Monday, November 17, 2008

Pendidikan Berwawasan Lingkungan

Oleh: Slamet Widiantoro, S.Pd
Guru Sains SD Muhammadiyah Condongcatur, Yogyakarta

Sumber: Republika

Musibah bertubi-tubi melanda negeri ini mulai dari gempa bumi, tsunami, gunung meletus, puting beliung, tanah longsor. Dan, terakhir-terakhir ini di musim penghujan ada daerah-daerah yang menjadi langganan bencana banjir, atau bencana yang lebih besar lagi bagi dunia yaitu adanya pemanasan global yang luar biasa dampaknya bagi bumi kita.

Bencana-bencana di atas tentunya secara langsung atau tidak langsung akan membawa dampak terhadap dunia pendidikan kita. Karena, dengan adanya bencana yang melanda tersebut maka banyak yang menjadi korban pendidikan, mulai dari fasilitas pendidikan dengan rusaknya bangunan sekolah, rusaknya transportasi menuju sekolah, atau terendamnya sarana sekolah lain karena banjir.

Belum lagi dampak psikologis yang dialami oleh anak akibat bencana tersebut. Tentunya kita masih teringat di tayangan televisi bencana tsunami di Aceh atau gempa bumi 27 Mei yang melanda di Yogyakarta bagaimana anak-anak menangis karena kehilangan saudara-saudaranya.

Bencana-bencana ini tentunya tidak lepas hanya sekadar dari peristiwa alam biasa. Tentunya, ada faktor kesalahan manusia baik itu secara fisik atau ada hubungannya dengan perusakan alam atau secara nonfisik akibat dari banyaknya kesalahan-kesalahan yang diakibatkan dari tingkah laku manusia. Sehingga, sang pencipta memberikan peringatan atau hukuman-Nya.

Dengan melihat latar belakang di atas tentunya kita melihat sangat perlunya pendidikan yang berwawasan lingkungan sejak dini. INi untuk mempersiapkan anak-anak kita yang siap mencegah dan menghadapi bencana lingkungan.

Pendidikan berwawasan lingkungan ini tentunya secara tidak langsung sudah terdapat di dalam kurikulum atau materi di sekolah dasar salah satunya dalam bidang studi IPA. Namun, dalam pelaksanaannya masih dirasa kurang karena permasalahan bencana tidak semata-mata hanya karena proses alam saja. Juga, diakibatkan dari pengaruh akhlak dari anak-anak bangsa, sehingga memang sangat diperlukan keterpaduan dalam pendidikan lingkungan ini. Sehingga, pendidikan lingkungan bisa diintergrasikan masuk juga dalam pelajaran yang lain misalnya IPS, agama, bahasa Indonesia, bahsa Jawa, bahkan matematika.

Sehingga, dari sini penting diperlukan adanya pembelajaran tematik tentang tema lingkungan di kelas. Walaupun sekarang sudah dikenalkan metode pembelajaran ini namun kita mengamati masih banyak dilakukan pada kelas-kelas kecil. Karena, di kelas atas ada guru bidang studi, hal ini kadang sebagian guru kita terjebak dalam dikotomi pendidikan. Sehingga, ketika kita berbicara IPA maka ada maka kita hanya berbicara IPA kita tidak membicarakan masalah agama, sosial, atau bahasa.

Pembelajaran tematik yang berhubungan dengan lingkungan ini agar lebih menarik bisa diwujudkan dengan field trip misalnya. Field trip ini bisa dalam bentuk pengenalan lingkungan sekitar misalnya saja pergi ke sawah. Di sawah anak bisa mempelajari semua pelajaran yang ada. Misalnya, untuk mempelajari IPA bisa dikenalkan dengan cara perkembangbiakan tanaman, pelajaran matematika belajar simetri lipat pada daun, pelajaran bahasa Jawa berlatih berbicara bahasa jawa dengan pak tani, pelajaran bahasa indonesia dengan menulis puisi, pelajaran KTK dengan menggambar pemandangan, pelajaran olah raga misalnya adanya game-game dengan lumpur di sawah.

Dengan adanya pembelajaran ini mungkin lebih membawa makna tersendiri bagi anak karena anak praktik langsung, selain mengurangi rutinitas pembelajaran di kelas. Walaupun tentunya membawa konsekuensi bagi guru karena harus bekerja ekstra dengan pengawasan anak di luar kelas.

Model pembelajaran lingkungan ini tidak hanya dengan model seperti di atas. Ada sekolah dengan media terbatas dapat melakukan dengan pemutaran film atau CD tentang lingkungan, membuat kliping bencana alam, mendaur ulang limbah rumah tangga, membuat taman, mempraktikkan simulasi gempa, yang hal ini sering dilakukan oleh negara maju seperti Jepang yang sering terjadi bencana gempa.

Untuk mengenalkan anak terhadap teknologi lingkungan anak-anak membuat model alat yang berhubungan dengan penangan bencana misalnya alam banjir atau alam gempa. Bisa juga dengan berkunjung ke suatu tempat pengolahan limbah industri, atau pendaurulangan sampah rumah tangga.

Bekerja sama dengan LSM yang berkecimpung dengan lingkungan atau stake holder yang peduli terhadap lingkungan untuk datang ke sekolah memberikan pelatihan juga menjadi alternatif bagi sekolah yang tidak memiliki dana atau kemampuan yang cukup untuk memberikan hal-hal seperti di atas. Sehingga, dengan cara ini tidak menjadi sesuatu yang memberatkan bagi sekolah.

Pembelajaran seperti di atas sudah diterapkan oleh beberapa sekolah yang memang di sekolahnya memiliki kurikulum pendidikan berwawasan lingkungan atau adanya guru-guru yang peduli terhadap lingkungan. Namun, dirasa akan lebih membawa dampak yang besar jika diwujudkan oleh seluruh sekolah negeri ini.

Dari uraian di atas kita melihat begitu pentingnya pendidikan lingkungan sejak dini agar anak memiliki wawasan lingkungan yang lebih luas dan diharapkan dapat peduli terhadap lingkungan di daerahnya dan tentunya siap menghadapi bencana akibat lingkungan. Dari pembahasan di atas pula kita berpikir tidak diperlukannya pendidikan lingkungan sebagai suatu pelajaran yang berdiri tersendiri. Karena, bisa terintegrasi dengan bidang studi yang lain dalam bentuk model pembelajaran tematik.

Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan yang Islami

Oleh: Dede Munajat SPd
Guru PKn SMP Negeri 1 Anjatan Kabupaten Indramayu

Sumber: Republika

Undang-Undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pada hakikatnya merupakan sebuah upaya pembaharuan dalam bidang pendidikan ke arah peningkatan mutu. Upaya peningkatan mutu pendidikan merupakan tanggung jawab pemerintah, sekolah dan masyarakat, yang termasuk ke dalam steakholders pendidikan.

Sejalan dengan masa reformasi, maka UU tentang Sistem Pendidikan Nasional ini membangun paradigma baru dalam pendidikan yaitu memberikan otonomi kepada setiap daerah untuk me- manage pendidikan yang ada di daerahnya sesuai dengan karakteristiknya masing-masing. Konsep peningkatan mutu pendidikan beralih menjadi tanggung jawab sekolah, dengan pola manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah (MPMBS).

Pelaksanaan MPMBS menghendaki penggunaan mutu sebagai konsep yang dinamis atau relatif, tidak mutlak, hal ini dapat dilihat dari visi, misi dan tujuan yang ditetapkan oleh tiap sekolah. Pengukuran mutu lulusan suatu sekolah berdasarkan kompetensi yang ditetapkan dalam kurikulum disebut sebagai quality in fact. Standar yang dipakai untuk pengukurannya adalah standar proses dan pelayanan yang sesuai dengan spesifikasi dalam perencanaan, cocok dengan tujuan pendidikan dan dilaksanakan dengan zero defects (tanpa kesalahan) atau right first and every time.

Dari sisi pelanggan yaitu orang tua siswa dan masyarakat, mutu pendidikan dapat didefinisikan sebagai pemenuhan selera dan kebutuhan pelanggan dengan sebaik-baiknya, sehingga dapat meningkatkan keinginan, minat dan kebutuhan mereka yang disebut quality in perception. Standar yang dipakai adalah standar pelanggan yaitu kepuasan pelanggan yang dapat meningkatkan permintaan dan harapan pelanggan yaitu orang tua siswa, dan masyarakat lingkungannya. Dalam era globalisasi, quality in perception didasarkan atas tuntutan masyarakat internasional, yang oleh karena itu mutu akademik pendidikan Indonesia ditinjau dalam komparasi internasional.

Berdasarkan data Human Development Index menunjukkan bahwa pada tahun 2003 IPM (Indeks Pembangunan Manusia) Indonesia berada pada ranking 112, di bawah Vietnam yang berada pada ranking 111, sedangkan data pada tahun 2004 Indonesia berada pada ranking 111, sedikit di atas Vietnam yang berada pada ranking 112 dari 127 negara yang diukur. Maka berdasarkan hasil tersebut tingkat komparasi mutu pendidikan Indonesia masih rendah.

Paradigma pendidikan yang dianut oleh Pemerintah Indonesia adalah membentuk manusia Indonesia seutuhnya, di mana menurut Hari Suderadjat sebagai umat muslim profil manusia seutuhnya, secara filosofik sesuai dengan petunjuk Allah SWT, yaitu sosok insan ulil-albab (QS 3:190). Sosok insan ulil-albab memiliki karakteristik, yaitu pertama beriman dan bertaqwa (imtaq); kedua, memiliki ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek); ketiga, memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk kepentingan manusia; dan keempat, selalu berpegang pada petunjuk Allah karena takut azab neraka (QS 3:191). Sosok insan ulil-albab adalah sosok manusia seutuhnya karena ia memiliki nilai-nilai dan taqwa (afektif), memiliki ilmu pengetahuan dan teknologi (kognitif), dan mampu mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari (psikomotor).

Apabila dihubungkan dengan ranah pendidikan dari pemahaman konsep KBK, bahwa keseluruhan pengetahuan yang dimiliki termasuk kognitif, nilai dan sikap yang direfleksikan termasuk afektif kemudian kebiasaan berpikir dan bertindak termasuk psikomotor. Jadi dari kurikulum tahun 2004 dan 2006 itu pada dasarnya sama, keduanya berbasis kompetensi walaupun yang untuk kurikulum 2004 disebut KBK dan kurikulum 2006 disebut dengan KTSP. Kemudian dalam pembelajaran dengan menggunakan kurikulum 2006 ini setiap sekolah diberikan kebebasan dalam membuat kurikulumnya sendiri sesuai dengan kebutuhan dan kondisi daerahnya masing-masing. Intinya dari kurikulum yang akan dibuat harus sesuai dengan rambu-rambu yang telah ditetapkan oleh pemerintah dengan standar isi yang telah dibuat oleh BSNP dengan menguasai standar kompetensi dan kompetensi dasarnya.

Manajemen pendidikan dalam era UUSPN 1989 sangat sentralistik dibandingkan dengan manajemen pendidikan pada era UUSPN 2003 yang bernuansa desentralistik. Terbukti, dengan setiap sekolah membuat kurikulum tingkat satuan pendidikan yang mempunyai ciri khusus dengan visi, misi, dan tujuan yang telah dirumuskan oleh tim sekolah dalam meningkatkan mutu pendidikan. Sekolah melaksanakan manajemen berbasis sekolah dalam rangka mengaplikasikan Undang-Undang Sisdiknas dan Peraturan Pemerintah nomor 19 Tahun 2005 tentang Sistem Nasional Pendidikan yang mengatur delapan standar pendidikan yang harus dimiliki oleh setiap satuan pendidikan, agar dapat mencapai tujuan pendidikan nasional. Apabila setiap insan Indonesia memahami bahwa pendidikan adalah ibadah, maka setiap langkah dan usaha yang dilakukan sesuai dengan rencana yang telah dirumuskan dengan penuh rasa kesadaran, keikhlasan dan tanggung jawab yang tinggi sehingga berhasil secara optimal.

Kurikulum tahun 2006 memberikan peluang kepada setiap sekolah untuk kreatif dan melakukan inovasi dalam pendidikan, misalnya dapat menciptakan suasana pembelajaran yang islami dengan cara membuat kurikulum yang membentuk akhlak mulia dari setiap peserta didik. Maka dari itu kita sebagai guru yang profesional harus dapat mengkaji setiap standar kompetensi dan kompetensi dasar yang tealh disediakan oleh BSNP jangan langsung diadopsi tetapi boleh diadaptasi yang disesuaikan dengan kondisi dan karakteristik lingkungan setempat sehingga dapat berguna bagi sekolah untuk meningkatkan mutu pendidikan.
 

WHEN SUHENG TALK... Template by Ipietoon Cute Blog Design