Sunday, February 8, 2009

Banyaknya Mudlharat Meroko

Republika, Sabtu, 07 Februari 2009

Oleh: KH Didin Hafidhuddin
Guru Besar IPB, Direktur Pascasarjana UIKA Bogor dan Ketua Umum BAZNAS)

Salah satu fatwa yang dihasilkan oleh Komisi Fatwa MUI dalam sidangnya yang ke III di Padang Panjang (24-26 Januari 2009 yang lalu) adalah tentang hukum rokok, yaitu haram dan makruh.Penulis sendiri yang mengikuti sidang tersebut, merasa bersyukur karena mayoritas ulama berpendapat bahwa merokok itu haram, sedangkan minoritas menyatakan makruh. Para ulama yang menyatakan makruh, artinya berpendapat bahwa merokok itu sebaiknya dan seyogyanya ditinggalkan. Kenapa merokok itu harus ditinggalkan? Karena madlorotnya jauh lebih banyak dan lebih besar daripada manfaatnya, dan terlebih lagi terhadap generasi muda.

Di Indonesia, disinyalir sekitar 44 persen perokok aktif merupakan kelompok muda yang berusia 10-19 tahun dan 37 persen di antara mereka berusia 20-29 tahun. Artinya, sebagian besar perokok pemula di Negara ini berasal dari kalangan pemuda, pelajar dan tentunya mahasiswa – kalangan yang merupakan usia produktif dalam perspektif pembangunan (Satunet.com, 6/9/2001). Diperkirakan sekitar 85 juta penduduk Indonesia usia remaja saat ini akan menjadi perokok berat. Dengan tingkat pertumbuhan perokok yang sangat cepat ini, Indonesia diperkirakan akan mencapai rekor dunia sebagai negara dengan jumlah perokok pemula terbesar di dunia, melengkapi deretan sejumlah 'gelar dunia' lain yang telah diperoleh selama ini. (Kutipan dari berbagai mailing list).

Menurut Bank Dunia (World Bank), golongan masyarakat yang termasuk miskin adalah kelompok 40 persen terbawah dalam struktur distribusi pendapatan suatu masyarakat, sementara 40 persen pada bagian tengah merupakan kelompok middle class, dan 20 persen lebihnya adalah kelompok kaya. Untuk konteks Indonesia, kelompok 40 persen terbawah merupakan golongan yang mayoritas, sementara 4o persen kelompok middle sementara berjuang untuk bisa tetap eksis di tengah buruknya iklim perekonomian bangsa saat ini. Dalam pada itu, jumlah perokok aktif di Indonesia saat ini berkisar 70 persen dari total penduduk atau sekitar 141 juta jiwa. Sebagian besar di antara mereka adalah kelompok miskin.

Kerentanan kelompok miskin dari implikasi ekonomi, social maupun kesehatan, menjadi perhatian tersendiri dalam kaitannya dengan besaran jumlah perokok aktif di kalangan mereka. Pada tahun 1990 saja, kerugian masyarakat akibat merokok yang tercatat adalah sekitar 14,5 trilyun. Angka ini belum termasuk kerugian pemerintah atas pemakaian fasilitas perobatan dan pelayanan kesehatan oleh perokok aktif yang menderita sakit akibat komplikasi merokok.

Besarnya kerugian ini sangat tidak berimbang dengan jumlah pendapatan pemerintah dari cukai rokok yang hanya 2,6 trilyun rupiah. Sementara jika dikalkulasi, angka belanja rokok masyarakat perokok Indonesia tahun 1990 mencapai Rp 100 trilyun, sangat kontras jika dibandingkan dengan volume belanja obat-obatan yang hanya sebesar 20 trilyun rupiah (Dirjen Yankesfar Depkes; 1990). Keprihatinan semakin bertambah jika kita memeperhatikan rasio antara angka tingkat belanja rokok masyarakat kita dengan tingkat pembelian buku dan surat kabar (pendidikan) yang mencapai 47: 2 (Sidjatmokok; 2000).

Fenomena ini bukan saja menggambarkan konsentrasi perokok hanya di kalangan kaum miskin dan minim kesadaran pendidikan saja, tetapi juga sekaligus menjelaskan bahwa tingkat kerugian masyarakat dan pemerintah akibat rokok jauh tidak proporsional disbanding keuntungan ekonomi yang melandasi peredaran industri rokok di Indonesia. (Dari beberapa Mailing List).

Kebiasaan merokok terbukti berkaitan dengan sedikitnya 25 jenis penyakit yang dapat mengenai berbagai organ tubuh manusia. Sebagian besar kematian akibat kebiasaan merokok disebabkan oleh kanker paru, penyakit paru obstruksi kronik (PPOK), dan penyakit-penyakit karsinogenik lainnya. Tentunya, sejumlah keluhan klinis dan rasa ketidaknyamanan hidup (living discomfort) mengawali perjalanan penyakit-penyakit di atas. Konsekuensinya, semua ini membutuhkan biaya pemeriksaan dan perawatan kesehatan sebelum benar-benar "sakit" akibat kebiasaan merokok. Lazimnya, pengeluaran biaya terbesar terjadi pada proses perkembangan penyakit seperti ini.

Khusus untuk keluarga miskin, prioritas hidup keluarga mereka akhirnya akan terbagi: antara upaya "bertahan hidup" dan ikhtiar untuk "mengobati" si sakit. Dilema ini semakin diperparah oleh realitas sebagian besar perokok di kalangan miskin adalah tulang punggung dalam pencarian nafkah keluarga serta masih dalam usia produktif, mungkin ayah atau anak laki-laki yang ada dalam keluarga tersebut.

Dominasi masalah akibat kebiasaan merokok pada kaum miskin telah mengakibatkan kemiskinan struktural yang selama ini menggejala, perlahan bermetamorfosis menjadi kemiskinan sirkuler, artinya kaum miskin yang dilanda musibah akibat merokok akan semakin bertambah miskin jika diperhadapkan dengan realitas seperti di atas. Selanjutnya, beragam masalah social lain memperoleh "legalisasi" untuk muncul sebagai bentuk "kompensasi" ekonomi keluarga pasien yang sakit kronik.

Lebih ironis lagi jika kita coba mengingat bahwa tingkat pendidikan dan kualifikasi sumber daya manusia (SDM) sebagian besar mereka yang sangat rendah. Pada akhirnya, semua akan berakhir tragis: pasien akan meninggal akibat tidak mendapat perawatan kesehatan adekuat karena minim biaya, dan keluarga pasien akan kembali terjebak dalam kemiskinan yang jauh lebih berat daripada sebelumnya akibat kehilangan tenaga pencari nafkah dan kehabisan harta akibat biaya perawatan kesehatan si sakit sebelum meninggal. (Dari beberapa Mailing List).

Harapan
Karena fatwa Komisi Fatwa MUI tersebut sudah jelas merekomendasikan bahwa merokok adalah perbuatan sia-sia, mubadzir dan merusak, sehingga seharusnya (haram) dan sebaiknya (makruh) ditinggalkan, maka ada beberapa harapan yang kita sampaikan kepada pemerintah maupun juga kepada masyarakat: Kepada Depdiknas agar mengeluarkan larangan merokok bagi seluruh siswa sekolah (dalam semua tingkatannya) termasuk larangan merokok bagi para guru dan pendidiknya.

Agar seluruh unsur pondok pesantren (para ustadz dan para santri) dan seluruh majelis ta'lim meninggalkan kebiasaan merokok. Para ustadz dan para Kyai adalah contoh dan panutan bagi masyarakat.Agar pemerintah pusat dan daerah, melalui instansi terkait, menertibkan iklan rokok, yang sekarang ini banyak terdapat di mana-mana, termasuk di televisi.Agar pemerintah pusat maupun daerah memberikan solusi pekerjaan yang lebih bersih dan halal bagi karyawan maupun buruh pabrik-pabrik rokok.
Wallahu A'lam bi ash-Shawab.

Fatwa Haram Rokok MUI

Republika, Sabtu, 07 Februari 2009
Oleh Ismatillah A. Nu'ad
Associate Kantata Research Indonesia)

Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentang haram rokok bagi anak-anak, pelajar, dan remaja mendapat reaksi dari sejumlah pihak, terutama dari kalangan yang memiliki kepentingan langsung secara ekonomis dengan bisnis rokok, seperti pengusaha rokok dan petani tembakau. Namun, fatwa MUI didukung sepenuhnya oleh Komisi Perlindungan Anak dan Departemen Kesehatan serta elemen masyarakat yang pro terhadap kesehatan dan generasi muda.

Seperti fatwa-fatwa MUI lainnya, fatwa rokok juga menyulut polemik dan kontroversi di tengah-tengah masyarakat. Akan tetapi, fatwa rokok memang penting dikeluarkan, mengingat sudah menjadi isu global, sama halnya dengan isu perubahan iklim (climate change). Pada umumnya, kesadaran masyarakat Indonesia atau kaum Muslim khususnya tentang kepedulian akan kesehatan dan lingkungan hidup sangatlah minim. Padahal, dampak bahaya dari rokok sudah secara zahir diketahui oleh kaum awam sekalipun. Selain merusak kesehatan, seperti penyakit jantung, stroke, dan sebagainya; rokok juga berpengaruh terhadap kesehatan janin yang asapnya terhirup ibu-ibu hamil. Yang lebih berbahaya lagi, rokok adalah pintu gerbang menuju narkoba dan kemaksiatan lainnya.

Kecanduan akan rokok telah menjangkiti anak-anak remaja, bahkan yang masih belia sekalipun. Karena itulah, fatwa MUI penting untuk dikeluarkan. Pada kasus di Indonesia, perokok dapat mudah dijumpai dalam pergaulan anak-anak kampus, pelajar SMU, bahkan pelajar SMP. Umumnya, dalam kasus itu, merokok bukan karena kebutuhan, melainkan ikut-ikutan dan gaya. Mereka kurang peka terhadap dampak dan bahayanya. Padahal, merokok juga dapat menjerumuskan mereka pada narkoba dan tindakan kriminal lainnya, seperti tawuran yang sudah tidak asing lagi dialami kaum terpelajar.

Melihat fakta yang sudah umum semacam itu, MUI bisa dibilang tidak salah jika memfatwakan pengharaman rokok, terutama bagi bagi anak-anak, pelajar, dan remaja. Fatwa MUI relevan dengan isu yang dikembangkan lembaga dunia, seperti WHO yang sudah lama berkampanye tentang bahaya rokok dan tembakau bagi kesehatan masyarakat. Belakangan, WHO juga turut membantu mendanai gerakan anti-tembakau sedunia. Tak ketinggalan, Bill Gates dan beberapa miliarder dunia lainnya turut menyumbang untuk gerakan itu.

Dalam kitab klasik, Bughiyatul Mustarsyidin, seorang ulama klasik Islam pernah menulis asal muasal tembakau yang kemudian dijadikan bahan utama rokok. Dikisahkan, tembakau adalah sebuah tumbuhan yang muncul atau dipicu dari air seninya setan. Menurut hemat penulis, kisah itu sebuah mitos yang sengaja diciptakan. Hampir mirip dengan mitos-mitos Yunani atau kaum Greek. Dalam arti bukan kisah sungguhan, tapi hanya sekadar untuk menjelaskan duduk perkara suatu masalah bahwa tembakau atau rokok itu berbahaya dan dapat menjerumuskan manusia mengikuti langkah-langkah setan.

Jika ulama klasik saja sudah menengarai bahaya tembakau atau rokok, tak ada alasan lagi bagi pihak-pihak tertentu yang tidak mendukung fatwa MUI, terlebih mereka para ulama. Fatwa haram rokok sudah berpihak pada kemaslahatan umum, yakni menjaga masyarakat dari penyakit jasmani. Pada tahun 2001, WHO mencatat sekitar 429.200 orang lebih meninggal karena penyakit yang disebabkan oleh kebiasaan merokok. Perlu dicatat di sini, rokok memang bukan penyebab langsung dari angka kematian yang begitu besar. Tapi, kematian tersebut disebabkan oleh berbagai penyakit yang ditimbulkan dari kebiasaan mengisap tembakau.

Bahaya akan kecanduan tembakau membuat tanggal 31 Mei setiap tahunnya diperingati secara khusus sebagai Hari Tanpa Tembakau Sedunia atau No Tobacco Day. Hari itu digunakan untuk mengampanyekan bahaya tembakau atau bahaya rokok. Bahaya rokok karena tembakau yang digunakan sebagai bahan utama rokok mengandung lebih dari 4000 zat beracun. Dan, bahaya tembakau dinyatakan dalam setiap bungkus rokok yang biasanya berbunyi, ''Merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi, dan gangguan kehamilan dan janin.''

Meski bahaya rokok selalu disertakan dalam setiap bungkus rokok--bahkan di beberapa negara bukan hanya kalimat peringatan, melainkan gambar langsung bagi mereka yang terkena dampak merokok--tetap saja tidak mengurangi penikmat rokok. Bahkan, setiap hari semakin bertambah banyak. Padahal, kematian akibat merokok di Amerika Serikat melebihi tingkat kematian akibat HIV, kecelakaan kendaraan bermotor, narkotika, bahkan pembunuhan.

Selain itu, sebenarnya banyak alasan mengapa merokok harus dilarang, mulai dari alasan pemborosan atau penghambur-hamburan, alasan kesehatan, dan pengaruh negatif lainnya. Merokok memang bisa dikategorikan sebagai perbuatan menghambur-hamburkan uang dan pemborosan yang dilarang ajaran Islam. Berapa banyak uang per bulan yang dibakar dengan sia-sia? Bukankah pemborosan dan menyia-nyiakan harta untuk hal yang tidak perlu merupakan perbuatan yang dibenci agama?

Merokok juga merupakan kegiatan melukai diri sendiri dan menimbulkan penyakit yang serius bagi pelakunya dan akhirnya bisa menyebabkan kematian. Alquran melarang umatnya untuk membinasakan dan merusak diri sendiri sebagaimana disebutkan, ''Dan, janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri dalam kebinasaan.'' (Albaqarah: 195).

Menurut WHO, sekitar 346 ribu orang Amerika meninggal setiap tahun karena merokok. Sekitar 90 persen dari 660 orang penderita kanker di sebuah rumah sakit di Cina disebabkan rokok. Bisa dibayangkan, berapa kira-kira jumlah kematian dan penderita kanker di seluruh dunia yang disebabkan rokok. Merokok juga sangat berbahaya bagi anak-anak, terutama remaja. Tidak hanya berbahaya bagi bayi yang ada dalam kandungan, tetapi juga merokok merupakan langkah awal seorang remaja mengisap narkoba.

Penghisap ganja atau jenis narkoba lainnya di kalangan remaja biasanya dimulai dari coba-coba menghisap rokok. Mungkin juga hal ini terjadi di negara-negara lainnya. Karena itu, banyak yang setuju, terutama orang tua yang khawatir dengan masa depan anak-anaknya, untuk mendukung fatwa haram merokok yang dikeluarkan MUI. Menurut Kak Seto, mengapa MUI yang harus mengeluarkan fatwa haram rokok? Karena, MUI sebagai lembaga yang menaungi banyak orang dan dianggap tepat untuk mengeluarkan fatwa haram rokok. Hal ini untuk mengurangi kesenjangan anak dan industri rokok sebab banyaknya anak yang merokok tidak saja sebagai korban, tetapi menjadi calon pelanggan tetap di masa depan.

Saat ini, industri rokok justru semakin gencar mengeluarkan iklan dan promosi rokok. Tujuannya untuk menjaring anak menjadi penerus bagi generasi yang sudah tua dan berhenti merokok. Pemerintah juga sepatutnya menaikkan cukai tembakau. Hal ini untuk meminimalisasikan anak agar tidak mampu menjangkau harga rokok dan sebagai upaya perlindungan terhadap generasi muda Indonesia.
 

WHEN SUHENG TALK... Template by Ipietoon Cute Blog Design