Monday, February 16, 2009

Pengajaran Sastra Berdimensi Moral

Sudaryanto, Spd Guru Bahasa Indonesia MAN Yogyakarta III
Sumber : Republika

Krisis moral tengah menjalar dan menjangkiti bangsa ini. Hampir semua elemen bangsa juga merasakannya. Pilkada yang ricuh, kasus korupsi anggota dewan, hingga tebar janjijanji politik menjelang Pemilu 2009. Mengapa seolah-olah bangsa ini, dari tahun ke tahun, tidak pernah sadar dan sesegera mungkin menyembuhkan dirinya? Justru sebaliknya, bangsa ini makin dijangkiti krisis moral yang makin ëakut' kondisinya. Mengapa demikian?

Dimensi moral erat kaitannya dengan dimensi watak. Setiap individu memiliki penilaian moral yang berbeda-beda. Itu pun tergantung watak dari tiap-tiap individu. Misalnya, seseorang dikatakan jujur ketika dirinya mempraktikkan watak kejujurannya di setiap waktu dan tempat. Ia tak memilihmilih waktu dan tempat, de ngan bermaksud riya' atau ingin dipuji orang lain. Artinya, kapan pun dan di mana pun, ia tetap berwatak jujur kepada Tuhan, orang lain, dan terutama, diri sendiri.

Pendek kata, krisis moral bisa diatasi dengan pembinaan watak. Dalam lingkup sekolah, misalnya, pembinaan watak dapat diterapkan melalui pengajaran Bahasa dan Sastra Indonesia (disingkat pengajaran sastra). Artinya, pengajaran sastra yang berdimensi moral. Namun, pertanyaannya, bisakah pengajaran sastra kita mengemban tugas suci nan berat itu? Jika ya, upaya apa-apa saja yang bisa dilakukan guru di kelas, agar nilai-nilai moral mudah dipahami oleh para siswa?

Sejatinya, pengajaran sastra mampu dijadikan sebagai pintu masuk dalam penanaman nilai-nilai moral. Nilai-nilai moral, seperti kejujuran, pengorbanan, demokrasi, santun, dan sebagainya, banyak ditemukan dalam karya-karya sastra. Baik puisi, cerita pendek, novel, maupun drama. Bila karya sastra itu dibaca, dipahami isi dan maknanya, serta ditanamkan pada diri siswa, saya yakin, siswa kita makin menjunjung nilai-nilai moral. Tapi kenyataannya?

Jujur diakui, siswa kita masih jauh dari sikap moral yang baik. Dari segi tindak tutur, mereka cenderung kasar dan tidak santun kepada gurunya. Dari segi akhlak (Islam), mereka berbuat pelanggaran, seperti merokok di bulan Ramadhan. Dari segi ketertiban, mereka suka membolos dari sekolah, jajan di waktu sembarangan, dan suka ugal-ugalan membawa kendaraan bermotor. Dalam bahasa pokrol, mereka berbuat a-moral. Ironisnya, perbuatan mereka cenderung merugikan diri sendiri dan orang lain.

Terkait itu, pembinaan watak siswa menjadi tanggung jawab semua elemen sekolah. Dari kepala sekolah, guru, pihak BK, OSIS, hingga siswa sendiri. Hanya saja, proses pembinaan watak bukanlah proses sekali jadi. Kita pun butuh waktu yang lama guna mengubah watak siswa yang awalnya amoral menjadi bermoral. Pengajaran sastra di sekolah mungkin dapat mengatasi hal tersebut. Namun, sungguh ironis, pengajaran sastra kita umumnya masih kurang greget karena masih menggunakan paradigma lama. Bahkan penyair senior, Taufiq Ismail mengata kan, siswa SMU Indonesia tidak satu pun ada buku wajib sastra yang dibaca. Arti nya, siswa SMU kita itu nol judul. Ban ding kan dengan negara lain yang buku sastra wajib bacanya berkisar 5 hingga 32 judul buku.

Jika kita bercermin pada masa lalu, di zaman AMS Hindia Belanda, siswa diwajibkan membaca buku sastra 25 judul bagi AMS Hindia Belanda-A dan 15 judul bagi AMS Hindia Belanda-B. Berarti kita mengalami penurunan! Padahal, kurangnya siswa belajar sastra justru mengaki bat kan siswa kita makin jauh dari nilai-nilai moral. Akibatnya, ketika mereka dewasa, mereka juga bertindak yang jauh dari nilai-nilai moral dan agama seperti yang terjadi dewasa ini.

Padahal, pengajaran sastra memiliki peran bagi pemupukan kecerdasan siswa dalam semua aspek, termasuk moral. Melalui apresiasi sastra, misalnya, kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritual siswa dapat dilatih, serta dikembangkan. Siswa tak hanya terlatih untuk membaca saja mampu mencari makna dan nilai-nilai dalam sebuah karya sastra. Bukankah dalam setiap karya sastra terkandung tiga muatan: imajinasi, pengalaman, dan nilai-nilai?

Karena itu, apresiasi sastra yang baik seyogianya relevan dengan empat keterampilan berbahasa, yakni menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Jika itu terwujud, saya yakin, siswa dapat mempertajam perasaan, penalaran, daya khayal, serta kepekaan terhadap masyarakat, budaya, dan lingkungan hidup. Dengan membaca karya sastra, diharapkan sejumlah nilai-nilai moral bisa dipahami, serta dipraktikkan siswa, baik di sekolah, rumah, maupun masyarakatnya.

Namun begitu, upaya di atas tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Saya kira, apresiasi sastra akan tumbuh bilamana guru Bahasa dan Sastra Indonesia juga menyukai sastra. Tapi, umumnya banyak guru yang kurang menyukai sastra. Bahkan, tak jarang guru hanya berbekal karya sastra yang ia peroleh pada saat mereka berkuliah (S1). Bahkan tak jarang pula, masih ada guru yang bingung memilih bahan ajar yang tepat, menyenangkan, dan bermanfaat bagi para siswanya.

Karena itu, saran yang mujarab ialah guru harus memiliki minat baca karya sastra yang tinggi. Dalam penyampaian materi pun dapat digunakan karya-karya populer yang dekat dengan kehidupan anak didik. Karya-karya populer atau bertema remaja yang diminati, misalnya, dapat menjadi pintu masuk untuk menikmati sastra. Begitu juga dengan sastra yang diterbitkan di koran, juga dapat digunakan. Mudah-mudahan apresiasi sastra dapat terwujud dan mengatasi krisis moral.

0 comments:

 

WHEN SUHENG TALK... Template by Ipietoon Cute Blog Design