua akhlak mulia tersebut bagi seluruh murid-muridnya.  Dengan kata lain, seorang guru yang berkepribadian mulia adalah seorang guru yang mampu memberi keteladanan bagi murid-muridnya.
Sebab, secara sederhana mudah dipahami bahwa guru yang tidak bertakwa sangat sulit atau tidak mungkin bisa mendidik murid-muridnya menjelma orang-orang yang bertakwa kepada Allah. Begitu pula para guru yang tidak memiliki akhlak yang mulia atau budi pekerti yang luhur tidak akan mungkin mampu mendidik siswa-siswa mereka menjadi orang-orang yang berakhlak mulia. Padahal pendidikan moral atau akhlak merupakan tujuan utama dari pendidikan Islam.
Pada saat ini, kita telah digiring untuk menjadi ‘guru kertas’ terbaik di tengah kecanggihan teknologi yang ‘paperless’. Tumpukan kertas telah menjadi simbol ‘profesionalisme’ semu dan guru terpasung pada tebalnya administrasi yang mereka buat, dan bukan pada karya inonatif yang bisa mereka buat dan mereka tularkan pada guru lain.
Kemampuan mengadministrasikan persiapan dan pelaksanaan pembelajaran memang penting, tetapi bukan satu-satunya syarat penentu bagi terciptanya ‘guru terbaik’. Bukankah Rosulullah pernah bersabda Innama bu’itstu liutammima makarimal akhlaq” Sesungguhnya aku diutus Tuhan untuk menyempurnakan kemuliaan (keshalihan) akhlak. Berarti hal terpenting dan utama dalam pembentukan seseorang adalah akhlak
Mengakhiri tulisan ini, seorang Presiden Teaching Profession International Observatory Universidad ORT Uruguay Denise Vaillant berkata dalam sesi debat ‘Can We Have Education Without Teachers?’ ”Jangan hanya guru yang disuruh berubah, tetapi harus diikuti perbaikan sistem pendidikannya,”. ‘Guru kertas’ tidaklah terjadi dengan sendirinya, tetapi ia lahir dari sistem yang masih memegang ‘primordialisme’ pendidikan kaku. Lalu, maukah kita berubah menjadi guru taat administrasi dan berakhlak baik? Anda sendiri yang harus menjawabnya.

0 comments:

 

WHEN SUHENG TALK... Template by Ipietoon Cute Blog Design