HAKIKAT pendidikan adalah "memanusiakan manusia". Rasullullah saw., dalam hadistnya bersabda, "Bahwa setiap anak yang dilahirkan adalah dalam keadaan fitrah, orang tualah yang akan menjadikan dia seorang yahudi, nasrani maupun seorang majus".
Erat kaitannya dengan pendidikan di Indonesia, kini mulai hangat kembali dengan datangnya kurikulum baru bernama Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) yang selama ini masih hangat tidak kita ketahui secara pasti apa penyebab kegagalannya kalau boleh dikatakan seperti itu.
Hal menarik bagi kita tentunya sebagai guru adalah apa sesungguhnya yang terjadi pada dunia pendidikan di Indonesia sehingga perubahan kurikulum begitu cepat? Lalu, sejauh mana para guru dan kepala sekolah serta komponen stakeholders menyiapkan diri dengan datangnya perubahan ini?
Tentu tidak ingin kita mendengar pertanyaan negatif yang menunjukkan pesimisme implementasi di lapangan. Atau, tidak ada perubahan cara pandang sekaligus reformasi cara pembelajaran tidak terjadi pada guru maupun kepala sekolah. Kurikulum ada, namun disikapi dengan pola lama. Mengajar dikejar target dan kurikulum adalah apa yang ada dalam kepala guru.
Dalam glosarium (Puskur 2006) pengertian KTSP didefinisikan sebagai kurikulum operasional yang disusun oleh dan dilaksanakan di masing-masing satuan pendidikan. Salah satu prinsip pengembangan KTSP di antaranya kurikulum dikembangkan berdasarkan prinsip-prinsip yang berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik dan lingkungannya.
Berangkat dari tujuan pendidikan tingkat satuan pendidikan disebutkan meletakkan dasar kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut. Sungguh amat mulia tujuan ini.
Konsep "memanusiakan manusia" terbaca dalam rumusan yang telah dibuat oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) tersebut. Pendidikan yang mengintegrasikan semua potensi anak didik, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta ketrampilan hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut, jelas membutuhkan tenaga pengajar yang mempunyai integrasi dan komitmen tinggi. Komitmen agar adik didik sukses.
Pendidikan nilai istilah yang dikembangkan sekarang dengan pendidikan karakter (Ratna Megawati, 2004) menjadi target kita bersama yakni lulusan yang kita harapkan. Peserta didik yang mempunyai karakter kuat dalam keilmuan sebagai seorang pembelajar selamanya, berkepribadian dan berakhlak mulia.
Pendidikan karakter yang menanamkan nilai-nilai moral sebagai fondasi bagi terbentuknya generasi yang akan menjadi pemimpin rahmatan lil-alamin (rahmat alam semesta). Saatnya kita meninggalkan metode lama mengajar yang hanya sekadar melaksanakan tuntutan tugas dan mengejar target kurikulum semata sehingga tak ada idealisme menjadi seorang guru.
Tinggalkan mengajar tanpa dilandasi hakikat dari mengajar itu sendiri. Mengubah paradigma dan cara berpikir ini tentu bukan hal gampang. Guru dituntut untuk kembali seperti yang Ki Hajar Dewantara katakan yakni seorang yang ing ngarso sing tulodo, ing madyo mangun karso, dan tut wuri handayanai. Guru dituntut bukan hanya mengajar, tapi mendidik.
Optimisme harus selalu ada. Setelah penggembelengan di Ramadan ini kita diingatkan kembali oleh Rasulullah saw. dalam hadisnya,"Jika anak Adam meninggal dunia, putuslah segala amalnya kecuali tiga hal, sedekah jariah, anak yang saleh yang mendoakan kedua orang tuanya, serta ilmu yang diamalkan".
Semoga, amanah pendidikan yang dibebankan kepada pundak kita sebagai guru dimaknai sebagai investasi jangka panjang. Investasi akhirat ketika anak-anak kita berhasil menjadi manusia yang mempuyai nilai-nilai moral yang akan membentuk karakter berupa akhla mulia yang di dalamnya ada campur tangan kita. Amin.
Selamat datang KTSP! ***
Penulis, guru dan staf Litbang SMP Salman Al-Farisi dan mahasiswa S-2 UPI Bandung.
0 comments:
Post a Comment