sumber: Republika
Melalui pendidikan luar sekolah kualitas manusia Indonesia dapat ditingkatkan dalam waktu relatif singkat.
Sekali waktu, Prof Dr WP Napitupulu bertemu Ishak Hindom. Kala itu, Napitupulu menjabat Direktur Jenderal Pendidikan Luar Sekolah Pemuda dan Olahraga Departemen Pendidiikan dan Kebudayaan (Depdikbud), Ishak adalah Gubernur Irian Jaya. Dalam pertemuan tersebut, Napitupulu berujar, ''Mau provinsimu maju?''
Sang gubernur tentu saja mengangguk.
''Kalau mau cepat maju, setengah pegawai bapak disuruh ke Peniai (pedalaman), memberantas buta huruf, tinggal di sana meningkatkan kualitas pendidikan rakyat. Setengah saja mengerjakan administrasi di sini.''Napitupulu mengisahkan pembicaraan belasan tahun silam itu dalam diskusi terbatas bersama pengelola Taman Bacaan Masyarakat (TBM) di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Mungkin saja ia sekadar bercanda. Mengirim setengah karyawan Pemda menetap di pedalaman tidak semudah yang diucapkan. Tapi, di balik guyonan itu ia menyampaikan pesan, meningkatkan kualitas manusia Indonesia dan memberantas buta huruf bisa dilakukan dalam waktu yang relatif dengan keterlibatan banyak orang.
Peningkatan itu, menurut dia, hanya dapat dilakukan melalui jalur pendidikan luar sekolah. Itu karena pendidikan sekolah memerlukan waktu enam tahun di SD dan tiga tahun SMP. Sedangkan melalui program pendidikan luar sekolah bisa langsung digunakan untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia. ''Jadi, tidak perlu bertahun-tahun.''
Deret ukur
Melibatkan banyak orang dalam pelaksanaan program pendidikan luar sekolah bisa dimulai dari semua unsur yang mengurusi pendidikan. Tidak hanya direktorat yang ada di Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas), tapi juga bagian yang mengurusi pendidikan di departemen dan instansi lain. ''Bukan berarti mereka tidak mengerjakan pekerjaannya, tapi sekian persen perhatiannya harus membantu pendidikan luar sekolah,'' tuturnya.
Pelaksanaannya melibatkan kalangan lain, bukan hanya mereka yang bergerak di bidang pendidikan, tapi setiap orang, setiap organisasi, semua bergerak untuk pendidikan. Napitupulu mencontohkan perlunya keterlibatan mahasiswa Kuliah Kerja Nyata (KKN) untuk benar-benar membantu rakyat desa sebagai agen perubahan.
Dengan demikian, semua orang punya kesempatan yang sama memperoleh pengetahuan dan keterampilan relevan yang dapat dijadikan bekal mencari nafkah, sesuai konsep pendidikan untuk semua. Ini berarti, pendidikan untuk semua (education for all) bisa menjadi kenyataan bila konsep itu diputar menjadi semua untuk pendidikan (all for education).
Dia menyadari, tidak ada formula tepat yang bisa digunakan untuk mendorong semua orang bergerak bersama. Yang diperlukan adalah bagaimana memberikan pengertian kepada semua orang, terutama masyarakat terdidik di desa-desa agar mau melibatkan diri dalam proses itu. ''Kalau dia mengerti, dia akan joint. Tidak bisa kalau diperintah-perintah,'' ucapnya.
Selain itu, bagaimana mengatur supaya tenaga terdidik bangsa ini melaksanakan proses pelipatgandaan diri sejauh mungkin dengan sistem reaksi berantai mengikuti deret ukur naik. Misalnya, mereka yang sudah melek huruf melalui program Paket A, menjadi asisten membantu tutor. ''Jadi sistem reaksi berantai mengikuti deret ukur naik.''
Napitupulu mengakui, memang sudah ada political will pemerintah soal pelaksanaan konsep pendidikan untuk semua, sebagaimana diatur dalam Kepres tentang Wajib Belajar 9 Tahun dan Pemberantasan Buta Aksara. Hanya saja, dia melihat pelaksanaannya kerap belum konsisten. Tidak jarang, pemerintah lebih mengutamakan program lain seperti pengerjaan jalan atas pertimbangan untuk kepentingan bersama dari pada mengalokasikan anggaran yang cukup untuk pendidikan masyarakat.
Padahal, menurut dia, ruang lingkup pendidikan luar sekolah sesungguhnya lebih luas dari sekadar melaksanakan program pemberantasan buta huruf dan wajib belajar. Di dalamnya mencakup semua bidang kehidupan, termasuk bagaimana meningkatkan gizi dan ekonomi masyarakat. Karena itu dia berujar, "Memberantas kemiskinan harus melalui jalur pendidikan luar sekolah."
Sekarang, kata dia, bagaimana menyakinkan Menteri Pendidikan Nasional kabinet mendatang bahwa melalui pendidikan luar sekolah kualitas manusia Indonesia dapat ditingkatkan dalam waktu relatif singkat. Sebab, kalau hanya berpegang pada sekolah saja, anak tamat SD orang tuanya merasa sudah cukup dan meminta ikut membantu mencari nafkah. "Kalau begitu terus, hanya orang tertentu yang menjadi hight educated.
Luasnya lingkup pendidikan luar sekolah dapat hitung dari berapa anak Indonesia yang masuk sekolah dan berapa yang sampai ke perguruan tinggi. Dari situ akan ketemu jumlah manusia Indonesia yang memerlukan layanan pendidikan luar sekolah. Karena itu, meningkatkan mutu manusia Indonesia dalam waktu yang relatif singkat harus melalui pendidikan luar sekolah.
Saatnya tidak hanya berbicara pendidikan untuk semua, tapi semua untuk pendidikan. Caranya, semua tenaga terdidik bangsa ini melaksanakan proses pelipatgandaan diri sejauh mungkin dengan sistem reaksi berantai mengikuti deret ukur naik. Pantaslah bila ia menyampaikan guyonan kepada Ishak Hindom, belasan tahun silam.