Republika, Sabtu, 07 Februari 2009
Oleh: KH Didin Hafidhuddin
Guru Besar IPB, Direktur Pascasarjana UIKA Bogor dan Ketua Umum BAZNAS)
Salah satu fatwa yang dihasilkan oleh Komisi Fatwa MUI dalam sidangnya yang ke III di Padang Panjang (24-26 Januari 2009 yang lalu) adalah tentang hukum rokok, yaitu haram dan makruh.Penulis sendiri yang mengikuti sidang tersebut, merasa bersyukur karena mayoritas ulama berpendapat bahwa merokok itu haram, sedangkan minoritas menyatakan makruh. Para ulama yang menyatakan makruh, artinya berpendapat bahwa merokok itu sebaiknya dan seyogyanya ditinggalkan. Kenapa merokok itu harus ditinggalkan? Karena madlorotnya jauh lebih banyak dan lebih besar daripada manfaatnya, dan terlebih lagi terhadap generasi muda.
Di Indonesia, disinyalir sekitar 44 persen perokok aktif merupakan kelompok muda yang berusia 10-19 tahun dan 37 persen di antara mereka berusia 20-29 tahun. Artinya, sebagian besar perokok pemula di Negara ini berasal dari kalangan pemuda, pelajar dan tentunya mahasiswa – kalangan yang merupakan usia produktif dalam perspektif pembangunan (Satunet.com, 6/9/2001). Diperkirakan sekitar 85 juta penduduk Indonesia usia remaja saat ini akan menjadi perokok berat. Dengan tingkat pertumbuhan perokok yang sangat cepat ini, Indonesia diperkirakan akan mencapai rekor dunia sebagai negara dengan jumlah perokok pemula terbesar di dunia, melengkapi deretan sejumlah 'gelar dunia' lain yang telah diperoleh selama ini. (Kutipan dari berbagai mailing list).
Menurut Bank Dunia (World Bank), golongan masyarakat yang termasuk miskin adalah kelompok 40 persen terbawah dalam struktur distribusi pendapatan suatu masyarakat, sementara 40 persen pada bagian tengah merupakan kelompok middle class, dan 20 persen lebihnya adalah kelompok kaya. Untuk konteks Indonesia, kelompok 40 persen terbawah merupakan golongan yang mayoritas, sementara 4o persen kelompok middle sementara berjuang untuk bisa tetap eksis di tengah buruknya iklim perekonomian bangsa saat ini. Dalam pada itu, jumlah perokok aktif di Indonesia saat ini berkisar 70 persen dari total penduduk atau sekitar 141 juta jiwa. Sebagian besar di antara mereka adalah kelompok miskin.
Kerentanan kelompok miskin dari implikasi ekonomi, social maupun kesehatan, menjadi perhatian tersendiri dalam kaitannya dengan besaran jumlah perokok aktif di kalangan mereka. Pada tahun 1990 saja, kerugian masyarakat akibat merokok yang tercatat adalah sekitar 14,5 trilyun. Angka ini belum termasuk kerugian pemerintah atas pemakaian fasilitas perobatan dan pelayanan kesehatan oleh perokok aktif yang menderita sakit akibat komplikasi merokok.
Besarnya kerugian ini sangat tidak berimbang dengan jumlah pendapatan pemerintah dari cukai rokok yang hanya 2,6 trilyun rupiah. Sementara jika dikalkulasi, angka belanja rokok masyarakat perokok Indonesia tahun 1990 mencapai Rp 100 trilyun, sangat kontras jika dibandingkan dengan volume belanja obat-obatan yang hanya sebesar 20 trilyun rupiah (Dirjen Yankesfar Depkes; 1990). Keprihatinan semakin bertambah jika kita memeperhatikan rasio antara angka tingkat belanja rokok masyarakat kita dengan tingkat pembelian buku dan surat kabar (pendidikan) yang mencapai 47: 2 (Sidjatmokok; 2000).
Fenomena ini bukan saja menggambarkan konsentrasi perokok hanya di kalangan kaum miskin dan minim kesadaran pendidikan saja, tetapi juga sekaligus menjelaskan bahwa tingkat kerugian masyarakat dan pemerintah akibat rokok jauh tidak proporsional disbanding keuntungan ekonomi yang melandasi peredaran industri rokok di Indonesia. (Dari beberapa Mailing List).
Kebiasaan merokok terbukti berkaitan dengan sedikitnya 25 jenis penyakit yang dapat mengenai berbagai organ tubuh manusia. Sebagian besar kematian akibat kebiasaan merokok disebabkan oleh kanker paru, penyakit paru obstruksi kronik (PPOK), dan penyakit-penyakit karsinogenik lainnya. Tentunya, sejumlah keluhan klinis dan rasa ketidaknyamanan hidup (living discomfort) mengawali perjalanan penyakit-penyakit di atas. Konsekuensinya, semua ini membutuhkan biaya pemeriksaan dan perawatan kesehatan sebelum benar-benar "sakit" akibat kebiasaan merokok. Lazimnya, pengeluaran biaya terbesar terjadi pada proses perkembangan penyakit seperti ini.
Khusus untuk keluarga miskin, prioritas hidup keluarga mereka akhirnya akan terbagi: antara upaya "bertahan hidup" dan ikhtiar untuk "mengobati" si sakit. Dilema ini semakin diperparah oleh realitas sebagian besar perokok di kalangan miskin adalah tulang punggung dalam pencarian nafkah keluarga serta masih dalam usia produktif, mungkin ayah atau anak laki-laki yang ada dalam keluarga tersebut.
Dominasi masalah akibat kebiasaan merokok pada kaum miskin telah mengakibatkan kemiskinan struktural yang selama ini menggejala, perlahan bermetamorfosis menjadi kemiskinan sirkuler, artinya kaum miskin yang dilanda musibah akibat merokok akan semakin bertambah miskin jika diperhadapkan dengan realitas seperti di atas. Selanjutnya, beragam masalah social lain memperoleh "legalisasi" untuk muncul sebagai bentuk "kompensasi" ekonomi keluarga pasien yang sakit kronik.
Lebih ironis lagi jika kita coba mengingat bahwa tingkat pendidikan dan kualifikasi sumber daya manusia (SDM) sebagian besar mereka yang sangat rendah. Pada akhirnya, semua akan berakhir tragis: pasien akan meninggal akibat tidak mendapat perawatan kesehatan adekuat karena minim biaya, dan keluarga pasien akan kembali terjebak dalam kemiskinan yang jauh lebih berat daripada sebelumnya akibat kehilangan tenaga pencari nafkah dan kehabisan harta akibat biaya perawatan kesehatan si sakit sebelum meninggal. (Dari beberapa Mailing List).
Harapan
Karena fatwa Komisi Fatwa MUI tersebut sudah jelas merekomendasikan bahwa merokok adalah perbuatan sia-sia, mubadzir dan merusak, sehingga seharusnya (haram) dan sebaiknya (makruh) ditinggalkan, maka ada beberapa harapan yang kita sampaikan kepada pemerintah maupun juga kepada masyarakat: Kepada Depdiknas agar mengeluarkan larangan merokok bagi seluruh siswa sekolah (dalam semua tingkatannya) termasuk larangan merokok bagi para guru dan pendidiknya.
Agar seluruh unsur pondok pesantren (para ustadz dan para santri) dan seluruh majelis ta'lim meninggalkan kebiasaan merokok. Para ustadz dan para Kyai adalah contoh dan panutan bagi masyarakat.Agar pemerintah pusat dan daerah, melalui instansi terkait, menertibkan iklan rokok, yang sekarang ini banyak terdapat di mana-mana, termasuk di televisi.Agar pemerintah pusat maupun daerah memberikan solusi pekerjaan yang lebih bersih dan halal bagi karyawan maupun buruh pabrik-pabrik rokok.
Wallahu A'lam bi ash-Shawab.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment