Tuesday, September 23, 2008

MERANCANG PENDIDIKAN MORAL & BUDI PEKERTI

Penulis: Lewa Karma

MERANCANG PENDIDIKAN MORAL & BUDI PEKERTI DALAM ATMOSFER PENDIDIKAN FORMAL
(Morale Force Dealectict)

Manusia Indonesia menempati posisi sentral dan strategis dalam pelaksanaan pembangunan nasional, sehingga diperlukan adanya pengembangan sumber daya manusia (SDM) secara optimal. Pengembangan SDM dapat dilakukan melalui pendidikan mulai dari dalam keluarga, hingga lingkungan sekolah dan masyarakat.

Salah satu SDM yang dimaksud bisa berupa generasi muda (young generation) sebagai estafet pembaharu merupakan kader pembangunan yang sifatnya masih potensial, perlu dibina dan dikembangkan secara terarah dan berkelanjutan melalui lembaga pendidikan sekolah. Beberapa fungsi pentingnya pendidikan sekolah antara lain untuk : 1) perkembangan pribadi dan pembentukan kepribadian, 2) transmisi cultural, 3) integrasi social, 4) inovasi, dan 5) pra seleksi dan pra alokasi tenaga kerja ( Bachtiar Rifai). Dalam hal ini jelas bahwa tugas pendidikan sekolah adalah untuk mengembangkan segi-segi kognitif, afektif dan psikomotorik yang dapat dikembangkan melalui pendidikan moral. Dengan memperhatikan fungsi pendidikan sekolah di atas, maka setidaknya terdapat 3 alasan penting yang melandasi pelaksanaan pendidikan moral di sekolah, antara lain : 1). Perlunya karakter yang baik untuk menjadi bagian yang utuh dalam diri manusia yang meliputi pikiran yang kuat, hati dan kemauan yang berkualitas, seperti : memiliki kejujuran, empati, perhatian, disiplin diri, ketekunan, dan dorongan moral yang kuat untuk bisa bekerja dengan rasa cinta sebagai ciri kematangan hidup manusia. 2). Sekolah merupakan tempat yang lebih baik dan lebih kondusif untuk melaksanakan proses belajar mengajar. 3).Pendidikan moral sangat esensial untuk mengembangkan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas dan membangun masyarakat yang bermoral (Lickona, 1996 , P.1993).

Pelaksanaan pendidikan moral ini sangat penting, karena hampir seluruh masyarakat di dunia, khususnya di Indonesia, kini sedang mengalami patologi social yang amat kronis. Bahkan sebagian besar pelajar dan masyarakat kita tercerabut dari peradaban eastenisasi (ketimuran) yang beradab, santun dan beragama. Akan tetapi hal ini kiranya tidak terlalu aneh dalam masyarakat dan lapisan social di Indonesia yang hedonis dan menelan peradaban barat tanpa seleksi yang matang. Di samping itu system [pendidikan Indonesia lebih berorientasi pada pengisian kognisi yang eqivalen dengan peningkatan IQ (intelengence Quetiont) yang walaupun juga di dalamnya terintegrasi pendidikan EQ (Emotional Quetiont). Sedangkan warisan terbaik bangsa kita adalah tradisi spritualitas yang tinggi kemudian tergadai dan lebih banyak digemari oleh orang lain di luar negeri kita, yaitu SQ (Spiritual Quetiont). Oleh sebab itu, perlu kiranya dalam pengembangan pendidikan moral ini eksistensi SQ harus terintegrasi dalam target peningkatan IQ dan EQ siswa.

Akibat dari hanyutnya SQ pada pribadi masyarakat dan siswa pada umumnya menimbulkan efek-efek social yang buruk. Bermacam-macam masalah sosial dan masalah-masalahh moral yang timbul di Indonesia seperti : 1). meningkatnya pembrontakan remaja atau dekadensi etika/sopan santun pelajar, 2). meningkatnya kertidakjujuran, seperti suka bolos, nyontek, tawuran dari sekolah dan suka mencuri, 3). berkurangnya rasa hormat terhadap orang tua, guru, dan terhadap figur-figur yang berwenang, 4). meningkatnya kelompok teman sebaya yang bersifat kejam dan bengis, 5) munculnya kejahatan yang memiliki sikap fanatik dan penuh kebencian, 6). berbahsa tidak sopan, 7). merosotnya etika kerja, 8). meningkatnya sifat-sifat mementingkan diri sendiri dan kurangnya rasa tanggung jawab sebagai warga negara, 9). timbulnya gelombang perilaku yang merusak diri sendiri seperti perilaku seksual premature, penyalahgunaan mirasantika/narkoba dan perilaku bunuh diri, 10). timbulnya ketidaktahuan sopan santun termasuk mengabaikan pengetahuan moral sebagai dasar hidup, seperti adanya kecenderungan untuk memeras tidak menghormati peraturan-peraturan, dan perilaku yang membahayakan terhadap diri sendiri atau orang lain, tanpa berpikir bahwa hal itu salah (Koyan, 2000, P.74).

Untuk merespon gejala kemerosotan moral tersebut, maka peningkatan dan intensitas pelaksanan pendidikan moral di sekolah merupakan tugas yang sangat penting dan sangat mendesak bagi kita, dan perlu dilaksanakan secara komprehensif dan dengan menggunakan strategi serta model pendekatan secara terpadu, yaitu dengan melibatkan semua unsur yang terkait dalam proses pembelajaran atau pendidikan seperti : guru-guru, kepala sekolah orang tua murid dan tokoh-tokoh masyarakat. Tujuan pendidikan moral tidak semata-mata untuk menyiapkan peserta didik untuk menelan mentah konsep-konsep pendidikan moral, tetapi yang lebih penting adalah terbentuknya karakter yang baik, yaitu pribadi yang memiliki pengetahuan moral, peranan perasaan moral dan tindakan atau perilaku moral (Lickona, 1992. P. 53 )

Pada sisi lain, dewasa ini pelaksanan pendidikan moral di sekolah diberikan melalui pembelajaran pancasila dan kewarganegaraan (PPKn) dan Pendidikan agama akan tetapi masih tampak kurang pada keterpaduan dalam model dan strategi pembelajarannya Di samping penyajian materi pendidikan moral di sekolah, tampaknya lebih berorientasi pada penguasaan materi yang tercantum dalam kurikulum atau buku teks, dan kurang mengaitkan dengan isu-isu moral esensial yang sedang terjadi dalam masyarakat, sehingga peserta didik kurang mampu memecahkan masalah-masalah moral yang terjadi dalam masyarakat Bagi para siswa,adalah lebih banyak untuk menghadapi ulangan atau ujian, dan terlepas dari isu-isu moral esensial kehidupan mereka sehari-hari. Materi pelajaran PPKn dirasakah sebagai beban, dihafalkan dan dipahami, tidak menghayati atau dirasakan secara tidak diamalkan dalam perilaku kehidupan hari-hari.

Dalam upaya untuk meningkatkan kematangan moral dan pembentukann karakter siswa. Secara optimal ,maka penyajian materi pendidikan moral kepada para siswa hendaknya dilaksanakan secara terpadu kepada semua pelajaran dan dengan mengunakan strategi dan model pembelajaran seccara terpadu, yaitu dengan melibatkan semua guru, kepala sekolah ,orang tua murid, tokoh-tokoh masyarakat sekitar. Dengan demikian timbul pertanyaan,bahan kajian apa sajakah yang diperlukan untuk merancang model pembelajaran pendidikan moral dengan mengunakan pendekatan terpadu ?

Untuk mengembangkan strategi dan model pembelajaran pendidikan moral dengan menggunakan pendekatan terpadu ,diperlukan adanya analisis kebutuhan (needs assessment) siswa dalam belajar pendidikan moral. Dalam kaitan ini diperlukan adanya serangkaian kegiatan, antara lain : (1) mengidentifikasikan isu-isu sentral yang bermuatan moral dalam masyarakat untuk dijadikan bahan kajian dalam proses pembelajaran di kelas dengan menggunakan metode klarifikasi nilai (2) mengidentifikasi dan menganalisis kebutuhan siswa dalam pembelajaran pendidikan moral agar tercapai kematangan moral yang komprehensif yaitu kematangan dalam pengetahuan moral perasaan moral,dan tindakan moral, (3) mengidentifikasi dan menganalisis masalah-masalah dan kendala-kendala instruksional yang dihadapi oleh para guru di sekolah dan para orang tua murid di tua murid dirumah dalam usaha membina perkembangan moral siswa,serta berupaya memformulasikan alternatif pemecahannya, (4) mengidentifikasi dan mengklarifikasi nilai-nilai moral yang inti dan universal yang dapat digunakan sebagai bahan kajian dalam proses pendidikan moral, (5) mengidentifikasi sumber-sumber lain yang relevan dengan kebutuhan belajar pendidikan moral.

Dengan memperhatikan kegiatan yang perlu dilakukan dalam proses aplikasi pendidikan moral tersebut, kaitannya dengan kurikulum yang senantiasa berubah sesuai dengan akselerasi politik dalam negeri, maka sebaiknya pendidikan moral juga dilakukan penngkajian ulang untuk mengikuti competetion velocities dalam persaingan global. Bagaimanapun negeri ini memerlukan generasi yang cerdas, bijak dan bermoral sehingga bisa menyeimbangkan pembangunan dalam keselarasan keimanan dan kemajuan jaman. Pertanyaannya adalah siapkah lingkungan sekolah (formal-informal), masyarakat dan keluarga untuk membangun komitmen bersama mendukung keinginan tersebut ? Karena nasib bangsa Indonesia ini terletak dan tergantung pada moralitas generasi mudanya.

Penulis :
Lewa Karma
Mahasiswa Jurusan Pendidikan Kimia IKIP N Singaraja
Sekretaris Umum LPICS (Lembaga Pendidikan Insan Cita Singaraja)
Alamat : Jalan Kartini 32 Singaraja-Bali(081805563218)

Monday, September 22, 2008

Mencegah Premanisme Pelajar

Oleh :Sis Ariyanti
Guru SMP Al Hikmah Surabaya

Aksi premanisme yang dilakukan oleh pelajar kian memprihatinkan. Beberapa waktu yang lalu Geng Nero (Neko-neko dikeroyok) santer diberitakan di media massa karena melakukan penganiayaan terhadap anggotanya. Pelajar yang notabene merupakan agent of change (agen perubahan) belum mampu mengemban tugasnya dengan baik. 

Geng Nero barangkali hanya salah satu potret dari sekian banyak geng yang ada di lingkungan sekolah. Kejadian ini mungkin juga pernah dialami oleh sekolah-sekolah lain. Namun, tidak terekspos dan dapat dicegah serta ditangani dengan baik oleh pihak sekolah. 

Kecenderungan remaja untuk membentuk pear group harusnya disadari oleh guru. Apalagi pada usia SMP dan SMA. Keinginan itu sangat besar. Siswa biasanya berkelompok dengan teman-teman yang memiliki pandangan atau hobi yang sama dengan dirinya. Selama kegiatan mereka positif tentunya tidak masalah. Tapi, fakta yang ada di lapangan berkata sebaliknya. Dalam hal ini guru harus dapat "membaca" gerak-gerik setiap siswanya sehingga dapat dengan mudah "mencium" perilaku siswa-siswanya yang menyimpang atau tidak wajar.

Pencegahan
Sekolah sebagai institusi pencetak generasi bangsa tentu merasa sangat bertanggung jawab terhadap perilaku anak didiknya. Bukankah setiap sekolah ingin terkenal karena prestasi siswanya dalam berbagai kejuaraan bukan berita yang mencoreng nama baiknya? 

Dalam upaya mencegah aksi serupa, ada beberapa hal yang dapat dilakukan pihak sekolah. Pertama, memperkuat pondasi diri anak didik dengan agama. Ketika anak didik kita memiliki pondasi agama yang kuat mereka tidak gampang terombang-ambing dan terpengaruh oleh hal-hal buruk. 

Sebagai seorang guru, penulis sangat merasakan betul manfaatnya. Anak-anak pada dasarnya membutuhkan sentuhan-sentuhan rohani. Sehingga, saat ada masalah pada diri anak didik, guru dapat mengarahkan serta menyelesaikannya dengan mudah. Semua guru di sekolah penulis mengemban tugas sama yakni selain guru bidang studi yang diajarkan juga merangkap sebagai guru agama. Artinya, setiap guru yang mengajar wajib mengingatkan dan mengaitkan hal-hal yang diajarkan dengan Alquran, karena sekolah penulis adalah sekolah Islam. 

Kedua, menjalin komunikasi yang baik dengan setiap siswa. Program curhat bersama dengan anak-anak yang dinamakan halaqoh sangat penting. Sekolah harus mengalokasikan waktu untuk program sharing ini. Setiap guru membawahi beberapa anak didik dan mendengarkan cerita serta keluh kesah dari anak-anak. Sehingga, guru dapat ikut merasakan apa yang sedang dialami oleh anak didiknya. 

Harapan akhirnya guru tersebut dapat memberikan solusi terbaik untuk mereka. Dengan demikian, deteksi dini terhadap persoalan lebih besar dapat dilakukan melalui forum ini. Kita harus menghapus paradigma bahwa persoalan siswa di sekolah adalah tanggung jawab tim BK (konselor). Semua guru di sekolah adalah guru BK (konselor). Apabila guru menjumpai perilaku anak didik yang menyimpang dapat segera mengingatkannya. Jika, tidak mampu menanganinya baru mengomunikasikannya dengan konselor sekolah.

Ketiga, mengefektifkan peran walikelas. Sekolah perlu memberdayakan walikelas. Tugas walikelas tidak hanya rapat dengan walimurid atau membagikan rapor saja, tapi juga memantau perkembangan anak didiknya. Oleh karena itu, penting kiranya walikelas mendampingi anak-anak atau berada di dalam kelas ketika sedang tidak mengajar. Sehingga, walikelas dapat memantau dan mengetahui pembelajaran di kelas. Apabila terjadi konflik antar anak didik dapat segera tertangani dengan baik. Perkelahian yang sering terjadi di kelas seperti yang diungkapkan oleh Puspa (nama samaran) salah seorang siswi di Jakarta saat diwawancarai di TV One karena kurangnya pengawasan sekolah. Sehingga pihak sekolah tidak mengetahuinya. 

Keempat, menjalin kerja sama dengan orang tua. Sekolah dapat mengadakan program buku penghubung dan home visit (kunjungan ke rumah walimurid). Buku penghubung ini diisi oleh orang tua dan walikelas. Setiap perkembangan anak baik di sekolah maupun di rumah dapat terpantau melalui buku ini. Sementara itu, home visit dimaksudkan untuk menjalin komunikasi dengan melakukan kunjungan ke rumah wali murid guna melakukan problem solvingterhadap perkembangan siswa baik di rumah maupun di sekolah. 

Kelima, melarang stasiun televisi menayangkan sinetron yang berbau kekerasan. Bagaimanapun juga pengaruh televisi sangat besar terhadap perkembangan anak didik di sekolah. Penulis berharap agar pihak stasiun televisi lebih selektif dalam tayangannya, tidak hanya memikirkan permintaan pasar saja. 

Salah satu sinetron remaja yang menyajikan tindak kekerasan pelajar yakni Cinta dalam Maut yang dibintangi aktor muda Rogger Danuarta yang ditayangkan oleh salah satu televisi swasta. Menurut penulis, potret remaja dalam sinetron tersebut sangat tidak pantas untuk dicontoh. Banyak hal baik dari pelajar kita yang dapat menjadi inspirasi para penulis skenario jika kekurangan ide dibandingkan cerita dengan tema yang tidak bermutu. 

Jadikanlah setiap tayangan menjadi lahan untuk mengajak orang berbuat baik dan membawa Indonesia lebih baik. Akhirnya, penulis mengharapkan kerja sama berbagai pihak baik sekolah, orangtua, guru, dan segenap komponen masyarakat agar ikut andil dalam mencegah aksi premanisme pelajar. Apabila mengetahui tawuran pelajar mohon segera menginformasikan kepada sekolah yang bersangkutan.

Sunday, September 21, 2008

KITA SUDAH KALAH

Oleh: Iwan Gunawan
(diilhami oleh kejadian tahun lalu)

Nafasku mulai terasa sesak dengan kepulan asap rokok dan kaki ini sudah terasa pegal. Betapa tidak pegal, karena aku dan Pak Otang sudah berdiri di ruangan pengap kantor pos ini sejak pukul 07.00 pagi.

Waktu sudah menunjukkan pukul 17.05, akan tetapi nama SD Salman Al Farisi belum juga dipanggil dalam urutan pengambil tunjangan fungsional guru-guru. Lengkap sudah penderitaanku hari ini..cape, pegal dan kesel..!

Ditengah kepenatan kami, tiba-tiba pada pukul 17.25 sore terdengar sebuah panggilan keras dari pengeras suara di ruangan ini….SD Salman!...Alhamdulillah, akhirnya tiba juga saat bagi saya dan Pak Otang untuk mengambil tunjangan fungsional. Sudah terbayang dalam pikiran saya, betapa bahagianya teman-temanku akan menerima tunjangan ini…setelah kuhitung, akhirnya kami berdua menerima uang sebesar Rp 55.000.000. suatu jumlah yang tidak sedikit.

Saking banyaknya uang ini, sampai-sampai teman-temanku dari SD lain menyarankan agar aku dikawal. Tetapi dengan keyakinan saya dan Pak Otang, akhirnya uang tersebut kami bawa bersama-sama.

Semua rasa cape, kesal dan lelah seketika hilang, yang ada hanya rasa bahagia bisa membawa uang tunjangan untuk teman-temanku…

Betulkah aku bahagia? ternyata kebahagiaanku hanya bertahan dua hari. Kini yang ada hanyalah rasa sakit hati dan bingung dengan semua yang terjadi, sebab disaat pembagian tunjangan fungsional, beberapa orang guru tidak setuju tunjangan itu dibagi untuk teman yang lain… ke’ego’annya telah muncul. Padahal tak pernah sekalipun saya dan Pak Otang membayangkan hal seperti ini bakal terjadi..

Bukankah aku yang dapat tunjangan ini? Ngapain harus dibagi…
Yang tidak dapat tunjangan, itu belum rejekinya…
Aku kan jam ngajarnya 24 jam, ngapain yang jam ngajarnya kurang harus dibagi..
Itu kan hak saya..!


Dan masih banyak keegoan lain yang muncul…ternyata usaha saya dan Pak Otang hanya bisa dihargai dengan sebuah keegoan, tanpa pernah berfikir rasa pegal, cape dan kesal yang kami alami…!

Hari ini aku mencoba untuk merenung…
Ternyata, hanya karena uang ajaib..yang kita sendiri tidak pernah mengeluarkan sedikitpun keringat untuk uang ini…idealisme kita hilang…persahabatan renggang…muncul keegoan…pemimpin tidak dihargai,..demi UANG AKU!!. Teman ternyata KITA SUDAH KALAH!

Padahal, selama ini kita bekerja dan melaksanakan kegiatan bersama-sama serta semuanya saling membantu. Tidak ada ego yang muncul, karena mungkin pada saat itu kita sadar bahwa kita mahluk social ‘yang tidak bisa hidup tanpa bantuan orang lain’. Hal ini pun berlaku pada saat uang tunjangan akan dicairkan, ada manajemen yang memberi pertimbangan guru mana saja yang patut diajukan, ada TU yang membuat surat untuk pengajuan dan mengantarkannya pada lembaga terkait, manajemen dan TU yang mencairkan uang.…semuanya tidak berjalan sendiri karena ‘ego’, tetapi berjalan atas kebersamaan

Saat ini saya dan mungkin juga anda mengajar 24 jam atau lebih. Saya dan juga anda, bisa mengajar dengan jumlah jam seperti itu, karena ada teman-teman di sekitar kita yang mau berbagi beban mengajar kita. Seandainya tidak ada teman-teman yang mau, mungkin saat ini kita bisa mengajar di SD Salman Al Farisi sampai 36 jam atau lebih!. Terima kasih teman, kau sudah mau menanggung sebagian beban mengajarku.

Tapi teman,
Maukah kau berbagi kembali denganku (secara ikhlas) ketika kau mendapat kenikmatan? Sebagaimana engkau berbagi beban mengajar kepada denganku

“Dari Abu Hurairah ra katanya Rasulullah SAW bersabda “seorang hamba (manusia) berkata, “Hartaku! Hartaku! Padahal hartanya yang sesungguhnya hanya tiga macam: (1) apa yang dimakannya lalu habis. (2) apa yang dipakainya lalu lusuh. (3) apa yang disedahkannya lalu tersimpan (untuk akhirat). Selain dari yang tiga macam itu lenyap atau ditinggalkan bagi orang lain” (HR. Muslim)
 

WHEN SUHENG TALK... Template by Ipietoon Cute Blog Design