Thursday, November 27, 2008

Gejala Pengikisan Identitas dan Nasionalisme Bangsa

Oleh: Setyowati SPd
Guru Bahasa Inggris SMA Negeri 6 Depok. Jawa Barat
Sumber: Republika

Menjamurnya sekolah internasional di Jakarta dan sekitarnya membawa dampak tersendiri pada perkembangan bahasa. Penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar di sekolah itu menarik minat para orang tua murid, yang notabene dari kelas menengah ke atas, untuk menyekolahkan anaknya di sana. Alasan utama mereka tidak mutu pendidikan saja, tetapi juga penguasaan bahasa Inggris bagi anaknya. Akibatnya, sekolah negeri di kota besar terdorong untuk bersaing dengan sekolah internasional. 

Sebagai contoh, sebagian besar sekolah negeri yang memiliki akreditasi A telah membuka kelas internasional. Langkah ini dilakukan dalam rangka mewujudkan visi sekolah, yaitu menuju sekolah yang berstandar internasional atau SBI. Semua mata pelajaran diajarkan dengan bahasa Inggris, tak terkecuali pelajaran bahasa Indonesia yang mungkin juga diajarkan dengan bahasa Inggris.

Bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar di sekolah dapat menghambat perkembangan bahasa Indonesia itu sendiri. Bahasa Indonesia yang masih terus mengalami perkembangan dan perbaikan akan mundur. Jika generasi penerus bangsa sudah sejak dini dibentuk dalam konsep bahasa Inggris, tentu hal ini memengaruhi tingkat pemakaian bahasa Indonesia. Kenyataan, masyarakat belum mampu menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar baik dalam ragam lisan maupun tulis. Dalam ragam lisan, penggunaan bahasa Indonesia sangat dikontaminasi oleh bahasa daerah, sedangkan dalam ragam tulis, ada kontaminasi ragam bahasa lisan. 

Kesalahan lain yang sering dilakukan adalah ketidaktepatan dalam penggunaan ragam bahasa resmi dan tak resmi dalam situasi formal maupun informal. Banyak generasi muda saat ini yang mencampuradukkan keduanya. Sebagai contoh, seorang siswa SMA yang harus memberikan sambutan pada acara resmi sekolah, tetapi menggunakan bahasa gaul dengan alasan agar suasana tidak tegang. Selain itu, akan terjadi kontaminasi dalam budaya karena belajar bahasa tak lepas dari belajar budaya. 

Kontaminasi bahasa dan budaya yang negatif dapat menjadi gejala pengikisan identitas dan nasionalisme bangsa. Dengan alasan globalisasi, penutur akan merasa diterima dalam pergaulan jika berbahasa Inggris. Mereka akan bangga jika berbahasa Inggris karena akan tampak kelas sosial mereka. Selain itu, mereka akan dianggap sebagai kaum intelek yang memiliki wawasan luas, karena ketika berbicara mereka menggunakan kemampuan dwibahasanya.

Fenomena itu banyak dijumpai di kota metropolitan seperti Jakarta. Sudah menjadi keharusan bagi orang Jakarta untuk menguasai bahasa Inggris jika ingin dikatakan sebagai manusia modern dan maju. Sementara itu, bahasa Indonesia malah mengalami kerusakan ketika bermunculan bahasa gaul di kalangan anak muda Jakarta. Kondisi itu sangat mengkhawatirkan jika dibiarkan. Perlahan tapi pasti, bahasa Indonesia akan mengalami kepunahan sebagaimana bahasa minoritas di dunia.

Tampaknya penggunaan bahasa Inggris sebagai pengantar di sekolah merupakan langkah tepat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Dengan alasan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia, bahasa Inggris dirasakan perlu dimasyarakatkan. Namun, kita tidak menyadari bahwa hal ini dapat menjadi ancaman bagi penanaman identitas dan nasionalisme pada generasi muda. Kekhawatiran ini wajar, karena bahasa adalah salah satu ciri atau identitas sebuah bangsa. 

Solusi bagi masalah ini adalah penerapan sekolah dwibahasa seperti di Malaysia dan Singapura. Mereka menggunakan bahasa Inggris sebagai pengantar di sekolah hanya untuk mata pelajaran yang masuk dalam kurikulum internasional. Dengan sekolah dwibahasa dihasilkan keluaran pendidikan yang mampu berkompetisi dalam era globalisasi tetapi tidak kehilangan identitas dan nasionalisme mereka sebagai bangsa. Kedua negara itu mengalami perkembangan pesat di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi tanpa meninggalkan identitas mereka sebagai orang Melayu. 

Jika dikatakan bahwa penggunaan bahasa Inggris di sekolah mengingkari Sumpah Pemuda, tepat. Maka, tugas pemerintah adalah membuat batasan yang tegas dalam hal apa saja bahasa Inggris dijadikan bahasa pengantar di sekolah. Perlu dibuat sebuah regulasi sebagai rambu-rambu bagi para pengajar di sekolah yang memiliki kelas internasional.

Monday, November 24, 2008

Guru Harus Pandai "Mendidik"

Berita di TV yang cukup menggemparkan belakangan ini adalah GURU MENCABULI MURID. Sungguh suatu hal yang sangat memalukan dan merusak citra guru sebagai yang 'digugu dan ditiru'.

Saya pikir, pangkal tolak dari kejadian ini berawal dari adanya suatu persepsi yang salah dari para guru bahwa 'tugas guru' hanyalah 'mengajar'. Mengajar tidak bisa disamakan dengan mendidik. Mengajar hanya melibatkan proses transformasi ilmu dan bukan transformasi nilai-nilai kehidupan.

Ketika mengajar hanya menjadi tugas utama seorang guru, maka transfer nilai-nilai kehidupan yang baik akan ditinggalkan. Ketika guru sudah mengajar..habislah sudah tugas guru. Permasalahan anak mau merokok, tawuran, bolos, sudah bukan menjadi ranah guru lagi. Apakah memang harus seperti ini.

Bagi saya pribadi, menjadi guru adalah pekerjaan yang sangat susah sekali, selain harus bisa memberikan ilmu, juga harus bisa menjadi teladan yang baik. Apa yang kita lakukan akan menjadi contoh buat anak didik kita. Tak salah kiranya kalau ada anak SD yang merokok, karena gurunya juga merokok. Sekarang apa yang harus kita lakukan dengan diri kita sebagai guru? cuma mengajarkah? atau mengajar dan mendidik juga? semua terserah pada anda sebagai seorang guru.

 

WHEN SUHENG TALK... Template by Ipietoon Cute Blog Design