Tuesday, October 23, 2007

Pendidikan Karakter

Pencetus pendidikan karakter yang menekankan dimensi etis-spiritual dalam proses pembentukan pribadi ialah pedagog Jerman FW Foerster (1869-1966). Pendidikan karakter merupakan reaksi atas kejumudan pedagogi natural Rousseauian dan instrumentalisme pedagogis Deweyan.Lebih dari itu, pedagogi puerocentris lewat perayaan atas spontanitas anak-anak (Edouard Claparède, Ovide Decroly, Maria Montessori) yang mewarnai Eropa dan Amerika Serikat awal abad ke-19 kian dianggap tak mencukupi lagi bagi formasi intelektual dan kultural seorang pribadi.

Polemik anti-positivis dan anti-naturalis di Eropa awal abad ke-19 merupakan gerakan pembebasan dari determinisme natural menuju dimensi spiritual, bergerak dari formasi personal dengan pendekatan psiko-sosial menuju cita-cita humanisme yang lebih integral. Pendidikan karakter merupakan sebuah usaha untuk menghidupkan kembali pedagogi ideal-spiritual yang sempat hilang diterjang gelombang positivisme ala Comte.
Tujuan pendidikan adalah untuk pembentukan karakter yang terwujud dalam kesatuan esensial si subyek dengan perilaku dan sikap hidup yang dimilikinya. Bagi Foerster, karakter merupakan sesuatu yang mengualifikasi seorang pribadi. Karakter menjadi identitas yang mengatasi pengalaman kontingen yang selalu berubah.

Dari kematangan karakter inilah, kualitas seorang pribadi diukur.Empat karakterMenurut Foerster ada empat ciri dasar dalam pendidikan karakter.
Pertama, keteraturan interior di mana setiap tindakan diukur berdasar hierarki nilai. Nilai menjadi pedoman normatif setiap tindakan.

Kedua, koherensi yang memberi keberanian, membuat seseorang teguh pada prinsip, tidak mudah terombang-ambing pada situasi baru atau takut risiko. Koherensi merupakan dasar yang membangun rasa percaya satu sama lain. Tidak adanya koherensi meruntuhkan kredibilitas seseorang.

Ketiga, otonomi. Di situ seseorang menginternalisasikan aturan dari luar sampai menjadi nilai-nilai bagi pribadi. Ini dapat dilihat lewat penilaian atas keputusan pribadi tanpa terpengaruh atau desakan pihak lain.

Keempat, keteguhan dan kesetiaan. Keteguhan merupakan daya tahan seseorang guna mengingini apa yang dipandang baik.

Dan kesetiaan merupakan dasar bagi penghormatan atas komitmen yang dipilih.Kematangan keempat karakter ini, lanjut Foerster, memungkinkan manusia melewati tahap individualitas menuju personalitas. ”Orang-orang modern sering mencampuradukkan antara individualitas dan personalitas, antara aku alami dan aku rohani, antara independensi eksterior dan interior.” Karakter inilah yang menentukan forma seorang pribadi dalam segala tindakannya.

Pengalaman IndonesiaDi tengah kebangkrutan moral bangsa, maraknya tindak kekerasan, inkoherensi politisi atas retorika politik, dan perilaku keseharian, pendidikan karakter yang menekankan dimensi etis-religius menjadi relevan untuk diterapkan.Pendidikan karakter ala Foerster yang berkembang pada awal abad ke-19 merupakan perjalanan panjang pemikiran umat manusia untuk mendudukkan kembali idealisme kemanusiaan yang lama hilang ditelan arus positivisme. Karena itu, pendidikan karakter tetap mengandaikan pedagogi yang kental dengan rigorisme ilmiah dan sarat muatan puerocentrisme yang menghargai aktivitas manusia.
Tradisi pendidikan di Indonesia tampaknya belum matang untuk memeluk pendidikan karakter sebagai kinerja budaya dan religius dalam kehidupan bermasyarakat. Pedagogi aktif Deweyan baru muncul lewat pengalaman sekolah Mangunan tahun 1990-an.

Kebiasaan berpikir kritis melalui pendasaran logika yang kuat dalam setiap argumentasi juga belum menjadi habitus. Guru hanya mengajarkan apa yang harus dihapalkan. Mereka membuat anak didik menjadi beo yang dalam setiap ujian cuma mengulang apa yang dikatakan guru.Loncatan sejarahApakah mungkin sebuah loncatan sejarah dapat terjadi dalam tradisi pendidikan kita? Mungkinkah pendidikan karakter diterapkan di Indonesia tanpa melewati tahap-tahap positivisme dan naturalisme lebih dahulu?Pendidikan karakter yang digagas Foerster tidak menghapus pentingnya peran metodologi eksperimental maupun relevansi pedagogi naturalis Rousseauian yang merayakan spontanitas dalam pendidikan anak-anak. Yang ingin ditebas arus ”idealisme” pendidikan adalah determinisme dan naturalisme yang mendasari paham mereka tentang manusia.

Bertentangan dengan determinisme, melalui pendidikan karakter manusia mempercayakan dirinya pada dunia nilai (bildung). Sebab, nilai merupakan kekuatan penggerak perubahan sejarah. Kemampuan membentuk diri dan mengaktualisasikan nilai-nilai etis merupakan ciri hakiki manusia. Karena itu, mereka mampu menjadi agen perubahan sejarah.Jika nilai merupakan motor penggerak sejarah, aktualisasi atasnya akan merupakan sebuah pergulatan dinamis terus-menerus.

Manusia, apa pun kultur yang melingkupinya, tetap agen bagi perjalanan sejarahnya sendiri. Karena itu, loncatan sejarah masih bisa terjadi di negeri kita. Pendidikan karakter masih memiliki tempat bagi optimisme idealis pendidikan di negeri kita, terlebih karena bangsa kita kaya akan tradisi religius dan budaya.

Manusia yang memiliki religiusitas kuat akan semakin termotivasi untuk menjadi agen perubahan dalam masyarakat, bertanggung jawab atas penghargaan hidup orang lain dan mampu berbagi nilai-nilai kerohanian bersama yang mengatasi keterbatasan eksistensi natural manusia yang mudah tercabik oleh berbagai macam konflik yang tak jarang malah mengatasnamakan religiusitas itu sendiri.

Doni Koesoema, A, Mahasiswa Jurusan Pedagogi Sekolah dan Pengembangan Profesional Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Kepausan Salesian, RomaSumber: Kompas Cyber Media

Warnai KTSP dengan Pendidikan Karakter

oleh : Asep Kusnawan

HAKIKAT pendidikan adalah "memanusiakan manusia". Rasullullah saw., dalam hadistnya bersabda, "Bahwa setiap anak yang dilahirkan adalah dalam keadaan fitrah, orang tualah yang akan menjadikan dia seorang yahudi, nasrani maupun seorang majus".

Erat kaitannya dengan pendidikan di Indonesia, kini mulai hangat kembali dengan datangnya kurikulum baru bernama Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) yang selama ini masih hangat tidak kita ketahui secara pasti apa penyebab kegagalannya kalau boleh dikatakan seperti itu.

Hal menarik bagi kita tentunya sebagai guru adalah apa sesungguhnya yang terjadi pada dunia pendidikan di Indonesia sehingga perubahan kurikulum begitu cepat? Lalu, sejauh mana para guru dan kepala sekolah serta komponen stakeholders menyiapkan diri dengan datangnya perubahan ini?

Tentu tidak ingin kita mendengar pertanyaan negatif yang menunjukkan pesimisme implementasi di lapangan. Atau, tidak ada perubahan cara pandang sekaligus reformasi cara pembelajaran tidak terjadi pada guru maupun kepala sekolah. Kurikulum ada, namun disikapi dengan pola lama. Mengajar dikejar target dan kurikulum adalah apa yang ada dalam kepala guru.

Dalam glosarium (Puskur 2006) pengertian KTSP didefinisikan sebagai kurikulum operasional yang disusun oleh dan dilaksanakan di masing-masing satuan pendidikan. Salah satu prinsip pengembangan KTSP di antaranya kurikulum dikembangkan berdasarkan prinsip-prinsip yang berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik dan lingkungannya.

Berangkat dari tujuan pendidikan tingkat satuan pendidikan disebutkan meletakkan dasar kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut. Sungguh amat mulia tujuan ini.

Konsep "memanusiakan manusia" terbaca dalam rumusan yang telah dibuat oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) tersebut. Pendidikan yang mengintegrasikan semua potensi anak didik, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta ketrampilan hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut, jelas membutuhkan tenaga pengajar yang mempunyai integrasi dan komitmen tinggi. Komitmen agar adik didik sukses.

Pendidikan nilai istilah yang dikembangkan sekarang dengan pendidikan karakter (Ratna Megawati, 2004) menjadi target kita bersama yakni lulusan yang kita harapkan. Peserta didik yang mempunyai karakter kuat dalam keilmuan sebagai seorang pembelajar selamanya, berkepribadian dan berakhlak mulia.

Pendidikan karakter yang menanamkan nilai-nilai moral sebagai fondasi bagi terbentuknya generasi yang akan menjadi pemimpin rahmatan lil-alamin (rahmat alam semesta). Saatnya kita meninggalkan metode lama mengajar yang hanya sekadar melaksanakan tuntutan tugas dan mengejar target kurikulum semata sehingga tak ada idealisme menjadi seorang guru.

Tinggalkan mengajar tanpa dilandasi hakikat dari mengajar itu sendiri. Mengubah paradigma dan cara berpikir ini tentu bukan hal gampang. Guru dituntut untuk kembali seperti yang Ki Hajar Dewantara katakan yakni seorang yang ing ngarso sing tulodo, ing madyo mangun karso, dan tut wuri handayanai. Guru dituntut bukan hanya mengajar, tapi mendidik.

Optimisme harus selalu ada. Setelah penggembelengan di Ramadan ini kita diingatkan kembali oleh Rasulullah saw. dalam hadisnya,"Jika anak Adam meninggal dunia, putuslah segala amalnya kecuali tiga hal, sedekah jariah, anak yang saleh yang mendoakan kedua orang tuanya, serta ilmu yang diamalkan".

Semoga, amanah pendidikan yang dibebankan kepada pundak kita sebagai guru dimaknai sebagai investasi jangka panjang. Investasi akhirat ketika anak-anak kita berhasil menjadi manusia yang mempuyai nilai-nilai moral yang akan membentuk karakter berupa akhla mulia yang di dalamnya ada campur tangan kita. Amin.

Selamat datang KTSP! ***
Penulis, guru dan staf Litbang SMP Salman Al-Farisi dan mahasiswa S-2 UPI Bandung.

Pendidikan Karakter K3 di Sekolah

Oleh Roni Tabroni

Betulkah kebersihan, keindahan, dan ketertiban atau K3 merupakan kosakata baru? Tentu tidak. Kata-kata ini sudah dikenal setiap orang, bahkan ketika kita masih berada di bangku sekolah dasar. Akan tetapi, mengapa kata ini sangat sulit diimplementasikan sehingga banyak pemerintah daerah, khususnya Kota Bandung, menegaskannya dalam bentuk peraturan daerah?

Seperti kata-kata yang lain, kebersihan, keindahan, dan ketertiban merupakan kata-kata yang hanya indah bila dikatakan, tetapi sangat berat dilaksanakan. Akibatnya, lingkungan tetap kotor dan semrawut. Persis ketika ustadz memberikan ceramah bahwa kebersihan itu sebagian dari iman, sementara dirinya membuang puntung rokok sembarangan. Begitu pun dengan istilah K3 ini, sangat mudah dikatakan. Namun, banyak orang tidak sadar dirinya melakukan sesuatu yang sebenarnya bertentangan dengan pernyataannya tentang K3 itu.

Maka dari itu, saya tidak terlalu heran ketika Pemerintah Kota Bandung agak kesulitan untuk mengaktifkan Peraturan Daerah tentang K3 (Perda K3). Walaupun untuk menyukseskannya diperlukan serangkaian acara sosialisasi di berbagai tempat dalam rentang waktu sangat lama, tetap saja saat perda diaktifkan masyarakat seperti tidak tersentuh sedikit pun.

Usaha sosialisasi tidak cukup. Upaya pemerintah kota menerjunkan sejumlah tenaga keamanan untuk memonitor perilaku masyarakat yang melanggar perda ini juga tidak efektif. Selain perlakuan fisik, masyarakat pun ditakut-takuti dengan denda sangat besar untuk setiap tindakan yang melanggar Perda K3. Lagi-lagi masyarakat cuek saja. Tidak menjadi karakter
Ada satu hal yang menurut saya membuat berbagai upaya menyukseskan program K3 ini begitu sulit. Problem yang saya maksud adalah bahwa K3 tidak menjadi bagian dari pola hidup masyarakat sejak dini. Jika K3 sudah menjadi karakter masyarakat, saya kira Perda K3 pun tidak perlu dibuat karena memakan biaya yang sangat tinggi.

Namun, jika ini sudah telanjur, yang harus diupayakan adalah bagaimana agar program K3 menjadi bagian dari pola hidup dan karakter masyarakat. Berbicara tentang karakter tentu tidak semudah membalikkan tangan, tetapi membutuhkan proses berkelanjutan dan waktu yang cukup lama. Karena itu, saya yakin bahwa Perda K3 bukan untuk saat ini, tetapi mungkin untuk 10-20 tahun ke depan. Mubazirkah Perda K3 saat ini? Tentu tidak. Jika saat ini tidak dimulai, mana mungkin 10-20 tahun ke depan Kota Bandung akan asri dan nyaman seperti yang diharapkan. Yang menjadi persoalan justru ketika kita memandang segala sesuatu harus serba instan.

Dalam rangka menciptakan sebuah karakter, saya kira harus diperhatikan dua hal. Pertama, dimulai dari usia dini karena usia inilah yang relatif mudah dibentuk. Ini berbeda dengan orang dewasa yang sudah memiliki kebiasaan, pola pikir, dan gaya hidup tersendiri sehingga relatif susah untuk diubah walaupun tentu bukan sesuatu yang tidak mungkin.

Kedua, membentuk karakter harus dilakukan secara terus-menerus. Satu kali atau dua kali mungkin anak hanya akan menganggap bahwa itu tidak penting atau selingan saja. Namun, jika diulang-ulang, hal itu secara tidak langsung akan menjadi bagian dari hidupnya.

Oleh karena itu, agenda membangun karakter masyarakat yang berbasis K3 saya kira harus dimulai dari SD atau kalau perlu dari taman kanak-kanak. Dari SD inilah seorang anak harus mulai belajar bagaimana berperilaku ketika melihat sampah, ketika melihat bangku yang tidak lurus di dalam kelas, atau hal-hal kecil lainnya.

Di SD saya kira sudah banyak sekali pelajaran tentang K3 walaupun secara tidak langsung karena tersebar di berbagai pelajaran, seperti Agama, PPKN, dan Kesehatan. Sebenarnya sudah begitu banyak pelajaran bagi anak sekolah untuk mengenal K3 dan bagaimana kita harus melaksanakannya. Akan tetapi, yang paling penting dari sebuah pelajaran karakter adalah bagaimana pengalaman dia dalam melakukan semua ajaran itu. Hanya wacana Itulah mengapa berbagai pelajaran yang ada di negara ini selalu hanya menjadi wacana atau dalam bahasa lain, ilmu hanya untuk dihafal dan bukan untuk dilakukan. Jadi, ke depan pelajaran-pelajaran yang berhubungan dengan K3 harus menjadi bagian dari perilaku anak didik di sekolah dan dilakukan secara rutin.

Salah satu contoh, ketika belajar tentang kebersihan adalah sebagian dari iman, anak-anak jangan dituntut untuk menghafal lalu ke depan satu-satu. Kemudian, anak yang tidak bisa mendapatkan nilai jelek atau perlakukan fisik. Ketika belajar tentang kebersihan, ajaklah anak-anak ke WC untuk membersihkan semua kotoran yang ada di dalamnya, atau minta mereka untuk melihat sekitar ruangan kelasnya, apakah masih ada sampah di sekitarnya. Kalau masih ada, sampah dibersihkan dan dibuang ke tempat sampah.

Ketika akan masuk kelas, biasanya anak-anak disuruh membaca bacaan-bacaan yang terkadang tidak diketahui artinya. Untuk menciptakan sebuah karakter anak didik, apa tidak lebih baik misalnya menyuruh anak membersihkan lingkungan sekitarnya sebelum masuk kelas atau membereskan segala sesuatu yang dianggap belum beres.

Ketika diajari tentang alam, apa tidak sebaiknya anak-anak diajak pergi ke luar kelas, menyaksikan alam di sekitarnya, dan bagaimana alam di sekitarnya bisa seperti itu. Tuntun mereka untuk merenung, lalu lakukan sesuatu yang dapat dilakukan untuk kelestarian alam. Ketika mereka menyaksikan hutan yang gundul, mengapa mereka tidak diminta untuk membawa bibit tanaman untuk ditanam bersama di tempat gundul tersebut.

Jika pola hidup sehat, bersih, dan tertib mulai dipraktikkan sejak kecil, saya kira beberapa tahun ke depan K3 tidak lagi menjadi bagian dari sosialisasi karena telah menjadi pola hidup anak-anak yang kelak sudah menjadi orangtua. Jika sekarang anak sudah dibiasakan dengan pelajaran-pelajaran praktis seperti ini, saya kira mereka tidak akan menjadi orang dewasa dan orangtua saat ini yang hanya hafal K3, tetapi sulit melaksanakannya.
RONI TABRONI Mahasiswa Pascasarjana Konsentrasi Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran Bandung
 

WHEN SUHENG TALK... Template by Ipietoon Cute Blog Design