KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN / Kompas Images
Sebanyak 1.500 siswa dan orangtua siswa peserta ujian nasional di SMU Negeri I Kepanjen, Kabupaten Malang, Jawa Timur, Jumat (18/4), mengikuti istighotsah menjelang pelaksanaan ujian nasional.
Minggu, 11 Mei 2008 | 01:41 WIB
Budi Suwarna dan Ilham Khoiri
Kekisruhan dalam ujian nasional belakangan mungkin mencerminkan sikap bangsa yang kerap hipokrit. Di satu sisi, pemerintah ngotot mematok standar kelulusan sebagai cermin peningkatan mutu pendidikan nasional. Saat bersamaan, standar itu dicapai dengan berbagai trik, tipu muslihat, atau lewat ”perang gerilya” yang melibatkan para guru.
Maya (nama samaran) tertawa sinis setiap kali mendengar pejabat mengklaim ujian nasional (UN) berlangsung sukses dan angka kelulusan tinggi. Soalnya, dia tahu benar, betapa ”sukses” itu diraih bukan melalui proses belajar-mengajar di sekolah, melainkan lewat ”perang gerilya” yang dilakoni para guru.
Guru sebuah SMA swasta di Jakarta itu mengungkapkan, hampir semua sekolah di rayonnya menyiapkan berbagai strategi ”perang gerilya” untuk memberikan contekan kepada siswa. Tahun ini Maya mengaku masuk dalam ”pasukan gerilya” bersama beberapa guru lain.
Saat hari-hari ujian, dia datang ke sekolah sekitar pukul 04.30. Mirip ”operasi subuh”. Begitu soal datang, ada guru yang bertugas merusak segel dan mengambil beberapa berkas soal untuk dikerjakan bersama-sama. ”Kami hanya punya waktu sekitar 30 menit untuk menyelesaikan soal sebelum pengawas datang,” ujarnya.
Bocoran jawaban itu lantas dibagikan kepada para siswa sebelum memasuki ruang ujian. ”Kadang, bocoran jawaban kami letakkan di WC. Nanti, ada siswa yang akan mengambil jawaban itu dan menyebarkannya kepada teman-temannya,” ujarnya.
Di sekolah lain, kata Maya, ada beberapa siswa terpilih yang dilibatkan dalam ”perang gerilya”. Setelah mendapat bocoran jawaban, dia bertugas mendistribusikannya kepada siswa lainnya.
”Perang gerilya” ini berlangsung sistematis dengan strategi yang matang dan terus diperbarui setiap tahun. Selama ini aman-aman saja. Maklum, sebelum UN, sejumlah sekolah di wilayahnya sudah bersepakat untuk saling tutup mata. ”Pengawas juga sudah tahu sama tahu. Yang penting, operasinya tidak menyolok,” katanya.
Di luar Jakarta, ”perang gerilya” juga terjadi di Sumatera Utara. Namun, entah karena strateginya tidak canggih, operasi itu tercium Detasemen Antiteror 88. Akibatnya, para guru yang terlibat pun digerebek ketika sedang membetulkan lembar jawaban milik siswa.
Berbagai tekanan
Pembocoran jawaban atau berbagai kecurangan lain sebenarnya terjadi hampir secara massal dan bukan dilandasi motif uang. Banyak pihak sadar, perbuatan itu jelas tidak mendidik. Para guru berani berbuat curang lantaran ingin menyelamatkan siswa yang hanya menjadi korban sistem yang bermasalah.
”Kalau tak lulus, mereka tidak dapat ijazah. Padahal, ijazah perlu untuk cari kerja di pabrik,” ujar Maya. Memang, sebagian besar siswa di sekolah itu berasal dari golongan menengah ke bawah yang tidak mampu melanjutkan kuliah.
Di luar pertimbangan itu, pembocoran juga dilakukan untuk mempertahankan prestise sekolah. Semakin banyak siswa gagal ujian, para guru semakin khawatir sekolahnya tak diminati lagi oleh para orangtua. Jika itu terjadi, sekolah bisa ditutup dan guru kehilangan kerja.
Terakhir, kecurangan itu dilakukan demi menyelamatkan muka pejabat. Sudah jadi rahasia umum, menteri, gubernur, bupati, wali kota, sampai kepala dinas pendidikan di kabupaten/kota mematok target kelulusan UN yang tinggi. Para pejabat di bawahnya semakin rajin menekan sekolah agar mencapai target itu, bagaimanapun caranya.
Iwan Hermawan, Sekretaris Jenderal Federasi Guru Independen Indonesia (FGII) mengatakan, saat ini guru benar-benar tertekan. Banyak orangtua yang tidak mau tahu, anaknya harus lulus karena merasa telah keluar banyak uang. Begitulah, Si Umar Bakri yang sudah tertekan oleh gaji yang minim, semakin terbebani oleh pejabat dan sistem. ”Alhamdulillah, hingga kini tidak ada guru yang bunuh diri karena UN,” ujar Iwan.
Dia mengatakan, ”perang gerilya” yang dilakukan para guru sebenarnya adalah bentuk perlawanan paling sederhana terhadap sistem.
Cobaan berat
Sekolah umumnya sadar, persiapan agar lulus UN memang tak cukup hanya mengandalkan belajar biasa. Soal-soal ujian kerap terlalu sulit untuk dikerjakan siswa biasa. Karena itu, para siswa didorong untuk menjalani berbagai macam pelajaran tambahan: try out (TO), bimbingan belajar (bimbel), simulasi ujian, sampai pendalaman materi (PM).
Dewi Fitri (15), siswa SMPN di Bandung, misalnya, mengaku menghabiskan 20 jam sehari untuk berlatih mengerjakan soal. Mulai pukul 07.00 sampai 17.30, dia suntuk belajar dan mengikuti pemantapan materi di sekolah. Sore hingga malam, dia masih belajar lagi.
Setelah bangun pukul 03.00 pun, dia meneruskan belajar. Di luar itu, dia ikut les bimbingan belajar. Di sana, dia mengunyah-ngunyah rumus menjawab soal atau jurus tebak jawaban. Pokoknya capek deh!
Belum yakin dengan berbagai persiapan ujian secara rasional, banyak sekolah yang akhirnya mendorong siswa untuk menempuh jalan spiritual. Tujuannya, menggembleng mental siswa agar lebih tenang. Maka, kini banyak sekolah yang punya tren baru, yaitu menyelenggarakan istighotsah, kegiatan doa bersama yang biasa dijalani umat Islam untuk meminta pertolongan Tuhan dari cobaan yang berat.
Tren ini dijalani hampir di semua sekolah, mulai dari sekolah pinggiran sampai sekolah unggulan seperti SMAN 31 Jakarta. Sekolah ini menggelar istighotsah satu minggu sebelum ujian. Sebanyak 435 siswa dan sejumlah guru sekolah unggulan ini menginap di sekolah.
Dini hari, mereka dibangunkan dan diajak mengerjakan shalat tahajud, zikir, muhasabah (introspeksi diri), shalat taubat (mohon ampun kepada Tuhan), dan berdoa bersama. ”Banyak siswa yang mencium kaki orangtuanya setiba di rumah (untuk minta ampun),” kata Humas SMAN 31, Saur Hurabarat.
Istighotsah juga dilakukan di SMK Jakarta Pusat I. Begitu pula sejumlah sekolah di Bandung, seperti SMAN 9 dan SMPN 53. Lewat laku spiritual ini, diharapkan siswa lebih siap mental untuk menghadapi soal-soal ujian yang sulit sekalipun. Tentu, mereka juga berharap Tuhan berkenan melempangkan jalan agar siswa lulus ujian.
Bukannya tak menghargai istighotsah. Tetapi, fenomena ini menunjukkan, betapa sakralitas pendidikan telah bergeser dari krida untuk menggembleng ilmu pengetahuan ke wilayah spiritual. ”Menghadapi UN hampir tidak ada bedanya dengan menghadapi bencana. Siswa begitu putus asa sampai-sampai harus ber-istighotsah,” kata Iwan Hermawan.
UN baru saja dilalui. Setelah hari-hari yang berat itu, kini para siswa dan guru sedang ”deg-degan” menunggu hasil ujian yang bakal diumumkan pada pertengahan Juni nanti. ”Sekarang kami serahkan semuanya kepada kehendak Tuhan,” kata T Iskandar, guru agama SMK Jakpus I, dengan mimik penuh permohonan. (Yulvianus Harjono/ Yenti Aprianti)
Tuesday, July 8, 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment