Oleh: Iwan Gunawan
(Guru SD Salman Al Farisi Bandung)
Beberapa tahun terakhir ini, pendidikan kita diingatkan kembali akan pentingnya menanamkan karakter dalam semua proses pembelajaran. Pendidikan karakter telah menjadi gaung yang menggetarkan pendidikan kita. Betapa tidak? Karena selama ini, kita lebih banyak dininabobokan dan hanya berkonsentrasi pada ‘meraih angka’ semata, sebagaimana dikatakan Ratna Megawangi “…Hal ini terlihat dari bobot mata pelajaran yang diarahkan kepada pengembangan dimensi akademik siswa saja, yang sering diukur dengan kemampuan logika-matematika dan abstraksi (kemampuan bahasa, menghafal, abstraksi – atau ukuran IQ).”. Sehingga generasi yang dihasilkan adalah generasi yang kurang peka terhadap permasalahan-permasalahan sosial di sekitarnya. Generasi ‘karbitan’ itulah istilah ekstrem yang bisa diberikan.
Apabila dirunut ke belakang, sebenarnya Indonesia telah lama melaksanakan pendidikan yang berbasis karakter. Mungkin kita pernah ingat adanya pendidikan budi pekerti, pendidikan moral Pancasila, pendidikan agama, tetapi mengapa tidak membawa perubahan dan kebermaknaan? Mengapa hanya lip service belaka?
Beberapa hal yang menyebabkan tidak berhasilnya pendidikan karakter kita, selain karena masalah politisasi materi pendidikan itu sendiri – yang memang pada saat itu lebih cenderung pada penanaman dogma-dogma penguasa, sebagai upaya untuk melanggengkan kekuasaan - juga karena tidak adanya contoh yang bisa dijadikan sebagai idola dan panutan dalam berkarakter yang baik.
Betapa Nabi Muhammad sangat diagungkan oleh umat Islam dalam semua segi kehidupannya, karena beliau memiliki karakter yang bisa diandalkan dan dicontoh, begitu pula halnya dengan Sidharta Gautama yang sangat disanjung dan diikuti ajarannya oleh umat Budha. Nabi Muhammad dan Sidharta Gautama adalah contoh-contoh idola dan guru yang berkarakter mulia.
Guru sebagai ujung tombak pendidikan, memiliki peran yang sangat sentral dalam mewujudkan siswa yang berkarakter. Guru selain dituntut untuk menyampaikan materi, juga dituntut untuk menjadi ‘GURU – digugu dan ditiru’ yang sebenarnya. Guru harus bisa menanamkan moral, nilai-nilai etika, estetika, budi pekerti yang luhur dan lain sebagainya. Memberi penghargaan (prizing) kepada yang berprestasi, dan hukuman kepada yang melanggar, menumbuhsuburkan (cherising) nilai-nilai yang baik dan sebaliknya mengecam dan mencegah (discowaging) berlakunya nilai-nilai yang buruk. Selanjutnya menerapkan pendidikan berdasarkan karakter (character base education) dengan menerapkan ke dalam setiap pelajaran dan juga dalam kehidupan nyata. Lalu apa realitas yang terjadi?
Mungkin masih ada dalam ingatan kita, disaat narkoba menyerbu banyak murid sekolah. Semua sekolah - pada saat itu dan juga sampai saat ini - memasang kuda-kuda untuk mencegah masuknya ‘racun tersebut’ dengan slogan-slogan yang tertempel jelas di gerbang sekolah “Sekolah bebas asap rokok”, “dilarang merokok”, “Daerah bebas rokok”, “No Smoking” dan juga slogan-slogan lain yang yang tak kalah hebatnya. Tetapi sadarkah kita, bahwa masih banyak guru yang senang berteman dan ber’tuhan’kan pada rokok ini, baik dengan cara bersembunyi atau terang-terangan.
Suatu hari ada seorang guru di Bandung yang memprotes pengawas TK/SD dan juga guru-guru lain yang merokok pada saat rapat dinas tentang pendidikan lingkungan hidup. Guru tersebut mempertanyakan, bagaimana pendidikan lingkungan hidup bisa berhasil, sedangkan para guru dan pengawasnya menjadi penyumbang kerusakan lingkungan hidup, dengan asap rokoknya?
Bagaimana kita bisa melarang murid untuk tidak merokok dan membebaskan sekolah dari asap rokok, sedangkan guru-gurunya juga merokok. Tidak adil memang. Tapi itulah resiko yang harus diambil apabila kita ingin menjadikan pendidikan kita berkarakter. Mulailah dari diri sendiri untuk menjadi ‘diri yang berkarakter’
Banyak guru yang menjadi marah kalau muridnya terlambat datang ke sekolah, sedangkan apabila gurunya telat datang, betapa banyak alasan yang disampaikan pada muridnya., dan mungkin juga masih banyak kelemahan-kelemahan kita sebagai guru, yang tidak mendukung tercapainya pendidikan berkarakter seperti membuang sampah sembarangan, mengajar asal-asalan, mengejek murid, berlaku kasar terhadap murid, dsb. Masih bisa jujurkah kita dengan perbuatan-perbuatan seperti itu? Ingat, kita adalah GURU yang harus DIGUGU dan DITIRU. Kalau kita tidak bisa jadi ‘GURU’, maka sebagaimana dikatakan Anis Mata dalam bukunya ‘Membentuk Karakter Cara Islam’ “…bahwa penyebab terjadinya krisis moral adalah 1) Adanya penyimpangan pemikiran dalam sejarah pemikiran manusia yang menyebabkan paradoks antarnilai, misalnya etika dan estetika, 2) Hilangnya model kepribadian yang integral, yang memadukan kesalihan dengan kesuksesan, kebaikan dengan kekuatan, dan seterusnya, 3) Munculnya antagonisme dalam pendidikan moral“
Pendidikan karakter pada dasarnya dibentuk oleh beberapa pilar yang saling mengkait. Adapun pilar-pilar karakter ini adalah nilai-nilai luhur universal yang terdiri dari:
1. Cinta Tuhan dan alam semesta beserta isinya
2. Tanggung jawab, Kedisiplinan, dan Kemandirian
3. Kejujuran
4. Hormat dan Santun
5. Kasih Sayang, Kepedulian, dan Kerjasama
6. Percaya Diri, Kreatif, Kerja Keras, dan Pantang Menyerah
7. Keadilan dan Kepemimpinan
8. Baik dan Rendah Hati
9. Toleransi, Cinta Damai, dan Persatuan
Pendidikan karakter adalah pendidikan yang ditujukan untuk mengukir akhlak melalui proses knowing the good, loving the good, and acting the good, yaitu proses pendidikan yang melibatkan aspek kognitif, emosi, dan fisik, sehingga akhlak mulia bisa terukir menjadi habit of the mind, heart, and hands. Ayo kita bangun diri kita sebelum membangun orang lain,
Hadist riwayat Imam Ahmad : Rasulullah berkata, “Inginkah kalian kuberitahu tentang siapa dari kalian yang paling kucintai dan akan duduk di majelis terdekat denganku di hari kiamat?” Kemudian Rasul mengulanginya sampai tiga kali, dan sahabat menjawab “Iya, ya rasulullah !” Lalu rasul bersabda, “Orang yang paling baik akhlaknya.”
Wednesday, January 16, 2008
Sunday, January 13, 2008
WAJAH-WAJAH PENDIDIKAN KARAKTER
Awal Mula lewat Sejarah
Sejak umur 3 tahun anakku sudah mampu membaca. 7 bulan kemudian semua kata berbahasa Indonesia dapat dibacanya dengan baik. Layaknya anak di bangku sekolah dasar. Karena jenis tulisan favoritnya adalah dongeng atau cerita anak, ditambahkannya mimik dan intonasi untuk menggambarkan pembedaan tokoh. Lambat laun kerap muncul pertanyaan seputar kata yang belum dipahaminya. Kadang dilemparkannya dengan emosi, misalnya: “Kenapa sih, anak itu tidak mau meminjamkan mainannya? Ara aja mau kasih pinjam mainan ke teman-teman.”Ilustrasi riil di atas menggambarkan tercapainya parameter konten menurut struktur kemampuan intelektual ala Guilford (1982); digambarkan sebagai kelompok (tipe) informasi, seperti: berwujud, simbolik, semantik, menggambarkan perilaku dan merupakan interaksi nonverbal individu.
Singkat kata, model ‘Guilford’ menunjukkan halaman yang sebenarnya tidak baru dalam pendidikan dan konsep keberbakatan. Sebuah rasionalisasi pengamatan keberbakatan dari berbagai segi, yang dihantarkan lewat metode mendongeng atau bercerita bagi anak. Dari sini kita akan beranjak pada peran vital pendidikan dalam menentukan tidak hanya keberlangsungan masyarakat, namun juga mengukuhkan identitas individu dalam masyarakat.
Batu Pertama
Eksistensi setiap kebudayaan mengalami pergulatan utama melawan resiko dilupakan, hilang dalam sejarah, serta tidak diingat lagi. Bercerita merupakan cara paling tradisional melawan ‘lupa’ yang juga bertujuan untuk meneruskan cita-cita, idealisme, nilai-nilai, adat-istiadat, perilaku, dll, dalam kekayaan budaya suatu masyarakat kepada generasi selanjutnya.
Perjuangan dan usaha mengenang harta warisan kebudayaan leluhur ini adalah bentuk awal kegiatan pendidikan. Oleh karena pendidikan selalu berkaitan dengan ingatan (memoria), maka risiko dilupakan merupakan ancaman konstan bagi setiap budaya lisan, sebab tergantung pada proses pewarisannya yang bersifat temporal seiring waktu kepunahan manusia sebagai pelaku.Pada perkembangannya manusia mengembangkan budaya tulisan, sebagai antisipasi situasi ketergantungan tadi. Sehingga mampu memperpanjang keberlangsungan sejarah dan nyawa masyarakat dan kebudayaannya.
Seperti kata pepatah latin: verba volant, scripta manent (kata-kata akan hilang, sedangkan yang tertulis akan tetap tinggal). Kemudian terus digali model-model pendidikan bagi proses pembelajaran generasi selanjutnya agar semakin mudah dipahami dan cepat terintegrasi dengan kultur masyarakat, dan sesuai perkembangan jaman, hingga terungkap paling tidak tiga (3) cara, yaitu: imitasi spontan perilaku orang-orang dewasa, bermain peran (role play), dan pengenalan dunia simbolik.Pengembangan pendidikan dari tradisi lisan menuju tulisan dapat ditemui dalam tulisan hieroglif (hieroglyp) milik Mesir Kuno dan Mesopotamia, yang mengukuhkan diri sebagai pelopor.
Diteruskan pada masyarakat sekitar Timur Tengah, seperti kultur Yahudi, Yunani, Romawi, Bizantium, dan Arab. Akan tetapi tradisi lisan jauh lebih dikembangkan oleh Kebudayaan Yunani Kuno yang kemudian memproklamirkan diri sebagai pelopor pembaruan dalam pemikiran, baik tentang manusia, alam, dan politik. Dan memang pionir pemikiran tentang humanisme ditemukan dalam kebudayaan tersebut lewat filsafat yang dikembangkan.Pendidikan karakter berbasis humanis mau tidak mau mengajak kita menengok ke belakang, dimana pujangga besar yunani kuno, Homeros, meletakkan visi pendidikannya lewat tampilan pahlawan sebagai gambaran manusia ideal, yang memiliki areté.
Dalam kaitannya dengan kualitas fisik bisa berarti kemampuan, kekuatan, keuletan, kepandaian, kesehatan, kemurahan hati, kemakmuran. Sementara dalam kaitan moral berarti keutamaan, keberanian, nilai, keadaan gembira, bijaksana, nama baik, keunggulan. Dalam fase perkembangannya, tidak sekedar terdominasi pada kesadaran perjuangan hidup individu untuk meraih keutamaan yang bersifat individual, justru semakin merambah pada keutamaan berbagai macam dimensi atau bidang kehidupan, misalnya keutamaan sebagai petani (Hesiodos), keutamaan serdadu (Tirteo dan Callino), keutamaan dalam olahraga (Pindaro), keutamaan sebagai orator (kaum sofis dan Isokrates), keutamaan filosofis (Plato). Gambaran ini menyimpulkan bahwa Yunani kuno memiliki dua inti ketertarikan pendidikan; gimnastik & musik, serta kebaikan & keindahan.
Dimana pendidikan karakter ditekankan pada pertumbuhan individu secara utuh dengan cara mengembangkan potensi diri individu, yang berkaitan dengan dimensi fisik dan moral. Hingga di kemudian hari didapati adanya dua unsur penting bagi kurikulum Yunani klasik, pertama, adanya hubungan antara pendidikan manusia dengan lingkungan hidup yang mengitarinya. Maksudnya, mendidik berarti menanamkan nilai dan perilaku demi apresiasi dan rasa hormat dari masyarakat. Kedua, adanya gagasan bahwa pendidikan merupakan proses pembentukan manusia secara total sepanjang hidup. Intinya menyeimbangkan fungsi otak kiri dan kanan, antara kecerdasan hati dan pikiran, antara pengetahuan yang berguna dengan perbuatan yang baik. Seperti kata Martin Luther King, Jr: “Kecerdasan plus karakter adalah tujuan sejati sebuah pendidikan.”
Gagasan brilian pujangga besar Homeros kemudian dikembangkan oleh Hesiodos. Konsepnya berubah dari konotasi kepahlawanan menjadi pergulatan di medan kehidupan sehari-hari bagi kaum jelata, kalangan sederhana, dan petani. Menurutnya kalangan ini dapat memiliki keutamaan lewat penghayatan akan makna kerja keras dengan cucuran keringat. Areté pada kaum ini diperoleh melalui sikap bersahaja dan sederhana dalam menyikapi persoalan-persoalan hidup. Berdasarkan pengalamannya menghadapi konflik pribadi dengan saudara laki-lakinya, Perse, selanjutnya muncul dua dasar prinsip pendidikan; berlaku adil, dan mau bekerja keras. Sebab menurutnya, mereka yang tidak bekerja telah berlaku tidak adil.
Dasar moral yang dihantarnya lewat media puisi ini dalam kerangka pedagogi dan pendidikan karakter dapat menjawab pertanyaan: apakah pendidikan yang mengarah pada keutamaan yang akan menjadi karakter individu dapat diajarkan? Dan, apakah areté dapat diajarkan? Ketegasan Hesiodos menjawab: Ya!, membawa kita pada rangkuman pemikiran dua pendidik besar dalam kultur Yunani; Homeros yang mengingatkan kita bahwa setiap kebudayaan bergerak dalam kerangka pembentukan humanisme aristokratis lewat kemunculan kesadaran diri untuk membentuk kualitas diri sebagai pahlawan dan tuan atas diri sendiri. Sedangkan Hesiodos menunjukkan dasar kokoh keutamaan populis berupa penghargaan atas nilai kerja yang membingkai perilaku adil demi kestabilan dan kesejahteraan suatu masyarakat.Pendidikan karakter atenean yang lebih bersifat demokratis, dialogis, dan menghargai individu, berbeda seratus delapan puluh derajat dengan pendidikan karakter spartan pada masa kemerosotan.
Menjadi antitesis oleh sifatnya yang tiranis, totalitarian, dan komunal. Areté pun tidak sekadar idealisme dengan menjadi serdadu bersemangatkan patriotisme, namun negara sebagai institusi tertinggi mengambil alih kinerja edukatif secara total, dan dalam arti yang sesungguhnya. Perubahan drastis ini mengikuti perubahan masa keemasan Sparta dari negara militeristis, namun juga menjadi pusat kegiatan budaya, seni, dan keindahan lewat perkembangan musiknya, menjadi lebih barbar, keras, dan membatu. Akibat terjadinya revolusi sosial politik sekitar tahun 550 SM dikukuhkan keberadaan para tiran yang memegang kendali militer secara holistik. Dalam konteks rejim tiranis militeristis, pendidikan karakter Sparta bagi warga negara terutama diarahkan pada perubahan keutamaan moral sebagai warga negara, yang memiliki cinta dan ketaatan secara total pada tanah air, menghargai nilai kekuatan dan kekerasan, dan mengutamakan latihan fisik demi kesiapan tempur.
Gambaran idealisme kepahlawanan secara total lalu mengaliri setiap jiwa warga negara yang kemudian diamini sebagai idealisme pendidikan karakter ala Sparta. Hingga menegaskan dan meyakini betapa pentingnya negara sebagai identitas komunal sebagai bagian dari kinerja individu untuk menyempurnakan hidupnya. Sebab dikatakan bahwa individu tidak akan sampai pada kesempurnaan kemanusiaannya jika tidak disertai adanya semangat berkorban terhadap komunitas yang kebaikannya mengatasi kebaikan individual.Athena pun memiliki jejak sejarah militer dengan idealisme kepahlawanannya, namun pada abad ke-6 terjadi perubahan yang amat signifikan. Dari semangat militeristis berubah menjadi lebih berwajah sipil, serta pendidikannya yang lebih berwajah santun dan sportif.
Sejarawan bernama Tucidite mengukuhkannya dengan alasan penduduk kota Athena diberi kekuasaan luas dalam melakukan perubahan dalam struktur, dan tatanan sosial untuk mengurus pólis (negara-kota, red). Pelopornya adalah Solon, intelektual yang apresiatif terhadap kehidupan seni dan kebudayaan, yang kemudian terpilih sebagai arconte (legislatif yang memiliki kekuasaan menjalankan pemerintahan) melalui sebuah konsensus antar warga pólis. Kekuasaannya sebagai mediator proses perdamaian antar pihak yang berselisih, hakim yang menengahi konflik antara kepentingan rakyat dan bangsawan, serta pembuat konstitusi negara, menempatkannya sebagai pelindung warga kota dari buruknya sistem pemerintahan akibat temuan berbagai macam jenis korupsi.
Baginya, hak untuk menciptakan tata pemerintahan yang baik dan menjunjung tinggi nilai keadilan dan perdamaian bukan menjadi monopoli, keistimewaan, dan tanggungjawab kaum bangsawan saja. Melainkan merupakan keprihatinan seluruh warga pólis, yang didirikan atas solidaritas warga kota. Dalam konteks pendidikan perubahan tidak hanya terjadi secara kualitatif, namun pula kuantitatif. Dari areté ideal yang bersifat aristokratis hingga bersifat lebih demokratis. Terbuka dan dipraktekkan setiap kesempatan bagi setiap warga negara yang ingin berprestasi. Keutamaan sebagai cita-cita setiap warga pólis beralih pada persaingan dalam perlombaan olahraga Olimpiade, hingga selanjutnya berimbas pada kehadiran gerakan demokratisasi terhadap sekolah. Dari bersifat privat oleh monopoli kaum bangsawan, hingga terbuka bagi publik. Pendidikannya menawarkan kurikulum integral yang mencakup pengembangan fisik melalui gimnastik, musik, puisi, teater, dan sastra, dengan tujuan: membentuk anak didik menjadi manusia sempurna yang memiliki pertumbuhan integral atas berbagai macam dimensi hidup. Terutama menjadi pribadi dengan kualitas moral.
Beberapa metode yang diterapkan diantaranya belajar memetik harpa, membacakan syair-syair puisi terkenal diiringi denting gitar bersifat ritmis dan harmonis, sehingga mampu menembus kedalam jiwa anak. Sampai muncul kelembutan, serta keseimbangan dan harmoni interior dalam jiwa. Bagi Protagora, pendidikan musik turut memberikan sumbangan karakter moral, sebab seluruh hidup manusia memerlukan keseimbangan dan harmoni. Seperti dikatakan Mahatma Gandhi: “seseorang tidak akan dapat melakukan hal yang benar di dalam satu bagian hidup, selagi ia melakukan hal yang salah di bagian hidup yang lain. Hidup adalah kesatuan yang tidak dapat dibagi-bagi.”Selain pendidikan karakter lisan vs tulisan, aristokratis, populer, patriotis, dan harmonis, ada lagi pendidikan karakter retoris, yang terjadi di Athena pada masa Pericles sekitar abad ke-5 SM.
Demokrasi pada masa ini mendulang kejayaan lewat peran para sofis. Untuk dipahami terlebih dahulu, secara etimologi, sofis yang berasal dari bahasa Yunani sofizesthai berarti kemampuan berbicara dengan baik. Kaum sofis ini mengandaikan demokrasi sebagai ruang publik tempat setiap orang dapat menyampaikan pendapat dan gagasannya untuk memengaruhi opini publik. Karenanya pendidikan dalam konteks ini merupakan sebuah persiapan bagi individu untuk memasuki kehidupan politik, terutama mencetak para orator ulung yang mampu memberikan kesan melalui kata-kata paling indah, sehingga para pendengarnya turut terkesan. Ini ditentang oleh Plato.
Kaum sofis baginya tidak lebih dari orang yang pandai bersilat lidah; meyakinkan pendengar dengan pendapat sesat yang tidak berdasarkan kebenaran. Terlebih karena para sofis mendapat bayaran atas pengajarannya. Namun secara umum, Protagora menggunakan pendekatan humanis dengan memosisikan manusia sebagai subjek penilai. Selain turut memiliki kecenderungan atas fenomenisme lewat penjelasannya bagi hal-hal yang mengacu pada anggapan, yang bukan realitas itu sendiri.
Pemikiran ini menempatkannya sebagai pelopor pemahaman relativisme pengetahuan dan moral. Coba amati prinsipnya yang terkenal: “manusia adalah ukuran bagi segala sesuatu terhadap hal-hal yang sejauh ada, dan terhadap hal-hal yang tidak ada sejauh tidak ada”. Paling tidak, masih ada kebenaran dalam pemikiran Protagora. Meski relatif. Beda halnya dengan pemikiran Giorgia, salah seorang yang termasuk dalam kaum sofis awal bersama Protagora. Menurutnya kebenaran sama sekali tidak ada, lebih sebagai suatu hal yang salah. Diskursus tak lain adalah seni untuk menarik kepercayaan publik lewat kata-kata, kemudian meyakininya. Singkat kata, masa kejayaan Pericles diwarnai oleh pendidikan karakter yang lebih didominasi oleh areté bersifat politis yang termanifestasi melalui kemampuan retoris yang indah, sehingga mampu mempengaruhi pendapat umum (pendengar).
Pendidikan sejati bukanlah paket-paket atau kemasan pembelajaran yang berkeping-keping, tetapi bagaimana secara spontan anak dapat terus-menerus merawat minat dan keingintahuan untuk belajar. Sebab dengan membelajarkan secara serempak pikiran, hati, dan fisik, anak akan menumbuhkan semangat belajar sepanjang hidup mereka. Di sinilah dibutuhkannya peranan guru sebagai pendidik akademik dan pendidik sanubari "karakter". Dimana mereka mendidik anak menjadi "good and smart", dalam arti ‘terang hati dan pikiran’. Inilah visi baru kemanusiaan yang dihantar oleh Sokrates lewat paradigmanya yang terkenal, “kenalilah dirimu sendiri”.
Dengan mengenal diri sendiri, berarti manusia juga mengenali ‘jiwa’-nya. Lewat pemeliharaan jiwa sebagai tujuan pendidikan karakter, Sokrates memberi warna baru bagi Athena. Dan bagi dunia secara keseluruhan. Sebab, jiwa merupakan suatu hal yang membedakan manusia yang satu dengan manusia lainnya. Lebih dari itu, areté dalam versi Sokrates lebih interior, yaitu dimensi moralitas manusia. Pemahaman ini dikritik pedas oleh Plato, karena menurutnya pendidikan memiliki fungsi esensial untuk memimpin manusia pada keutamaan, yang membawa manusia pada kehidupan kontemplatif antara apa yang ‘baik’ dan yang ‘benar’. Lewat penggabungan tiga kenyataan penting dalam diri manusia yaitu negara, kebahagiaan dunia, dan kebahagiaan yang mengatasi dunia ini. Inilah jiwa yang mesti dipelihara keharmonisannya. Dan visi ini hanya bisa dilakukan dalam kebersamaan dengan semua warga untuk membangun sebuah tatanan masyarakat yang demokratis.
Di dalamnya kebaikan dan keadilan menjiwai setiap kehidupan politik dan individual warga negara. Tanpa kontekstualisasi dalam kehidupan politis, perilaku moral sebaik apa pun hanya akan memiliki corak domestik.
Tradisi, Keluarga, dan Pendidikan Humanis
Salah satu hadiah paling bagus yang dapat diberikan orangtua kepada anak-anaknya adalah kegemaran membaca, dan menyukai buku-buku bagus. Pada tahap awal dapat lewat hanya membacakan. Bentuk terkecil dari pertanggungjawaban orangtua atas perkembangan moral anak, namun sama kuat pengaruhnya dengan teladan yang baik. Lewat ‘mendengarkan’ sebagai kompetensi dasar, anak mempelajari sebuah ketrampilan.
Semakin sering dilakukan akan semakin terampil. Inilah salah satu metode yang dapat digunakan keluarga sebagai bagian dari masyarakat dalam membantu pelaksanaan pengakuan negara terhadap hak anak, seperti tercantum dalam pasal 29 ‘c’ Konvensi Hak Anak: ‘Pengembangan rasa hormat kepada orang tua anak, indentitas budaya, bahasa dan nilai-nilai nasional dimana anak bertempat tinggal, dari mana anak dan kepada peradaban-peradaban yang berbeda dari peradabannya sendiri.’
Paragrap tadi mengajak kita mengupas idealisme manusia yang terus menyempurnakan diri sebagai individu, namun tidak hanya lewat kebudayaannya saja. Sebagai manusia dalam konteks dunia global, perlu juga memapahami kebudayaan-kebudayaan lainnya. Inilah gerbang kosmopolitanisme pada masa Hellenis lewat Cicero dan Varrone sebagai tokohnya, yang mengantar pemahaman akan perkembangan individu secara utuh, dan sempurna ke arah humanitas. Bukannya bersifat parsial, segmentaris dan tertutup pada kebudayaan sendiri, melainkan memiliki kapasitas dan kemampuan untuk bertumbuh melalui kehadiran kebudayaan lain yang berbeda.
Pendidikan karakter dibentuk melalui sistem pater familias (keluarga) yang menghormati mos maiorum (rasa hormat terhadap tradisi leluhur sebagai norma tingkah laku dan cara berpikir) dan berazaskan nilai-nilai: mengutamakan kebaikan tanah air, devosi (la pietas) atau pengabdian, kesetiaan (la fiedes), perilaku bermutu (la gravitas), dan stabilitas. Singkat kata, ayah dan ibu memiliki peran yang sama dalam proses pendidikan anak berdasarkan nilai-nilai penghormatan yang sama bagi sang pencipta, orangtua, dan negara; menjaga komitmen melalui kesetiaan sebagai dasar terciptanya keadilan; memiliki rasa percaya diri sepenuhnya dalam mengambil tindakan berdasarkan pengalaman; serta membina koherensi antara tindakan dengan pemikiran diri sendiri.
Berbagai macam gagasan dan refleksi pendidikan di Romawi kian membuka mata terhadap humanitas. Salah satunya Plauto lewat refleksinya yang mengatakan bahwa manusia tidak selamanya merupakan pendidik bagi manusia lain, ibaratnya, manusia adalah serigala bagi manusia lain (homo homini lupus est). Bertentangan dengan tokoh sesudahnya, Cecilio, yang lewat ungkapannya homo homini deus est, si suum officium sciat (manusia adalah dewa bagi manusia lain jika ia mengetahui kewajibannya) ini hendak menunjukkan rasa solidaritas dan kerjasama dengan saling menguntungkan, jika mengenali kewajiban dasar mereka sebagai manusia.
Dari sini lah sekat-sekat pembatas kemanusiaan di”cabut” oleh aktor humanisme bernama Terrenzio (194-159 SM). Ungkapannya homo sum: humani nihil a me alienum puto (aku adalah manusia, tidak satu pun yang manusiawi merupakan hal yang asing bagiku) mengukuhkan bahwa yang dialami setiap manusia menunjukkan bahwa tidak semestinya manusia saling mengasingkan diri. Inilah proklamasinya akan persaudaraan dan universalitas.Masih terus berlanjut pengembangan pemahaman akan Pendidikan karakter bagi anak pada jaman sesudahnya sehingga kesimpulan adalah hal yang tidak layak untuk dihadirkan. Justru layak bila dipelajari lebih lanjut pemikiran-pemikiran orang besar dalam dunia pendidikan ini. Semoga para pembaca sekalian masih sudi meluangkan ruang dalam otak kiri dan kanan untuk menerima masukan-masukan dalam tulisan selanjutnya. (aim)
Sumber:1. PERSPEKTIF PENDIDIKAN ANAK BERBAKAT, Conny Semiawan, Jakarta, 1997.2. PENDIDIKAN KARAKTER-STRATEGI MENDIDIK ANAK di ZAMAN GLOBAL, Doni Koesoema A, Jakarta, 2007.3. ANAK-ANAK KARBITAN, Dewi Utama Faizah, bekerja di Direktorat pendidikan TK dan SD Ditjen Dikdasmen, Depdiknas, Program Director untuk Institut Pengembangan Pendidikan Karakter divisi dari Indonesia Heritage Foundation.4. FAMILY WISDOM, Robin Sharma, Jakarta, 2005.5. Pasal 29 ‘c’ Konvensi Hak AnakArtha Intan Mandiri, anggota sidang redaksi Sekitarkita dan penggiat homeschooling
Sejak umur 3 tahun anakku sudah mampu membaca. 7 bulan kemudian semua kata berbahasa Indonesia dapat dibacanya dengan baik. Layaknya anak di bangku sekolah dasar. Karena jenis tulisan favoritnya adalah dongeng atau cerita anak, ditambahkannya mimik dan intonasi untuk menggambarkan pembedaan tokoh. Lambat laun kerap muncul pertanyaan seputar kata yang belum dipahaminya. Kadang dilemparkannya dengan emosi, misalnya: “Kenapa sih, anak itu tidak mau meminjamkan mainannya? Ara aja mau kasih pinjam mainan ke teman-teman.”Ilustrasi riil di atas menggambarkan tercapainya parameter konten menurut struktur kemampuan intelektual ala Guilford (1982); digambarkan sebagai kelompok (tipe) informasi, seperti: berwujud, simbolik, semantik, menggambarkan perilaku dan merupakan interaksi nonverbal individu.
Singkat kata, model ‘Guilford’ menunjukkan halaman yang sebenarnya tidak baru dalam pendidikan dan konsep keberbakatan. Sebuah rasionalisasi pengamatan keberbakatan dari berbagai segi, yang dihantarkan lewat metode mendongeng atau bercerita bagi anak. Dari sini kita akan beranjak pada peran vital pendidikan dalam menentukan tidak hanya keberlangsungan masyarakat, namun juga mengukuhkan identitas individu dalam masyarakat.
Batu Pertama
Eksistensi setiap kebudayaan mengalami pergulatan utama melawan resiko dilupakan, hilang dalam sejarah, serta tidak diingat lagi. Bercerita merupakan cara paling tradisional melawan ‘lupa’ yang juga bertujuan untuk meneruskan cita-cita, idealisme, nilai-nilai, adat-istiadat, perilaku, dll, dalam kekayaan budaya suatu masyarakat kepada generasi selanjutnya.
Perjuangan dan usaha mengenang harta warisan kebudayaan leluhur ini adalah bentuk awal kegiatan pendidikan. Oleh karena pendidikan selalu berkaitan dengan ingatan (memoria), maka risiko dilupakan merupakan ancaman konstan bagi setiap budaya lisan, sebab tergantung pada proses pewarisannya yang bersifat temporal seiring waktu kepunahan manusia sebagai pelaku.Pada perkembangannya manusia mengembangkan budaya tulisan, sebagai antisipasi situasi ketergantungan tadi. Sehingga mampu memperpanjang keberlangsungan sejarah dan nyawa masyarakat dan kebudayaannya.
Seperti kata pepatah latin: verba volant, scripta manent (kata-kata akan hilang, sedangkan yang tertulis akan tetap tinggal). Kemudian terus digali model-model pendidikan bagi proses pembelajaran generasi selanjutnya agar semakin mudah dipahami dan cepat terintegrasi dengan kultur masyarakat, dan sesuai perkembangan jaman, hingga terungkap paling tidak tiga (3) cara, yaitu: imitasi spontan perilaku orang-orang dewasa, bermain peran (role play), dan pengenalan dunia simbolik.Pengembangan pendidikan dari tradisi lisan menuju tulisan dapat ditemui dalam tulisan hieroglif (hieroglyp) milik Mesir Kuno dan Mesopotamia, yang mengukuhkan diri sebagai pelopor.
Diteruskan pada masyarakat sekitar Timur Tengah, seperti kultur Yahudi, Yunani, Romawi, Bizantium, dan Arab. Akan tetapi tradisi lisan jauh lebih dikembangkan oleh Kebudayaan Yunani Kuno yang kemudian memproklamirkan diri sebagai pelopor pembaruan dalam pemikiran, baik tentang manusia, alam, dan politik. Dan memang pionir pemikiran tentang humanisme ditemukan dalam kebudayaan tersebut lewat filsafat yang dikembangkan.Pendidikan karakter berbasis humanis mau tidak mau mengajak kita menengok ke belakang, dimana pujangga besar yunani kuno, Homeros, meletakkan visi pendidikannya lewat tampilan pahlawan sebagai gambaran manusia ideal, yang memiliki areté.
Dalam kaitannya dengan kualitas fisik bisa berarti kemampuan, kekuatan, keuletan, kepandaian, kesehatan, kemurahan hati, kemakmuran. Sementara dalam kaitan moral berarti keutamaan, keberanian, nilai, keadaan gembira, bijaksana, nama baik, keunggulan. Dalam fase perkembangannya, tidak sekedar terdominasi pada kesadaran perjuangan hidup individu untuk meraih keutamaan yang bersifat individual, justru semakin merambah pada keutamaan berbagai macam dimensi atau bidang kehidupan, misalnya keutamaan sebagai petani (Hesiodos), keutamaan serdadu (Tirteo dan Callino), keutamaan dalam olahraga (Pindaro), keutamaan sebagai orator (kaum sofis dan Isokrates), keutamaan filosofis (Plato). Gambaran ini menyimpulkan bahwa Yunani kuno memiliki dua inti ketertarikan pendidikan; gimnastik & musik, serta kebaikan & keindahan.
Dimana pendidikan karakter ditekankan pada pertumbuhan individu secara utuh dengan cara mengembangkan potensi diri individu, yang berkaitan dengan dimensi fisik dan moral. Hingga di kemudian hari didapati adanya dua unsur penting bagi kurikulum Yunani klasik, pertama, adanya hubungan antara pendidikan manusia dengan lingkungan hidup yang mengitarinya. Maksudnya, mendidik berarti menanamkan nilai dan perilaku demi apresiasi dan rasa hormat dari masyarakat. Kedua, adanya gagasan bahwa pendidikan merupakan proses pembentukan manusia secara total sepanjang hidup. Intinya menyeimbangkan fungsi otak kiri dan kanan, antara kecerdasan hati dan pikiran, antara pengetahuan yang berguna dengan perbuatan yang baik. Seperti kata Martin Luther King, Jr: “Kecerdasan plus karakter adalah tujuan sejati sebuah pendidikan.”
Gagasan brilian pujangga besar Homeros kemudian dikembangkan oleh Hesiodos. Konsepnya berubah dari konotasi kepahlawanan menjadi pergulatan di medan kehidupan sehari-hari bagi kaum jelata, kalangan sederhana, dan petani. Menurutnya kalangan ini dapat memiliki keutamaan lewat penghayatan akan makna kerja keras dengan cucuran keringat. Areté pada kaum ini diperoleh melalui sikap bersahaja dan sederhana dalam menyikapi persoalan-persoalan hidup. Berdasarkan pengalamannya menghadapi konflik pribadi dengan saudara laki-lakinya, Perse, selanjutnya muncul dua dasar prinsip pendidikan; berlaku adil, dan mau bekerja keras. Sebab menurutnya, mereka yang tidak bekerja telah berlaku tidak adil.
Dasar moral yang dihantarnya lewat media puisi ini dalam kerangka pedagogi dan pendidikan karakter dapat menjawab pertanyaan: apakah pendidikan yang mengarah pada keutamaan yang akan menjadi karakter individu dapat diajarkan? Dan, apakah areté dapat diajarkan? Ketegasan Hesiodos menjawab: Ya!, membawa kita pada rangkuman pemikiran dua pendidik besar dalam kultur Yunani; Homeros yang mengingatkan kita bahwa setiap kebudayaan bergerak dalam kerangka pembentukan humanisme aristokratis lewat kemunculan kesadaran diri untuk membentuk kualitas diri sebagai pahlawan dan tuan atas diri sendiri. Sedangkan Hesiodos menunjukkan dasar kokoh keutamaan populis berupa penghargaan atas nilai kerja yang membingkai perilaku adil demi kestabilan dan kesejahteraan suatu masyarakat.Pendidikan karakter atenean yang lebih bersifat demokratis, dialogis, dan menghargai individu, berbeda seratus delapan puluh derajat dengan pendidikan karakter spartan pada masa kemerosotan.
Menjadi antitesis oleh sifatnya yang tiranis, totalitarian, dan komunal. Areté pun tidak sekadar idealisme dengan menjadi serdadu bersemangatkan patriotisme, namun negara sebagai institusi tertinggi mengambil alih kinerja edukatif secara total, dan dalam arti yang sesungguhnya. Perubahan drastis ini mengikuti perubahan masa keemasan Sparta dari negara militeristis, namun juga menjadi pusat kegiatan budaya, seni, dan keindahan lewat perkembangan musiknya, menjadi lebih barbar, keras, dan membatu. Akibat terjadinya revolusi sosial politik sekitar tahun 550 SM dikukuhkan keberadaan para tiran yang memegang kendali militer secara holistik. Dalam konteks rejim tiranis militeristis, pendidikan karakter Sparta bagi warga negara terutama diarahkan pada perubahan keutamaan moral sebagai warga negara, yang memiliki cinta dan ketaatan secara total pada tanah air, menghargai nilai kekuatan dan kekerasan, dan mengutamakan latihan fisik demi kesiapan tempur.
Gambaran idealisme kepahlawanan secara total lalu mengaliri setiap jiwa warga negara yang kemudian diamini sebagai idealisme pendidikan karakter ala Sparta. Hingga menegaskan dan meyakini betapa pentingnya negara sebagai identitas komunal sebagai bagian dari kinerja individu untuk menyempurnakan hidupnya. Sebab dikatakan bahwa individu tidak akan sampai pada kesempurnaan kemanusiaannya jika tidak disertai adanya semangat berkorban terhadap komunitas yang kebaikannya mengatasi kebaikan individual.Athena pun memiliki jejak sejarah militer dengan idealisme kepahlawanannya, namun pada abad ke-6 terjadi perubahan yang amat signifikan. Dari semangat militeristis berubah menjadi lebih berwajah sipil, serta pendidikannya yang lebih berwajah santun dan sportif.
Sejarawan bernama Tucidite mengukuhkannya dengan alasan penduduk kota Athena diberi kekuasaan luas dalam melakukan perubahan dalam struktur, dan tatanan sosial untuk mengurus pólis (negara-kota, red). Pelopornya adalah Solon, intelektual yang apresiatif terhadap kehidupan seni dan kebudayaan, yang kemudian terpilih sebagai arconte (legislatif yang memiliki kekuasaan menjalankan pemerintahan) melalui sebuah konsensus antar warga pólis. Kekuasaannya sebagai mediator proses perdamaian antar pihak yang berselisih, hakim yang menengahi konflik antara kepentingan rakyat dan bangsawan, serta pembuat konstitusi negara, menempatkannya sebagai pelindung warga kota dari buruknya sistem pemerintahan akibat temuan berbagai macam jenis korupsi.
Baginya, hak untuk menciptakan tata pemerintahan yang baik dan menjunjung tinggi nilai keadilan dan perdamaian bukan menjadi monopoli, keistimewaan, dan tanggungjawab kaum bangsawan saja. Melainkan merupakan keprihatinan seluruh warga pólis, yang didirikan atas solidaritas warga kota. Dalam konteks pendidikan perubahan tidak hanya terjadi secara kualitatif, namun pula kuantitatif. Dari areté ideal yang bersifat aristokratis hingga bersifat lebih demokratis. Terbuka dan dipraktekkan setiap kesempatan bagi setiap warga negara yang ingin berprestasi. Keutamaan sebagai cita-cita setiap warga pólis beralih pada persaingan dalam perlombaan olahraga Olimpiade, hingga selanjutnya berimbas pada kehadiran gerakan demokratisasi terhadap sekolah. Dari bersifat privat oleh monopoli kaum bangsawan, hingga terbuka bagi publik. Pendidikannya menawarkan kurikulum integral yang mencakup pengembangan fisik melalui gimnastik, musik, puisi, teater, dan sastra, dengan tujuan: membentuk anak didik menjadi manusia sempurna yang memiliki pertumbuhan integral atas berbagai macam dimensi hidup. Terutama menjadi pribadi dengan kualitas moral.
Beberapa metode yang diterapkan diantaranya belajar memetik harpa, membacakan syair-syair puisi terkenal diiringi denting gitar bersifat ritmis dan harmonis, sehingga mampu menembus kedalam jiwa anak. Sampai muncul kelembutan, serta keseimbangan dan harmoni interior dalam jiwa. Bagi Protagora, pendidikan musik turut memberikan sumbangan karakter moral, sebab seluruh hidup manusia memerlukan keseimbangan dan harmoni. Seperti dikatakan Mahatma Gandhi: “seseorang tidak akan dapat melakukan hal yang benar di dalam satu bagian hidup, selagi ia melakukan hal yang salah di bagian hidup yang lain. Hidup adalah kesatuan yang tidak dapat dibagi-bagi.”Selain pendidikan karakter lisan vs tulisan, aristokratis, populer, patriotis, dan harmonis, ada lagi pendidikan karakter retoris, yang terjadi di Athena pada masa Pericles sekitar abad ke-5 SM.
Demokrasi pada masa ini mendulang kejayaan lewat peran para sofis. Untuk dipahami terlebih dahulu, secara etimologi, sofis yang berasal dari bahasa Yunani sofizesthai berarti kemampuan berbicara dengan baik. Kaum sofis ini mengandaikan demokrasi sebagai ruang publik tempat setiap orang dapat menyampaikan pendapat dan gagasannya untuk memengaruhi opini publik. Karenanya pendidikan dalam konteks ini merupakan sebuah persiapan bagi individu untuk memasuki kehidupan politik, terutama mencetak para orator ulung yang mampu memberikan kesan melalui kata-kata paling indah, sehingga para pendengarnya turut terkesan. Ini ditentang oleh Plato.
Kaum sofis baginya tidak lebih dari orang yang pandai bersilat lidah; meyakinkan pendengar dengan pendapat sesat yang tidak berdasarkan kebenaran. Terlebih karena para sofis mendapat bayaran atas pengajarannya. Namun secara umum, Protagora menggunakan pendekatan humanis dengan memosisikan manusia sebagai subjek penilai. Selain turut memiliki kecenderungan atas fenomenisme lewat penjelasannya bagi hal-hal yang mengacu pada anggapan, yang bukan realitas itu sendiri.
Pemikiran ini menempatkannya sebagai pelopor pemahaman relativisme pengetahuan dan moral. Coba amati prinsipnya yang terkenal: “manusia adalah ukuran bagi segala sesuatu terhadap hal-hal yang sejauh ada, dan terhadap hal-hal yang tidak ada sejauh tidak ada”. Paling tidak, masih ada kebenaran dalam pemikiran Protagora. Meski relatif. Beda halnya dengan pemikiran Giorgia, salah seorang yang termasuk dalam kaum sofis awal bersama Protagora. Menurutnya kebenaran sama sekali tidak ada, lebih sebagai suatu hal yang salah. Diskursus tak lain adalah seni untuk menarik kepercayaan publik lewat kata-kata, kemudian meyakininya. Singkat kata, masa kejayaan Pericles diwarnai oleh pendidikan karakter yang lebih didominasi oleh areté bersifat politis yang termanifestasi melalui kemampuan retoris yang indah, sehingga mampu mempengaruhi pendapat umum (pendengar).
Pendidikan sejati bukanlah paket-paket atau kemasan pembelajaran yang berkeping-keping, tetapi bagaimana secara spontan anak dapat terus-menerus merawat minat dan keingintahuan untuk belajar. Sebab dengan membelajarkan secara serempak pikiran, hati, dan fisik, anak akan menumbuhkan semangat belajar sepanjang hidup mereka. Di sinilah dibutuhkannya peranan guru sebagai pendidik akademik dan pendidik sanubari "karakter". Dimana mereka mendidik anak menjadi "good and smart", dalam arti ‘terang hati dan pikiran’. Inilah visi baru kemanusiaan yang dihantar oleh Sokrates lewat paradigmanya yang terkenal, “kenalilah dirimu sendiri”.
Dengan mengenal diri sendiri, berarti manusia juga mengenali ‘jiwa’-nya. Lewat pemeliharaan jiwa sebagai tujuan pendidikan karakter, Sokrates memberi warna baru bagi Athena. Dan bagi dunia secara keseluruhan. Sebab, jiwa merupakan suatu hal yang membedakan manusia yang satu dengan manusia lainnya. Lebih dari itu, areté dalam versi Sokrates lebih interior, yaitu dimensi moralitas manusia. Pemahaman ini dikritik pedas oleh Plato, karena menurutnya pendidikan memiliki fungsi esensial untuk memimpin manusia pada keutamaan, yang membawa manusia pada kehidupan kontemplatif antara apa yang ‘baik’ dan yang ‘benar’. Lewat penggabungan tiga kenyataan penting dalam diri manusia yaitu negara, kebahagiaan dunia, dan kebahagiaan yang mengatasi dunia ini. Inilah jiwa yang mesti dipelihara keharmonisannya. Dan visi ini hanya bisa dilakukan dalam kebersamaan dengan semua warga untuk membangun sebuah tatanan masyarakat yang demokratis.
Di dalamnya kebaikan dan keadilan menjiwai setiap kehidupan politik dan individual warga negara. Tanpa kontekstualisasi dalam kehidupan politis, perilaku moral sebaik apa pun hanya akan memiliki corak domestik.
Tradisi, Keluarga, dan Pendidikan Humanis
Salah satu hadiah paling bagus yang dapat diberikan orangtua kepada anak-anaknya adalah kegemaran membaca, dan menyukai buku-buku bagus. Pada tahap awal dapat lewat hanya membacakan. Bentuk terkecil dari pertanggungjawaban orangtua atas perkembangan moral anak, namun sama kuat pengaruhnya dengan teladan yang baik. Lewat ‘mendengarkan’ sebagai kompetensi dasar, anak mempelajari sebuah ketrampilan.
Semakin sering dilakukan akan semakin terampil. Inilah salah satu metode yang dapat digunakan keluarga sebagai bagian dari masyarakat dalam membantu pelaksanaan pengakuan negara terhadap hak anak, seperti tercantum dalam pasal 29 ‘c’ Konvensi Hak Anak: ‘Pengembangan rasa hormat kepada orang tua anak, indentitas budaya, bahasa dan nilai-nilai nasional dimana anak bertempat tinggal, dari mana anak dan kepada peradaban-peradaban yang berbeda dari peradabannya sendiri.’
Paragrap tadi mengajak kita mengupas idealisme manusia yang terus menyempurnakan diri sebagai individu, namun tidak hanya lewat kebudayaannya saja. Sebagai manusia dalam konteks dunia global, perlu juga memapahami kebudayaan-kebudayaan lainnya. Inilah gerbang kosmopolitanisme pada masa Hellenis lewat Cicero dan Varrone sebagai tokohnya, yang mengantar pemahaman akan perkembangan individu secara utuh, dan sempurna ke arah humanitas. Bukannya bersifat parsial, segmentaris dan tertutup pada kebudayaan sendiri, melainkan memiliki kapasitas dan kemampuan untuk bertumbuh melalui kehadiran kebudayaan lain yang berbeda.
Pendidikan karakter dibentuk melalui sistem pater familias (keluarga) yang menghormati mos maiorum (rasa hormat terhadap tradisi leluhur sebagai norma tingkah laku dan cara berpikir) dan berazaskan nilai-nilai: mengutamakan kebaikan tanah air, devosi (la pietas) atau pengabdian, kesetiaan (la fiedes), perilaku bermutu (la gravitas), dan stabilitas. Singkat kata, ayah dan ibu memiliki peran yang sama dalam proses pendidikan anak berdasarkan nilai-nilai penghormatan yang sama bagi sang pencipta, orangtua, dan negara; menjaga komitmen melalui kesetiaan sebagai dasar terciptanya keadilan; memiliki rasa percaya diri sepenuhnya dalam mengambil tindakan berdasarkan pengalaman; serta membina koherensi antara tindakan dengan pemikiran diri sendiri.
Berbagai macam gagasan dan refleksi pendidikan di Romawi kian membuka mata terhadap humanitas. Salah satunya Plauto lewat refleksinya yang mengatakan bahwa manusia tidak selamanya merupakan pendidik bagi manusia lain, ibaratnya, manusia adalah serigala bagi manusia lain (homo homini lupus est). Bertentangan dengan tokoh sesudahnya, Cecilio, yang lewat ungkapannya homo homini deus est, si suum officium sciat (manusia adalah dewa bagi manusia lain jika ia mengetahui kewajibannya) ini hendak menunjukkan rasa solidaritas dan kerjasama dengan saling menguntungkan, jika mengenali kewajiban dasar mereka sebagai manusia.
Dari sini lah sekat-sekat pembatas kemanusiaan di”cabut” oleh aktor humanisme bernama Terrenzio (194-159 SM). Ungkapannya homo sum: humani nihil a me alienum puto (aku adalah manusia, tidak satu pun yang manusiawi merupakan hal yang asing bagiku) mengukuhkan bahwa yang dialami setiap manusia menunjukkan bahwa tidak semestinya manusia saling mengasingkan diri. Inilah proklamasinya akan persaudaraan dan universalitas.Masih terus berlanjut pengembangan pemahaman akan Pendidikan karakter bagi anak pada jaman sesudahnya sehingga kesimpulan adalah hal yang tidak layak untuk dihadirkan. Justru layak bila dipelajari lebih lanjut pemikiran-pemikiran orang besar dalam dunia pendidikan ini. Semoga para pembaca sekalian masih sudi meluangkan ruang dalam otak kiri dan kanan untuk menerima masukan-masukan dalam tulisan selanjutnya. (aim)
Sumber:1. PERSPEKTIF PENDIDIKAN ANAK BERBAKAT, Conny Semiawan, Jakarta, 1997.2. PENDIDIKAN KARAKTER-STRATEGI MENDIDIK ANAK di ZAMAN GLOBAL, Doni Koesoema A, Jakarta, 2007.3. ANAK-ANAK KARBITAN, Dewi Utama Faizah, bekerja di Direktorat pendidikan TK dan SD Ditjen Dikdasmen, Depdiknas, Program Director untuk Institut Pengembangan Pendidikan Karakter divisi dari Indonesia Heritage Foundation.4. FAMILY WISDOM, Robin Sharma, Jakarta, 2005.5. Pasal 29 ‘c’ Konvensi Hak AnakArtha Intan Mandiri, anggota sidang redaksi Sekitarkita dan penggiat homeschooling
Subscribe to:
Posts (Atom)