Monday, September 24, 2007

Jangan Remehkan Pengasuhan Otak Anak

oleh: Ratna Megawangi
(8 Juni 2007)


Tiga tahun pertama adalah membangun fondasi struktur otak. Perilaku manusia yang ada di bumi ini, semuanya dikendalikan oleh organ tubuh yang bernama otak. Peran otak inilah yang membuat sifat manusia berbeda-beda. Bila diteliti lebih jauh, ternyata perbedaan perilaku tersebut sejalan dengan berbedanya struktur komposisi otak manusia.

Menurut pendiri dan Direktur Eksekutif Indonesia Heritage Foundation (IHF), Ratna Megawangi, bagian-bagian otak mempunyai fungsi masing-masing. Karenanya, stimulasi atau rangsangan terhadap bagian-bagian otak tersebut sangat mempengaruhi karakter diri yang mengendap dalam diri seseorang. Sama halnya seperti tumbuhan, otak juga berkembang dan tumbuh sejak saat anak berada dalam kandungan sang ibu, usia awal kelahiran, sampai dewasa. Kendati demikian, stimulasi terhadap otak pada anak usia 0-7 tahun merupakan fase penting dalam pembentukan karakter seseorang. "Di usia inilah rangsangan pada otak akan mengendap dan memberikan dampak permanen terhadap karakter anak," ujar Ratna pada acara seminar dan workshop Pendidikan Karakter Melalui Brain Based Parenting (Pola Asuh Ramah Otak) di Jakarta, beberapa waktu lalu.

Dengan latar belakang tersebut, istri Menteri Negara BUMN Sofyan Djalil ini, mengatakan, kunci membangun karakter anak adalah mengembangkan struktur otak secara optimal sejak usia dini. "Karenanya para orang tua harus mempunyai pemahaman yang benar tentang pola asuh yang ramah otak." Dikatakan, perkembangan otak 95 persen terjadi pada usia di bawah tujuh tahun. Masa tiga tahun pertama adalah membangun fondasi struktur otak yang berdampak permanen bagi karakter seseorang. Menurut Ratna, semua pengalaman masa usia dini memegang kunci penting dalam membangun fondasi dan semua kemampuan otak. Inilah sebabnya mengapa orang tua harus melindungi anak-anaknya terhadap lingkungan yang buruk.

Apabila lingkungan anak tidak bagus, misal penuh kekerasan, tidak ada stimulasi (sosial, emosi, motorik, dan kognitif), maka semua potensi yang sejatinya dimiliki semua anak, menjadi tidak berkembang. Sebaliknya, apabila lingkungan anak aman, penuh kasih sayang, dan kaya dengan stimulasi, maka semua potensi anak akan berkembang optimal. "Semua stimulasi inilah yang akan direspons otak dan direkam secara permanen untuk menanggapi situasi serupa di kemudian hari," imbuh Ratna. Para orang tua, lanjut pemegang gelar doktor (PhD) dari Tufts University School ini, menjadi subjek penting dalam membentuk perilaku anak, baik negatif maupun positif.

Anak-anak yang mengalami stress, kekerasan fisik atau seksual, maka pembentukan sinyal di otaknya (synapse) akan terfokus pada bagian otak yang merespons ancaman dari lingkungannya. Anak yang stress akan membentuk perilaku bertahan dan menyelamatkan diri, kemudian otak yang terus distimulasi menjadi dominan untuk menyerang atau lari, bertahan, selalu waspada terhadap lingkungan, dan berakibat pada sikap sombong/minder serta manipulatif/pembohong.
Untuk mencegah anak tidak stress, Ratna pun menyarankan agar para orang tua jangan terlalu banyak melarang anak terhadap hal-hal yang tidak terlalu prinsip. Misalnya saat anak bermain kotor-kotoran. "Biarkan anak bermain kotor-kotoran, yang penting dia gembira," ujar Ratna. Anak yang banyak dilarang melakukan sesuatu yang dia senangi, cenderung membuat kepribadian yang stress.

Pola pendidikan di sekolah juga memegang peranan penting bagi pertumbuhan karakter anak. Ratna menuturkan, sekolah yang terlalu banyak memberikan pekerjaan rumah dan menerapkan sistem evaluasi proses belajar dengan nilai angka-angka, membuat anak belajar dengan beban. "Akibatnya, banyak sekolah justru menjadikan anak-anak stress. Dia tidak bisa fun dalam proses belajarnya." Orang tua pun harap memperhatikan keseimbangan stimulasi terhadap otak kanan dan otak kiri. Sejak usia dua tahun, anak sudah mulai mengetahui mana hal yang benar dan mana hal yang salah.

Dengan melibatkan feeling, yang merupakan domain otak kanan, bersamaan dengan stimulasi pengetahuan baik dan buruk yang merupakan domain otak kiri, perkembangan otak anak menjadi seimbang. "Sehingga anak pun tumbuh menjadi pribadi yang tidak hanya cerdas, tapi juga bermoral dan unggul," tandas Ratna. Sembilan Pilar Mendidik anak dalam lingkungan yang aman, penuh kasih-sayang, dan kaya rangsangan sikap-sikap positif, masih kata Ratna, hendaknya dilakukan dengan orientasi dan pijakan yang benar.

Setidaknya ada sembilan pilar karakter yang bisa dijadikan panduan bagi orang tua untuk membentuk kepribadian anak yang cerdas, bermoral, dan unggul.
Sembilan pilar itu adalah:
pertama, cinta kepada Allah SWT dan semesta beserta isinya. Hal ini bisa diwujudkan dengan sering mengajak anak bepergian ke alam bebas sambil menerangkan dan menjelaskan seluruh benda-benda yang ada di alam.
Pastikan juga anak mengerti kalau semua benda-benda itu ada yang menciptakan dan mengatur keadaan mereka, yaitu Allah SWT.
Pilar kedua, menumbuhkan rasa tanggung jawab, kedisiplinan, dan kemandirian. Cara pendidikan ini tidak perlu seperti pendidikan militer yang diterapkan dengan keras dan penuh paksaan. "Biarkan anak memahami sifat-sifat dari hal-hal yang kecil, seperti membereskan mainan mereka sendiri setelah selesai digunakan atau belajar sikat gigi sendiri sejak kecil," ujar Ratna.
Pilar selanjutnya, yaitu kejujuran. Ajak anak berkata apa adanya, tidak ada yang ditutup-tutupi dan berani mengatakan apa yang dipikirkan atau dirasakannya.
Pilar keempat adalah hormat dan santun. Sikap ini bisa dimulai dengan mengajarkan cara memperlakukan adik atau kakak atau teman main anak-anak sesuai dengan keadaan dan kondisi yang dihadapi.
Pilar kelima yaitu kasih sayang, kepedulian, dan kerja sama. Bisa dirangsang dengan bermain bersama-sama anggota keluarga dengan model permainan membangun bangunan pasir atau membuat rumah-rumahan dari mainan plastik.
Pilar keenam melingkupi percaya diri, kreatif, kerja keras, dan pantang menyerah. Implementasi aspek ini bisa dikembangkan dengan permainan yang dilakukan seperti membentuk karakter pada pilar kelima.
Pilar selanjutnya adalah keadilan dan kepemimpinan. Bisa juga diajarkan melalui membaca atau dibacakan cerita-cerita para raja dan para nabi yang mencerminkan sikap adil dalam memimpin.
Pilar kedelapan dan kesembilan, yaitu sikap baik dan rendah hati serta toleransi, cinta damai, dan persatuan, dapat dipatrikan kepada anak melalui kegiatan bersifat kompetitif dan kreatif yang mengajarkan anak bersikap sportif terhadap apa pun hasil kegiatan tersebut.

Bila ada anak yang lebih baik daripada anak lainnya dalam melakukan sesuatu, yakinkan pada anak kalau semua yang mereka lakukan itu adalah prestasi yang tak ternilai harganya. "Anak tidak perlu diajarkan untuk mengalahkan anak yang lainnya. Nilai pentingnya adalah bagaimana semua anak mampu berbuat optimal sebisa yang mereka lakukan. Hormati apa pun hasil yang mereka raih," tutur Ratna. Bila sembilan pilar ini dijadikan dasar dalam mendidik dan mengasuh otak anak, Ratna yakin, pribadi-pribadi cerdas, unggul, dan bermoral bukan sekadar mimpi di siang bolong. "Ini akan menjadi kenyataan. Dan kita akan melihat bagaimana bangsa ini bangkit setelah bermunculan generasi-generasi yang lahir dari pendidikan yang mengutamakan pendidikan karakter," pungkas Ratna. Fakta Angka 95 persen Perkembangan otak pada usia di bawah tujuh tahun.

0 comments:

 

WHEN SUHENG TALK... Template by Ipietoon Cute Blog Design