Thursday, December 18, 2008

Metode "Sepiring Nasi"

Menjelaskan ilmu sosial kepada anak-anak pada dasarnya harus disertai dengan contoh kongkrit yang bisa dimengerti oleh anak. Akan tetapi tidak semua materi ilmu sosial bisa dijelaskan dengan hal yang kongkrit. Sebagai kasus, baru-baru ini saya mendapat giliran unruk menjelaskan materi ilmu sosial tentang 'mahluk sosial' di kelas 3 SD.

Menjelaskan arti 'mahluk sosial' kepada anak kelas 3 SD anak sangat berbeda dengan menjelaskan kepada anak SMP atau SMA, sebab anak-anak SD masih berfikir kongkrit dan belum menganalisis.

Saya dituntut untuk mencari metoda terbaik untuk menjelaskan hal ini, dan akhirnya saya menemukan sebuah metoda yang sangat primitif..sepiring nasi.

Sepiring nasi yang biasa disantap oleh anak-anak pada saat istirahat telah memberi inspirasi bagi saya untuk menjelaskan masalah 'mahluk sosial' di kelas 3 SD

Saya mencoba mengurai apa saja yang ada dalam sepring nasi. Ada ikan, tahu, tempe, nasi, garam, sayuran, piring, garfu dan sendok. Lalu saya coba bertanya kepada anak-anak tentang siapa saja yang membuat dan menghasilkan barang-barang tersebut.

Anak-anak menjawab: nelayan, pembuat tahu, pembuat tempe, petani, petani garam, petani sayuran, pembuat piring, pembuat garfu dan pembuat sendok...ooo banyak sekali.

Saya mulai bertanya pada anak-anak, bagaimana seandainya tidak ada mereka? bisakah kita makan? bisakah kita menpersiapkan semua kebutuhan kita untuk makan? semua anak didikku menjawab "tidak!".

Dari metoda sepiring nasi, akhirnya aku bisa menjelaskan bahwa kita sebagai manusia tidak mungkin bisa hidup sendiri tanpa bantuan orang lain.

Monday, December 15, 2008

Semua untuk Pendidikan

sumber: Republika
Melalui pendidikan luar sekolah kualitas manusia Indonesia dapat ditingkatkan dalam waktu relatif singkat.

Sekali waktu, Prof Dr WP Napitupulu bertemu Ishak Hindom. Kala itu, Napitupulu menjabat Direktur Jenderal Pendidikan Luar Sekolah Pemuda dan Olahraga Departemen Pendidiikan dan Kebudayaan (Depdikbud), Ishak adalah Gubernur Irian Jaya. Dalam pertemuan tersebut, Napitupulu berujar, ''Mau provinsimu maju?''
Sang gubernur tentu saja mengangguk.

''Kalau mau cepat maju, setengah pegawai bapak disuruh ke Peniai (pedalaman), memberantas buta huruf, tinggal di sana meningkatkan kualitas pendidikan rakyat. Setengah saja mengerjakan administrasi di sini.''Napitupulu mengisahkan pembicaraan belasan tahun silam itu dalam diskusi terbatas bersama pengelola Taman Bacaan Masyarakat (TBM) di Jakarta, beberapa waktu lalu.

Mungkin saja ia sekadar bercanda. Mengirim setengah karyawan Pemda menetap di pedalaman tidak semudah yang diucapkan. Tapi, di balik guyonan itu ia menyampaikan pesan, meningkatkan kualitas manusia Indonesia dan memberantas buta huruf bisa dilakukan dalam waktu yang relatif dengan keterlibatan banyak orang.

Peningkatan itu, menurut dia, hanya dapat dilakukan melalui jalur pendidikan luar sekolah. Itu karena pendidikan sekolah memerlukan waktu enam tahun di SD dan tiga tahun SMP. Sedangkan melalui program pendidikan luar sekolah bisa langsung digunakan untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia. ''Jadi, tidak perlu bertahun-tahun.''

Deret ukur
Melibatkan banyak orang dalam pelaksanaan program pendidikan luar sekolah bisa dimulai dari semua unsur yang mengurusi pendidikan. Tidak hanya direktorat yang ada di Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas), tapi juga bagian yang mengurusi pendidikan di departemen dan instansi lain. ''Bukan berarti mereka tidak mengerjakan pekerjaannya, tapi sekian persen perhatiannya harus membantu pendidikan luar sekolah,'' tuturnya.

Pelaksanaannya melibatkan kalangan lain, bukan hanya mereka yang bergerak di bidang pendidikan, tapi setiap orang, setiap organisasi, semua bergerak untuk pendidikan. Napitupulu mencontohkan perlunya keterlibatan mahasiswa Kuliah Kerja Nyata (KKN) untuk benar-benar membantu rakyat desa sebagai agen perubahan.

Dengan demikian, semua orang punya kesempatan yang sama memperoleh pengetahuan dan keterampilan relevan yang dapat dijadikan bekal mencari nafkah, sesuai konsep pendidikan untuk semua. Ini berarti, pendidikan untuk semua (education for all) bisa menjadi kenyataan bila konsep itu diputar menjadi semua untuk pendidikan (all for education).

Dia menyadari, tidak ada formula tepat yang bisa digunakan untuk mendorong semua orang bergerak bersama. Yang diperlukan adalah bagaimana memberikan pengertian kepada semua orang, terutama masyarakat terdidik di desa-desa agar mau melibatkan diri dalam proses itu. ''Kalau dia mengerti, dia akan joint. Tidak bisa kalau diperintah-perintah,'' ucapnya.

Selain itu, bagaimana mengatur supaya tenaga terdidik bangsa ini melaksanakan proses pelipatgandaan diri sejauh mungkin dengan sistem reaksi berantai mengikuti deret ukur naik. Misalnya, mereka yang sudah melek huruf melalui program Paket A, menjadi asisten membantu tutor. ''Jadi sistem reaksi berantai mengikuti deret ukur naik.''

Napitupulu mengakui, memang sudah ada political will pemerintah soal pelaksanaan konsep pendidikan untuk semua, sebagaimana diatur dalam Kepres tentang Wajib Belajar 9 Tahun dan Pemberantasan Buta Aksara. Hanya saja, dia melihat pelaksanaannya kerap belum konsisten. Tidak jarang, pemerintah lebih mengutamakan program lain seperti pengerjaan jalan atas pertimbangan untuk kepentingan bersama dari pada mengalokasikan anggaran yang cukup untuk pendidikan masyarakat.

Padahal, menurut dia, ruang lingkup pendidikan luar sekolah sesungguhnya lebih luas dari sekadar melaksanakan program pemberantasan buta huruf dan wajib belajar. Di dalamnya mencakup semua bidang kehidupan, termasuk bagaimana meningkatkan gizi dan ekonomi masyarakat. Karena itu dia berujar, "Memberantas kemiskinan harus melalui jalur pendidikan luar sekolah."

Sekarang, kata dia, bagaimana menyakinkan Menteri Pendidikan Nasional kabinet mendatang bahwa melalui pendidikan luar sekolah kualitas manusia Indonesia dapat ditingkatkan dalam waktu relatif singkat. Sebab, kalau hanya berpegang pada sekolah saja, anak tamat SD orang tuanya merasa sudah cukup dan meminta ikut membantu mencari nafkah. "Kalau begitu terus, hanya orang tertentu yang menjadi hight educated.

Luasnya lingkup pendidikan luar sekolah dapat hitung dari berapa anak Indonesia yang masuk sekolah dan berapa yang sampai ke perguruan tinggi. Dari situ akan ketemu jumlah manusia Indonesia yang memerlukan layanan pendidikan luar sekolah. Karena itu, meningkatkan mutu manusia Indonesia dalam waktu yang relatif singkat harus melalui pendidikan luar sekolah.

Saatnya tidak hanya berbicara pendidikan untuk semua, tapi semua untuk pendidikan. Caranya, semua tenaga terdidik bangsa ini melaksanakan proses pelipatgandaan diri sejauh mungkin dengan sistem reaksi berantai mengikuti deret ukur naik. Pantaslah bila ia menyampaikan guyonan kepada Ishak Hindom, belasan tahun silam.

Muhajir dan Balon Berputing

Oleh Ahmad Tohari  (Republika)

Ikhwan Muhajir sedang gelisah gara-gara kondom. ''Mau berantas HIV/AIDS dengan cara bagi-bagi kondom; itu nalar apa?''

Pertanyaan Muhajir berkaitan dengan Hari AIDS Internasional. Ini membuat saya teringat peristiwa 44 tahun lalu. Tahun 1964, saya duduk di SMA bersama si Muhajir itu, tapi beda kelas.

Pagi itu ada pelajaran kosong. Kelas agak riuh. Dan, tiba-tiba ada balon tiup meluncur di udara dari arah belakang. Tan Swie Hing, anak pemilik apotek di kota kami, tertawa-tawa. Dia yang meluncurkan balon itu bersama gengnya. Kelas bertambah riuh. Balon yang di ujungnya ada semacam puting dan tidak ikut menggembung itu jadi rebutan. Saya juga terlibat. Gadis-gadis centil teman sekelas kami malah lebih heboh. Mereka beramai-ramai memukuli balon tadi agar lebih tinggi mengapung di udara.

Di belakang, Tan dan gengnya tertawa makin menjadi-jadi. Akhirnya, ketua kelas menangkap balon itu untuk dipecahkan. Ketika tahu bahwa balon tadi sebenarnya kondom yang ditiup sampai menggelembung, wajah saya terasa kering. Brengsek! Dan, gadis-gadis centil itu? Ah, mungkin mereka tidak tahu rahasia ini hingga sekarang. Juga, Muhajir.

Karena peristiwa masa lalu itu, saya kini tidak kaget bila mendengar isu perkondoman. Dan, saya tersenyum ketika Muhajir minta saya segera menjawab pertanyaannya.

''Cegah HIV/AIDS dengan kondom. Bahkan, dengan Pekan Kondom Nasional, itu nalar apa?''

''Itu nalar kaum natural-sekularis. Para naturalis menyikapi seks dengan pendekatan rasional dan teknis. Seks adalah hal yang alami semata. Segala bentuk mitos, termasuk norma agama di seputar masalah birahi, boleh disingkirkan. Norma agama hanya diberi tempat sebagai urusan pribadi bukan urusan sosial.''

''Jadi, dalam nalar sekuler soal seks tak ada moralnya?''
''Ya, ada. Masyarakat sekuler melaksanakan kegiatan seks sebagai kebutuhan biologis semata. Dasarnya adalah suka sama suka. Sedangkan moralnya ringan saja; asal kegiatan itu tidak merugikan siapa pun. Maka, mereka perlu kondom dan menyebar kondom di mana-mana.''

Ikhwan Muhajir berhenti kirim SMS. Saya lega. Tapi, saya membayangkan wajahnya masygul. Dia adalah dai yang sering mengajak orang jangan mendekati zina. Maka itu, dia pasti menentang massalisasi kondom. Bagi orang beriman seperti Muhajir, mencegah HID/AIDS hanya ada satu cara; jangan dekati zina dan narkoba.

Saya juga membayangkan kecemasan para orang tua yang punya anak remaja. Bila membeli kondom semudah membeli rokok, bukankah keberanian remaja untuk menabrak rambu-rambu dosa menjadi berlipat ganda? Jadi, kemasygulan Muhajir adalah kemasygulan masyarakat luas yang seharusnya ditanggapi. Jangan anggap enteng akibat massalisasi balon berputing ini, meskipun ada kalanya untuk penggunaan di jalan yang bersih kondom ada manfaatnya juga.

Sunday, December 14, 2008

Guru adalah pekerjaan pengabdian?

Jaman dulu banyak orang yang tidak mau jadi guru, karena menjadi guru pada jaman dulu adalah pengabdian yang sebenarnya. Banyak guru yang hidupnya serba tidak kecukupan, tetapi mereka tetap bertahan dengan profesinya sebagai guru, karena tugas guru dianggap sebagai tugas mulia yang tidak bisa diukur dengan uang.

Guru pada saat itu banyak disegani oleh murid dan masyarakat karena keteladanannya, pengabdiannya, kesederhanaan dan pantang menyerah di tengah keserbatiadaan fasilitas dan kurangnya perhatian masyarakat/pemerintah terhadap profesi ini.

Tetapi, jaman sudah berubah. Guru tampaknya sudah menjadi suatu profesi yang menjanjikan, terutama dilihat dari segi penghasilan. Sehingga pada saatnya nanti tidak ada lagi guru yang miskin dan serba kekurangan, karena pemerintah sudah mengalokasikan dana sebesar 21 persen dari APBN untuk peningkatan kualitas pendidikan, termasuk di dalammnya kesejahteraan guru.

Saya pernah membaca tentang guru-guru yang lulus sertifikasi dan sebagai imbasannya guru-guru tersebut akan mendapat penghasilan kurang lebih Rp 5 juta perbulan. Dalam sebuah wawancara dengan salah seorang guru dinyatakan bahwa dengan adanya kenaikan penghasilan dan tunjangan, maka ia akan bisa berkonsentrasi dalam meningkatkan kualitas pendidikan dan tidak akan terganggu dengan hal-hal yang sifatnya mencari penghasilan sampingan. Tapi bukankah pengabdian tidak diukur dari besar kecilnya penghasilan? Bukankah pendidikan berkualitas itu bukan harus menunggu hasil sertifikasi dan gaji besar? Semua berpulang pada kita. Maukah kita mengurus anak didik kita dengan dengan tanpa diembeli “menunggu”…menunggu gaji besar dan lulus sertifikasi.

Tapi bisakah gaji yang besar menjadi “jaminan” meningkatnya kualitas pendidikan? Wallahu alam.

Saat ini, banyak guru yang mangkir disaat bertugas, sehingga satpol PP harus turun tangan, guru yang dengan seenaknya ‘nempeleng’ anak secara antri, guru yang melakukan pelecehan pada siswa, merokok di depan siswa, jalan-jalan dengan yang bukan mukhrimnya dan masih banya kasus lain…walaupun hal ini tidak bisa digeneralisir.

Ternyata menjadi guru sudah bukan lagi “pengabdian” murni. Pengabdian guru pada saat ini adalah pengabdian bersyarat. Guru sudah menjadi profesi seperti halnya dokter di rumah sakit, yang lebih mendahulukan ‘duit’ ketimbang ‘mengurus’ pasien. Guru sudah jadi barang industri pendidikan. Setuju atau tidak, terserah anda!
 

WHEN SUHENG TALK... Template by Ipietoon Cute Blog Design