ALHAMDULILLAH, KAMU
RAJANYA…
Oleh
: Iwan Gunawan,
Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda:
Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah dia berkata baik atau
diam.
Manusia
diciptakan Allah di antara dua sifat, yaitu antara kelemahan dan kemuliaan. Manusia
harus menyadari bahwa dirinya diciptakan dengan segala keterbatasan baik fisik
maupun pikiran. Sementara itu, manusia juga diberikan kemuliaan dengan berbagai
kelebihan dibandingkan makhluk lainnya. Kelemahan dan kemuliaan ini diberikan
bersamaan kepada diri manusia oleh Allah.
Inilah suatu
keseimbangan yang diberikan Allah kepada manusia, antara kelemahan dan
kemuliaan. Diberikan kelemahan agar manusia lebih waspada dalam bertindak,
tidak takabur, dan selalu merasa memerlukan pertolongan Allah dalam
kehidupannya.
Tetapi adakalanya, manusia tidak
menyadari kelemahannya, dan lebih cenderung mengagungkan kelebihan dirinya
sendiri, sehingga terkadang menganggap rendah manusia lainnya.
Murid kita adalah manusia-manusia dengan
berbagai kelebihan dan kelemahan. Berbagai kelebihan dan kelemahan ini menyatu
dalam suatu wadah pendidikan yang disebut sekolah. Sekolah lah tempat mereka
mengasah dan belajar akan pentingnya kepekaan, kepedulian dan penghargaan
terhadap sesama tanpa adanya diskriminasi dan tekanan. Sekolah punya peran
besar untuk menjadikan mereka sebagai mahluk yang rakhmatan lil alamin (bermanfaat bagi seluruh umat manusia dan alam
sekitarnya).
Mengajarkan murid untuk bisa menerima keadaan orang lain memang tidak
mudah. Apalagi bila siswa dihadapkan pada pergaulan dengan murid yang mempunyai
kelemahan atau berbeda dengan dirinya, baik dilihat dari fisik, kondisi
psikologis ataupun kelemahan lainnya. Kelemahan-kelemahan ini biasanya
dijadikan bahan ejekan dan sindiran di antara siswa kita terhadap siswa yang
memiliki kelemahan tersebut.
Mengganggu, mengejek, mengintimidasi (mengancam) atau merendahkan
disebut dengan tindakan bullying. Bullying termasuk dalam kategori sikap
kekerasan terhadap anak-anak. Guru sebagai orang yang berinteraksi langsung
dengan siswa harus tahu bahwa tindakan tersebut dapat berdampak pada murid-murid
yang diganggu, murid yang menggertak/mengejek, dan bahkan mereka (murid-murid)
yang melihat atau menyaksikan bullying.
Bullying terkait dengan dampak negatif, yaitu berdampak pada kesehatan
mental, penggunaan narkoba, dan bahkan motivasi untuk bunuh diri. Oleh sebab
itu, sangat penting bagi guru untuk berbicara dengan cara yang bijak dan
memberikan pengertian secara halus kepada para muridnya, untuk menjelaskan
bahwa tindakan mengejek, merendahkan, mengganggu dan mengintimidasi
adalah suatu perbuatan yang dapat menimbulkan kekhawatiran.
Kondisi seperti ini, pernah muncul ketika siswa dihadapkan pada
pembahasan materi IPS (ilmu pengetahuan sosial) tentang keragaman suku bangsa
di Indonesia. Guru sebagai ‘fasilitator’ memiliki kewajiban untuk menjelaskan
karakteristik dari suku bangsa-suku bangsa tersebut, termasuk ciri fisik dan
adat istiadatnya secara objektif.
Sikap mengejek biasanya akan muncul apabila ada siswa yang mempunyai
kemiripan fisik dengan suku bangsa tertentu, seperti warna kulit yang hitam dan
rambut keriting. Siswa ini biasanya akan jadi bulan-bulanan siswa lainnya.
Guru sebagai orang yang punya peran dalam mengendalikan pembelajaran,
tidak boleh membiarkan kondisi ini terus berlangsung dalam pembelajaran, akan
tetapi guru harus mengambil peran sebagai wasit (arbitrase) yang tidak
menghakimi para siswanya.
Ada satu cara ampuh yang bisa dicoba oleh para guru ketika menghadapi
siswa yang mendapat ejekan dari teman-temannya. Cara ini sebenarnya bersumber
dari gaya Rosulullah ketika mengalami ejekan dari Kaum Yahudi dengan ucapan "Assamu'alaikum" yang berarti
"Semoga kematian menimpa kalian", memplesetkan ucapan salam milik Umat
Islam "Assalamu'alaikum". Rosulullah
memerintahkan umat Islam untuk menjawab salam mereka dengan ucapan "wa'alaikum" yang artinya
"Dan juga menimpa kalian".
Cara yang diajarkan Rosulullah ini, memberikan suatu isyarat kepada
kita bahwa guru harus bisa menanamkan etika yang baik kepada para anak didiknya
untuk membalas ejekan yang buruk dengan kata-kata yang bijaksana dan tidak
menghina.
Betapa banyak cara yang bisa ditempuh guru untuk menterjemahkan gaya
Rosulullah ini dalam mengatasi masalah yang muncul di pembelajaran, yang dalam hal ini adalah
ejekan. Salah satunya –pernah dilakukan
oleh penulis- dengan mengajarkan kepada semua siswa untuk mengucapkan “Alhamdulillah” ketika diejek dan
diikuti pula dengan ucapan “kamu
rajanya”.
Konversi jawaban ini tampaknya sederhana, tetapi apabila dicermati
dengan benar, maka kita akan mendapatkan bahwa cara ini adalah ‘cara halus dan bijaksana ’ untuk
membalas ejekan tanpa menghina dan merendahkan ‘sang pengejek’ secara langsung.
Sebagai contoh, ketika seorang siswa diejek (maaf..ini hanya contoh) “Dasar kamu monyet !”, maka guru bisa mengajarkan kepada siswa yang
diejek untuk menjawab ejekan tersebut dengan ucapan “Alhamdulillah, kamu rajanya”, tanpa perlu ada embel-embel lain,
apalagi hinaan tambahan.
Jawaban “Alhamdulillah, kamu
rajanya” mengandung arti bahwa ‘sang pengejek’ diajak untuk memposisikan
dirinya sendiri (baik secara langsung atau tidak) sama dengan bahan ejekannya,
yang dalam hal ini adalah “monyet” tetapi bergelar “raja monyet”.
Efek balik (feed back) yang
timbul dari jawaban ini biasanya hanya akan memakan waktu beberapa detik
setelah ejekan disampaikan. Sebab ‘sang pengejek’ akan menyadari bahwa jawaban
yang diterima sebenarnya telah menghina dan merendahkan dirinya dirinya sendiri,
tetapi dengan cara dan bahasa yang tidak kasar (vulgar). Cara ini lebih
menyakitkan siswa yang mencaci dibanding membalasnya dengan cacian yang
berlebihan. Akibat akhir dari hal ini biasanya siswa akan segera menghentikan
ejekannya.
Jawaban “Alhamdulillah, kamu
rajanya” hanyalah satu bagian kecil dari kecerdasan emosi yang bisa kita
ajarkan kepada para siswa. Bukan untuk merendahkan tetapi untuk menyadarkan bahwa
perbuatan yang mereka lakukan adalah
tidak baik.
Hal yang terpenting dari cara ini adalah bahwa kita telah mengajarkan
kepada para siswa untuk menerima setiap
ejekan/hinaan dengan lapang dada, sabar
dan tidak emosional, serta menanggapinya secara rasional.
Jadi betapa indahnya cara Rosulullah bersikap terhadap sebuah ejekan, Lalu
maukah kita memulai menggunakan cara yang diajarkan Rosulullah guna mengatasi
masalah dalam pembelajaran kita? Wallahu ‘alam bishowab.