Saturday, October 4, 2008

Pemerintah Rumuskan Pembelajaran Peduli Lingkungan

SURABAYA (Republika)-- Menneg Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar mengakui dirinya telah sepakat dengan Mendiknas untuk merumuskan pembelajaran yang menanamkan kepedulian kepada lingkungan sejak dini.Hal itu dikemukakan Meneg LH Rachmat Witoelar dalam studium generale bertajuk "Peran Strategis Indonesia dalam Mengatasi Perubahan Iklim" di Rektorat Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Rabu petang.

Dalam kegiatan akhir pekan bulan Ramadhan 1429 H yang juga dihadiri aktivis lingkungan hidup Erna Witoelar dan Rektor Unair Prof Dr Fasich Apt itu, Menneg LH menyatakan kesepakatan dengan Mendiknas itu perlu dirumuskan dalam aksi riil."Aksi riil itu antara lain dengan mengkampanyekan sikap peduli lingkungan melalui bintang-bintang cilik anak-anak, karena itu saya berharap Unair juga turut mengambil peran strategis dalam aksi riil itu," katanya.

Ada tiga langkah strategis yang dapat dimainkan Unair yakni mengkaji sifat kekhasan alam Jawa Timur sebagai rona lingkungan strategis.Langka lainnya, memberikan kajian ilmiah terhadap potensi sumber daya alam dan faktor resiko dalam proses pemanfaatannya, serta menganalisa kompleksitas masalah kekinian (lumpur, dampak sosial, dan keanekaragaman hayati)."Peran strategis yang dimainkan itu harus merujuk pada hasil Bali Roadmap sebagai komitmen internasional atau Millenium Development Goals (MDGs)," katanya.

Menurut dia, Bali Roadmap merupakan hasil nyata Indonesia sebagai tuan rumah dalam pertemuan internasional yang hasilnya banyak diakui internasional dibanding hasil-hasil pertemuan lainnya."Untuk itu, aksi riil ke depan harus merujuk pada MDGs dengan memastikan keberlanjutan fungsi LH yakni membalik arah kecenderungan hilangnya sumber-sumber LH, mengurangi 50 persen proporsi manusia tanpa akses air minum yang aman dan berkelanjutan, serta mencapai tingkat perbaikan hidup yang jauh lebih baik bagi minimum 100 juta pemukim lingkungan kumuh," katanya.

Dalam `Bali Action Plan` juga telah diproses negosiasi untuk pasca2012, diantaranya melakukan kegiatan adaptasi terhadap dampak negatif perubahan iklim, seperti kekeringan dan banjir."Negosiasi lainnta, upaya mereduksi emisi GRK, upaya mengembangkan dan memanfaatkan climate friendly technology, serta pendanaan untuk mitigasi dan adaptasi.

Tentunya, dengan menetapkan jadwal penyelesaiannya pada tahun 2009," katanya.Menanggapi tawaran itu, Rektor Unair Prof Dr Fasich mengatakan Unair dengan beberapa program studi yang ada akan senantiasa membuat kajian-kajian dalam menyikapi perubahan iklim tropis."Misalnya, kami mengatasi wabah flu burung sebagai bagian lain dari dampak perubahan lingkungan, kemudian kami juga melakukan penelitian-penelitian penyakit yang timbul akibat perubahan iklim itu," katanya.

Selain itu, katanya, Unair juga melakukan kajian terhadap ikan dan sumberdaya alami yang tidak tampak keberadaannya, namun memiliki potensi yang tak ternilai terhadap pembangunan fisik dan psikis manusia, khususnya manusia Indonesia."Teknologi pakan ternak yakni konsentrat, pengendalian efek gas buang, dan penemuan enzim alami sebagai pupuk organik telah ditemukan peneliti-peneliti Unair yang diharapkan menunjang usaha perbaikan lingkungan hidup di masa depan," katanya. ant/kp

Friday, October 3, 2008

STOP KEKERASAN MULAI DARI RUMAH, SEKARANG! (Bagian II)

Oleh: T. Tjahjo Widyasmoro

Tuntutan Menjadi Pemenang
Prof. Dr. Arief Rachman, seorang pendidik, menunjukkan salah satu budaya kekerasan itu di harian Kompas, 11 Juli 2008. Pada halaman 1, terdapat foto dua pemain sepakbola yang tengah menganiaya seorang hakim garis pertandingan, pada ajang Pekan Olah Raga Nasional. Diduga para pemain mengamuk karena tidak puas atas kekalahan timnya 0-2.

Arief yang sangat menyesalkan peristiwa itu menilai para pemain salah memahami sebauh kompetisi hingga berujung kepada tindak kekerasan. Interpretasi atas menang kalah sebuah pertandingan masih sempit. Dikiranya sebuah kekalahan akan menyebabkan turunnya harga diri. Orang yang yang tidak menang artinya habislah segalanya, gagal dan tidak berharga.

Tak mengherankan jika banyak orang bersikap begitu, karena dalam pandangan Arief, yang tengah dikembangkan di dunia sekarang adalah budaya kekuatan. Dengan hanya bermodalkan kekuatan, maka seseorang, kelompok, atau bahkan Negara, dapat memiliki kekuasaan, untuk kemudian menjadi pemenang. Akibatnya terjadi kompetisi untuk meraih kekuatan sebesar-besarnya. Di Indonesia, kita merasakan atmosfer budaya kekuatan ini pada pemilihan langsung pemimpin, seperti pada Pemilu atau Pilkada.

Sayangnya, budaya kekuatan itu membuat kita lupa pada budaya yang sesungguhnya kita anut sejak lama, yakni budaya consensus. Disinilah orang memprores komunikasi, mengedepankan proses dialog, serta mengdepankan dialog, serta menggunakan logika dan hati. Semangat kebersamaan dan gotong royong yang menjadi perwujudannya, perlahan-lahan mulai punah. Nilai-nilai local suatu masyarakat memang cenderung terlindas budaya global yang disponsori Negara-negara adikuasa.

Dalam institusi pendidikan, seperti sekolah, budaya kekuatan juga ikut bermain. Sebagai contoh adanya system penilaian, peringkat, bahkan standar kelulusan secara nasional sebagai ukuran prestasi. “Ada paradigma yang disebut prestasi. Yang dianggap berprestasi adalah hal-hal yang terukur, teramati,” kata guru besar Universitas Negeri Jakarta ini dengan nada prihatin.

Pada fenomena yang terjadi di seluruh dunia itu, sayangnya banyak orang yang lupa bahwa sesungguhnya kita hidup dalam keragaman. Ada banyak perbedaan karena berbagai fkator, yang tentu tidak bisa dikompetisikan begitu saja. Arief memberi contoh, “Apakah Indonesia bisa dibandingkan dengan Singapura, misalnya. Kecuali kita memiliki tolok ukur yang satu!”.

Prestasi menjadi “tuhan” jika kemudian secara structural dan cultural seseorang tidak bisa mencapainya, maka ia akan merasa tersisih dan tidak berdaya. Orang yang kalah akan merasa tidak berharga, seperti pada contoh pemain sepakbola yang mengamuk tadi. Atau seperti yang terjadi di sekolah, dimana system nilai dan peringkat telah menyisihkan siswa yang tidak cerdas, tidak kaya, atau bahkan lemah.

Secara psikologis, papar Arief, ketidakberdayaan selalu saja dibarengi dengan kekuatan untuk menunjukkan keberadaannya, yakni bahwa mereka ada. “Bentuknya bisa saja dengan memakai kekerasan, tiba-tiba bisa saja mengancam, memukul atau bentrok dengan pihak lain,” jelas Ketua Harian Komisi Nasional Indonesia untuk UNESCO ini.

Reaksi semacam itu bisa terjadi pada semua orang, pihak, atau kelompok yang terus-menerus mengalami tekanan. Maka lahirlah budaya kekerasan.(Bersambung)

STOP KEKERASAN MULAI DARI RUMAH, SEKARANG! (Bagian I)

Oleh: T. Tjahjo Widyasmoro

Banyak pihak merasa prihatin dengan maraknya peristiwa kekerasan yang terjadi akhir-akhir ini. Padahal jika dirunut lebih jauh, segala kekerasan itu barulah pada tingkat permukaan saja. Banyak bentuk kekerasan yang justru berada di lingkungan terdekat kita, bahkan mungkin kita sendiri melakukannya. Bisakah kita menghentikannya?

Entah, apakah kita boleh berbangga hati mengetahui bahwa salah satu kosakata bahasa Inggris AMOK, adalah serapan dari bahasa Melayu ‘amuk’. Kamus-kamus ternama di Inggis dan Amerika Serikat memberi penjelasan kata itu sebagai : marah, turun ke jalan, dan menyerang secara membabi buta. Saat ini kita memberinya imbuhan menjadi “mengamuk”.

Online Etymologi Dictionary menjelaskan, kata run amok tercatat pertama kali pada 1672, ketika tiba-tiba saja orang-orang Melayu (kini Malaysia) mengamuk lepas kendali dan menyerang orang sekitarnya. Sebuah tindakan beringas kaum bumiputera yang boleh jadi membuat orang-orang bule Eropa tercengang saat itu.

Ah, Tapi mohon jangan keburu mencibir orang Melayu. Jauh sebelumnya, tepatnya 1516. Duarte Barbosa, dalam cantatan perjalannnya yang dibukukan menjadi An Account of the Countries Bordering on the Indian and Their Inhabitants, juga mencatat fenomena dalam masyarakat suku Jawa yang turun ke jalan dan membunuh sebanyak mungkin orang yang ditemui. Penulis asal Portugis itu mengistilahkannya amuco.

Apakah budaya mengamuk secara tiba-tiba, beringas, rusuh tak terkendali, adalah budaya masyarakat kita? Tidak ada jawaban pasti. Yang jelas, hamper lima abad setelah “amuk” dicomot orang barat, budaya kekerasan masih menjadi keprihatinan kita bersama. Bahkan hingga negeri kepulauan yang dinamakan Indonesia ini merayakan peringatan hari ulang tahun kemerdekaan yang ke-63 tahun ini.

Indikator budaya kekerasan ini mudah saja. Cobalah tengok media massa hari ini, dan akan mudah kita temui kata-kata: ancam, bentrok, rusak, serang, gusur, terror, pukul, fitnah, bantai, bunuh, dan sejenisnya. Kekerasan bisa dilakukan pemerintah, aliran politik, kelompok, bahkan Individu, terhadap orang-orang yang dianggap berbeda dengannya. Disisi lain, yang menjadi keprihatinan, iklim dialog yang menjadi salah satu ciri masyarakat intelektual dan beradab semakin jauh ditinggalkan. (bersambung)
 

WHEN SUHENG TALK... Template by Ipietoon Cute Blog Design