Tuesday, March 4, 2008

Kekerasan (Bullying) di sekolah

Oleh: Iwan Gunawan
Guru SDI Salman Al Farisi Bandung

Pernahkah kita mendengar kata “kekerasan”? Kata “kekerasan” mungkin identik dengan pelaku kejahatan, massa menghakimi pencuri, atau bahkan terorisme. Tapi tahukah kita, bahwa kekerasan pun kerap terjadi di sekolah?

Siapa tidak kenal Raju, bocah dari Langkat yang menjadi berita karena dihukum di pengadilan untuk kasus intimidasi yang dilakukannya terhadap bocah lainnya. Kasus Raju menyebabkan banyak pihak mendesak untuk dilakukannya revisi terhadap UU dan tata cara pengadilan anak.

Di waktu yang lain, seorang siswa dicaci-maki dan dipukul kepalanya dengan penggaris kayu, gara-gara tidak bisa mengerjakan soal matematika yang diberikan oleh gurunya. Bahkan mungkin kita pernah berulang-kali mendengar berita yang mengejutkan tentang anak SD ataupun SMP yang bunuh diri, gara-gara belum membayar SPP yang sudah beberapa bulan tertunggak dan sering ditagih oleh gurunya, sehingga siswa merasa malu untuk masuk sekolah.

Kejadian-kejadian diatas tampaknya sering kita dengar dalam kehidupan mengajar kita, atau bahkan kita sendiri (mungkin) pernah melakukannya. Tapi tahukah kita bahwa sebenarnya kata-kata maki dan cacian yang kita lontarkan, dan perilaku tidak senonoh yang kita tampilkan pada saat mengajar adalah sebuah bentuk kekerasan yang telah kita lakukan pada anak didik kita.

Kekerasan (bullying) sebagaimana tercantum dalam Wikipedia adalah sebuah tindakan/perbuatan yang dilakukan secara terus-menerus (sering) yang menyebabkan kerugian terhadap orang lain, baik melalui kata-kata yang mengganggu, tindakan fisik yang menyerang ( termasuk juga kekerasan fisik atau mental, pengucilan, penyisihan, intimidasi, perploncoan, pen ), atau bentuk kekerasan lain yang lebih halus, seperti manipulasi. (the act of intentionally causing harm to others through verbal harassment, physical assault, or other more subtle methods of coercion such as manipulation). Bullying tidaklah sama dengan occasional conflict atau pertengkaran biasa yang umum terjadi pada anak. Konflik pada anak adalah normal dan membuat anak belajar cara bernegosiasi dan bersepakat satu sama lain. Bullying merujuk pada tindakan yang bertujuan menyakiti dan dilakukan secara berulang. Sang korban biasanya anak yang lebih lemah dibandingkan sang pelaku.

Beberapa tindakan bullying yang sering kita temui di sekolah seperti : siswa yang sering malak temannya, mengucilkan seorang teman dan memusuhinya, mengejek dan menghina teman, mengancam teman yang tidak memberi contekan, mengambil barang teman dengan paksa, melukai teman secara fisik, mempermalukan teman dan masih banyak tindakan bullying lainnya.

Selama ini, kita mungkin hanya melihat bahwa kekerasan terhadap siswa lebih banyak dilakukan oleh siswa itu sendiri.. Padahal sebenarnya sumber terjadinya kekerasan di sekolah, bisa juga disebabkan oleh guru, manajemen sekolah, tata usaha, teman sepermainannya, atau bahkan orang tuanya sendiri. Walaupun mungkin kapasitas dan jumlah kekerasan yang disebabkan oleh masing-masing sumber berbeda.

Suatu hari, seorang siswa kelas 2 SD di Bandung mengadu pada gurunya perihal kemarahan orang tuanya pada dirinya, karena siswa tersebut telah melarang kedua orang tuanya merokok. Bukan kesadaran dan introspeksi diri yang ditampilkan orang tua, malah bentakan dan kata-kata tidak mendidik yang keluar dari keduanya, “Kamu tahu apa!? Kamu kan masih kecil..!” begitulah kira-kira kata yang dilontarkan. Ini adalah salah satu contoh kekerasan orang tua di rumah yang terbawa ke sekolah.

Seorang anak siswa kelas 6 SD dengan handphone canggihnya telah memperlihatkan sebuah video ‘adegan seronok’ pada teman-temannya. Setelah diselidiki lebih jauh, ternyata siswa tersebut dipaksa dan diancam oleh teman sejemputannya untuk mendownload video tersebut dari handphonenya. Kejadian ini merupakan tindakan kekerasan diantara teman sebaya.

Kekerasan di sekolah bisa terjadi di semua bagian wilayah sekolah, baik di kelas pada saat belajar, kamar mandi, mobil jemputan, atau bahkan pada saat anak melakukan kegiatan ekstrakurikuler dan KBM lapangan.

Apabila kita cermati, secara garis besar bullying dapat dibagi menjadi dua bagian besar : 1) Direct bullying (langsung) : intimidasi secara fisik, verbal dan 2) Indirect Bullying (tidak langsung): isolasi secara social (Dan Olweus, Author of Bullying at School).

Dalam agama Islam, tindakan bullying sangat dibenci oleh Rosulullah Muhammad SAW. Suatu ketika seorang ibu dengan kasarnya merebut putranya yang ada dipangkuan Rosulullah, gara-gara anak tersebut ngompol sehingga membasahi jubah Rosulullah. Melihat kejadian tersebut Rosulullah langsung berkata dengan wajah yang agak muram, “apa yang telah menimpaku (baju basah karena ompol) sangat mudah untuk dihilangkan, tetapi apa yang telah engkau lakukan, sangat sudah untuk dihilangkan”. Betapa Rosulullah sangat mengahrgai sebuah kelembutan dan membenci kekerasan, walaupun kekerasan tersebut dianggap kecil oleh orang lain.

Sunday, March 2, 2008

Ratna Megawangi: Sosok Seorang Ibu yang Bermazhab “Membiarkan Berbeda”

Membiarkan Berbeda? adalah judul sebuah buku karya Ratna Megawangi. Buku yang mulai ditulis pada tahun 1997, dan selesai persis seminggu setelah “Tragedi Nasional 14 Mei 1998”, itu diterbitkan oleh Penerbit Mizan pada 1999. Membiarkan Berbeda? memuat berbagai postulat dasar, ideologi, paradigma, dan contoh-contoh tentang kegagalan ide kesamarataan lelaki-perempuan di berbagai negara terutama di negara komunis. “Pria dan wanita, pada dasarnya, adalah berbeda,” tulis Ratna tegas sembari menawarkan sudut pandang baru tentang relasi gender.

Sudut pandang baru tentang relasi gender yang ditawarkan Ratna akhirnya meledak. Sudut pandang baru itu melawan arus besar justru pada saat kesetaraan sedang digaungkan oleh para penggagas gerakan feminisme. Membiarkan Berbeda? menjadi buku yang benar-benar berbeda sehingga menarik perhatian seorang mahasiswi asing asal Sidney, Australia. Buku yang, menurut penulisnya, diinspirasi oleh karya Sachiko Murata, The Tao of Islam, ini dijadikan bahan pembuatan tesis oleh mahasiswi tersebut.

”A Textual Analisys of Membiarkan Berbeda” demikian judul tesis sang mahasiswi yang kuliah di The Australian National University. Menurut sang mahasiswi, Membiarkan Berbeda? adalah satu-satunya buku yang pernah dia baca yang memberikan solusi terhadap relasi gender yang lebih harmonis. “Karena, memang, di buku itu, khususnya di bab terakhir, saya menawarkan semacam solusi, tak sekadar antagonisme. Tetapi, solusi yang saya tawarkan saya pijakkan pada keharmonisan dalam keluarga,” kata Ratna Megawangi. (Foto dan materi tentang Ratna Megawangi diambil dari tokohindonesia.com).

Kini, Ratna melebarkan sayapnya untuk lebih concern dalam membangun anak-anak Indonesia yang lebih berkualitas. Setelah Membiarkan Berbeda?, dia pun menekuni pendidikan anak-anak. Konsep pendidikan untuk anak-anak ini kemudian dinamai pendidikan holistik berbasis karakter. Intinya, pendidikan harus mampu menggarap seluruh potensi anak didik. Hasil akhir dari penggarapan secara holistik potensi anak didik ini adalah lahirnya manusia-manusia Indonsia yang berkarakter.

Lewat Yayasan Warisan Luhur Indonesia (Indonesia Heritage Foundation), yang didirikan pada tahun 2001, Ratna dan kawan-kawan mulai mempraktikkan konsep dan gagasannya tersebut di sekolah-sekolah yang didirikan dan dikelolanya sendiri. Yayasannya pun rajin menerbitkan buku-buku yang menunjang konsepnya itu. Dalam salah satu buku terbitannya, yang ditulis oleh Ratna Megawangi, Rahma Dona, Florence Yulisinta, dan Wahyu Farrah Dina, dijelaskan secara praktis bagaimana menerapkan teori DAP (Developmentally Appropriate Practices) untuk anak-anak usia dini (0-8 tahun).

Dalam buku yang dijuduli Pendidikan yang Patut dan Menyenangkan: Seri Petunjuk Praktis untuk Para Pendidik, dijelaskan bahwa konsep DAP dalam pendidikan anak memungkinkan para pendidik untuk memperlakukan anak didik sebagai individu yang utuh (the whole child). Konsep DAP melibatkan empat komponen dasar yang ada pada diri anak, yaitu pengetahuan (knowledge), keterampilan (skills), sifat alamiah (dispositions), dan perasaan (feelings).

Pikiran (temasuk imajinasi), keterampilan, sifat alamiah, dan emosi anak bekerja secara bersamaan dan saling berhubungan. Apabila sistem pembelajaran di sekolah dapat melibatkan semua aspek tersebut secara bersamaan, dijamin perkembangan intelektual, sosial, dan karakter anak dapat terbentuk secara simultan. Oleh karena itu, sistem pembelajaran yang sesuai dengan konsep DAP dianggap dapat mempertahankan bahkan meningkatkan gairah dan semangat anak-anak dalam belajar. []

Pendidikan Karakter: “Knowing the Good, Loving the Good, and Acting the Good”

Dahulu, ketika zaman Orde Baru, ada semacam penataran massal yang berlangsung di pelbagai tempat, terutama di instansi-instansi pemerintahan, sekolah, dan kampus-kampus. Penataran massal itu bernama “Pendidikan Moral Pancasila”. Bagus sih tujuan penataran tersebut. Namun, apakah penataran tersebut memiliki efek yang dahsyat dalam mengubah masyarakat Indonesia menjadi insan-insan yang bermoral luhur atau memiliki akhlak yang baik, tentulah waktu yang membuktikannya.

Setelah Orde Baru digantikan dengan orde yang lebih baru, penataran massal itu pun menghilang. Terdengar ada sebuah konsep baru dalam menjadikan anak didik dapat sekaligus dididik moralnya. Konsep baru itu bernama pendidikan budi pekerti. Namun, tidak sebagaimana penataran massal zaman Orde Baru, pendidikan budi pekerti ini hanya terdengar sayup-sayup dan sepertinya kurang mendapat tempat di dunia pendidikan di Indonesia.

Seorang ibu, yang juga menjadi Guru Besar di Institut Pertanian Bogor, tiba-tiba menyeruak di tengah sistem pendidikan di Indonesia yang, kayaknya, sedang dilanda oleh semacam kehampaan akut. Ibu ini membawa banyak sekali konsep untuk memperbaiki sistem pendidikan di sini. Salah satu konsepnya yang layak mendapat perhatian bernama pendidikan holistik berbasis karakter.

Karakter? Mengapa ibu ini menggunakan kata karakter? Apa tujuannya? “Kebanyakan sekolah di Indonesia hanya memperhatikan pengembangan kognitif (logika) sehingga pola ajar yang diberikan bersifat hafalan yang dogmatis dan tidak mengarah pada pemahaman dan pembentukan karakter,” ujar sang ibu suatu ketika dalam sebuah seminar.

Benar, dewasa ini, kita memang telah mengenal adanya potensi EQ (kecerdasan emosi) yang dipopulerkan oleh Dan Goleman. Juga ada SQ (kecerdasan spiritual) yang dibahas secara menarik oleh Danah Zohar dan Ian Marshall. Lantas ada pula kecerdasan majemuk (multiple intelligences) yang ditemukan Howard Gardner. Betapa kayanya potensi anak didik jika merujuk ke temuan-temuan itu?

Jika sekolah hanya menekankan pengembangan kognitif, betapa sayangnya upaya-upaya yang dilakukan oleh pendidikan kita. Mungkin, kata “holistik” yang digunakan oleh si ibu bertujuan agar pendidikan benar-benar dapat menggarap seluruh potensi anak didik yang ada ya? Lantas, apa itu karakter?

“Menurut Wynne, istilah karakter diambil dari bahasa Yunani yang berarti ‘to mark’ (menandai),” ujar si ibu lebih lanjut. “Istilah ini lebih fokus pada tindakan atau tingkah laku. Wynne mengatakan bahwa ada dua pengertian tentang karakter. Pertama, ia menunjukkan bagaimana seseorang bertingkah laku. Apabila seseorang berperilaku tidak jujur, kejam, atau rakus, tentulah orang tersebut memanifestasikan perilaku buruk. Sebaliknya, apabila seseorang berperilaku jujur, suka menolong, tentulah orang tersebut memanifestasikan karakter mulia. Kedua, istilah karakter erat kaitannya dengan ‘personality’. Seseorang baru bisa disebut ‘orang yang berkarakter’ (a person of character) apabila tingkah lakunya sesuai kaidah moral.”

Ringkasnya, menurut si ibu, membangun karakter memerlukan sebuah proses yang simultan dan berkesinambungan yang melibatkan seluruh aspek “knowing the good, loving the good, and acting the good”. Di sinilah perbedaannya dengan istilah moral. Pendidikan karakter menjadi berbeda dengan pendidikan moral karena pendidikan moral hanya terfokus pada pengetahuan tentang moral (lagi-lagi hanya menekankan aspek kognisi). Kurikulum pendidikan karakter adalah pendidikan untuk membentuk kepribadian siswa, yaitu pribadi yang bijaksana, terhormat, dan bertanggung jawab yang hasilnya terlihat dalam tindakan nyata. []
 

WHEN SUHENG TALK... Template by Ipietoon Cute Blog Design