Tuesday, December 11, 2007
'Banyak Sekolah Sengsarakan Anak'
Sekolah bisa jadi ajang penyiksaan karakter.
JAKARTA--Orang tua dianjurkan untuk berhati-hati dalam memilih sekolah untuk anak-anak. Pasalnya, jika salah memilih lembaga pendidikan formal yang sejatinya bertujuan mendidik dan mengembangkan potensi anak ini, justru malah bisa menyengsarakan anak. Anjuran itu disampaikan oleh pendiri dan direktur eksekutif Indonesia Heritage Foundation (IHF), Ratna Megawangi.
Menurut Ratna, kebanyakan sekolah di Indonesia hanya memperhatikan pengembangan kognitif (logika) para siswanya, sehingga pola ajar yang diberikan bersifat hafalan yang dogmatis dan tidak mengarah pada pemahaman dan pembentukan karakter. Sekolah seperti ini sebenarnya menyengsarakan anak karena anak menjadi terbebani dengan tugas-tugas sekolah. Mereka tidak fun, kata Ratna pada acara seminar dan workshop Pendidikan Karakter Melalui Brain Based Parenting(Pola Asuh Ramah Otak) di Jakarta, Sabtu (19/5).
Dia mencontohkan, di antara pola ajar sekolah-sekolah yang menyengsarakan anak ini yaitu dengan pemberian tugas atau pekerjaan rumah yang bertumpuk-tumpuk serta tidak memperhatikan tingkat pemahaman siswa terhadap mata pelajaran. Dalam kondisi ini, siswa jadi stress. Dia penuh tekanan sehingga perkembangan karakternya pun tidak begitu baik, kata Ratna yang sebelum seminar meluncurkan buku terbarunya yang berjudul Semua Berakar pada Karakter.
Hal yang mendukung sekolah justru menjadi ajang `penyiksaan' karakter anak, yaitu perbandingan jumlah peserta didik dan guru dalam satu kelas. Kelas yang terlalu banyak jumlah siswanya dengan hanya satu orang guru, kata Ratna, membuat anak tak leluasa menanyakan apa yang tidak ia pahami tentang tema mata pelajaran. Padahal, lanjut Ratna, untuk menumbuhkembangkan potensi anak, lembaga pendidikan sekolah seharusnya menerapkan kurikulum yang holistik berbasis karakter dengan menempatkan anak sebagai subjek dalam belajar.
Para siswa, kata Ratna tidak hanya diajarkan bagaimana untuk mengerti (knowing) tentang sesuatu, tetapi juga merasakan (feeling), dan mengerjakan (acting). Ratna menuturkan, lingkungan sekolah yang tidak `ramah' terhadap perkembangan karakter anak justru akan membuat semua potensi anak tidak berkembang. Armada, orang tua siswa bernama Kalam (11 tahun), juga memberikan testimoninya tentang pengaruh sekolah dalam perkembangan karakter anaknya.
Armada mengatakan, sepulang dari Amerika Serikat selepas menjalani studi, dia dan istrinya menyekolahkan Kalam di sebuah sekolah unggulan. Namun yang terjadi justru mengejutkan saya. Anak saya semakin hari bertambah stress dan terlihat tidak happy, tutur Armada. Setelah empat tahun, Armada baru menyadari ternyata anaknya mengalami tekanan yang luar biasa dengan cara belajar di sekolah. Itu terlihat ketika dia ingin berangkat sekolah. Dia selalu murung, imbuh Armada.
Saat Armada Kalam dipindahkan ke sekolah lain yang mendasarkan kurikulumnya pada pengembangan karakter anak, barulah terjadi perubahan perilaku. Ikhtisar - Salah memilih lembaga pendidikan bisa menyengsarakan anak. - Sekolah harusnya menerapkan kurikulum yang holistik. (ade ) Sumber: Republika Online
KECERDASAN PLUS KARAKTER
Ratna Megawangi (Indonesia Heritage Foundation)
Apa dampak pendidikan karakter terhadap keberhasilan akademik? Beberapa penelitian bermunculan untuk menjawab pertanyaan ini. Ringkasan dari beberapa penemuan penting mengenai hal ini diterbitkan oleh sebuah buletin, Character Educator, yang diterbitkan oleh Character Education Partnership.
Dalam buletin tersebut diuraikan bahwa hasil studi Dr. Marvin Berkowitz dari University of Missouri- St. Louis, menunjukan peningkatan motivasi siswa sekolah dalam meraih prestasi akademik pada sekolah-sekolah yang menerapkan pendidikan karakter. Kelas-kelas yang secara komprehensif terlibat dalam pendidikan karakter menunjukan penurunan drastis pada perilaku negatif siswa yang dapat menghambat keberhasilan akademik.
Pendidikan karakter adalah pendidikan budi pekerti plus, yaitu yang melibatkan aspek pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action). Menurut Thomas Lickona, tanpa ketiga aspek ini, maka pendidikan karakter tidak akan efektif, dan pelaksanaannya pun harus dilakukan secara sistematis dan berkelanjutan. Dengan pendidikan karakter, seorang anak akan menjadi cerdas emosinya. Kecerdasan emosi adalah bekal terpenting dalam mempersiapkan anak menyongsong masa depan, karena dengannya seseorang akan dapat berhasil dalam menghadapi segala macam tantangan, termasuk tantangan untuk berhasil secara akademis.
Sebuah buku yang baru terbit berjudul Emotional Intelligence and School Success (Joseph Zins, et.al, 2001) mengkompilasikan berbagai hasil penelitian tentang pengaruh positif kecerdasan emosi anak terhadap keberhasilan di sekolah. Dikatakan bahwa ada sederet faktor-faktor resiko penyebab kegagalan anak di sekolah. Faktor-faktor resiko yang disebutkan ternyata bukan terletak pada kecerdasan otak, tetapi pada karakter, yaitu rasa percaya diri, kemampuan bekerja sama, kemampuan bergaul, kemampuan berkonsentrasi, rasa empati, dan kemampuan berkomunikasi. Hal ini sesuai dengan pendapat Daniel Goleman tentang keberhasilan seseorang di masyarakat, ternyata 80 persen dipengaruhi oleh kecerdasan emosi, dan hanya 20 persen ditentukan oleh kecerdasan otak (IQ).
Anak-anak yang mempunyai masalah dalam kecerdasan emosinya, akan mengalami kesulitan belajar, bergaul dan tidak dapat mengontrol emosinya. Anak-anak yang bermasalah ini sudah dapat dilihat sejak usia pra-sekolah, dan kalau tidak ditangani akan terbawa sampai usia dewasa. Sebaliknya para remaja yang berkarakter atau mempunyai kecerdasan emosi tinggi akan terhindar dari masalah-masalah umum yang dihadapi oleh remaja seperti kenakalan, tawuran, narkoba, miras, perilaku seks bebas, dan sebagainya.
Pendidikan karakter di sekolah sangat diperlukan, walaupun dasar dari pendidikan karakter adalah di dalam keluarga. Kalau seorang anak mendapatkan pendidikan karakter yang baik dari keluarganya, anak tersebut akan berkarakter baik selanjutnya. Namun banyak orang tua yang lebih mementingkan aspek kecerdasan otak ketimbang pendidikan karakter. Selain itu Daniel Goleman juga mengatakan bahwa banyak orang tua yang gagal dalam mendidik karakter anak-anaknya entah karena kesibukan atau karena lebih mementingkan aspek kognitif anak. Namun ini semua dapat dikoreksi dengan memberikan pendidikan karakter di sekolah.
Namun masalahnya, kebijakan pendidikan di Indonesia juga lebih mementingkan aspek kecerdasan otak, dan hanya baru-baru ini saja pentingnya pendidikan budi pekerti menjadi bahan pembicaraan ramai. Ada yang mengatakan bahwa kurikulum pendidikan di Indonesia dibuat hanya cocok untuk diberikan pada 10-20 persen otak-otak terbaik. Artinya sebagian besar anak sekolah (80-90 persen) tidak dapat mengikuti kurikulum pelajaran di sekolah. Akibatnya sejak usia dini, sebagian besar anak-anak akan merasa “bodoh” karena kesulitan menyesuaikan dengan kurikulum yang ada. Ditambah lagi dengan adanya sistem ranking yang telah “memvonis” anak-anak yang tidak masuk “10 besar”, sebagai anak yang kurang pandai. Sistem seperti ini tentunya berpengaruh negatif terhadap usaha membangun karakter, dimana sejak dini anak-anak justru sudah “dibunuh” rasa percaya dirinya.
Rasa tidak mampu yang berkepanjangan yang akan membentuk pribadi yang tidak percaya diri, akan menimbulkan stress berkepanjangan. Pada usia remaja biasanya keadaan ini akan mendorong remaja berperilaku negatif. Maka, tidak heran kalau kita lihat perilaku remaja kita yang senang tawuran, terlibat kriminalitas, putus sekolah, dan menurunnya mutu lulusan SMP dan SMU.
Jadi, pendidikan karakter atau budi pekerti plus adalah suatu yang urgent untuk dilakukan. Kalau kita peduli untuk meningkatkan mutu lulusan SD, SMP dan SMU, maka tanpa pendidikan karakter adalah usaha yang sia-sia. Kami ingin mengutip kata-kata bijak dari pemikir besar dunia. Mahatma Gandhi memperingatkan tentang salah satu tujuh dosa fatal, yaitu “education without character”(pendidikan tanpa karakter). Dr. Martin Luther King juga pernah berkata: “Intelligence plus character….that is the goal of true education” (Kecerdasan plus karakter….itu adalah tujuan akhir dari pendidikan sebenarnya). Juga Theodore Roosevelt yang mengatakan: “To educate a person in mind and not in morals is to educate a menace to society” (Mendidik seseorang dalam aspek kecerdasan otak dan bukan aspek moral adalah ancaman mara-bahaya kepada masyarakat).
Sunday, December 9, 2007
Pendidikan Qur'ani-Senantiasa Berpihak pada Anak
Pendidikan Agama yang sumbernya pada nilai-nilai Quran semakin terasa diperlukan oleh anak-anak kita, untuk mempersiapkan masa depannya yang lebih maju, kompleks, canggih dan penuh tantangan. Hal ini disebabkan kecenderungan masa depan yang kompleks dalam memecahkan masalah yang cenderung secara rasional yang berdampak pada pengabaian nilai-nilai moral demi kemanfaatan sesaat.
Pendidikan anak kita perlu bermuara terhadap pengagungan nama Allah SWT, sehingga pendidikan apapun yang dia terima menjadi penopang ketauhidannya. Al Quran sebagai acuan kita, telah menginformasikan seperti dalam surat Shad ayat 29 "ini adalah sebuah kitab yang kami turunkan kepadamu yang penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan atay-ayatNya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran".
Untuk menanamkan kecintaan anak-anak kita terhadap Al Quran, tidak bisa menunggu mereka sampai bisa membaca, bahkan sejak tali perkawinan hal itu harus dimulai.
Keteladanan
Concern Rosulullah SAW menurut Al Quran adalah juga concern para nabi Allah terdahuku seperti doa Nabi Ibrahim "Tuhanku, karuniakanlah kepadaku anak-anak yang termasuk orang-orang yang shalih" (QS. 26:83)
Tetap perlu diingat untuk menanamkan hal tersebut pada anak, kita harus memahami dunia anak, sesuai perkembangannya. Pada dasarnya anak "melihat" lebih besar dari yang didengar. Ada pepatah yang mengatakan "Anakmu akan lebih memperhatikan apa yang kamu lakukan, dibanding apa yang kamu katakan".
Disini perlunya konsep keteladanan dalam bentuk perhatian, keterbukaan, kasih sayang dan contoh langsung. Hal itu didukung pula oleh anak-anak yang masih berfikir dengan indrawi, sehingga perlu contoh kongkrit (Egdar Dale: Manusia berfikir kongkrit ke abstrak
Pendidikan Sejak Dini
Menanamkan etos Islam dapat diupayakan jika lingkungan anak juga Islami. Dalam suasana demikian, transfer nilai dapat berjalan dengan mulus, karena orang tua dapat menjalankan fungsinya sebagai agen masyarakat. Upaya menanamkan etos Islam lebih berhasil jika dimulai sejak dini, bahkan sejak masa sebelum kelahiran anak.
beberapa fakta
Usia 3-5 tahun termasuk masa yang amat menentukan perkembangan kepribadian anak. Pada usia balita anak masih banyak bertindak daripada berfikir, menjajagi, mencari tahu, menciptakan, dsb. Pada usia awal anak, attitude education lebih penting dibanding ilmu. Islam mengajarkan ibu untuk menyusui anaknya selama 2 tahun, disitulah penanaman nilai-nilai baik. Dari segi ilmu kedokteran, usia 0-12 tahun adalah saat penting dalam perkembangan otak anak.
Menurut Benyamin Spock, usia 0-12 tahun merupakan masa emas anak untuk dirangsang intelektual dan kreativitasnya, karena 80% perkembangan anak ditentukan pada usia tersebut. Penelitian mutakhir tentang otak, anak-anak cenderung berkembang lebih positif bila otaknya (kiri dan kanan) intensif dirangsang. Dari uraian tersebut bisa disimpulkan, niali-nilai agama selayaknya diperkenalkan sejak usia bayi dan dengan intensitas yang tinggi sampai dengan usia 12 tahun.
"Didiklah anak-anak kalian dan buatlah pendidikan mereka itu menjadi baik" (HR. Ibnu Majjah), "Sebaik-baik orang diantara kamu adalah yang mempelajari Al-Quran dan mengajarkannya"
Menggunakan Bahasa Anak
Sifat anak itu unik, sangat berbeda dengan karakter orangb dewasa. Demikian pula karakter orang dewasa. Demikian pula dengan metode pendidikan untuk anak-anak sangat berbeda, harus disesuaikan dengan perkembangan serta dunianya, "didiklah anak-anakmu, karena mereka dilahirkan untuk suatu waktu yang bukan waktumu/jamanmu" (HR. Bukhari dan Muslim)
"Hendaklah anak kecil diberi kesempatan bermain. Melarangnya bermain dan menyibukkan dengan belajar akan mematikan hatinya, mengurangi kecerdasan dan membuatnya jemu terhadap hidup, sehingga ia akan sering mencari alasan untuk membebaskan diri dari keadaan sumpek " (Imam Al Gozali)
"Gerak, gairah dan kekuatan berkumpul anak bersama teman-temannya yang lain pada masa kecilnya, akan memberikan tambahan pada akalnya ketika dewasa" (HR. At-Tirmidzi)
Apa yang harus dilakukan orang tua?
Untuk menanamkan nilai-nilai Qurani secara dini pada anak-anak, peran orang tua sangatlah besar, karena orangtualah yang paling bertanggung jawab atas perkembangan anak selanjutnya. Hal tersebut bisa dilakukan dengan:
Memberikan contoh keteladanan
supaya anak bisa membaca Al-Quran berikan contoh dengan rutin baca Al-Quran. Supaya anak selalu menjaga kebersihan, biasakan menaruh, membuang sampah dsb. pada tempatnya.
Buatalah pendekatan sesuai "dunianya"
Ketika seorang wanita merenggut anaknya dengan kasar saat ia sedang "pipis" di pangkuan Rosulullah SAW, mencegahnya sambil bersabda, "tumpahan (kencing) ini dapat membersihkannnya, tetapi apa yang dapat menghilangkan kekeruhan dari ini (akibat renggutan yang keras itu)?"
Menerapkan pentahapan dan pembiasaan
Sebagai implikasi dari pandangan Al-Quran tentang proses pertumbuhan dan perkembangan jiwa manusia, Al-Quran dalam petunjuk-petunjuknya menjadikan pentahapan dan pembiasaan sebagai salah satu ciri sekaligus metoda guna mencapai sasaran.
Rosulullah bersabda : sesungguhnya Allah merahmati seseoranh yang membantu anaknya berbakti kepadanya". Rosul ditanya : Bagaimana Dia membantunya?", Beliau menjawab : "Dia menerima yang mudah dari anaknya. Dia memaafkan yang sulit, Dia tidak membebaninya dengan tugas yang berat, tidak juga memakinya (bila keliru)."
Menggunakan alat peraga untuk menyampaikan pendidikan agama, agar menyatu dengan kehidupan sehari-hari, sesuai dengan perkembangan ilmu dan teknologi
Mengusahakan suatu lingkungan yang kaya akan rangsangan, yaitu dengan menyediakan aneka ragam bahan dan sarana prasarana yang dapat merangsang semua alat indranya: penglihatan, pendengaran, penciuman, perabaan, dll. Anak belajar mengenal lingkungan melalui indranya (visual, auditorial dan kinestetikal)
Menerapkan watak positif
Bisa dilakukan dengan:
Fleksibilitas, kemampuan untuk melihat adanya alternatif-alternatif pemecahan masalah, keterbukaan: Suasana keterbukaan menghasilkan sikap demokrasi dan terbuka.
Ketegasan, era globalisasi menghadapkan kita pada banyak pilihan yang menuntut kita untuk bertindak tegas (bukan kasar). Ketegasan perlu dibatasi oleh etika dan prinsip agama
Percaya diri untuk berinisiatif, kompetisi merupakan ciri globalisasi, menuntut kita memiliki percaya untuk berinisiatif, toleransi kepada ketidakpastian: Sesuatu selalu berubah, hanya Allah yang konstan, kemandirian, berencana, disiplin, berani ambil resiko, dll.
Akhirnya perlu digarisbawahi, bahwa pendidikan sejak dini dengan pendekatan yang sesuai perkembangan anak yang didukung penuh oleh orang tua dengan keteladanan, akan menghasilkan generasi yang Islami. Pendidikan dalam pandangan Islam adalah ibadah, ia lahir dari pandangan Islam tentang menuntut ilmu, yang dinilainya sebagai ibadah.
Penutup
"Siapa yang menempuh jalan guna menuntutnya, maka Allah permudah baginya jalan menuju surga"
"Siapa yang bertambah ilmunya, tetapi tidak bertambah pengalaman agamanya, maka dia tidak bertambah, kecuali kejauhan dari Allah"
Pendidikan secara utuh, intinya pendidikan dalam keluarga, intinya pendidikan agama, intinya pendidikan keimanan, intinya ketauhidan.