CISARANTEN KULON, (GM).-
Ketua Umum Persatuan Guru dan Dosen Swasta Republik Indonesia (PGDSRI), Drs. H. Sali Iskandar menegaskan, pelajaran character building dan kewirausahaan harus diajarkan di SMA dan SMK. Dengan begitu, siswa memiliki bekal belajar berwirausaha, marketing, manajemen, mencari peluang, dan belajar membangun kemandirian bangsa.
"Setelah siswa lulus SMA/ SMK dan terjun ke masyarakat, jangan sampai mereka merasa bengong dan aneh. Kondisi itu akan berdampak buruk untuk perkembangan mereka," kata Sali di ruang kerjanya, Jln. Cisaranten Kulon Bandung, Selasa (22/4).
Menurut Sali, jika pelajaran character building dan kewirausahaan dimasukkan dalam salah satu mata pelajaran di SMA dan SMK, sangat wajar jika kedua pelajaran itu dimasukkan dalam ujian nasional (UN). Langkah itu, katanya, akan membuat UN yang paripurna. Materi UN bukan sekadar pelajaran ilmu pengetahuan alam (IPA) dan ilmu pengetahuan sosial (IPS), namun ditambah dengan pelajaran agama, character building, dan kewirausahaan. "Melalui cara demikian, siswa bukan hanya pandai matematika dan IPS, tetapi ada kepandaian lain yang bermanfaat untuk masa depan," ujarnya.
Menyinggung penyelenggaraan UN, Sali mengatakan, UN merupakan akumulasi seluruh komponen kegiatan pembelajaran siswa, guru, dan sekolah. Untuk itu, katanya, hasil UN jangan hanya menghasilkan angka-angka lulus atau tidak lulus siswa, tetapi harus dijadikan pedoman dasar untuk meningkatkan mutu pendidikan, baik tingkat lokal maupun nasional.
Selanjutnya Sali mengatakan, setelah beberapa kali melaksanakan UN, evaluasi terhadap UN harus dilakukan.
"Penyelenggaraan UN harus berdampak positif terhadap perkembangan jiwa anak, guru, sekolah, Dinas Pendidikan, bupati/wali kota, gubernur, hingga menteri dan presiden. UN bukan hanya menjawab lembaran-lembaran soal, tetapi merupakan titik awal, tengah, dan titik akhir dalam membangun kemandirian bangsa," ujarnya.
Ditambahkannya, di masa depan, lulusan SMA/SMK harus mampu berpikir dan menciptakan sesuatu. Bangsa ini, katanya, akan bangga jika lulusan SMA/SMK bisa hidup mandiri.
"Saat terjun ke masyarakat, lulusan SMA/SMK tidak bercita-cita ingin bekerja kepada orang lain, namun ingin membuka usaha dan mempekerjakan orang lain," imbuhnya. (B.80)**
Wednesday, April 23, 2008
Para Guru Harus Miliki Budaya Meneliti
Oleh: ASEP KUSNAWAN, S.PD.
PARADIGMA penelitian bagi guru tampaknya masih belum menjadi tradisi. Perkuliahan akhir mensyaratkan penelitian sebagai akhir dari proses pembelajaran. Dengan demikian target akhirnya adalah selesainya pendidikan formal. Pendidikan berakhir seiring dengan berakhirnya pula masa studi. Diharapkan pola ini menjadi landasan bagi penelitian selanjutnya, namun budaya ini tidak berlanjut di kelas. Sedikit guru yang bereksperimen di kelas untuk meningkatkan kualitas mengajarnya.
Perbedaan penelitian yang dikembangkan oleh para pendidik di negara maju adalah pada konsep satisfaction. Peneliti profesional di negara maju melandasi penelitiannya didasarkan pada upaya pencarian fakta untuk meningkatkan kinerja serta ujungnya adalah tercapainya nilai kepuasan atau satisfaction dalam melakukan penelitian serta hasil yang diharapkan. Penelitian di banyak negara berkembang termasuk kita, lebih banyak diembel-embeli karena keterbatasan waktu, kesempatan, dan yang paling dominan adalah keterbatasan financial dan proyek. Boleh dikatakan jika target kepuasan atau satisfaction bukanlah tujuan. Alasan lain adalah kesibukan.
Salah satu tujuan pengembangan sumber daya manusia, terutama tenaga pendidik, yaitu guru adalah pengembangan kualitas guru yang memadai. Inti dari Undang-undang No. 14 tentang Guru dan Dosen adalah peningkatan mutu pendidikan di Tanah Air. Fokusnya adalah bahwa kualitas guru diyakini menjadi indikator kinerja sekolah yang efektif dan unggul.
Era profesionalisme guru ditandai pemaknaan guru sebagai profesi yang menuntut keahlian dan prasyarat terpenuhinya seseorang diberi label profesional. Profesional menuntut kerja keras dan upaya maksimal mengembangkan potensi diri. Aspek penting yang harus dimiliki seorang pendidik, di antaranya aspek profesionalisme yang diindikasikan dengan persyaratan formal dan legal kependidikan. Kompetensi personal menuntut integritas sebagai teladan bagi anak didik. Kompetensi sosial menekankan pentingnya seorang pendidik berinteraksi dengan semua stake holders komponen sekolah. Kompetensi terakhir adalah kompetensi akademik. Potensi akademik mensyaratkan kemampuan guru yang maksimal dan terus diupayakan berkembang sesuai bidang yang digelutinya.
Aspek akademik menjadi penting di era profesionalisme saat ini bertalian peran dan fungsi seorang guru sebagai seorang perencana, pelaksana, dan bahkan pengembang kurikulum. Puncak dari semua ini adalah guru sebagai seorang peneliti dalam rangka mengembangkan pola pembelajaran sebagai bagian dari refleksi diri. Pengembangan diri melalui penelitian ini yang dikenal dengan proses penelitian tindakan kelas (PTK) atau class research action (Practical Action Research: Richard, 1998).
Pertanyaan mendasar, untuk siapa sebenarnya penelitian tindakan kelas (PTK) tersebut? Guru yang tidak pernah mau mengembangkan diri melalui penelitian diyakini akan terjebak rutinitas dan kualitas pengajaran tahun ke tahun tak ada perubahan bahkan akan mengalami titik jenuh yang akan sangat berbahaya jika kejenuhan akhirnya mematikan kreativitas dan pola pembelajaran dianggap sebagai sesuatu yang berjalan apa adanya seperti business as usual. Ironisnya ketika permasalahan menumpuk secara akademik, berupa nilai siswa yang jeblok dan sebagainya, yang menjadi kambing hitam sering pada kemampuan siswa yang dianggap jelek. Atau labeling pada beberapa siswa menjadi kata kunci menjawab permasalahan yang ada. Data dan instrumen penilaian dari hasil analisis yang dibuat tidak dilaksanakan melalui proses PTK tersebut.
Keseharian proses pembelajaran yang dijalankan guru seharusnya menyimpan banyak catatan. Sekaligus peluang mengadakan PTK ini. Secara sederhana, PTK berarti upaya guru untuk meningkatkan kinerja dengan melihat prestasi siswa yang tidak diharapkan untuk dicari solusinya dengan saksama, terukur, dan berdasarkan data. PTK, berbeda dengan penelitian di perguruan tinggi tentunya. Data empiris dan skala kelas yang relatif kecil akan memungkinkan penelitian ini dilakukan. Kemampuan guru mana pun seharusnya bisa melakukan hal ini dengan memanfaatkan partner kerja guru untuk secara bersama-sama melakukan PTK. Dengan demikian PTK hakikatnya bukan semata ditujukan bagi sertifikasi, PTK adalah kebutuhan guru dalam rangka meningkatkan kualitas mengajarnya.
Alangkah bijak jika kita sebagai guru saat ini mencoba melakukan penelitian ini, terutama berkaitan dengan mata pelajaran yang akan diujiankan. Paradigma ujian nasional yang sering menjadi polemik di akhir proses penilaian terhadap siswa kita coba sikapi dengan upaya peningkatan kinerja melalui penelitian tindakan kelas untuk mata pelajaran tersebut di atas. Evaluasi ujian siswa, sebaiknya juga evaluasi pada cara mengajar guru.
Sudahkan sebenarnya kita memberikan penilaian yang adil pada siswa atau akhirnya kita menyerah dengan memberikan nilai apa adanya bahkan dengan cara yang tidak mendidik sekalipun. Wallahu'alam. (penulis adalah staf pengajar smp islam salman al farisi bandung, litbang yayasan pendidikan salman al farisi, mahasiswa s2 upi bandung) **
PARADIGMA penelitian bagi guru tampaknya masih belum menjadi tradisi. Perkuliahan akhir mensyaratkan penelitian sebagai akhir dari proses pembelajaran. Dengan demikian target akhirnya adalah selesainya pendidikan formal. Pendidikan berakhir seiring dengan berakhirnya pula masa studi. Diharapkan pola ini menjadi landasan bagi penelitian selanjutnya, namun budaya ini tidak berlanjut di kelas. Sedikit guru yang bereksperimen di kelas untuk meningkatkan kualitas mengajarnya.
Perbedaan penelitian yang dikembangkan oleh para pendidik di negara maju adalah pada konsep satisfaction. Peneliti profesional di negara maju melandasi penelitiannya didasarkan pada upaya pencarian fakta untuk meningkatkan kinerja serta ujungnya adalah tercapainya nilai kepuasan atau satisfaction dalam melakukan penelitian serta hasil yang diharapkan. Penelitian di banyak negara berkembang termasuk kita, lebih banyak diembel-embeli karena keterbatasan waktu, kesempatan, dan yang paling dominan adalah keterbatasan financial dan proyek. Boleh dikatakan jika target kepuasan atau satisfaction bukanlah tujuan. Alasan lain adalah kesibukan.
Salah satu tujuan pengembangan sumber daya manusia, terutama tenaga pendidik, yaitu guru adalah pengembangan kualitas guru yang memadai. Inti dari Undang-undang No. 14 tentang Guru dan Dosen adalah peningkatan mutu pendidikan di Tanah Air. Fokusnya adalah bahwa kualitas guru diyakini menjadi indikator kinerja sekolah yang efektif dan unggul.
Era profesionalisme guru ditandai pemaknaan guru sebagai profesi yang menuntut keahlian dan prasyarat terpenuhinya seseorang diberi label profesional. Profesional menuntut kerja keras dan upaya maksimal mengembangkan potensi diri. Aspek penting yang harus dimiliki seorang pendidik, di antaranya aspek profesionalisme yang diindikasikan dengan persyaratan formal dan legal kependidikan. Kompetensi personal menuntut integritas sebagai teladan bagi anak didik. Kompetensi sosial menekankan pentingnya seorang pendidik berinteraksi dengan semua stake holders komponen sekolah. Kompetensi terakhir adalah kompetensi akademik. Potensi akademik mensyaratkan kemampuan guru yang maksimal dan terus diupayakan berkembang sesuai bidang yang digelutinya.
Aspek akademik menjadi penting di era profesionalisme saat ini bertalian peran dan fungsi seorang guru sebagai seorang perencana, pelaksana, dan bahkan pengembang kurikulum. Puncak dari semua ini adalah guru sebagai seorang peneliti dalam rangka mengembangkan pola pembelajaran sebagai bagian dari refleksi diri. Pengembangan diri melalui penelitian ini yang dikenal dengan proses penelitian tindakan kelas (PTK) atau class research action (Practical Action Research: Richard, 1998).
Pertanyaan mendasar, untuk siapa sebenarnya penelitian tindakan kelas (PTK) tersebut? Guru yang tidak pernah mau mengembangkan diri melalui penelitian diyakini akan terjebak rutinitas dan kualitas pengajaran tahun ke tahun tak ada perubahan bahkan akan mengalami titik jenuh yang akan sangat berbahaya jika kejenuhan akhirnya mematikan kreativitas dan pola pembelajaran dianggap sebagai sesuatu yang berjalan apa adanya seperti business as usual. Ironisnya ketika permasalahan menumpuk secara akademik, berupa nilai siswa yang jeblok dan sebagainya, yang menjadi kambing hitam sering pada kemampuan siswa yang dianggap jelek. Atau labeling pada beberapa siswa menjadi kata kunci menjawab permasalahan yang ada. Data dan instrumen penilaian dari hasil analisis yang dibuat tidak dilaksanakan melalui proses PTK tersebut.
Keseharian proses pembelajaran yang dijalankan guru seharusnya menyimpan banyak catatan. Sekaligus peluang mengadakan PTK ini. Secara sederhana, PTK berarti upaya guru untuk meningkatkan kinerja dengan melihat prestasi siswa yang tidak diharapkan untuk dicari solusinya dengan saksama, terukur, dan berdasarkan data. PTK, berbeda dengan penelitian di perguruan tinggi tentunya. Data empiris dan skala kelas yang relatif kecil akan memungkinkan penelitian ini dilakukan. Kemampuan guru mana pun seharusnya bisa melakukan hal ini dengan memanfaatkan partner kerja guru untuk secara bersama-sama melakukan PTK. Dengan demikian PTK hakikatnya bukan semata ditujukan bagi sertifikasi, PTK adalah kebutuhan guru dalam rangka meningkatkan kualitas mengajarnya.
Alangkah bijak jika kita sebagai guru saat ini mencoba melakukan penelitian ini, terutama berkaitan dengan mata pelajaran yang akan diujiankan. Paradigma ujian nasional yang sering menjadi polemik di akhir proses penilaian terhadap siswa kita coba sikapi dengan upaya peningkatan kinerja melalui penelitian tindakan kelas untuk mata pelajaran tersebut di atas. Evaluasi ujian siswa, sebaiknya juga evaluasi pada cara mengajar guru.
Sudahkan sebenarnya kita memberikan penilaian yang adil pada siswa atau akhirnya kita menyerah dengan memberikan nilai apa adanya bahkan dengan cara yang tidak mendidik sekalipun. Wallahu'alam. (penulis adalah staf pengajar smp islam salman al farisi bandung, litbang yayasan pendidikan salman al farisi, mahasiswa s2 upi bandung) **
Tuesday, April 22, 2008
BER”TUHAN” PADA RAMALAN
Oleh : Iwan Gunawan
Terpaan hidup yang semakin berat dan turunnya nilai-nilai ketuhanan telah mendorong orang untuk mencari sandaran selain Allah. Krisis ekonomi yang terus berlanjut, yang ditandai dengan semakin mahalnya harga-harga barang, meningginya harga BBM. Merajalelanya korupsi di kalangan anggota wakil rakyat, hilangnya kepercayaan pada pemerintah, dan timbulnya sikap-sikap anarki mulai dari murid SMP, SMA, Mahasiswa hingga para pejabat telah memperpanjang daftar terpaan hidup yang harus ditanggung oleh sebagian besar warga Indoanesia.
Ditengah ‘kekacauan hidup’ muncullah para ‘pembela kebenaran’ yang bisa mengubah keadaan secara instant. Cobalah simak iklan-iklan di TV yang bermodalkan operator SMS menjanjikan perbaikan hidup dan antisipasinya. Ki Joko Bodo, Dedy Corbudzier, Mama Lorent dan masih banyak tokoh lain adalah para ‘pembela kebenaran’ instant.
Mengapa demikian? Karena mereka menjanjikan ‘perbaikan hidup’ melalui penerawangan dan ramalan di masa depan. Bukankah masa depan itu ghoib? Sedangkan kita hanya diberi pengetahuan tentang itu hanya sedikit? Betapa indahnya hidup ini, bila masa depan bisa dilihat oleh kita hari ini? Tukang Ramal pada saat ini telah menjadi ‘tuhan’ bagi sebagian orang…hal ini terbukti dari banyaknya SMS yang masuk ke saluran telepon ‘ramalan’ yang diiklankan di TV .
Menjamurnya para tukang ramal, telah memberi indikasi pada kita, bahwa masyarakat kita telah kehilangan ‘karakter baik’nya yang senantiasa mengandalkan kerja keras, selalu berusaha, berdoa, pantang menyerah.
Bukankah dulu para pahlawan juga membela Negara ini dengan peluh, air mata, perjuangan dan doa yang tiada henti? Tak ada satupun dari mereka yang mengandalkan dukun atau tukang ramal. Mohon maaf pahlawanku, masyarakatku belum bisa seperti engkau..masyarakatku masih dibuai harapan dan angan semu.
Terpaan hidup yang semakin berat dan turunnya nilai-nilai ketuhanan telah mendorong orang untuk mencari sandaran selain Allah. Krisis ekonomi yang terus berlanjut, yang ditandai dengan semakin mahalnya harga-harga barang, meningginya harga BBM. Merajalelanya korupsi di kalangan anggota wakil rakyat, hilangnya kepercayaan pada pemerintah, dan timbulnya sikap-sikap anarki mulai dari murid SMP, SMA, Mahasiswa hingga para pejabat telah memperpanjang daftar terpaan hidup yang harus ditanggung oleh sebagian besar warga Indoanesia.
Ditengah ‘kekacauan hidup’ muncullah para ‘pembela kebenaran’ yang bisa mengubah keadaan secara instant. Cobalah simak iklan-iklan di TV yang bermodalkan operator SMS menjanjikan perbaikan hidup dan antisipasinya. Ki Joko Bodo, Dedy Corbudzier, Mama Lorent dan masih banyak tokoh lain adalah para ‘pembela kebenaran’ instant.
Mengapa demikian? Karena mereka menjanjikan ‘perbaikan hidup’ melalui penerawangan dan ramalan di masa depan. Bukankah masa depan itu ghoib? Sedangkan kita hanya diberi pengetahuan tentang itu hanya sedikit? Betapa indahnya hidup ini, bila masa depan bisa dilihat oleh kita hari ini? Tukang Ramal pada saat ini telah menjadi ‘tuhan’ bagi sebagian orang…hal ini terbukti dari banyaknya SMS yang masuk ke saluran telepon ‘ramalan’ yang diiklankan di TV .
Menjamurnya para tukang ramal, telah memberi indikasi pada kita, bahwa masyarakat kita telah kehilangan ‘karakter baik’nya yang senantiasa mengandalkan kerja keras, selalu berusaha, berdoa, pantang menyerah.
Bukankah dulu para pahlawan juga membela Negara ini dengan peluh, air mata, perjuangan dan doa yang tiada henti? Tak ada satupun dari mereka yang mengandalkan dukun atau tukang ramal. Mohon maaf pahlawanku, masyarakatku belum bisa seperti engkau..masyarakatku masih dibuai harapan dan angan semu.
Subscribe to:
Posts (Atom)