Written by Administrator
Wednesday, 29 March 2006
Pelaksanaan pendidikan dipandang belum mampu membentuk dan mengembangkan kepribadian anak didik seutuhnya. Pendidikan baru sebatas berperan secara parsial, yakni dalam pengembangan aspek kognitif. Karena itu, hasil pendidikan dinilai tidak memiliki korelasi dengan sikap maupun perilaku peserta didik. Dalam posisi demikian, pendidikan dianggap tidak memberikan kontribusi yang cukup pada pembentukan karakter bangsa. Etos, integritas, disiplin, serta solidaritas sosial masyarakat secara luas dinilai rendah, Padahal karakter merupakan kunci utama bagi bangsa dalam menghadapi era global.
Otoritas pendidikan bukan tidak menyadari keadaan tersebut. Tetapi upaya untuk mengembangkan sistem pendidikan terbentur pada sebuah kenyataan bahwa aspek pengetahuan lebih dimungkinkan untuk diukur secara obyektif. Pengukuran terhadap sikap serta perilaku lebih sulit untuk dilakukan. Padahal pengukuran tersebut sangat diperlukan otoritas pendidikan untuk mengevaluasi sistem dan pelaksanaan pendidikan yang sudah ada.Dengan kesulitan tersebut, dunia pendidikan nasional menjadi tidak dapat bergerak cepat merespon tuntutan keadaan yang semakin kompleks. Seluruh upaya baik untuk melakukan lompatan ke depan dalam pendidikan terkendala oleh kesulitan dalam mengoperasionalkan aspek afektif dan psikomotorik tersebut. ‘Salah satu kaki’ pendidikan seperti terbenam dalam ‘jebakan abadi’ itu.
‘Jebakan’ tersebut membuat sebagian sisi pendidikan masih berputar pada kecenderungannya yang mekanistis. Pada tingkat tertentu, pusaran kecenderungan ini telah ‘menurunkan kelas’ pendidikan dari upaya menumbuhkembangkan potensi anak didik menjadi sekadar sebuah opsi pekerjaan yang bahkan tidak seprestisius opsi pekerjaan lainnya. Bidang pendidikan tidak lagi menjadi incaran ‘anak-anak terbaik’ bangsa. Hal demikian semakin menurunkan posisi pendidikan dalam pembentukan karakter bangsa.
Beberapa pelaksana pendidikan berhasil keluar dari keadaan demikian melalui kreativitas dalam manajemen pendidikan, serta pemilihan dan pengembangan kualitas guru sebagai tokoh sentral bagi terwujudnya pendidikan berkualitas. Namun keberhasilan tersebut memerlukan biaya mahal serta baru terbukti pada beberapa lembaga pendidikan secara terbatas. Kreativitas demikian belum dapat diterapkan secara massal pada tingkat nasional.
Untuk dapat merumuskan sistem pendidikan yang tepat secara nasional bagi pembentukan karakter bangsa perlu lebih dahulu dilakukan kajian dasar. Kajian tersebut terutama menyangkut identifikasi karakter apa saja yang harus dimiliki bangsa yang dapat dibangun melalui sistem pendidikan formal melalui sekolah. Hasil identifikasi tersebut akan dapat menjadi pijakan bagi perumusan strategi yang tepat untuk mewujudkan sistem pendidikan yang efektif bagi pembentukan karakter bangsa.
Last Updated ( Monday, 03 December 2007 )
Sunday, December 16, 2007
Masa Depan Reformasi Pendidikan
Tiga problem mendasar dalam sewindu reformasi masih mengungkung bangsa, terlebih ditunggangi para koruptor di lingkungan instansi pendidikan. Praktis, pendidikan sebagai media pembebasan adalah jargon kosong. Karena pergantian menteri, bongkar pasang kurikulum, dan perubahan kebijakan lainnya hanya dijadikan ladang basah para "maling republik" -- meminjam istilah sastrawan Sunaryono Basuki Ks. Pendidikan berkarakter akan menciptakan sosok manusia yang mempunyai kekuatan ideologi yang kuat, tangguh, dan komitmen tinggi. Dengan pendidikan karakter, maka Indonesia yang berideologi Pancasila akan tetap berperan dalam menghadapi globalisasi yang menghendaki penyeragaman dari Barat. Pancasila akan tetap menjadi falsafah berbangsa dan bernegara yang tak tergantikan oleh paham bernama globalisme. Selain itu, tuntutan besar yang harus direalisasikan adalah terciptanya pribadi yang cakap, terampil, dan profesional.
------------------------------
Oleh Muhammadun AS
GEMURUH reformasi maupun peringatan sewindunya beberapa waktu lalu tidak terlihat dalam mengkritisi dan mendamba pendidikan bangsa di masa masa depan. Masihkah ada harapan bagi pencerahan bangsa dari institusi pendidikan? Kalau memang ada, di mana dan bagaimana posisi pendidikan masa depan?
------------------------------
Arah reformasi pendidikan, oleh Mu'arif (2005: 94) ditandai masih menyisakan tiga problem utama. Pertama, problem kebijakan pemerintah yang tidak memiliki komitmen dalam menyelenggarakan pendidikan nasional. Dalam arti, kebijakan pemerintah selama ini belum menjadikan pendidikan sebagai prioritas utama dalam merancang merumuskan kemajuan bangsa. Penjelasan UUD 45 pasal 31 ayat 4 yang menyatakan bahwa anggaran penyelenggaraan pendidikan nasional sekurang-kurangnya 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) ternyata belum terealisasikan secara maksimal hingga sekarang. Paling-paling alokasi dana hanya untuk anggaran rutin, belum menyentuh pengembangan jangka panjang. Tidak salah kalau pasal itu dikatakan sebagai "pajangan" yang menghiasi konstitusi negara Republik Indonesia. Bahkan, Prof. Suyanto pernah menyindir, mungkin saja pasal tersebut bisa dilakukan pada tahun 2018 nanti. Dalam arti, pemerintah sebenarnya tidak berkomitmen tinggi dalam mengalokasikan dana pendidikan.
Kedua, problem visi pendidikan yang belum bisa berpihak kepada rakyat jelata. Terbukti, berbagai perguruan tinggi sekarang hanya mampu menerima mahasiwa yang berkecukupan, sementara mahasiswa yang tidak berpunya hanya bisa gigit jari melihat saudara-saudaranya yang menikmati bangku kuliah. Atau mungkin mereka gundah karena melihat saudara se-Tanah Air berkhianat. Padahal, mereka yang termarginalkan banyak yang mempunyai potensi besar, yang kalau dikembangkan jauh melampaui mereka yang duduk manis dan senang-senang di perkuliahan.
Ketiga, problem kesadaran masyarakat Indonesia yang belum mencapai tahapan "kesadaran kritis". Bangsa ini masih berupa masyarakat dongeng yang sering terjebak mitos dan cerita misterius. Dalam istilah Paulo Freire, kita masih tenggelam dalam budaya "bisu": tidak mampu meluapkan seluruh aspirasi, potensi, dan kreativitas karena kungkungan tradisi dan otoritarianisme kekuasaan. Kita belum mampu seperti masyarakat Barat sebagai masyarakat baca yang selalu haus informasi di seluruh jagat raya. Konsekuensinya, masyarakat Indonesia susah diajak berpikir jauh ke depan, bahkan mungkin menganggap berpikir kritis sebagai kesia-siaan. Inilah dilema sekaligus ironi bangsa kita.
Tiga problem mendasar tersebut dalam sewindu reformasi masih mengungkung bangsa, terlebih ditunggangi para koruptor di lingkungan instansi pendidikan. Praktis, pendidikan sebagai media pembebasan adalah jargon kosong. Karena pergantian menteri, bongkar pasang kurikulum, dan perubahan kebijakan lainnya hanya dijadikan ladang basah para "maling republik" -- meminjam istilah sastrawan Sunaryono Basuki Ks.
Agenda ke Depan
Ada beberapa agenda untuk membawa pendidikan bangsa di masa depan. Pertama, mengoptimalkan kembali peran pemerintah, dalam hal ini Depdiknas, dalam merumuskan kebijakan pendidikan yang bervisi kerakyatan dan kemanusiaan. Kurikulum pendidikan yang dibongkar-pasang selama ini terjebak dalam paradigma berpikir yang positivistik, bahkan mengarah pada sekularistik. Paradigma positivistik-sekuralistik yang diusung dari Barat hanya menjadikan pemikiran bangsa ini terbelah: kehilangan autentisitas diri dan terjebak dalam gemuruh sekularisme yang hedonis-materialistis. Pendidikan ke depan adalah kurikulum yang mampu menggugah potensi kreatif siswa didik yang autentik yang nantinya dapat berguna sebagai modal kehidupan ke depan serta mampu melestarikan tradisi dan budaya bangsa yang luhur nan agung.
Kedua, mengantisipasi arus informasi global dengan pendidikan berkarakter dan keterampilan yang profesional. Pendidikan berkarakter akan menciptakan sosok manusia yang mempunyai kekuatan ideologi yang kuat, tangguh, dan komitmen tinggi. Dengan pendidikan karakter, maka Indonesia yang berideologi Pancasila akan tetap berperan dalam menghadapi globalisasi yang menghendaki penyeragaman dari Barat. Pancasila akan tetap menjadi falsafah berbangsa dan bernegara yang tak tergantikan oleh paham bernama globalisme. Selain itu, tuntutan besar yang harus direalisasikan adalah terciptanya pribadi yang cakap, terampil, dan profesional. Siswa tidak hanya digugah potensinya, namun juga diberi pengarahan dalam mengembangkannya di masa depan, sehingga setelah sekolah mereka akan menjadi manusia unggul yang mengantarkan Republik Indonesia sebagai negara impian.
* Penulis, peneliti pada Central for Studies of Religion and Culture (CSRC) Yogyakarta
------------------------------
Oleh Muhammadun AS
GEMURUH reformasi maupun peringatan sewindunya beberapa waktu lalu tidak terlihat dalam mengkritisi dan mendamba pendidikan bangsa di masa masa depan. Masihkah ada harapan bagi pencerahan bangsa dari institusi pendidikan? Kalau memang ada, di mana dan bagaimana posisi pendidikan masa depan?
------------------------------
Arah reformasi pendidikan, oleh Mu'arif (2005: 94) ditandai masih menyisakan tiga problem utama. Pertama, problem kebijakan pemerintah yang tidak memiliki komitmen dalam menyelenggarakan pendidikan nasional. Dalam arti, kebijakan pemerintah selama ini belum menjadikan pendidikan sebagai prioritas utama dalam merancang merumuskan kemajuan bangsa. Penjelasan UUD 45 pasal 31 ayat 4 yang menyatakan bahwa anggaran penyelenggaraan pendidikan nasional sekurang-kurangnya 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) ternyata belum terealisasikan secara maksimal hingga sekarang. Paling-paling alokasi dana hanya untuk anggaran rutin, belum menyentuh pengembangan jangka panjang. Tidak salah kalau pasal itu dikatakan sebagai "pajangan" yang menghiasi konstitusi negara Republik Indonesia. Bahkan, Prof. Suyanto pernah menyindir, mungkin saja pasal tersebut bisa dilakukan pada tahun 2018 nanti. Dalam arti, pemerintah sebenarnya tidak berkomitmen tinggi dalam mengalokasikan dana pendidikan.
Kedua, problem visi pendidikan yang belum bisa berpihak kepada rakyat jelata. Terbukti, berbagai perguruan tinggi sekarang hanya mampu menerima mahasiwa yang berkecukupan, sementara mahasiswa yang tidak berpunya hanya bisa gigit jari melihat saudara-saudaranya yang menikmati bangku kuliah. Atau mungkin mereka gundah karena melihat saudara se-Tanah Air berkhianat. Padahal, mereka yang termarginalkan banyak yang mempunyai potensi besar, yang kalau dikembangkan jauh melampaui mereka yang duduk manis dan senang-senang di perkuliahan.
Ketiga, problem kesadaran masyarakat Indonesia yang belum mencapai tahapan "kesadaran kritis". Bangsa ini masih berupa masyarakat dongeng yang sering terjebak mitos dan cerita misterius. Dalam istilah Paulo Freire, kita masih tenggelam dalam budaya "bisu": tidak mampu meluapkan seluruh aspirasi, potensi, dan kreativitas karena kungkungan tradisi dan otoritarianisme kekuasaan. Kita belum mampu seperti masyarakat Barat sebagai masyarakat baca yang selalu haus informasi di seluruh jagat raya. Konsekuensinya, masyarakat Indonesia susah diajak berpikir jauh ke depan, bahkan mungkin menganggap berpikir kritis sebagai kesia-siaan. Inilah dilema sekaligus ironi bangsa kita.
Tiga problem mendasar tersebut dalam sewindu reformasi masih mengungkung bangsa, terlebih ditunggangi para koruptor di lingkungan instansi pendidikan. Praktis, pendidikan sebagai media pembebasan adalah jargon kosong. Karena pergantian menteri, bongkar pasang kurikulum, dan perubahan kebijakan lainnya hanya dijadikan ladang basah para "maling republik" -- meminjam istilah sastrawan Sunaryono Basuki Ks.
Agenda ke Depan
Ada beberapa agenda untuk membawa pendidikan bangsa di masa depan. Pertama, mengoptimalkan kembali peran pemerintah, dalam hal ini Depdiknas, dalam merumuskan kebijakan pendidikan yang bervisi kerakyatan dan kemanusiaan. Kurikulum pendidikan yang dibongkar-pasang selama ini terjebak dalam paradigma berpikir yang positivistik, bahkan mengarah pada sekularistik. Paradigma positivistik-sekuralistik yang diusung dari Barat hanya menjadikan pemikiran bangsa ini terbelah: kehilangan autentisitas diri dan terjebak dalam gemuruh sekularisme yang hedonis-materialistis. Pendidikan ke depan adalah kurikulum yang mampu menggugah potensi kreatif siswa didik yang autentik yang nantinya dapat berguna sebagai modal kehidupan ke depan serta mampu melestarikan tradisi dan budaya bangsa yang luhur nan agung.
Kedua, mengantisipasi arus informasi global dengan pendidikan berkarakter dan keterampilan yang profesional. Pendidikan berkarakter akan menciptakan sosok manusia yang mempunyai kekuatan ideologi yang kuat, tangguh, dan komitmen tinggi. Dengan pendidikan karakter, maka Indonesia yang berideologi Pancasila akan tetap berperan dalam menghadapi globalisasi yang menghendaki penyeragaman dari Barat. Pancasila akan tetap menjadi falsafah berbangsa dan bernegara yang tak tergantikan oleh paham bernama globalisme. Selain itu, tuntutan besar yang harus direalisasikan adalah terciptanya pribadi yang cakap, terampil, dan profesional. Siswa tidak hanya digugah potensinya, namun juga diberi pengarahan dalam mengembangkannya di masa depan, sehingga setelah sekolah mereka akan menjadi manusia unggul yang mengantarkan Republik Indonesia sebagai negara impian.
* Penulis, peneliti pada Central for Studies of Religion and Culture (CSRC) Yogyakarta
Kecerdasan Emosi Bekal Terpenting Anak
Kecerdasan emosi kini menjadi perhatian dan prioritas. Kecerdasan emosi adalah bekal terpenting dalam mempersiapkan anak menyongsong masa depan, karena dengannya seseorang akan dapat berhasil dalam menghadapi segala macam tantangan, termasuk tantangan untuk berhasil secara akademis.
Selain itu, kecerdasan emosi juga sangat penting dalam hubungan pola asuh anak dengan orang tua. Hasil studi Dr. Marvin Berkowitz dari University of Missouri- St. Louis, yang diterbitkan dalam sebuah sebuah buletin, Character Educator, oleh Character Education Partnership, dijelaskan tentang keberhasilan kecerdasan emosi terhadap keberhasilan akademik. Dalam penelitian tersebut, dijelaskan tentang peningkatan motivasi siswa sekolah dalam meraih prestasi akademik pada sekolah-sekolah yang menerapkan pendidikan karakter.
Kelas-kelas yang secara komprehensif terlibat dalam pendidikan karakter menunjukan penurunan drastis pada perilaku negatif siswa yang dapat menghambat keberhasilan akademik.Pendidikan karakter adalah pendidikan budi pekerti plus, yaitu yang melibatkan aspek pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action). Menurut Thomas Lickona, tanpa ketiga aspek ini, maka pendidikan karakter tidak akan efektif, dan pelaksanaannya pun harus dilakukan secara sistematis dan berkelanjutan. Dengan pendidikan karakter, seorang anak akan menjadi cerdas emosinya.
Anak-anak yang mempunyai masalah dalam kecerdasan emosinya, akan mengalami kesulitan belajar, bergaul dan tidak dapat mengontrol emosinya. Anak-anak yang bermasalah ini sudah dapat dilihat sejak usia pra-sekolah, dan kalau tidak ditangani akan terbawa sampai usia dewasa. Sebaliknya para remaja yang berkarakter atau mempunyai kecerdasan emosi tinggi akan terhindar dari masalah-masalah umum yang dihadapi oleh remaja seperti kenakalan, tawuran, narkoba, miras, perilaku seks bebas, dan sebagainya.Pendidikan karakter di sekolah sangat diperlukan, walaupun dasar dari pendidikan karakter adalah di dalam keluarga. Kalau seorang anak mendapatkan pendidikan karakter yang baik dari keluarganya, anak tersebut akan berkarakter baik selanjutnya.
Namun banyak orang tua yang lebih mementingkan aspek kecerdasan otak ketimbang pendidikan karakter.Kecerdasan emosi atau Emotional Intelligence (EI) adalah kemampuan seseorang untuk mengendalikan emosinya. EI dengan indikator rasa empati, kemampuan mengekspresikan dan memahami diri, beradaptasi, bekerja dalam tim, berbagi dan sebagainya, sangatlah penting untuk meningkatkan kualitas perilaku cerdas seseorang ditengah masyarakat, maupun dunia kerja.Penelitian menunjukkan, kesuksesan diraih oleh mereka yang memiliki kecerdasan emosi baik dibanding orang-orang yang hanya bermodalkan IQ tinggi. Namun di abad 21 ini, kecerdasan emosi rata-rata manusia semakin turun.
Guru Besar Psikologi Universitas Indonesia, Sarlito Sarwono dalam penjelasannya di acara Workshop Hidup Sehat, menuturkan menurunnya kecerdasan emosi mayoritas penduduk dunia, disebabkan karena perubahan nilai sosial dimasyarakat, berkurangnya waktu orang tua untuk mengasuh anaknya, sistem pendidikan yang terlalu memperhatikan kecerdasan intelektual, peningkatan angka perceraian, dan pengaruh media elektronik."Anak itu membutuhkan pujian, sebagaimana ia juga ia membutuhkan hukuman.
Pujian seperti apa yang dibutuhkan mereka ? Pujian yang tulus. Hindari memberi kuliah, hindari marah, hindari teriak, hindari pengulangan masalah atau mengungkit-ungkit masalah", ujar Sarlito. Sarlito menjelaskan orang tua sangat berperan untuk mengembangkan kecerdasan emosi anak dengan cara menanamkan nilai-nilai pentingnya berbagi, saling menyayangi, membangun disiplin, berkomunikasi secara efektif, sehingga merangsang kemampuan anak untuk mendengar, mengerti dan berpikir.Menemani anak menjelang tidur, saling memaafkan dan mengembangkan minat membaca pada anak, juga dapat meningkatkan kecerdasan emosi anak.(Idh/Bahan Fokus dan Pustaka Cerdas)
Selain itu, kecerdasan emosi juga sangat penting dalam hubungan pola asuh anak dengan orang tua. Hasil studi Dr. Marvin Berkowitz dari University of Missouri- St. Louis, yang diterbitkan dalam sebuah sebuah buletin, Character Educator, oleh Character Education Partnership, dijelaskan tentang keberhasilan kecerdasan emosi terhadap keberhasilan akademik. Dalam penelitian tersebut, dijelaskan tentang peningkatan motivasi siswa sekolah dalam meraih prestasi akademik pada sekolah-sekolah yang menerapkan pendidikan karakter.
Kelas-kelas yang secara komprehensif terlibat dalam pendidikan karakter menunjukan penurunan drastis pada perilaku negatif siswa yang dapat menghambat keberhasilan akademik.Pendidikan karakter adalah pendidikan budi pekerti plus, yaitu yang melibatkan aspek pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action). Menurut Thomas Lickona, tanpa ketiga aspek ini, maka pendidikan karakter tidak akan efektif, dan pelaksanaannya pun harus dilakukan secara sistematis dan berkelanjutan. Dengan pendidikan karakter, seorang anak akan menjadi cerdas emosinya.
Anak-anak yang mempunyai masalah dalam kecerdasan emosinya, akan mengalami kesulitan belajar, bergaul dan tidak dapat mengontrol emosinya. Anak-anak yang bermasalah ini sudah dapat dilihat sejak usia pra-sekolah, dan kalau tidak ditangani akan terbawa sampai usia dewasa. Sebaliknya para remaja yang berkarakter atau mempunyai kecerdasan emosi tinggi akan terhindar dari masalah-masalah umum yang dihadapi oleh remaja seperti kenakalan, tawuran, narkoba, miras, perilaku seks bebas, dan sebagainya.Pendidikan karakter di sekolah sangat diperlukan, walaupun dasar dari pendidikan karakter adalah di dalam keluarga. Kalau seorang anak mendapatkan pendidikan karakter yang baik dari keluarganya, anak tersebut akan berkarakter baik selanjutnya.
Namun banyak orang tua yang lebih mementingkan aspek kecerdasan otak ketimbang pendidikan karakter.Kecerdasan emosi atau Emotional Intelligence (EI) adalah kemampuan seseorang untuk mengendalikan emosinya. EI dengan indikator rasa empati, kemampuan mengekspresikan dan memahami diri, beradaptasi, bekerja dalam tim, berbagi dan sebagainya, sangatlah penting untuk meningkatkan kualitas perilaku cerdas seseorang ditengah masyarakat, maupun dunia kerja.Penelitian menunjukkan, kesuksesan diraih oleh mereka yang memiliki kecerdasan emosi baik dibanding orang-orang yang hanya bermodalkan IQ tinggi. Namun di abad 21 ini, kecerdasan emosi rata-rata manusia semakin turun.
Guru Besar Psikologi Universitas Indonesia, Sarlito Sarwono dalam penjelasannya di acara Workshop Hidup Sehat, menuturkan menurunnya kecerdasan emosi mayoritas penduduk dunia, disebabkan karena perubahan nilai sosial dimasyarakat, berkurangnya waktu orang tua untuk mengasuh anaknya, sistem pendidikan yang terlalu memperhatikan kecerdasan intelektual, peningkatan angka perceraian, dan pengaruh media elektronik."Anak itu membutuhkan pujian, sebagaimana ia juga ia membutuhkan hukuman.
Pujian seperti apa yang dibutuhkan mereka ? Pujian yang tulus. Hindari memberi kuliah, hindari marah, hindari teriak, hindari pengulangan masalah atau mengungkit-ungkit masalah", ujar Sarlito. Sarlito menjelaskan orang tua sangat berperan untuk mengembangkan kecerdasan emosi anak dengan cara menanamkan nilai-nilai pentingnya berbagi, saling menyayangi, membangun disiplin, berkomunikasi secara efektif, sehingga merangsang kemampuan anak untuk mendengar, mengerti dan berpikir.Menemani anak menjelang tidur, saling memaafkan dan mengembangkan minat membaca pada anak, juga dapat meningkatkan kecerdasan emosi anak.(Idh/Bahan Fokus dan Pustaka Cerdas)
Subscribe to:
Posts (Atom)