Thursday, July 3, 2008

Redam Kekerasan dengan Pendidikan

Republika, 18-June-2008

Pendidikan moral di jenjang pendidikan dasar hingga tinggi perlu terus dikawal. Kerusuhan Mei 1998 serta berbagai peristiwa yang mendahuluinya seperti peristiwa penyerbuan kantor DPP PDI pada 27 Juli 1996 dan penculikan para aktivis, merupakan ‘pelajaran berharga’ tentang bagaimana menyelenggarakan kekerasan dengan baik yang diwariskan Orde Baru pada rakyat Indonesia. Ini membuka jalan bagi hadirnya kekerasan dalam kehidupan bangsa Indonesia.

Reformasi 1998 memang berhasil mengantarkan Indonesia menjadi negara demokrasi yang besar, namun ternyata atas nama demokrasi juga, kekerasan seperti telah menjadi pertunjukkan teater di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kekerasan demi kekerasan pun berlangsung tiada henti sejak 1998. Kekerasan seolah menjadi bagian tidak terpisahkan dari kebudayaan Indonesia.

Kekerasan dalam eskalasi besar dapat disaksikan di Kalimantan Barat, Ambon, Aceh, Poso, maupun kekerasan dalam eskalasi yang lebih kecil seperti tawuran antardesa, antarkampung, dan sebagainya. Lebih memprihatinkan lagi, di beberapa kota besar, budaya kekerasan seperti menjadi kegiatan ekstra kurikuler para pelajar, baik SMP, SMA, SMK, bahkan mahasiswa. Demikian pula munculnya kelompok-kelompok paramiliter yang dikelola parpol, bahkan ormas keagamaan, seolah menjadi pembenaran terhadap budaya kekerasan dalam sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.

‘’Mengapa bangsa Indonesia yang selama ini dikenal sebagai bangsa yang religius, bangsa yang ramah, yang selalu menunjujung tinggi kesantunan, cinta damai, tiba-tiba bermetamorfosis menjadi bangsa yang menjunjung tinggi budaya kekerasan? Kita harus mencari akar kekerasan dalam masyarakat, sebelum semuanya menjadi terlambat,’’ ujar Rektor Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), Bambang Setiaji, dalam Rembuk Nasional ‘Penguatan Nilai-Nilai dan Budaya Luhur dalam Rangka Peningkatan Akhlak Mulia di Perguruan Tinggi’ di UMS, Sabtu (14/6).

Menurut Bambang, permasalahan kekerasan ini merupakan permasalahan yang sistematik. Dan, perlu suatu gerakan besar dalam penguatan akhlak dalam meredam semua itu. ‘’Saat ini sebelum semuanya terlambat, adalah saat tepat untuk memikirkan dan membangun kembali bangsa dari puing-puing kehancuran,’’ jelasnya.

Sekretaris Jenderal Departemen Pendidikan Nasional (Sesjen Depdiknas) Dodi Nandika menyatakan, pendidikan moral di jenjang pendidikan dasar hingga tinggi perlu terus dikawal. Hal ini, lanjut dia, perlu dilakukan karena pada beberapa sisi telah terjadi penggerusan tata nilai. ‘’Perguruan tinggi perlu meneguhkan komitmennya sebagai PT yang mengarusutamakan akhlak mulia.

Jangan sampai penguatan ilmu pengetahuan dan teknologi berjalan, tapi melupakan sisi yang sangat penting yaitu pendidikan akhlak, pendidikan karakter, pendidikan kepribadian, dan olah kolbu, ungkapnya.

Dodi menambahkan, upaya mengarusutamakan akhlak di kampus dilakukan dengan pendekatan persuasif melalui penggiatan kembali mentoring, menggunakan buku ajar mengenai akhlak mulia, keteladanan pemimpin, pendampingan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), dan ada indikator, capaian sasaran tingkat kekerasan dan kesantunan. ‘’Kalau mau mengajar, pendidik perlu menyisipkan materi yang sifatnya penguatan akhlak selama tiga sampai empat menit,’’ jelasnya.

Dodi berpendapat, memang perlu gerakan besar untuk perubahan kultural bangsa dengan berbagai dimensi meliputi keagamaan, kewarganegaraan, pendidikan, hukum, politik, dan sosiologis di keluarga. ‘’Tidak bisa hanya dengan pendidikan, sedangkan kita mengabaikan peran orang tua,’’ tegasnya.

Lebih jauh Dodi mengaku menanti respons balik dari seluruh perguruan tinggi di Indonesia terutama dalam menegaskan komitmen penguatan akhlak. ‘’Saya berharap ini menjadi gerakan yang kian membesar yang dimulai dari UMS sendiri,’’ jelasnya.

Sementara itu, budayawan dan sastrawan Taufiq Ismail mengatakan, sejak dimulainya era reformasi pada 1998 telah tumbuh dan subur kelompok permisif dan adiktif. Menurut dia, gerakan tak bersosok organisasi resmi ini tidak berdiri sendiri, tetapi bekerjasama bahu-membahu melalui jaringan mendunia.

Gerakan ini, kata dia, didanai oleh kapital raksasa, dilandasi gabungan berbagai ideologi, dan banyak media massa cetak dan elektronik jadi pengeras suaranya. ‘’Arus besar yang menderu-deru menyerbu kepulauan kita adalah gelombang sebuah ‘gerakan syahwat merdeka’,’’ ungkapnya.

Taufik menyebutkan, sepuluh komponen dari ‘gerakan syahwat merdeka’. Pertama adalah praktisi sehari-hari kehidupan pribadi dan kelompok dalam perilaku seks secara bebas hetero dan homo, terang-terangan, dan sembunyi-sembunyi. Kedua, penerbit majalah dan tabloid mesum. Ketiga, produser, penulis skrip, dan pengiklan acara televisi syahwat.

Keempat, lanjut Taufik, sebanyak 4,2 juta situs porno dunia dan 100 ribu situs porno Indonesia di internet. ‘’Dengan empat kali klik di komputer, anatomi tubuh perempuan dan laki-laki sekaligus fisiologinya dapat diakses tanpa biaya. Sama mudahnya dilakukan baik dari San Fransisco, Timbuktu, Rotterdam, maupun Sidoarjo, dan Solo,’’ cetusnya.

Kelima, kata Taufik, produsen, pengganda pembajak, pengecer dan penonton VCD/DVD ‘biru’. Keenam, penerbit dan pengedar komik cabul. Komik seharga Rp 2.000 yang kebanyakan terbitan Jepang dengan teks dialog diterjemahkan ke bahasa Indonesia tampak dari kulit luar biasa saja. ‘’Tapi, di dalamnya banyak gambar hubungan badannya,’’ kata Taufik.

Ketujuh, lanjut Taufik, penulis, penerbit, dan propagandis buku syahwat ‘ sastra dan « sastra’. Kedelapan, fabrikan dan komsumen alkohol, Kesembilan, produsen, pengedar, dan pengguna narkoba. Kesepuluh, fabrikan, pengiklan, dan pengisap nikotin. ‘’Ciri gerakan syahwat merdeka ini adalah budaya malu yang telah terkikis habis dari susunan syaraf pusat dan rohani,’’ tegasnya.

Pendidikan Karakter: “Knowing the Good, Loving the Good, and Acting the Good”

Dahulu, ketika zaman Orde Baru, ada semacam penataran massal yang berlangsung di pelbagai tempat, terutama di instansi-instansi pemerintahan, sekolah, dan kampus-kampus. Penataran massal itu bernama “Pendidikan Moral Pancasila”. Bagus sih tujuan penataran tersebut. Namun, apakah penataran tersebut memiliki efek yang dahsyat dalam mengubah masyarakat Indonesia menjadi insan-insan yang bermoral luhur atau memiliki akhlak yang baik, tentulah waktu yang membuktikannya.

Setelah Orde Baru digantikan dengan orde yang lebih baru, penataran massal itu pun menghilang. Terdengar ada sebuah konsep baru dalam menjadikan anak didik dapat sekaligus dididik moralnya. Konsep baru itu bernama pendidikan budi pekerti. Namun, tidak sebagaimana penataran massal zaman Orde Baru, pendidikan budi pekerti ini hanya terdengar sayup-sayup dan sepertinya kurang mendapat tempat di dunia pendidikan di Indonesia.

Seorang ibu, yang juga menjadi Guru Besar di Institut Pertanian Bogor, tiba-tiba menyeruak di tengah sistem pendidikan di Indonesia yang, kayaknya, sedang dilanda oleh semacam kehampaan akut. Ibu ini membawa banyak sekali konsep untuk memperbaiki sistem pendidikan di sini. Salah satu konsepnya yang layak mendapat perhatian bernama pendidikan holistik berbasis karakter.

Karakter? Mengapa ibu ini menggunakan kata karakter? Apa tujuannya? “Kebanyakan sekolah di Indonesia hanya memperhatikan pengembangan kognitif (logika) sehingga pola ajar yang diberikan bersifat hafalan yang dogmatis dan tidak mengarah pada pemahaman dan pembentukan karakter,” ujar sang ibu suatu ketika dalam sebuah seminar.

Benar, dewasa ini, kita memang telah mengenal adanya potensi EQ (kecerdasan emosi) yang dipopulerkan oleh Dan Goleman. Juga ada SQ (kecerdasan spiritual) yang dibahas secara menarik oleh Danah Zohar dan Ian Marshall. Lantas ada pula kecerdasan majemuk (multiple intelligences) yang ditemukan Howard Gardner. Betapa kayanya potensi anak didik jika merujuk ke temuan-temuan itu?

Jika sekolah hanya menekankan pengembangan kognitif, betapa sayangnya upaya-upaya yang dilakukan oleh pendidikan kita. Mungkin, kata “holistik” yang digunakan oleh si ibu bertujuan agar pendidikan benar-benar dapat menggarap seluruh potensi anak didik yang ada ya? Lantas, apa itu karakter?

“Menurut Wynne, istilah karakter diambil dari bahasa Yunani yang berarti ‘to mark’ (menandai),” ujar si ibu lebih lanjut. “Istilah ini lebih fokus pada tindakan atau tingkah laku. Wynne mengatakan bahwa ada dua pengertian tentang karakter. Pertama, ia menunjukkan bagaimana seseorang bertingkah laku. Apabila seseorang berperilaku tidak jujur, kejam, atau rakus, tentulah orang tersebut memanifestasikan perilaku buruk. Sebaliknya, apabila seseorang berperilaku jujur, suka menolong, tentulah orang tersebut memanifestasikan karakter mulia. Kedua, istilah karakter erat kaitannya dengan ‘personality’. Seseorang baru bisa disebut ‘orang yang berkarakter’ (a person of character) apabila tingkah lakunya sesuai kaidah moral.”

Ringkasnya, menurut si ibu, membangun karakter memerlukan sebuah proses yang simultan dan berkesinambungan yang melibatkan seluruh aspek “knowing the good, loving the good, and acting the good”. Di sinilah perbedaannya dengan istilah moral. Pendidikan karakter menjadi berbeda dengan pendidikan moral karena pendidikan moral hanya terfokus pada pengetahuan tentang moral (lagi-lagi hanya menekankan aspek kognisi). Kurikulum pendidikan karakter adalah pendidikan untuk membentuk kepribadian siswa, yaitu pribadi yang bijaksana, terhormat, dan bertanggung jawab yang hasilnya terlihat dalam tindakan nyata. []
 

WHEN SUHENG TALK... Template by Ipietoon Cute Blog Design