MUQODDIMAH
Akhir – akhir ini kita sering disuguhi berita –berita kekerasan baik itu di media cetak maupun di televisi. Berita – berita kekerasan hampir setiap saat dapat kita jumpai di media masa. Penyebab, pelaku, korban maupun motifnyapun beragam. Dan yang paling memprihatinkan adalah terjadinya kekerasan di dunia pendidikan. Padahal pendidikan adalah sebuah wilayah yang seharusnya jauh dari budaya kekerasan.
Memang kekerasan yang terjadi dalam dunia pendidikan dalam banyak hal berbeda dengan kekerasan-kekerasan yang terjadi di dalam masyarakat. Namun demikian ada satu kesamaan yang menjadikan kekerasan-kekerasan itu terjadi baik di dalam dunia pendidikan maupun diluar dunia pendidikan, yaitu adanya pemicu. Ada banyak hal yang bisa menjadi pemicu timbulnya kekerasan dalam dunia pendidikan, dan kadang-kadang adalah hal yang sangat sederhana, tetapi karena tidak mendapatkan jalan keluar yang sesuai maka pada akhirnya berpotensi menjadi pemicu timbulnya sebuah kekerasan.
Kekerasan yang timbulpun bisa bermacam-macam bentuk dan skalanya dengan pemicu yang sama. Karena pemicu itu biasanya bersifat kasuistik.
LATAR BELAKANG
Sebagai sebuah lembaga pendidikan, sekolah tentunya akan senantiasa menyelesaikan masalah dengan cara yang edukatif. Namun demikian sering kita jumpai ketika terjadi sebuah konflik di dalam lembaga pendidikan baik antara siswa dengan siswa, guru dengan siswa, guru dengan guru, guru dengan pimpinan sekolah, guru dengan orang tua siswa, penyelesaian yang dilakukan/ditempuh tidak menggunakan cara-cara yang edukatif.
Satu contoh ketika dalam proses belajar mengajar terjadi sebuah bentuk kekerasan, ketika seorang guru memberi hukuman pada siswanya. Pada satu sisi guru tersebut memberikan hukuman pada siswa sebagai upaya membentuk disiplin pada siswa tersebut, namun demikian karena bentuk hukuman yang diberikan berupa hukuman fisik orang tua siswa tidak dapat menerima karena orang tua siswa beranggapan bahwa hukuman tersebut tidak edukatif.
Seorang guru adalah manusia biasa yang dalam hal-hal tertentu mempunyai keterbatasan sebagaimana manusia pada umumnya, yang kadang menyebabkan guru bertindak lepas keluar dari koridor sebagi seorang pendidik.
HAL –HAL YANG MEMUNGKINKAN TIMBULNYA KEKERASAN DALAM DUNIA PENDIDKAN.
FAKTOR GURU
Sebagai bagian dari komponen pendidikan guru mempunyai peranan yang sangat menentukan didalam proses pendidikan. Baik buruknya autput dari sebuah proses pendidikan peran sentral dari seorang guru sangatlah menentukan, sebaik apapun kurikulum pendidikan jika guru yang menjalankan proses pendidikan tidak dalam kondisi yang sesui maka hasilnyapun tentu tidak optimal. Sedikit saja guru keliru dalam menangani konflik yang timbul di dalam proses belajar mengajar maka kekerasan dimungkinkan akan timbul baik seketika atau mungkin terakumulasi dengan factor lain yang dapat timbul sewaktu-waktu, baik kekerasan yang dilakukan guru terhadap siswa, siswa terhadap guru, siswa terhadap siswa lainnya atau malah mungkin juga guru terhadap guru lainnya.
FAKTOR LINGKUNGAN SISWA
Pada saat sekarang ini Televisi bukanlah barang langka dalam sebuah keluarga. Sebetulnya TV adalah media rekreatif, informative dan edukatif. Namun dari ketiga fungsi tersebut sebagian pemirsa boleh dibilang lebih banyak mengkonsumsi tayangan TV pada fungsi rekreatif ketimbang pada fungsi informative ataupun edukatif. Padahal unsur rekreatif ini sebagian besar program yang ditayangkan menyajikan cerita atau kisah yang sering kali memuat unsur kekerasan. Bahkan tayangan untuk anak-anak dalam bentuk kartunpun seringkali mengandung unsure adu otot dan adu jotos.
Pola kekerasan sebagai penyelesaian masalah yang diterima oleh anak-anak melalui tayangan televisi, dalam jangka panjang dapat membentuk mentalitas anak-anak tersebut untuk memilih jalan pintas, diantaranya dengan kekerasan, didalam menyelesaikan masalah.
Dan masih banyak factor-faktor lainnya, diantaranya pornografi, narkoba, pergaulan bebas yang tentunya ini juga memberi pengaruh terhadap timbulnya kekerasan dalam dunia pendidikan kita.
KONSEP PENDIDIKAN TANPA KEKERASAN
Salah satu yang berperan dalam keberhasilan proses belajar mengajar adalah suasana belajar mengajar yang kondusif. Karena suasana belajar mengajar yang kondusif akan meningkatkan minat dan motivasi belajar anak. Untuk mendapatkan suasana belajar yang kondusif, dapat dilakukan dengan :
-Menumbuhkan niat belajar.
-Menjalin rasa simpati dan saling pengertian.
-Menciptakan suasana riang.
-Menciptakan rasa saling memiliki.
-Menunjukkan teladan yang baik.
-Berani mengambil risiko.
Menumbuhkan niat belajar.
Dalam proses belajar mengajar, baik guru maupun siswa hendaknya dapat membangkitkan niat tersebut dari dalam dirinya sendiri. Bila niat tidak mudah tumbuh dari dalam diri sendiri, maka dorongan orang lain utamanya guru, sangat diperlukan agar tidak mempengaruhi semangat belajar siswa yang lainya yang pada akhirnya dapat mengganggu proses belajar mengajar.
Menjalin rasa simpati dan saling pengertian.
Untuk menumbuhkan kepedulian, toleransi, dan saling menghargai diantara siswa perlu dijalin rasa simpati dan saling pengertian baik antar siswa maupun guru dengan siswa dengan cara :
-Melakukan kegiatan yang menyenangkan bersama siswa.
-Memperlakukan siswa sebagai teman.
-Mengetahui hal-hal yang menghambat siswa untuk mengerti
-Mengetahui apa yang sebenarnya dia inginkan.
-Mengetahui apa yang disukai siswa.
Menciptakan suasana riang.
Belajar dalam suasana yang menyenangkan, tanpa adanya paksaan dan tekanan akan menimbilkan kesadaran untuk menemukan sendiri jawaban dari persoalan yang mereka hadapi. Misalnya dengan tepuk tangan, pujian dan lain sebagainya, namun suasana riang ini harus tetap dijaga jangan sampai menjadi sendau gurau.
Menciptakan rasa saling memiliki.
Rasa saling memiliki akan membentuk kebersamaan, kesepakatan, kesatuan, yang pada akhirnya siswa akan bisa menghargai perbedaan, yang pada akhirnya perbedaan yang kadang menjadi sumber konflik menjadi hilang / minimal berkurang.
Menunjukkan teladan yang baik.
Ada sebuah ungkapan ‘prilaku nyata akan lebih berarti dari pada seribu kata-kata’. Guru sebagai manusia model bagi siswa akan menjadi cermin baginya. Untuk itu penting bagi guru untuk memberi teladan terhadap apa yang disampaikan.
Berani mengambil risiko.
Belajar dengan tantangan akan membuat siswa tidak mudah menyerah, dan terus berpikir untuk memecahkan masalah. Hal ini akan menciptakan keasikan tersendiri dan juga dapat mengurangi kebosanan.
Dengan konsep belajar mengajar seperti diatas kemungkinan munculnya konflik sebagai pemicu timbulnya kekerasan di dalam pendidikan akan dapat teratasi, sekurang –kurangnya dapat di minimalisir. Pendidikan adalah sebuah proses, yang kadang-kadang hasilnya tidak seperti yang diharapkan oleh banyak pihak. Namun demikian jika tahapan-tahapan dari proses tersebut dapat kita kendalikan untuk tidak keluar dari kaidah-kaidah mendidik InsyaAllah keinginan kita untu menjauhkan anak didik dari budaya kekerasan akan terwujud, semoga.
HARIYADI
Guru pendidikan jasmani
SD Cebongan 02 Salatiga.
Thursday, October 23, 2008
Kekerasan terhadap anak di dunia pendidikan
KEKERASAN guru terhadap siswa bukan cerita lama. Terakhir kasus seorang guru Bahasa Inggris di Karanganyar yang menendang siswanya hingga gegar otak, masih segar dalam ingatan masyarakat pemerhati pendidikan. Beban tugas guru yang berat, kesejahteraan yang belum baik, rendahnya "kecerdasan" emosional, dst, merupakan salah satu sebab mengapa guru bisa berbuat khilaf dengan jalan menebarkan aroma kekerasan di dalam kelas. Pada sisi yang lain pengaruh gaya hidup TV, rendahnya perhatian orangtua terhadap para kelakuan dan sopan santun anaknya, perilaku konsumtifisme, narkoba, minuman keras, dan perilaku ”ngoboy” lainnya, merupakan sederetan sebab mengapa para siswa zaman sekarang juga susah di atur.
Dua sisi yang sangat ekstrem dari si guru dan siswa tersebut jika bertemu, maka akan terjadi benturan (fisik).
Singkatnya banyak siswa yang stres dan mencoba bunuh diri, sementara yang lain mencoba membakar dan merusak gedung sekolahnya, ketika tidak lulus ujian. Tampak bahwa dunia pendidikan di tanah air seakan tidak ramah terhadap perasaan dan nurani para siswa. Salah satu tujuan diselenggarakannya pendidikan sebagai sarana pemerdekaan dan pembebasan, hanya akan berada di awang-awang.
Pendidikan ahirnya hanya menghasilkan manusia cerdas namun seperti robot di satu sisi, dan manusia stres pada sisi lain. Sistem ranking, sistem penilaian, kebijakan yang tidak pernah konsisten, sistem dan proses pembelajaran yang monoton searah dan instruktif dari guru, menyebabkan anak-anak merasa tidak lagi "at home" di sekolahnya.
Stres itu belum usai, di rumah sudah menanti ”monster” yang bernama ambisi orang tua. Di teras sudah menunggu guru les, ada les bahasa Inggris, piano, matematika, tari, dst, dengan setumpuk buku dan latihan soal yang membosankan.
Benar kata Wapres bahwa untuk bisa menjadi bangsa yang maju arus ada kerja keras. Namun pertanyaannya, apakah sekolah dan sistem ujian sekarang ini sudah menunjukkan ke arah usaha kerja keras yang sesungguhnya? Sikap kerja keras tidak bisa dijalani dengan cara meniadakan rasa bahagia anak. Kerja keras bukan sekadar menghafal ratusan definisi dan latihan soal ala LKS (Lembar Kerja Siswa), namun juga melibatkan kecerdasan emosi anak.
Pembinaan kecerdasan emosi dilakukan dalam rangka untuk : 1). Menemukan pribadi, yakni memfasilitasi siswa untuk mengenali kekuatan dan kelemahan dirinya sendiri. Siswa menerimanya secara positif dan dinamis dalam rangka pengembangan dirinya lebih lanjut; 2). Mengenal lingkungan: guru memfasilitasi siswa agar mengenal lingkungannya seperti lingkungan sosial, ekonomi, budaya, dst dan menerima sebagai berbagai kondisi lingkungan itu secara positif dan dinamis; 3).
Merencanakan masa depan: guru memfasilitasi siswa agar mereka dapat merencanakan masa depannya. Menurut Carl Witherington, ada empat hal yang harus diketahui guru untuk mengetahui emosi siswanya, yakni: 1). Aspek emosi yang terlihat oleh mata seperti gemetar, takut sehingga matanya terbelalak, menggeretakkan gigi untuk mengekspresikan rasa marah dst; 2). Emosi yang ditunjukkan oleh sikap kurang senang, senang, benci; 3). Ungkapan-ungkapan atau umpatan dari siswa; dan 4).
Kecenderungan emosi yang bersifat kualitatif, misalnya dirangsang oleh individu lain hingga timbul rasa senang, benci, jijik, malu, marah, dan sebagainya. Umumnya anak-anak dari golongan ekonomi lemah yang mudah tersulut emosinya, meskipun anak dari keluarga mampu, juga memperlihatkan gejala serupa.
Anak-anak dari golongan ekonomi lemah akhirnya harus putus di tengah jalan, atau "layu sebelum berkembang". Hasil penelitian Silverstein dan Krate di lingkungan "ghetto" (dalam Megawangi, 1993) juga menunjukkan, bahwa anak-anak dari golongan ekonomi lemah harus rela mendapatkan lingkungan sekolah yang jelek. Demikian pula lingkungan tempat tinggal yang kumuh menyebabkan mereka memiliki sifat ambivalen, terlalu cepat dewasa (precocious independent), pasrah (submissive), dan kurang percaya diri serta penghargaan pada diri rendah (low self esteem).
Hasil penelitian di Amerika Serikat yang dilakukan oleh Goldens dan Birns (dalam Megawangi, 1993) menunjukkan bahwa hasil tes IQ dari berbagai kelompok strata sosialekonomi anak usia di bawah dua tahun tidak ada perbedaan yang berarti. Dengan kata lain anak dari keluarga ekonomi lemah memiliki potensi yang relatif sama dengan anak dari golongan ekonomi mampu.
Dengan kata lain, siswa-siswa di kota-kota besar sangat rawan terhadap pengaruh lingkungan yang buruk. Hal inilah yang menyulitkan guru-guru d kota-kota besar untuk mendidik siswanya. Ivan Illich atau Paulo Freire pernah mengkritik bahwa sekolah formal itu milik kaum pemodal dan tidak berpihak kepada kaum papa. Sekolah formal pada akhirnya hanya alat legitimasi untuk melanggengkan kekuasaan dengan jalan menciptakan kelas-kelas sosial. Bahkan Freire menyebut sebagai kekuatan untuk melanggengkan "kebudayaan bisu".
Demikian pula Betrand Russell (1993) pernah mengatakan bahwa mestinya pendidikan itu lebih mempertimbangkan hubungan komunitas daripada hubungan individu, meskipun tujuan pendidikan untuk membudayakan individu agar kapasitasnya berkembang maksimal.
Randall Collins dalam "The Credential Society: An Historical Sociology of Education and Stratification" mengatakan bahwa bukti-bukti empiris menunjukkan bahwa pendidikan formal merupakan awal dari proses stratifikasi sosial.
Sketsa singkat di atas rasanya pantas untuk dijadikan renungan para penentu kebijakan pendidikan, agar di masa depan generasi muda Indonesia mendapatkan sistem pendidikan yang tidak saja mampu meningkatkan kecerdasan hidup, namun juga mampu memberikan bekal keterampilan hidup, pandangan hidup dan nilai-nilai kehidupan yang merangsang kecerdasan emosi dan spiritualnya. Bangsa ini tidak ingin lagi mendengar ada siswa bunuh diri gara-gara tidak lulus ujian atau tidak dapat membayar SPP.
Dua sisi yang sangat ekstrem dari si guru dan siswa tersebut jika bertemu, maka akan terjadi benturan (fisik).
Singkatnya banyak siswa yang stres dan mencoba bunuh diri, sementara yang lain mencoba membakar dan merusak gedung sekolahnya, ketika tidak lulus ujian. Tampak bahwa dunia pendidikan di tanah air seakan tidak ramah terhadap perasaan dan nurani para siswa. Salah satu tujuan diselenggarakannya pendidikan sebagai sarana pemerdekaan dan pembebasan, hanya akan berada di awang-awang.
Pendidikan ahirnya hanya menghasilkan manusia cerdas namun seperti robot di satu sisi, dan manusia stres pada sisi lain. Sistem ranking, sistem penilaian, kebijakan yang tidak pernah konsisten, sistem dan proses pembelajaran yang monoton searah dan instruktif dari guru, menyebabkan anak-anak merasa tidak lagi "at home" di sekolahnya.
Stres itu belum usai, di rumah sudah menanti ”monster” yang bernama ambisi orang tua. Di teras sudah menunggu guru les, ada les bahasa Inggris, piano, matematika, tari, dst, dengan setumpuk buku dan latihan soal yang membosankan.
Benar kata Wapres bahwa untuk bisa menjadi bangsa yang maju arus ada kerja keras. Namun pertanyaannya, apakah sekolah dan sistem ujian sekarang ini sudah menunjukkan ke arah usaha kerja keras yang sesungguhnya? Sikap kerja keras tidak bisa dijalani dengan cara meniadakan rasa bahagia anak. Kerja keras bukan sekadar menghafal ratusan definisi dan latihan soal ala LKS (Lembar Kerja Siswa), namun juga melibatkan kecerdasan emosi anak.
Pembinaan kecerdasan emosi dilakukan dalam rangka untuk : 1). Menemukan pribadi, yakni memfasilitasi siswa untuk mengenali kekuatan dan kelemahan dirinya sendiri. Siswa menerimanya secara positif dan dinamis dalam rangka pengembangan dirinya lebih lanjut; 2). Mengenal lingkungan: guru memfasilitasi siswa agar mengenal lingkungannya seperti lingkungan sosial, ekonomi, budaya, dst dan menerima sebagai berbagai kondisi lingkungan itu secara positif dan dinamis; 3).
Merencanakan masa depan: guru memfasilitasi siswa agar mereka dapat merencanakan masa depannya. Menurut Carl Witherington, ada empat hal yang harus diketahui guru untuk mengetahui emosi siswanya, yakni: 1). Aspek emosi yang terlihat oleh mata seperti gemetar, takut sehingga matanya terbelalak, menggeretakkan gigi untuk mengekspresikan rasa marah dst; 2). Emosi yang ditunjukkan oleh sikap kurang senang, senang, benci; 3). Ungkapan-ungkapan atau umpatan dari siswa; dan 4).
Kecenderungan emosi yang bersifat kualitatif, misalnya dirangsang oleh individu lain hingga timbul rasa senang, benci, jijik, malu, marah, dan sebagainya. Umumnya anak-anak dari golongan ekonomi lemah yang mudah tersulut emosinya, meskipun anak dari keluarga mampu, juga memperlihatkan gejala serupa.
Anak-anak dari golongan ekonomi lemah akhirnya harus putus di tengah jalan, atau "layu sebelum berkembang". Hasil penelitian Silverstein dan Krate di lingkungan "ghetto" (dalam Megawangi, 1993) juga menunjukkan, bahwa anak-anak dari golongan ekonomi lemah harus rela mendapatkan lingkungan sekolah yang jelek. Demikian pula lingkungan tempat tinggal yang kumuh menyebabkan mereka memiliki sifat ambivalen, terlalu cepat dewasa (precocious independent), pasrah (submissive), dan kurang percaya diri serta penghargaan pada diri rendah (low self esteem).
Hasil penelitian di Amerika Serikat yang dilakukan oleh Goldens dan Birns (dalam Megawangi, 1993) menunjukkan bahwa hasil tes IQ dari berbagai kelompok strata sosialekonomi anak usia di bawah dua tahun tidak ada perbedaan yang berarti. Dengan kata lain anak dari keluarga ekonomi lemah memiliki potensi yang relatif sama dengan anak dari golongan ekonomi mampu.
Dengan kata lain, siswa-siswa di kota-kota besar sangat rawan terhadap pengaruh lingkungan yang buruk. Hal inilah yang menyulitkan guru-guru d kota-kota besar untuk mendidik siswanya. Ivan Illich atau Paulo Freire pernah mengkritik bahwa sekolah formal itu milik kaum pemodal dan tidak berpihak kepada kaum papa. Sekolah formal pada akhirnya hanya alat legitimasi untuk melanggengkan kekuasaan dengan jalan menciptakan kelas-kelas sosial. Bahkan Freire menyebut sebagai kekuatan untuk melanggengkan "kebudayaan bisu".
Demikian pula Betrand Russell (1993) pernah mengatakan bahwa mestinya pendidikan itu lebih mempertimbangkan hubungan komunitas daripada hubungan individu, meskipun tujuan pendidikan untuk membudayakan individu agar kapasitasnya berkembang maksimal.
Randall Collins dalam "The Credential Society: An Historical Sociology of Education and Stratification" mengatakan bahwa bukti-bukti empiris menunjukkan bahwa pendidikan formal merupakan awal dari proses stratifikasi sosial.
Sketsa singkat di atas rasanya pantas untuk dijadikan renungan para penentu kebijakan pendidikan, agar di masa depan generasi muda Indonesia mendapatkan sistem pendidikan yang tidak saja mampu meningkatkan kecerdasan hidup, namun juga mampu memberikan bekal keterampilan hidup, pandangan hidup dan nilai-nilai kehidupan yang merangsang kecerdasan emosi dan spiritualnya. Bangsa ini tidak ingin lagi mendengar ada siswa bunuh diri gara-gara tidak lulus ujian atau tidak dapat membayar SPP.
Subscribe to:
Posts (Atom)