- LISTEN carefully to others and be sure you understand what they are saying. (dengarkan dengan baik orang lain dan pastikan anda memahami apa yang mereka katakan)
- SHARE when you have something that others would like to have. (Berbagilah dengan orang lain tentang sesuatu yang orang lain ingin memilikinya)
- TAKE TURNS when there is something that nobody wants to do, or when more than one person wants to do the same thing. (ambilah bagian ketika orang lain tidak ada yang mau mengerjakan suatu tugas, atau ketika banyak ingin mengerjakan hal yang sama)
- COMPROMISE when you have a serious conflict. (berkompromilah ketika ada masalah yang serius)
- DO YOUR PART the very best that you possibly can. This will inspire others to do the same. (kerjakan tugasmu dengan baik sesuai kemanpuan anda)
- SHOW APPRECIATION to people for what they contribute. (tampilkan penghargaan kepada orang yang telah ikut berkontribusi)
- ENCOURAGE PEOPLE to do their best. (berikan semangat kepada orang untuk bekerja lebih baik)
- MAKE PEOPLE FEEL NEEDED. Working together is a lot more fun that way. (buatlah orang merasa perlu. Kerjasama adalah cara kerja yang menyenangkan)
- DON'T ISOLATE OR EXCLUDE ANYONE. Everybody has something valuable to offer, and nobody likes being left out. (Jangan jauhi atau agungkan orang lain. setiap orang kelamahan dan kelebihan)
Thursday, February 14, 2008
HOW TO BEA COOPERATIVE PERSON
HOW TO BEA RESPONSIBLE PERSON(AND FEEL GREAT!)
When you agree to do something, do it. If you let people down, they'll stop believing you. When you follow through on your commitments, people take you seriously.
Answer for your own actions
Don't make excuses or blame others for what you do. When you take responsibility for your actions you are saying "I am the one who's in charge of my life."
Take care of your own matters. Don't rely on adults to remind you when you're supposed to be somewhere or what you're supposed to bring. You take the responsibility.
Be trustworthy
If somebody trusts you to borrow or take care of something, take care of it. If somebody tells you something in confidence, keep it to yourself. It's important for people to know they can count on you.
Always use your head
Think things through and use good judgment. When you use your head you make better choices. That shows your parents they can trust you.
Don't put things off
When you have a job to do, do it. Doing things on time helps you take control of your life and shows that you can manage your own affairs.
Answer for your own actions
Don't make excuses or blame others for what you do. When you take responsibility for your actions you are saying "I am the one who's in charge of my life."
Take care of your own matters. Don't rely on adults to remind you when you're supposed to be somewhere or what you're supposed to bring. You take the responsibility.
Be trustworthy
If somebody trusts you to borrow or take care of something, take care of it. If somebody tells you something in confidence, keep it to yourself. It's important for people to know they can count on you.
Always use your head
Think things through and use good judgment. When you use your head you make better choices. That shows your parents they can trust you.
Don't put things off
When you have a job to do, do it. Doing things on time helps you take control of your life and shows that you can manage your own affairs.
PEMANFAATAN MEDIA CETAK DAN VIDEO DALAM KBM
Oleh:
Iwan Gunawan, S.Pd
(Guru SD Salman Al Farisi Bandung)
Pendahuluan
Mungkin banyak diantara kita (guru-guru) yang kebingungan mencari sumber belajar dan sumber informasi untuk menunjang proses pembelajaran ilmu sosial di sekolah dasar. Terkadang kita hanya terpaku dengan apa yang kita miliki saat ini yaitu buku paket. Memang kita tidak salah apabila menggunakan buku paket sebagai pegangan, karena buku paket memang sudah dirancang secara terstandar untuk memenuhi tuntutan kurikulum. Akan tetapi tahukah kita bahwa kurikulum sering ketinggalan dari perubahan-perubahan yang terjadi di masyarakat? Kurikulum menjadi barang yang mudah usang?. Pertanyaan-pertanyaan tersebut menuntut kita untuk selalu memperbaharui diri, baik dari segi keilmuan maupun dari segi informasi-informasi penunjang pembelajaran ilmu sosial.
Kalau kita mau jujur dan ‘sedikit’ kreatif, sebenarnya betapa melimpahnya informasi yang bisa kita gunakan untuk proses pembelajaran ilmu sosial, salah satu diantaranya adalah pemanfaatan media cetak (koran dan majalah) dan video. Adalah satu kemustahilan apabila ada guru yang tidak pernah baca koran sama sekali atau tidak pernah melihat suatu kejadian unik di masyarakat yang bisa digunakan sebagai media pembelajaran. Lalu mengapa kita harus tinggal diam dengan informasi-informasi yang melimpah tersebut? Sekali lagi cobalah ‘sedikit’ kreatif dengan informasi yang ada di depan mata anda.
Ada suatu tradisi yang sudah menjadi suatu ‘primordial’ buat kita, bahwa koran dan majalah hanya digunakan pada saat anak-anak disuruh untuk membuat kliping. Cari – gunting – tempel dan serahkan pada guru, lalu ilmu apa yang bisa didapat oleh murid? Kemampuan menggunting dan menempel? Sungguh terlalu sederhana apabila anak-anak hanya mendapat hal tersebut, apa bedanya dengan anak TK? Cobalah kita kembangkan analisis anak-anak kita melalui kejadian-kejadian yang nyata di masyarakat. Biarkan mereka mengambil kesimpulan dari informasi yang mereka dapatkan di koran dan majalah. Biarkanlah mereka menganalisis suatu peristiwa menurut pandangan mereka sendiri. Andalah –sebagai guru- yang bertanggung jawab untuk mewujudkan hal tersebut.
Lalu ada pula suatu tradisi lain, bahwa video hanya dimanfaatkan untuk mendokumentasikan kegiatan saja, seperti kegiatan gebyar Muharram, KBM Lapangan, atau kegiatan-kegiatan lain. Video itu selanjutnya kita tonton, dan sesudah ditonton habislah perkara. Lalu apakah pernah terlintas dalam pikiran kita untuk menjadikan video sebagai bahan untuk menunjang pembelajaran? Kalau belum, apa yang menjadi hambatan anda? Mari kita belajar bersama-sama.
Berkreasi dengan koran dan majalah
Koran dan majalah sebagai salah satu sumber informasi yang selalu up to date, bisa memberikan banyak informasi penunjang pembelajaran anak. Selain itu pula karena sifatnya yang mengejar berita hangat, maka secara langsung atau tidak telah menuntut kita –sebagai pembaca- untuk selalu memperbaharui informasi yang kita miliki, mengikuti perkembangan berita di koran dan majalah tersebut.
Proses pembaharuan informasi yang demikian itu, bukan hanya milik orang dewasa, khususnya milik kita sebagai guru, melainkan harus dialihkan kepada peserta didik kita, agar mereka menjadi SDM yang selalu berhubungan dengan pengetahuan serta informasi yang masih segar.
Kita semua sepakat bahwa pembelajaran dan pendidikan apapun nilainya tidak berarti, apabila tidak dapat diterapkan secara praktis dalam kehidupan sehari-hari. Dengan perkataan lain, pembelajaran dan pendidikan tidak memiliki makna yang baik, jika tidak memiliki nilai praktis. Oleh sebab itu, pokok pembahasan suatu materi pelajaran jangan hanya tentang pengetahuan yang konseptual-teoritis semata, melainkan digali dari kehidupan sehari-hari, mulai dari lingkungan keluarga, pasar, jalanan, tempat hiburan dan lain sebagainya.
Dalam hal ini, nilai praktis itu disesuaikan dengan tingkat umur dan kegiatan peserta didik sehari-hari. Pengetahuan sosial yang praktis tersebut bermanfaat dalam mengikuti berita, mendegarkan radio, membaca berita di koran dan menghadapi permasalahan kehidupan sehari-hari.
Pembelajaran ilmu sosial dengan menggunakan koran dan majalah sebagai media penunjang yang diproses dan dikemas secara menarik, serta tidak terlepas dari kehidupan sehari-hari, secara langsung atau tidak memiliki nilai praktis serta strategis dalam mebina sumber daya manusia sesuai dengan kenyataan hidup hari ini dan juga untuk masa-masa yang akan datang.
Pemanfaatan koran dan majalah sebagai media penunjang, bisa dikemas dalam bentuk studi kasus (misalnya kasus korupsi dan kejahatan), studi banding (misalnya membandingkan tingkat kemajuan teknologi antar negara), studi analisis (misalnya mencari penyebab penyakit demam berdarah), dan bisa juga dikemas dalam bentuk public expose seperti majalah dinding dan majalah kelas. Jadi anak-anak bukan hanya bisa menggunting dan menempel saja, bukan?
Penggunaan media cetak akan mememberikan beberapa dampak positif.
Pertama, mengembalikan otoritas dan martabat sang guru, dimana guru mempunyai kebebasan berekpresi dan bereksperimen dengan kemampuannya, serta terlepas dari belenggu buku paket.
Kedua, membudayakan pengajaran multisarana dan multiarah.
Ketiga, meningkatkan minat baca murid. Minat baca murid akan terus stagnan selama murid dikondisikan harus berpedoman dan merasa cukup hanya dengan satu macam buku paket/pelajaran saja.
Proses nelajar mengajar selama ini, diakui atau tidak, cenderung didominasi oleh pengajaran searah, guru sebagai raja dan murid sebagai bawahan. Murid hanya dijadikan objek yang harus menerima apa-apa yang disampaikan oleh guru. Dengan memberi kebebasan kepada murid untuk mencari informasi pendukung, melalui berbagai media (salah satunya media cetak), maka akan membuka ruang untuk berdiskusi, berdialog dan berkomunikasi, sehingga proses belajar mengajar akan berlangsung secara dinamis, terbuka dan demokratis.
Satu gambar seribu makna
Kata diatas diambil dari ‘petuah’ para ahli multimedia tentang film. Benar tidaknya petuah tersebut memang masih perlu dibuktikan. Tetapi kalau kita suruh murid kita untuk menceritakan kembali suatu film yang ditontonnya, kita yakin –mudah-mudahan anda juga mendukungnya- anak-anak akan bisa menceritakan kembali ringkasan cerita tersebut, baik secara runut ataupun acak. Bahkan mereka terasa asyik, apabila diajak untuk menonton film, hingga lupa waktu.
Buku Harry Potter yang begitu tebal –terjual jutaan kopi di seluruh dunia- apabila dibaca akan membutuhkan waktu berhari-hari untuk memahami isi ceritanya. Tetapi ketika isi buku tersebut diwujudkan dalam bentuk film, kita –juga murid kita- hanya butuh waktu paling lama dua jam untuk memahami isi ceritanya, cukup efektif bukan? Dengan demikian ‘petuah’ para ahli multimedia boleh dikatakan 99 persen benar adanya, lalu bagaimana kalau seandainya ‘petuah’ tersebut dibawa kedalam proses belajar mengajar kita? Bisa tidak, ya? Jawabannya tergantung pada anda sendiri, mau atau tidak mewujudkannya dalam pembelajaran, susah? Kayaknya jangan menghukum diri sendiri dulu untuk hal ini.
Kita sebagai guru tidak usah idealis dalam pembelajaran untuk menghasilkan motion picture yang spektakuler sehebat film Gladiator, Troy, Musa atau Titanic. Kita bukan sutradara, kita hanya guru yang mempunyai kapasitas yang berbeda dengan sutradara. Cobalah kita amati lingkungan sekitar kita, ada pasar, ada jalan, ada masyarakat yang sedang bergotong royong, ada orang yang sedang melayat jenazah atau kejadian-kejadian lain. Mengapa kita biarkan semua peristiwa hidup itu berlalu begitu saja? Cobalah abadikan dengan Handycam, kamera digital atau camcorder kita. Anda tidak butuh sutradara, karena semua peristiwa itu berjalan apa adanya -menurut garis Sang Khalik-. Itulah sumber belajar yang tidak pernah habis.
Apabila kita mau sedikit berkreasi, cobalah gunakan program komputer sederhana untuk mengedit film anda dan memberi sedikit efek, supaya lebih menarik. Kita bisa menggunakan program penngolah video seperti Ulead Video Studi 9, Pinnacle Studi 8, VCD Cutter atau kalau sedikit profesional bisa digunakan program Adobe Premiere 7.
Ajaklah anak didik kita untuk melihat film hasil karya kita, dan lihatlah reaksinya. Apalagi kalau kita –sebagai gurunya- ada dalam film tersebut sebagai bintang utamanya. Pengalaman penulis dalam menggunakan film -yang dibuat sendiri- dalam pembelajaran ilmu sosial cukup memberikan respon yang menarik minat murid untuk mengikuti pembelajaran tersebut.
Film yang digunakan sebagai alat pembelajaran, telah melibatkan banyak aspek, selain pendengaran dan penglihatan, juga sering melibatkan perasaan, sebagaimana halnya kalau kita melihat yang menyedihkan, yang membuat kita terharu dan terkadang menitikan air mata. Film juga bisa menjadi alat yang paling efektif untuk mendemostrasikan suatu ketrampilan, misalnya pelajaran senam dan juga jual beli di pasar, dibandingkan dengan gambar mati. Lalu mengapa anda masih merasa bingung dengan sumber informasi? Ayo bergerak...ayo maju guru-guru Indonesia. ((http://keyanaku.blogspot.com)
Penulis
Iwan Gunawan, S.Pd
Guru SD Salman Al Farisi Bandung pada mata pelajaran ilmu sosial.
Iwan Gunawan, S.Pd
(Guru SD Salman Al Farisi Bandung)
Pendahuluan
Mungkin banyak diantara kita (guru-guru) yang kebingungan mencari sumber belajar dan sumber informasi untuk menunjang proses pembelajaran ilmu sosial di sekolah dasar. Terkadang kita hanya terpaku dengan apa yang kita miliki saat ini yaitu buku paket. Memang kita tidak salah apabila menggunakan buku paket sebagai pegangan, karena buku paket memang sudah dirancang secara terstandar untuk memenuhi tuntutan kurikulum. Akan tetapi tahukah kita bahwa kurikulum sering ketinggalan dari perubahan-perubahan yang terjadi di masyarakat? Kurikulum menjadi barang yang mudah usang?. Pertanyaan-pertanyaan tersebut menuntut kita untuk selalu memperbaharui diri, baik dari segi keilmuan maupun dari segi informasi-informasi penunjang pembelajaran ilmu sosial.
Kalau kita mau jujur dan ‘sedikit’ kreatif, sebenarnya betapa melimpahnya informasi yang bisa kita gunakan untuk proses pembelajaran ilmu sosial, salah satu diantaranya adalah pemanfaatan media cetak (koran dan majalah) dan video. Adalah satu kemustahilan apabila ada guru yang tidak pernah baca koran sama sekali atau tidak pernah melihat suatu kejadian unik di masyarakat yang bisa digunakan sebagai media pembelajaran. Lalu mengapa kita harus tinggal diam dengan informasi-informasi yang melimpah tersebut? Sekali lagi cobalah ‘sedikit’ kreatif dengan informasi yang ada di depan mata anda.
Ada suatu tradisi yang sudah menjadi suatu ‘primordial’ buat kita, bahwa koran dan majalah hanya digunakan pada saat anak-anak disuruh untuk membuat kliping. Cari – gunting – tempel dan serahkan pada guru, lalu ilmu apa yang bisa didapat oleh murid? Kemampuan menggunting dan menempel? Sungguh terlalu sederhana apabila anak-anak hanya mendapat hal tersebut, apa bedanya dengan anak TK? Cobalah kita kembangkan analisis anak-anak kita melalui kejadian-kejadian yang nyata di masyarakat. Biarkan mereka mengambil kesimpulan dari informasi yang mereka dapatkan di koran dan majalah. Biarkanlah mereka menganalisis suatu peristiwa menurut pandangan mereka sendiri. Andalah –sebagai guru- yang bertanggung jawab untuk mewujudkan hal tersebut.
Lalu ada pula suatu tradisi lain, bahwa video hanya dimanfaatkan untuk mendokumentasikan kegiatan saja, seperti kegiatan gebyar Muharram, KBM Lapangan, atau kegiatan-kegiatan lain. Video itu selanjutnya kita tonton, dan sesudah ditonton habislah perkara. Lalu apakah pernah terlintas dalam pikiran kita untuk menjadikan video sebagai bahan untuk menunjang pembelajaran? Kalau belum, apa yang menjadi hambatan anda? Mari kita belajar bersama-sama.
Berkreasi dengan koran dan majalah
Koran dan majalah sebagai salah satu sumber informasi yang selalu up to date, bisa memberikan banyak informasi penunjang pembelajaran anak. Selain itu pula karena sifatnya yang mengejar berita hangat, maka secara langsung atau tidak telah menuntut kita –sebagai pembaca- untuk selalu memperbaharui informasi yang kita miliki, mengikuti perkembangan berita di koran dan majalah tersebut.
Proses pembaharuan informasi yang demikian itu, bukan hanya milik orang dewasa, khususnya milik kita sebagai guru, melainkan harus dialihkan kepada peserta didik kita, agar mereka menjadi SDM yang selalu berhubungan dengan pengetahuan serta informasi yang masih segar.
Kita semua sepakat bahwa pembelajaran dan pendidikan apapun nilainya tidak berarti, apabila tidak dapat diterapkan secara praktis dalam kehidupan sehari-hari. Dengan perkataan lain, pembelajaran dan pendidikan tidak memiliki makna yang baik, jika tidak memiliki nilai praktis. Oleh sebab itu, pokok pembahasan suatu materi pelajaran jangan hanya tentang pengetahuan yang konseptual-teoritis semata, melainkan digali dari kehidupan sehari-hari, mulai dari lingkungan keluarga, pasar, jalanan, tempat hiburan dan lain sebagainya.
Dalam hal ini, nilai praktis itu disesuaikan dengan tingkat umur dan kegiatan peserta didik sehari-hari. Pengetahuan sosial yang praktis tersebut bermanfaat dalam mengikuti berita, mendegarkan radio, membaca berita di koran dan menghadapi permasalahan kehidupan sehari-hari.
Pembelajaran ilmu sosial dengan menggunakan koran dan majalah sebagai media penunjang yang diproses dan dikemas secara menarik, serta tidak terlepas dari kehidupan sehari-hari, secara langsung atau tidak memiliki nilai praktis serta strategis dalam mebina sumber daya manusia sesuai dengan kenyataan hidup hari ini dan juga untuk masa-masa yang akan datang.
Pemanfaatan koran dan majalah sebagai media penunjang, bisa dikemas dalam bentuk studi kasus (misalnya kasus korupsi dan kejahatan), studi banding (misalnya membandingkan tingkat kemajuan teknologi antar negara), studi analisis (misalnya mencari penyebab penyakit demam berdarah), dan bisa juga dikemas dalam bentuk public expose seperti majalah dinding dan majalah kelas. Jadi anak-anak bukan hanya bisa menggunting dan menempel saja, bukan?
Penggunaan media cetak akan mememberikan beberapa dampak positif.
Pertama, mengembalikan otoritas dan martabat sang guru, dimana guru mempunyai kebebasan berekpresi dan bereksperimen dengan kemampuannya, serta terlepas dari belenggu buku paket.
Kedua, membudayakan pengajaran multisarana dan multiarah.
Ketiga, meningkatkan minat baca murid. Minat baca murid akan terus stagnan selama murid dikondisikan harus berpedoman dan merasa cukup hanya dengan satu macam buku paket/pelajaran saja.
Proses nelajar mengajar selama ini, diakui atau tidak, cenderung didominasi oleh pengajaran searah, guru sebagai raja dan murid sebagai bawahan. Murid hanya dijadikan objek yang harus menerima apa-apa yang disampaikan oleh guru. Dengan memberi kebebasan kepada murid untuk mencari informasi pendukung, melalui berbagai media (salah satunya media cetak), maka akan membuka ruang untuk berdiskusi, berdialog dan berkomunikasi, sehingga proses belajar mengajar akan berlangsung secara dinamis, terbuka dan demokratis.
Satu gambar seribu makna
Kata diatas diambil dari ‘petuah’ para ahli multimedia tentang film. Benar tidaknya petuah tersebut memang masih perlu dibuktikan. Tetapi kalau kita suruh murid kita untuk menceritakan kembali suatu film yang ditontonnya, kita yakin –mudah-mudahan anda juga mendukungnya- anak-anak akan bisa menceritakan kembali ringkasan cerita tersebut, baik secara runut ataupun acak. Bahkan mereka terasa asyik, apabila diajak untuk menonton film, hingga lupa waktu.
Buku Harry Potter yang begitu tebal –terjual jutaan kopi di seluruh dunia- apabila dibaca akan membutuhkan waktu berhari-hari untuk memahami isi ceritanya. Tetapi ketika isi buku tersebut diwujudkan dalam bentuk film, kita –juga murid kita- hanya butuh waktu paling lama dua jam untuk memahami isi ceritanya, cukup efektif bukan? Dengan demikian ‘petuah’ para ahli multimedia boleh dikatakan 99 persen benar adanya, lalu bagaimana kalau seandainya ‘petuah’ tersebut dibawa kedalam proses belajar mengajar kita? Bisa tidak, ya? Jawabannya tergantung pada anda sendiri, mau atau tidak mewujudkannya dalam pembelajaran, susah? Kayaknya jangan menghukum diri sendiri dulu untuk hal ini.
Kita sebagai guru tidak usah idealis dalam pembelajaran untuk menghasilkan motion picture yang spektakuler sehebat film Gladiator, Troy, Musa atau Titanic. Kita bukan sutradara, kita hanya guru yang mempunyai kapasitas yang berbeda dengan sutradara. Cobalah kita amati lingkungan sekitar kita, ada pasar, ada jalan, ada masyarakat yang sedang bergotong royong, ada orang yang sedang melayat jenazah atau kejadian-kejadian lain. Mengapa kita biarkan semua peristiwa hidup itu berlalu begitu saja? Cobalah abadikan dengan Handycam, kamera digital atau camcorder kita. Anda tidak butuh sutradara, karena semua peristiwa itu berjalan apa adanya -menurut garis Sang Khalik-. Itulah sumber belajar yang tidak pernah habis.
Apabila kita mau sedikit berkreasi, cobalah gunakan program komputer sederhana untuk mengedit film anda dan memberi sedikit efek, supaya lebih menarik. Kita bisa menggunakan program penngolah video seperti Ulead Video Studi 9, Pinnacle Studi 8, VCD Cutter atau kalau sedikit profesional bisa digunakan program Adobe Premiere 7.
Ajaklah anak didik kita untuk melihat film hasil karya kita, dan lihatlah reaksinya. Apalagi kalau kita –sebagai gurunya- ada dalam film tersebut sebagai bintang utamanya. Pengalaman penulis dalam menggunakan film -yang dibuat sendiri- dalam pembelajaran ilmu sosial cukup memberikan respon yang menarik minat murid untuk mengikuti pembelajaran tersebut.
Film yang digunakan sebagai alat pembelajaran, telah melibatkan banyak aspek, selain pendengaran dan penglihatan, juga sering melibatkan perasaan, sebagaimana halnya kalau kita melihat yang menyedihkan, yang membuat kita terharu dan terkadang menitikan air mata. Film juga bisa menjadi alat yang paling efektif untuk mendemostrasikan suatu ketrampilan, misalnya pelajaran senam dan juga jual beli di pasar, dibandingkan dengan gambar mati. Lalu mengapa anda masih merasa bingung dengan sumber informasi? Ayo bergerak...ayo maju guru-guru Indonesia. ((http://keyanaku.blogspot.com)
Penulis
Iwan Gunawan, S.Pd
Guru SD Salman Al Farisi Bandung pada mata pelajaran ilmu sosial.
Sunday, February 10, 2008
Liberalisasi Pendidikan Kerisauan Seorang Mahasiswa
Pendidikan merupakan modal dasar membangun kompetensi, kemampuan, kepribadian, dan jati diri bangsa. Bangsa yang besar tentu tak bisa mengabaikan aspek pendidikan untuk meningkatkan martabat dan kekuatan eksistensinya di masa kini dan masa mendatang.
Melalui pendidikan, sebuah bangsa akan berproses 'menjadi'. Makna 'menjadi' ini jelas bertalian dengan capaian-capaian positif yang berdampak bagi bangkitnya kekuatan dan kesejahteraan bangsa. Namun apa mau dikata, pemerintah sepertinya jarang berpikir strategis untuk mengurusi pendidikan. Setiap kebijakan yang dirumuskan pemerintah dewasa ini lebih beraroma politik kekuasaan, bahkan mengutamakan keuntungan kaum kapital. Satu contoh mutakhir yang bisa disebut adalah dikeluarkannya Peraturan Presiden Nomor 76 dan 77 Tahun 2007.
Dalam Perpres tersebut, pendidikan dimasukkan dalam jenis bidang usaha yang terbuka untuk penanaman modal asing. Meskipun tertera syarat ketentuan maksimal tak lebih dari 49 persen, kebijakan tersebut tetap riskan dan mengundang bahaya. Kekhawatiran intervensi kepentingan asing dalam sektor pendidikan nasional tentu tidaklah mengada-ada jika Perpres tersebut dilaksanakan.
Di sisi lain, suara kontra terhadap Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP) juga masih menggema. Benar apa yang dikatakan Ketua Umum Majelis Luhur Tamansiswa, Ki Tyasno Sudarto, bahwa kebijakan pemerintah yang termanifestasikan dalam RUU BHP dan Perpres 76 dan 77 Tahun 2007 lebih bersemangatkan liberalisme, privatisasi, dan komersialisme (Kamis, 20/9/2007).
Dalam konteks pendidikan rakyat, kebijakan tersebut tentu tak segaris dengan cita-cita perjuangan untuk mengangkat harkat hidup dan martabat bangsa. Apa pasal? Ke depan, melambungnya biaya pendidikan akibat kebijakan pemerintah tersebut dimungkinkan sulit terbendung. Siapa pun pasti mafhum jika kaum pemilik modal tak ingin merugi. Bahkan, pendidikan sebagai proses pembudayaan dimungkinkan akan dikelola sebagaimana manajemen perusahaan.
Nah, apa yang akan terjadi kemudian? Efek lebih lanjut dari kebijakan tersebut adalah berpuluh-puluh juta penduduk miskin di negeri ini akan termarjinalkan akibat tak kuasa mengakses pendidikan sebagai upaya melakukan mobilitas vertikal. Selain matinya pendidikan rakyat, nation and character building juga akan mengalami nasib serupa. Bagaimana pun, keterjebakan sektor pendidikan dalam geliat kapitalisme tentu membutuhkan perlawanan signifikan. Liberalisasi dan privatisasi pendidikan tak boleh dibiarkan serta dianggap hanya sebagai angin lalu.
Hendra SugiantoroMahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta (UNY)Kampus UNY, Karangmalang, Yogyakarta 55281( )
Melalui pendidikan, sebuah bangsa akan berproses 'menjadi'. Makna 'menjadi' ini jelas bertalian dengan capaian-capaian positif yang berdampak bagi bangkitnya kekuatan dan kesejahteraan bangsa. Namun apa mau dikata, pemerintah sepertinya jarang berpikir strategis untuk mengurusi pendidikan. Setiap kebijakan yang dirumuskan pemerintah dewasa ini lebih beraroma politik kekuasaan, bahkan mengutamakan keuntungan kaum kapital. Satu contoh mutakhir yang bisa disebut adalah dikeluarkannya Peraturan Presiden Nomor 76 dan 77 Tahun 2007.
Dalam Perpres tersebut, pendidikan dimasukkan dalam jenis bidang usaha yang terbuka untuk penanaman modal asing. Meskipun tertera syarat ketentuan maksimal tak lebih dari 49 persen, kebijakan tersebut tetap riskan dan mengundang bahaya. Kekhawatiran intervensi kepentingan asing dalam sektor pendidikan nasional tentu tidaklah mengada-ada jika Perpres tersebut dilaksanakan.
Di sisi lain, suara kontra terhadap Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP) juga masih menggema. Benar apa yang dikatakan Ketua Umum Majelis Luhur Tamansiswa, Ki Tyasno Sudarto, bahwa kebijakan pemerintah yang termanifestasikan dalam RUU BHP dan Perpres 76 dan 77 Tahun 2007 lebih bersemangatkan liberalisme, privatisasi, dan komersialisme (Kamis, 20/9/2007).
Dalam konteks pendidikan rakyat, kebijakan tersebut tentu tak segaris dengan cita-cita perjuangan untuk mengangkat harkat hidup dan martabat bangsa. Apa pasal? Ke depan, melambungnya biaya pendidikan akibat kebijakan pemerintah tersebut dimungkinkan sulit terbendung. Siapa pun pasti mafhum jika kaum pemilik modal tak ingin merugi. Bahkan, pendidikan sebagai proses pembudayaan dimungkinkan akan dikelola sebagaimana manajemen perusahaan.
Nah, apa yang akan terjadi kemudian? Efek lebih lanjut dari kebijakan tersebut adalah berpuluh-puluh juta penduduk miskin di negeri ini akan termarjinalkan akibat tak kuasa mengakses pendidikan sebagai upaya melakukan mobilitas vertikal. Selain matinya pendidikan rakyat, nation and character building juga akan mengalami nasib serupa. Bagaimana pun, keterjebakan sektor pendidikan dalam geliat kapitalisme tentu membutuhkan perlawanan signifikan. Liberalisasi dan privatisasi pendidikan tak boleh dibiarkan serta dianggap hanya sebagai angin lalu.
Hendra SugiantoroMahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta (UNY)Kampus UNY, Karangmalang, Yogyakarta 55281( )
Industrialisasi dan Pendidikan dalam Islam
Heri SudarsonoStaff Pengajar Fakultas Ekonomi UII Yogyakarta
Proses industrialisasi membawa pengaruh dalam mengembangkan sistem pendidikan di negara kita. Pendidikan tidak lebih sebagai alat yang digunakan untuk mendeteksi dan mengikuti apa yang diinginkan industrialisasi yang direfleksikan dari kerangka silabi, setumpuk referensi, metode pengajaran, dan sistem penilaian. Dalam hal ini pendidikan bukan menjadi entitas independen dalam kehidupan manusia tetapi menjadi sebuah alat yang mefungsikan diri sebagai jalan bagi manusia menghadapi industrialisasi.
Bila pendidikan digunakan untuk mengakomodasi kepentingan industrialiasi, maka pendidikan akan memaknai fungsi manusia dan benda-benda sekitar kita seperti industrialisasi inginkan. Kemampuan manusia pun akhirnya mengikuti keinginan industrialisasi yang mengarah pada penyeragaman karakter manusia. Oleh karenanya, pendidikan mengasumsikan bahwa manusia mempunyai kemampuan sama, maka sama pula proses pembelajaran bagi mereka semua. Dampak dari proses ini adalah usaha untuk memberi peringkat di kelas-kelas, tanpa mempedulikan perbedaan potensi di antara mereka.
Pendidikan dalam konsep industrialisasi akan memberikan solusi bagi manusia pada pilihan-pilihan mekanistik. Industrialisasi telah memenjarakan pada pemaknaan-pemaknaan baru sehingga tingkat kesadaran manusia atas posisi di semesta terekayasa oleh kepentingan interpretasi industrialisasi. Bila nama, istilah, dan simbol dimaknai secara mekanistik, maka makna-makna ini akan mengikat manusia pada dunia baru yang serba materialistis. Dalam dunia ini kehormatan manusia dihargai dari berapa besar materi yang dihasilkannya. Kehidupan menjadi diskriminatif dan makna diskriminasi dalam industrialisasi menjelma menjadi sesuatu yang tidak mengandung sensitivitas dalam ranah pemaknaanya karena diskriminasi adalah konsekuensi dari simbol kemajuan industrialisasi.
Pendidikan Islam
Pendidikan saat ini lebih banyak menawarkan konsep 'bagaimana untuk menjadi' bukan 'mengapa harus menjadi'. Dari sini kita bisa melihat bagaimana pendidikan membingkai anak didik sebagai mahluk pasif, bukanlah mahluk aktif yang dapat menidentifikasi, mengklasifikasi, dan memverifikasi dunia dalam imajinasinya. Bila pendidikan mengabaikan manusia sebagai mahluk aktif maka pendidikan tidak akan mampu mengakomodasi keutuhan manusia atas kemanusiaannya.
Pendidikan seperti ini akan mengarahkan manusia pada jalan yang serba pragmatis karena dituntut untuk mendapatkan identitas atau gelar sebagai simbol keahliannya dan keilmuannya dalam bidang tertentu namun tidak menyadari mengapa harus memiliki identitas seperti itu. Identitas tidak akan menjawab masalah manusia bila identitas sendiri tidak menjamin manusia bisa memenuhi kebutuhan di tingkat idelitasnya karena identitas yang dihasilkan tidak didapatkan dari proses pendidikan yang seutuhnya.
Yaitu pendidikan yang melibatkan aspek pasif dan aktif dari diri manusia sehingga manusia mampu memposisikan dirinya sebagai mahluk yang utuh. Keutuhan inilah yang akan mempengaruhi persepsi manusia atas dirinya terhadap semesta. Keutuhan juga menjadi titik tolak bagi manusia dalam membebaskan diri dari belenggu yang menyekat fitrahnya.
Tujuan akhir pendidikan adalah bagaimana manusia mendapatkan kebahagiaan sejati. Kebahagian tidak akan didapat bila ia selalu menjauhi fitrahnya.
Manusia tidak akan mendapatkan fitrah yang dimiliki bila selalu menjauhi apa yang Allah kehendaki. Pendidikan dalam Islam selalu melibatkan kehendak Allah dalam memposisikan hidup manusia. Oleh karena itu, Naquib Alatas (1999) dalam Concept of Education mendefinisikan pendidikan sebagai pengenalan dan pengakuan, yang diajarkan secara progresif kepada manusia, mengenai tempat yang sebenarnya dari segala sesuatu dalam tatanan ciptaan yang mengarah pada pengenalan dan pengakuan tempat yang patut bagi Allah dalam tatanan wujud dan eksistensi.
Islam sebagai din (agama) mempunyai peran pengingat peristiwa perjanjian primordial antara Allah dan manusia. Manusia diingatkan kembali akan fitrahnya sebagai seorang hamba dengan spesifikasi potensi tertentu. Menurut Naquib (1993), sudah ada janji sebelumnya antara manusia dan Allah yang membawa konsekuensi pada kelahiran seorang manusia yang ideal dengan karakter keilmuan yang khas. Allah kembali mengingatkan janji manusia tersebut melalui ajarannya yang kita bisa implisitkan lewat pendidikan.
Oleh karenanya sebagai pengingat, pendidikan memiliki tanggung jawab meletakkan kembali manusia pada tempatnya sebagai manusia. Jadi, industrialisasi adalah refleksi dari spektrum manusia sebagai makhluk yang memiliki posisi tinggi bukan sebaliknya. Sebagaimana yang dinyatakan Naquib, tujuan sebenarnya pendidikan Islam adalah mengajarkan dan memperkenalkan adab kepada seorang manusia. Adab adalah memposisikan diri sendiri dalam suatu sistem yang terdiri dari tingkatan (maqamat) dan level (maratib).
Pendidikan merupakan proses penyadaran atas posisi manusia. Hal ini mengandung berbagai konsekuensi dari pembentukan sistem pendidikan, seperti dalam proses belajar-mengajar. Guru dan murid memiliki peran sebagai 'penikmat' ilmu dalam visi spiritual. Mereka saling menghormati karena tuntutan kemanusiaannya untuk mendapatkan penyadaran. Oleh karenanya tujuan pendidikan dalam Islam tidak akan meninggalkan prosesnya agar timbul penyadaran akan posisi manusia sebagai hamba Allah dan ciptaan-Nya.
Bila manusia mampu membawa dirinya kepada fitrahnya, maka mereka akan beruntung sehingga mereka mendapatkan kebahagian sejati. Bukankah tujuan hidup menusia menjadi orang yang berbahagia? Menurut Naquib (2001) dalam The Meaning and Experience of Happiness in Islam, kebahagiaan adalah keyakinan yang membuahkan ketenangan hati. Keyakinan terjadi kalau manusia bisa melihat jelas segala unsur dari segala eksistensi yang ada di dalam dirinya dan ada di objek yang dilihat. Selanjutnya manusia mampu meletakkan dirinya pada keberadaan dirinya sebagai subjek di semesta. ( )
Proses industrialisasi membawa pengaruh dalam mengembangkan sistem pendidikan di negara kita. Pendidikan tidak lebih sebagai alat yang digunakan untuk mendeteksi dan mengikuti apa yang diinginkan industrialisasi yang direfleksikan dari kerangka silabi, setumpuk referensi, metode pengajaran, dan sistem penilaian. Dalam hal ini pendidikan bukan menjadi entitas independen dalam kehidupan manusia tetapi menjadi sebuah alat yang mefungsikan diri sebagai jalan bagi manusia menghadapi industrialisasi.
Bila pendidikan digunakan untuk mengakomodasi kepentingan industrialiasi, maka pendidikan akan memaknai fungsi manusia dan benda-benda sekitar kita seperti industrialisasi inginkan. Kemampuan manusia pun akhirnya mengikuti keinginan industrialisasi yang mengarah pada penyeragaman karakter manusia. Oleh karenanya, pendidikan mengasumsikan bahwa manusia mempunyai kemampuan sama, maka sama pula proses pembelajaran bagi mereka semua. Dampak dari proses ini adalah usaha untuk memberi peringkat di kelas-kelas, tanpa mempedulikan perbedaan potensi di antara mereka.
Pendidikan dalam konsep industrialisasi akan memberikan solusi bagi manusia pada pilihan-pilihan mekanistik. Industrialisasi telah memenjarakan pada pemaknaan-pemaknaan baru sehingga tingkat kesadaran manusia atas posisi di semesta terekayasa oleh kepentingan interpretasi industrialisasi. Bila nama, istilah, dan simbol dimaknai secara mekanistik, maka makna-makna ini akan mengikat manusia pada dunia baru yang serba materialistis. Dalam dunia ini kehormatan manusia dihargai dari berapa besar materi yang dihasilkannya. Kehidupan menjadi diskriminatif dan makna diskriminasi dalam industrialisasi menjelma menjadi sesuatu yang tidak mengandung sensitivitas dalam ranah pemaknaanya karena diskriminasi adalah konsekuensi dari simbol kemajuan industrialisasi.
Pendidikan Islam
Pendidikan saat ini lebih banyak menawarkan konsep 'bagaimana untuk menjadi' bukan 'mengapa harus menjadi'. Dari sini kita bisa melihat bagaimana pendidikan membingkai anak didik sebagai mahluk pasif, bukanlah mahluk aktif yang dapat menidentifikasi, mengklasifikasi, dan memverifikasi dunia dalam imajinasinya. Bila pendidikan mengabaikan manusia sebagai mahluk aktif maka pendidikan tidak akan mampu mengakomodasi keutuhan manusia atas kemanusiaannya.
Pendidikan seperti ini akan mengarahkan manusia pada jalan yang serba pragmatis karena dituntut untuk mendapatkan identitas atau gelar sebagai simbol keahliannya dan keilmuannya dalam bidang tertentu namun tidak menyadari mengapa harus memiliki identitas seperti itu. Identitas tidak akan menjawab masalah manusia bila identitas sendiri tidak menjamin manusia bisa memenuhi kebutuhan di tingkat idelitasnya karena identitas yang dihasilkan tidak didapatkan dari proses pendidikan yang seutuhnya.
Yaitu pendidikan yang melibatkan aspek pasif dan aktif dari diri manusia sehingga manusia mampu memposisikan dirinya sebagai mahluk yang utuh. Keutuhan inilah yang akan mempengaruhi persepsi manusia atas dirinya terhadap semesta. Keutuhan juga menjadi titik tolak bagi manusia dalam membebaskan diri dari belenggu yang menyekat fitrahnya.
Tujuan akhir pendidikan adalah bagaimana manusia mendapatkan kebahagiaan sejati. Kebahagian tidak akan didapat bila ia selalu menjauhi fitrahnya.
Manusia tidak akan mendapatkan fitrah yang dimiliki bila selalu menjauhi apa yang Allah kehendaki. Pendidikan dalam Islam selalu melibatkan kehendak Allah dalam memposisikan hidup manusia. Oleh karena itu, Naquib Alatas (1999) dalam Concept of Education mendefinisikan pendidikan sebagai pengenalan dan pengakuan, yang diajarkan secara progresif kepada manusia, mengenai tempat yang sebenarnya dari segala sesuatu dalam tatanan ciptaan yang mengarah pada pengenalan dan pengakuan tempat yang patut bagi Allah dalam tatanan wujud dan eksistensi.
Islam sebagai din (agama) mempunyai peran pengingat peristiwa perjanjian primordial antara Allah dan manusia. Manusia diingatkan kembali akan fitrahnya sebagai seorang hamba dengan spesifikasi potensi tertentu. Menurut Naquib (1993), sudah ada janji sebelumnya antara manusia dan Allah yang membawa konsekuensi pada kelahiran seorang manusia yang ideal dengan karakter keilmuan yang khas. Allah kembali mengingatkan janji manusia tersebut melalui ajarannya yang kita bisa implisitkan lewat pendidikan.
Oleh karenanya sebagai pengingat, pendidikan memiliki tanggung jawab meletakkan kembali manusia pada tempatnya sebagai manusia. Jadi, industrialisasi adalah refleksi dari spektrum manusia sebagai makhluk yang memiliki posisi tinggi bukan sebaliknya. Sebagaimana yang dinyatakan Naquib, tujuan sebenarnya pendidikan Islam adalah mengajarkan dan memperkenalkan adab kepada seorang manusia. Adab adalah memposisikan diri sendiri dalam suatu sistem yang terdiri dari tingkatan (maqamat) dan level (maratib).
Pendidikan merupakan proses penyadaran atas posisi manusia. Hal ini mengandung berbagai konsekuensi dari pembentukan sistem pendidikan, seperti dalam proses belajar-mengajar. Guru dan murid memiliki peran sebagai 'penikmat' ilmu dalam visi spiritual. Mereka saling menghormati karena tuntutan kemanusiaannya untuk mendapatkan penyadaran. Oleh karenanya tujuan pendidikan dalam Islam tidak akan meninggalkan prosesnya agar timbul penyadaran akan posisi manusia sebagai hamba Allah dan ciptaan-Nya.
Bila manusia mampu membawa dirinya kepada fitrahnya, maka mereka akan beruntung sehingga mereka mendapatkan kebahagian sejati. Bukankah tujuan hidup menusia menjadi orang yang berbahagia? Menurut Naquib (2001) dalam The Meaning and Experience of Happiness in Islam, kebahagiaan adalah keyakinan yang membuahkan ketenangan hati. Keyakinan terjadi kalau manusia bisa melihat jelas segala unsur dari segala eksistensi yang ada di dalam dirinya dan ada di objek yang dilihat. Selanjutnya manusia mampu meletakkan dirinya pada keberadaan dirinya sebagai subjek di semesta. ( )
Arah Baru Pendidikan Islam
Muhibuddin HanafiahMahasiswa S3 Kajian Islam UIN Jakarta
Pendidikan pada dasarnya merupakan suatu upaya pedagogis untuk menstranfer sejumlah nilai yang dianut oleh masyarakat suatu bangsa kepada sejumlah subjek didik melalui proses pembelajaran. Sistem nilai tersebut tertuang dalam sistem pendidikan yang dirumuskan dalam dasar-dasar pandangan hidup bangsa itu. Rumusan pandangan hidup tersebut kemudian dituangkan dalam Undang-Undang Dasar dan perundang-undangan. Dalam Undang-Undang Dasar dan perundang-undangan itu pandangan filosofis suatu bangsa di antaranya tercermin dalam sistem pendidikan yang dijalankan.
Bagi bangsa Indonesia, pandangan filosofis mengenai pendidikan dapat dilihat pada tujuan nasional sebagaimana termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 paragraf keempat. Secara umum tujuan pendidikan nasional adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Kemudian secara terperinci dipertegas lagi dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Bertolak dari tujuan pendidikan nasional tersebut, dapat dipahami bahwa tujuan pendidikan merupakan tujuan akhir yang harus diterjemahkan lebih konkret melalui sebuah proses. Proses dimaksud adalah usaha yang terpola, terencana, dan tersistematisasi melalui proses pendidikan. Keinginan luhur bangsa Indonesia itu lahir dari tatanan nilai yang dianut dan terakumulasi dari dalam kesadaran dirinya sebagai bangsa dan kesadaran terhadap dunia di sekitarnya.
Dilihat dari tridomain pendidikan (domain kognitif, afektif, psikomotorik), tatanan nilai yang tertuang dalam pembukaan UUD'45 khususnya yang tertuang dalam UU No 2/1989 dan UU No. 20/2003 lebih banyak didominasi oleh domain afektif atau cendrung kepada pembentukan sikap. Hal ini menunjukkan bahwa tatanan nilai (kepribadian yang luhur) berfungsi sebagai pengayom domain lainnya. Artinya, kecerdasan dan keterampilan harus berasaskan nilai-nilai luhur yang dianut bangsa. Di antara sekian banyak nilai-nilai luhur tersebut, beriman, berakhlakul karimah, dan beramal saleh adalah bagian dari nilai lihur itu.
Namun demikian, urgensitas nilai yang demikian mendapat posisi strategis dalam konsep pendidikan nasional pada kenyataannya tidak berperan secara riil dalam kepribadian peserta didik di Indonesia. Kesenjangan ini diduga akibat dari beberapa faktor seperti
(1) buku teks atau buku pelajaran (bahan ajar) yang digunakan kurang mengarah pada integrasi keilmuan antara sains dan agama,
(2) penerapan strategi belajar-mengajar yang belum maksimal dan belum relevan dengan tuntutan kurikulum karena keterbatasan kemampuan pendidik, dan
(3) lingkungan belajar (hidden curricullum) belum kondusif bagi berlangsungnya suatu peoses pembelajaran.
Konsekuensi dari ketiga faktor tersebut adalah internalisasi nilai (domain afektif) belum mampu menghujam ke dalam diri (kepribadian) subjek didik secara utuh. Selama ini proses pembelajaran di madrasah belum mampu mengintegrasikan antara berbagai konsep atau teori keilmuan sains dan dimensi nilai agama seperti nilai etika, nilai teologis, dan lain-lain. Demikian juga proses pembelajaran sains belum mampu mengintegrasikan domain afektif ke dalam domain kognitif dan psikomotorik. Hal ini terjadi tidak hanya dalam bidang studi sains tetapi juga dalam semua bidang studi lain pada umumnya.
Kenyataan di lapangan pendidikan, aspek ideal itu (integrasi keilmuan) belum dominan terlihat, sehingga sistem pendidikan nasional terkesan menganut sistem bebas nilai. Pendidikan nasional cenderung berwajah sekularistik, seolah-olah tidak ada kaitan antara konsep keilmuan tertentu dengan nilai-nilai yang sejatinya dimunculkan dalam setiap disiplin ilmu.
Nilai teologisDi antara sekian banyak nilai yang tersentralisasikan dalam suatu tatanan nilai, maka nilai teologis adalah bagian integral dari sejumlah tatanan nilai yang ada. Nilai teologis secara eksplisit disebutkan dalam tujuan pendidikan nasional yaitu dalam kalimat 'menciptakan manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa'. Kalimat ini secara hierarkhis mengindikasikan bahwa di samping memayungi juga berfungsi merangkul aspek tujuan lain dalam satu jalinan yang integral.
Dalam tradisi pendidikan Islam sampai sekarang ini, internalisasi nilai teologis hanya diberikan secara terbatas dalam pendidikan akidah (teologi Islam). Yaitu kajian yang menyangkut permasalahan ketuhanan yang hanya berdimensi transendental-kontemplatif. Tradisi ini sudah sejak lama berlangsung, sehingga nilai-nilai teologis belum mengintegral ke dalam disiplin-disiplin ilmu lainnya secara holistik. Bahkan pendekatan pembelajaran yang digunakan dalam proses internalisasi nilai-nilai teologis ini hanya sebatas pendekatan imani.
Kecenderungan pendekatan dalam proses belajar mengajar seperti ini jelas mempersempit bahkan mendistorsi pemahaman peserta didik secara objektif terhadap nilai-nilai teologis yang sebenarnya. Akibatnya peserta didik cenderung memahami dimensi nilai teologis sebatas pada tataran ritualistik-formalistik dan dogmatis-sakralistik. Pendekatan yang demikian, menjadikan kajian dimensi teologis semakin absurd, abstrak, melangit, dan kurang menyentuh persoalan-persoalan riil kemanusiaan. Ditambah lagi dengan anggapan bahwa wilayah kajian teologi adalah wilayah sakral-absolut sehingga tidak memberikan ruang reinterpretasi secara kreatif dan aktual-kontekstual terhadap penafsiran sebelumnya.
Berdasarkan pengamatan dan kajian literatur diketahui bahwa madrasah-madrasah di Indonesia pada umumnya didapati masih juga menerapkan model pembelajaran yang tidak jauh berbeda sebagaimana diuraikan di atas. Hal ini terjadi hampir di semua bidang studi intern ilmu agama Islam , lebih lagi bidang studi sains. Sepertinya belum ada transformasi berarti dalam reorientasi sistemik dan filosofis baik muatan materi ajar maupun metodologi pengajaran ke arah yang relevan dengan tuntutan perubahan zaman. Karena itu dituntut adanya pembaharuan pemahaman terhadap masalah ini sehingga memungkinkan terwujudnya pendidikan Islam yang mumpuni bagi zamannya. ( )
Pendidikan pada dasarnya merupakan suatu upaya pedagogis untuk menstranfer sejumlah nilai yang dianut oleh masyarakat suatu bangsa kepada sejumlah subjek didik melalui proses pembelajaran. Sistem nilai tersebut tertuang dalam sistem pendidikan yang dirumuskan dalam dasar-dasar pandangan hidup bangsa itu. Rumusan pandangan hidup tersebut kemudian dituangkan dalam Undang-Undang Dasar dan perundang-undangan. Dalam Undang-Undang Dasar dan perundang-undangan itu pandangan filosofis suatu bangsa di antaranya tercermin dalam sistem pendidikan yang dijalankan.
Bagi bangsa Indonesia, pandangan filosofis mengenai pendidikan dapat dilihat pada tujuan nasional sebagaimana termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 paragraf keempat. Secara umum tujuan pendidikan nasional adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Kemudian secara terperinci dipertegas lagi dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Bertolak dari tujuan pendidikan nasional tersebut, dapat dipahami bahwa tujuan pendidikan merupakan tujuan akhir yang harus diterjemahkan lebih konkret melalui sebuah proses. Proses dimaksud adalah usaha yang terpola, terencana, dan tersistematisasi melalui proses pendidikan. Keinginan luhur bangsa Indonesia itu lahir dari tatanan nilai yang dianut dan terakumulasi dari dalam kesadaran dirinya sebagai bangsa dan kesadaran terhadap dunia di sekitarnya.
Dilihat dari tridomain pendidikan (domain kognitif, afektif, psikomotorik), tatanan nilai yang tertuang dalam pembukaan UUD'45 khususnya yang tertuang dalam UU No 2/1989 dan UU No. 20/2003 lebih banyak didominasi oleh domain afektif atau cendrung kepada pembentukan sikap. Hal ini menunjukkan bahwa tatanan nilai (kepribadian yang luhur) berfungsi sebagai pengayom domain lainnya. Artinya, kecerdasan dan keterampilan harus berasaskan nilai-nilai luhur yang dianut bangsa. Di antara sekian banyak nilai-nilai luhur tersebut, beriman, berakhlakul karimah, dan beramal saleh adalah bagian dari nilai lihur itu.
Namun demikian, urgensitas nilai yang demikian mendapat posisi strategis dalam konsep pendidikan nasional pada kenyataannya tidak berperan secara riil dalam kepribadian peserta didik di Indonesia. Kesenjangan ini diduga akibat dari beberapa faktor seperti
(1) buku teks atau buku pelajaran (bahan ajar) yang digunakan kurang mengarah pada integrasi keilmuan antara sains dan agama,
(2) penerapan strategi belajar-mengajar yang belum maksimal dan belum relevan dengan tuntutan kurikulum karena keterbatasan kemampuan pendidik, dan
(3) lingkungan belajar (hidden curricullum) belum kondusif bagi berlangsungnya suatu peoses pembelajaran.
Konsekuensi dari ketiga faktor tersebut adalah internalisasi nilai (domain afektif) belum mampu menghujam ke dalam diri (kepribadian) subjek didik secara utuh. Selama ini proses pembelajaran di madrasah belum mampu mengintegrasikan antara berbagai konsep atau teori keilmuan sains dan dimensi nilai agama seperti nilai etika, nilai teologis, dan lain-lain. Demikian juga proses pembelajaran sains belum mampu mengintegrasikan domain afektif ke dalam domain kognitif dan psikomotorik. Hal ini terjadi tidak hanya dalam bidang studi sains tetapi juga dalam semua bidang studi lain pada umumnya.
Kenyataan di lapangan pendidikan, aspek ideal itu (integrasi keilmuan) belum dominan terlihat, sehingga sistem pendidikan nasional terkesan menganut sistem bebas nilai. Pendidikan nasional cenderung berwajah sekularistik, seolah-olah tidak ada kaitan antara konsep keilmuan tertentu dengan nilai-nilai yang sejatinya dimunculkan dalam setiap disiplin ilmu.
Nilai teologisDi antara sekian banyak nilai yang tersentralisasikan dalam suatu tatanan nilai, maka nilai teologis adalah bagian integral dari sejumlah tatanan nilai yang ada. Nilai teologis secara eksplisit disebutkan dalam tujuan pendidikan nasional yaitu dalam kalimat 'menciptakan manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa'. Kalimat ini secara hierarkhis mengindikasikan bahwa di samping memayungi juga berfungsi merangkul aspek tujuan lain dalam satu jalinan yang integral.
Dalam tradisi pendidikan Islam sampai sekarang ini, internalisasi nilai teologis hanya diberikan secara terbatas dalam pendidikan akidah (teologi Islam). Yaitu kajian yang menyangkut permasalahan ketuhanan yang hanya berdimensi transendental-kontemplatif. Tradisi ini sudah sejak lama berlangsung, sehingga nilai-nilai teologis belum mengintegral ke dalam disiplin-disiplin ilmu lainnya secara holistik. Bahkan pendekatan pembelajaran yang digunakan dalam proses internalisasi nilai-nilai teologis ini hanya sebatas pendekatan imani.
Kecenderungan pendekatan dalam proses belajar mengajar seperti ini jelas mempersempit bahkan mendistorsi pemahaman peserta didik secara objektif terhadap nilai-nilai teologis yang sebenarnya. Akibatnya peserta didik cenderung memahami dimensi nilai teologis sebatas pada tataran ritualistik-formalistik dan dogmatis-sakralistik. Pendekatan yang demikian, menjadikan kajian dimensi teologis semakin absurd, abstrak, melangit, dan kurang menyentuh persoalan-persoalan riil kemanusiaan. Ditambah lagi dengan anggapan bahwa wilayah kajian teologi adalah wilayah sakral-absolut sehingga tidak memberikan ruang reinterpretasi secara kreatif dan aktual-kontekstual terhadap penafsiran sebelumnya.
Berdasarkan pengamatan dan kajian literatur diketahui bahwa madrasah-madrasah di Indonesia pada umumnya didapati masih juga menerapkan model pembelajaran yang tidak jauh berbeda sebagaimana diuraikan di atas. Hal ini terjadi hampir di semua bidang studi intern ilmu agama Islam , lebih lagi bidang studi sains. Sepertinya belum ada transformasi berarti dalam reorientasi sistemik dan filosofis baik muatan materi ajar maupun metodologi pengajaran ke arah yang relevan dengan tuntutan perubahan zaman. Karena itu dituntut adanya pembaharuan pemahaman terhadap masalah ini sehingga memungkinkan terwujudnya pendidikan Islam yang mumpuni bagi zamannya. ( )
Subscribe to:
Posts (Atom)