Tuesday, March 11, 2008

Anak-anak Karbitan (Sebuah Renungan Untuk Orang Tua) – Bagian 3

Ditulis oleh Dewi Utama Faizah*)
*) Dewi Utama Faizah, bekerja di Direktorat pendidikan TK dan SD Ditjen Dikdasmen, Depdiknas, Program Director untuk Institut Pengembangan Pendidikan Karakter divisi dari Indonesia Heritage Foundation.

Perspektif Sekolah Yang Mengkarbitkan Anak
Kecenderungan sekolah untuk melakukan pengkarbitan kepada anak didiknya juga terlihat jelas. Hal ini terjadi ketika sekolah berorientasi kepada produk daripada proses pembelajaran. Sekolah terlihat sebagai sebuah “Industri” dengan tawaran-tawaran menarik yang mengabaikan kebutuhan anak. Ada program akselerasi, ada program kelas unggulan. Pekerjaan rumah yang menumpuk.

Tugas-tugas dalam bentuk hanya lembaran kerja. Kemudian guru-guru yang sibuk sebagai “Operator kurikulum” dan tidak punya waktu mempersiapkan materi ajar karena rangkap tugas sebagai administrator sekolah Sebagai guru kelas yang mengawasi dan mengajar terkadang lebih dari 40 anak, guru hanya dapat menjadi “pengabar isi buku pelajaran” ketimbang menjalankan fungsi edukatif dalam menfasilitasi pembelajaran. Di saat-saat tertentu sekolah akan menggunakan “mesin-mesin dalam menskor” capaian prestasi yang diperoleh anak setelah diberikan ujian berupa potongan-potongan mata pelajaran.

Anak didik menjadi dimiskinkan dalam menjalani pendidikan di sckolah. Pikiran mereka diforsir untuk menghapalkan atau melakukan tugas-tugas yang tidak mereka butuhkan sebagai anak. Manfaat apa yang mereka peroleh jika guru menyita anak membuat bagan organisasi sebuah birokrasi? Manfaat apa yang dirasakan anak jika mereka diminta membuat PR yang menuliskan susunan kabinet yang ada di pemerintahan? Manfaat apa yang dimiliki anak jika ia disuruh menghapal kalimat-kalimat yang ada di dalam buku pelajaran ?

Tumpulnya rasa dalam mencerna apa yang dipikirkan oleh otak dengan apa yang direfleksikan dalam sanubari dan perilaku-pcrilaku keseharian mereka sebagai anak menjadi semakin senjang. Anak-anak tahu banyak tentang pengetahuan yang dilatihkan melalui berbagai mata pelajaran yang ada dalam kurikulum persekolahan, namun mereka bingung mengimplementasikan dalam kehidupan nyata. Sepanjang hari mereka bersekolah di sekolah untuk sekolah— dengan tugas-tugas dan PR yang menumpuk.

Namun sekolah tidak mengerti bahwa anak sebenarnya butuh bersekolah untuk menyongsong kehidupannya !
Lihatlah, mereka semua belajar dengan cara yang sama. Membangun 90 % kognitif dengan 10 % afektif. Paulo Freire mengatakan bahwa sekolah telah melakukan “pedagogy of the oppressed” terhadap anak-anak didiknya. Dimana guru mengajar anak diajar, guru mengerti semuanya dan anak tidak tahu apa-apa, guru berpikir dan anak dipikirkan, guru berbicara dan anak mendengarkan, guru mendisiplin dan anak didisiplin, guru memilih dan mendesakkan pilihannya dan anak hanya mengikuti, guru bertindak dan anak hanya membayangkan bertindak lewat cerita guru, guru memilih isi program dan anak menjalaninya begitu saja, guru adalah subjek dan anak adalah objek dari proses pembelajaran (Freire, 1993).

Model pembelajaran banking system ini dikritik habis-habisan sebagai masalah kemanusiaan terbesar. Belum lagi persaingan antar sekolah. dan persaingan ranking wilayah.

Mengkompetensi Anak— merupakan ‘KETIDAKPATUTAN PENDIDIKAN ?”
”Anak adalah anugrah Tuhan… sebagai hadiah kepada semesta alam, tetapi citra anak dibentuk oleh sentuhan tangan-tangan manusia dewasa yang bertanggungjawab. .. “(Nature versus Nurture).
bagaimana ?

Karena ada dua pengertian kompetensi : kompetensi yang datang dari kebutuhan di luar diri anak (direkayasa oleh orang dewasa) atau kompetensi yang sesuai dengan kebutuhan dari dalam diri anak sendiri
Sebagai contoh adalah konsep kompetensi yang dikemukakan oleh John Watson (psikolog) pada tahun 1920 yang mengatakan bahwa bayi dapat ditempa menjadi apapun sesuai kehendak kita-Âsebagai komponen sentral dari konsep kompetensi. Jika bayi-bayi mampu jadi pebelajar, maka mereka juga dapat dibentuk melalui pembelajaran dini.

Kata-kata Watson yang sangat terkenal adalah sebagai berikut :
” Give me a dozen healthy infants, well formed and my own special world to bring them up in, and I’ll guarantee you to take any one at random and train him to become any type of specialist I might select-doctor, lawyer, artist, merchantchief and yes, even beggar and thief regardless of this talents, penchants.,; , tendencies, vocations, and race of his ancestors “.

Pemikiran Watson membuat banyak orang tua melahirkan “intervensi
dini” setelah mereka melakukan serangkaian tes Inteligensi kepada anak-anaknya. Ada sebuah kasus kontroversi yang terjadi di Institut New Jersey pada tahun 1976. Dimana guru-guru melakukan serangkaian program tes untuk mengukur “Kecakapan Dasar Minimum (Minimum Basic Skill) “dalam mata pelajaran membaca dan matematika. Hasil dari pelaksanaan program ini dilaporkan kolomnis pendidikan Fred Hechinger kepada New York Times sebagai berikut :
The improvement in those areas were not the result of any magic program or any singular teaching strategy, they were… simply proof that accountability is crucial and that, in the past five years, it has paid off in New Yersey”.

Juga belajar dari biografi tiga orang tokoh legendaris dunia seperti Eleanor Roosevelt, Albert Einstein dan Thomas Edison, yang diilustrasikan sebagai anak-anak yang bodoh dan mengalami keterlambatan dalam akademik ketika mereka bersekolah di SD kelas rendah. semestinya kita dapat menyimpulkan bahwa pendidikan dini sangat berbahaya jika dibuatkan kompetensi-Â perolehan pengetahuan hanya secara kognitif. Ulah karena hingga hari ini sekolah belum mampu menjawab dan dapat menampilkan kompetensi emosi sosial anak dalam proses pembelajaran.

Pendidikan anak seutuhnya yang terkait dengan berbagai aspek seperti emosi, sosial, kognitif pisik, dan moral belum dapat dikemas dalam pembelajaran di sekolah secara terintegrasi. Sementara pendidikan sejati adalah pendidikan yang mampu melibatkan berbagai aspek yang dimiliki anak sebagai kompetensi yang beragam dan unik untuk dibelajarkan. Bukan anak dibelajarkan untuk di tes dan di skor saja !. Pendidikan sejati bukanlah paket-paket atau kemasan pembelajaran yang berkeping-keping, tetapi bagaimana secara spontan anak dapat terus menerus merawat minat dan keingintahuan untuk belajar. Anak mengenali tumbuh kembang yang terjadi secara berkelangsungan dalam kehidupannya. Perilaku keingintahuan -”curiosity” inilah yang banyak tercabut dalam sistem persekolahan kita.

Akademik Bukanlah Keutuhan Dari Sebuah Pendidikan ! “Empty Sacks will never stand upright”—George Eliot
Pendidikan anak seutuhnya tentu saja bukan hanya mengasah kognitif melalui kecakapan akademik semata! Sebuah pendidikan yang utuh akan membangun secara bersamaan, pikiran, hati, pisik, dan jiwa yang dimiliki anak didiknya. Membelajarkan secara serempak pikiran, hati. dan pisik anak akan menumbuhkan semangat belajar sepanjang hidup mereka. Di sinilah dibutuhkannya peranan guru sebagai pendidik akademik dan pendidik sanubari “karakter”. Dimana mereka mendidik anak menjadi “good and smart “-terang hati dan pikiran

Sebuah pendidikan yang baik akan melahirkan “how learn to learn” pada anak didik mereka. Guru-guru yang bersemangat memberi keyakinan kepada anak didiknya bahwa mereka akan memperoleh kecakapan berpikir tinggi, dengan berpikir kritis, dan cakap memecahkan masalah hidup yang mereka hadapi sebagai bagian dari proses mental. Pengetahuan yang terbina dengan baik melibatkan aspek kognitif dan emosi, akan melahirkan berbagai kreativitas

Thomas Edison mengatakan bahwa “genius is 1 percent inspiration and 99 percent perspiration “. Semangat belajar —”encourige’ -
TIdak dapat muncul tiba-tiba di diri anak. Perlu proses yang melibatkan hati—kesukaan dan kecintaan— belajar_ Sementara di sekolah banyak anak patah hati karena gurunya yang tidak mencintai mereka sebagai anak.

Selanjutnya misi sekolah lainnya yang paling fundamental adalah mengalirkan “moral litermy” melalui pendidikan karakter. Kita harus ingat bahwa kecerdasan saja tidak cukup. Kecerdasan plus karakter inilah tujuan sejati sebuah pendidikan (Martin Luther King, Jr). lnilah keharmonisan dari pendidikan, bagaimana menyeimbangkan fungsi otak kiri dan kanan, antara kecerdasan hati dan pikiran, antara pengetahuan yang berguna dengan perbuatan yang baik.

PENUTUP
Mengembalikan pendidikan pada hakikatnya untuk menjadikan manusia yang terang hati dan terang pikiran— “good and smart”— merupakan tugas kita bersama. Melakukan reformasi dalam pendidikan merupakan kerja keras yang mesti dilakukan secara serempak, antara sekolah dan masyarakat, khususnya antara guru dan orangtua. Pendidikan yang ada sekarang ini banyak yang tidak berorientasi kepada kebutuhan anak sehingga tidak dapat memekarkan segala potensi yang dimiliki anak.

Atau pun jika ada yang terjadi adalah ketidakseimbangan yang cenderung memekarkan aspek kognitif dan mengabaikan faktor emosi.
Begitu juga orangtua. Mereka berkecenderungan melakukan training dini kepada anak. Mereka ingin anak-anak mereka menjadi “SUPERKIDS”. Inilah fenomena yang sedang trend akhir-akhir ini.
Inilah juga awal dari lahirnya era anak-anak karbitan ! Lihatlah nanti…ketika anak-anak karbitan itu menjadi dewasa, maka mereka akan menjadi orang dewasa yang ke kanak-kanakan.

Anak-anak Karbitan (Sebuah Renungan Untuk Orang Tua) – Bagian 2

Ditulis oleh Dewi Utama Faizah*)
*) Dewi Utama Faizah, bekerja di Direktorat pendidikan TK dan SD Ditjen Dikdasmen, Depdiknas, Program Director untuk Institut Pengembangan Pendidikan Karakter divisi dari Indonesia Heritage Foundation.

Era Superkids
Kecenderungan orangtua menjadikan anaknva “be special” daripada “be average or normal” sernakin marak terlihat. Orangtua sangat ingin anak-anak mereka menjadi “to exel to be the best”. Sebetulnya tidak ada yang salah. Namun ketika anak-anak mereka digegas untuk mulai mengikuti berbagai kepentingan orangtua untuk menyuruh anak mereka mengikuti beragam kegiatan, seperti kegiatan mental aritmatik, sempoa, renang, basket, balet, tari ball, piano, biola, melukis, dan banyak lagi lainnya…maka lahirlah anak-anak super—”SUPERKIDS”. Cost merawat anak superkids ini sangat mahal.

Era Superkids berorientasi kepada “Competent Child”. Orangtua saling berkompetisi dalam mendidik anak karena mereka percaya ”earlier is better”. Semakin dini dan cepat dalam menginvestasikan beragam pengetahuan ke dalam diri anak mereka, maka itu akan semakin baik. Neil Posmant seorang sosiolog Amerika pada tahun 80-an meramalkan bahwa jika anak-anak tercabut dari masa kanak-kanaknya, maka lihatlah…ketika anak-anak itu menjadi dewasa, maka ia akan menjadi orang dewasa yang ke kanak-kanakan!

Berbagai Gaya Orangtua
Kondisi ketidakpatutan dalam memperIakukan anak ini telah melahirkan berbagai gaya orangtua (Parenting Style) yang melakukan kesalahan -”miseducation” terhadap pengasuhan pendidikan anak-anaknya.
Elkind (1989) mengelompokkan berbagai gaya orangtua dalam pengasuhan, antara lain:

Gourmet Parents à (ORTU B0RJU)
Mereka adalah kelompok pasangan muda yang sukses. Memiliki rumah bagus, mobil mewah, liburan ke tempat-tempat yang eksotis di dunia, dengan gaya hidup kebarat-baratan. Apabila menjadi orangtua maka mereka akan cenderung merawat anak-anaknya seperti halnya merawat karier dan harta mereka. Penuh dengan ambisi!

Berbagai macam buku akan dibaca karena ingin tahu isu-isu mutakhir tentang cara mengasuh anak. Mereka sangat percaya bahwa tugas pengasuhan yang baik seperti halnya membangun karier, maka “superkids” merupakan bukti dari kehebatan mereka sebagai orangtua.

Orangtua kelompok ini memakaikan anak-anaknva baju-baju mahal bermerek terkenal, memasukkannya ke dalam program-program eksklusif yang prestisius. Keluar masuk restoran mahal. Usia 3 tahun anak-anak mereka sudah diajak tamasya keliling dunia mendampingi orangtuanya. Jika suatu saat kita melihat sebuah sekolah yang halaman parkirnya dipenuhi oleh berbagai merek mobil terkenal, maka itulah sekolah dimana banyak kelompok orangtua “gourmet ” atau- kelompok borju menyekolahkan anak-anaknya.

College Degree Parents à (ORTU INTELEK)
Kelompok ini merupakan bentuk lain dari keluarga intelek yang menengah ke atas. Mereka sangat pcduli dengan pendidikan anak-anaknya. Sering melibatkan diri dalam barbagai kegiatan di sekolah anaknya. Misalnya membantu membuat majalah dinding, dan kegiatan ekstra kurikular lainnya. Mereka percaya pendidikan yang baik merupakan pondasi dari kesuksesan hidup. Terkadang mereka juga tergiur menjadikan anak-anak mereka “Superkids “, Apabila si anak memperlihatkan kemampuan akademik yang tinggi.

Terkadang mereka juga memasukkan anak-anaknya ke sekolah mahal yang prestisius sebagai buku bahwa mereka mampu dan percaya bahwa pendidikan yang baik tentu juga harus dibayar dengan pantas.
Kelebihan kelompok ini adalah sangat peduli dan kritis terhadap kurikulum yang dilaksanakan di sekolah anak anaknya. Dan dalam banyak hal mereka banyak membantu dan peduli dengan kondisi sekolah

Gold Medal Parents à (ORTU SELEBRITIS)
Kelompok ini adalah kelompok orangtua Yang menginginkan anak-anaknya menjadi kompetitor dalam berbagai gelanggang. Mereka sering mengikutkan anaknya ke berbagai kompctisi dan gelanggang. Ada gelanggang ilmu pengetahuan seperti Olimpiade matematika dan sains yang akhir-akhir ini lagi marak di Indonesia. Ada juga gelanggang seni seperti ikut menyanyi, kontes menari, terkadang kontes kecantikan. Berbagai cara akan mereka tempuh agar anak-anaknya dapat meraih kemenangan dan menjadi “seorang Bintang Sejati “. Sejak dini mereka persiapkan anak-anak mereka menjadi “Sang Juara”, mulai dari juara renang, menyanyi dan melukis hingga none abang cilik kelika anak-anak mereka masih berusia TK.

Sebagai ilustrasi dalam sebuah arena lomba ratu cilik di Padang puluhan anak-anak TK baik laki-laki maupun perempuan tengah menunggu di mulainya lomba pakaian adat. Ruangan yang sesak, penuh asap rokok, dan acara yang molor menunggu datangnya tokoh anak dari Jakarta. Anak- anak mulai resah, berkeringat, mata memerah karena keringat melelehi mascara mata kecil mereka. Para orangtua masih bersemangat, membujuk anak-anaknya bersabar.

Mengharapkan acara segera di mulai dan anaknya akan keluar sebagai pemenang. Sementara pihak penyelenggara mengusir panas dengan berkipas kertas. Banyak kasus yang mengenaskan menimpa diri anak akibat perilaku ambisi kelompok gold medal parents ini. Sebagai contoh pada tahun 70-an seorang gadis kecil pesenam usia TK rnengalami kelainan tulang akibat ambisi ayahnya yang guru olahraga. Atau kasus “bintang cilik” Yoan Tanamal yang mengalami tekanan hidup dari dunia glamour masa kanak-kanaknya.

Kemudian menjadikannya pengguna dan pengedar narkoba hingga menjadi penghuni penjara. Atau bintang cilik dunia Heintje yang setelah dewasa hanya menjadi pasien dokter jiwa. Gold medal parent menimbulkan banyak bencana pada anak-anak mereka!
Pada tanggal 26 Mei lalu kita sasikan di TV bagaimana bintang cilik “Joshua” yang bintangnya mulai meredup dan mengkhawatirkan orangtuanya. Orangtua Joshua berambisi untuk kembali menjadikan anaknya seorang bintang dengan kembali menggelar konser tunggal. Sebagian dari kita tentu masih ingat bagaimana lucu dan pintarnya. Joshua ketika berumur kurang 3 tahun. Dia muncul di TV sebagai anak ajaib karena dapat menghapal puluhan nama-nama kepala negara.

Kemudian di usia balitanya dia menjadi penyanyi cilik terkenal. Kita kagum bagaimana seorang bapak yang tamatan SMU dan bekerja di salon dapat membentuk dan menjadikan anaknya seorang “superkid ”-seorang penyanyi sekaligus seorang bintang film.

Do-it Yourself Parents
Merupakan kelompok orangtua yang mengasuh anak-anaknya secara alami dan menyatu dengan semesta. Mereka sering menjadi pelayanan professional di bidang sosial dan kesehatan, sebagai pekerja sosial di sekolah, di tempat ibadah., di Posyandu dan di perpustakaan. Kelompok ini menyekolahkan anak-anaknya di sekolah negeri yang tidak begitu mahal dan sesuai dengan keuangan mereka. Walaupun begitu kelompok ini juga bemimpi untuk menjadikan anak-anaknya “Superkids..earlier is better”.

Dalam kehidupan sehari-hari anak-anak mereka diajak mencintai lingkungannya. Mereka juga mengajarkan merawat dan memelihara hewan atau tumbuhan yang mereka sukai. Kelompok ini merupakan kelompok penyayang binatang, dan mencintai lingkungan hidup yang bersih.

Outward Bound Parents— (ORTU PARANOID)
Untuk orangtua kelompok ini mereka memprioritaskan pendidikan yang dapat memberi kenyamanan dan keselamatan kepada anak-anaknya. Tujuan mereka sederhana, agar anak-anak dapat bertahan di dunia yang penuh dengan permusuhan. Dunia di luar keluarga mereka dianggap penuh dengan marabahaya. Jika mereka menyekolahkan anak-anaknya maka mereka Iebih memilih sekolah yang nyaman dan tidak melewati tempat-tempat tawuran yang berbahaya. Seperti halnya Do It Yourself Parents, kelompok ini secara tak disengaja juga terkadang terpengaruh dan menerima konsep “Superkids”. Mereka mengharapkan anak-anaknya menjadi anak-anak yang hebat agar dapat melindungi diri mereka dari berbagai macam marabahaya.

Terkadang mereka melatih kecakapan melindungi diri dari bahaya, seperti memasukkan anak-anaknya “Karate, Yudo, pencak Silat” sejak dini. Ketidakpatutan pemikiran kelompok ini dalam mendidik anak-anaknya adalah bahwa mereka terlalu berlebihan melihat marabahaya di luar rumah tangga mereka, mudah panik dan ketakutan melihat situasi yang selalu mereka pikir akan membawa dampak buruk kepada anak. Akibatnya anak-anak mereka menjadi “steril” dengan lingkungannya.

Prodigy Parents –(ORTU INSTANT)
Merupakan kelompok orangtua yang sukscs dalam karier namun tidak memiliki pendidikan yang cukup. Merceka cukup berada, narnun tidak berpendidikan yang baik. Mereka memandang kesuksesan mereka di dunia bisnis merupakan bakat scmata. Oleh karena itu mereka juga memandang sekolah dengan sebelah mata, hanya sebagai kekuatan yang akan menumpulkan kemampuan anak-anaknya. ‘Tidak kalah mengejutkannya, mereka juga memandang anak-anaknya akan hebat dan sukses seperti mereka tanpa memikirkan pendidikan seperti apa yang cocok diberikan kepada anaknya. Oleh karena itu mereka sangat mudah terpengaruh kiat-kiat atau cara unik dalam mendidik anak tanpa bersekolah. Buku-buku instant dalam mendidik anak sangat mereka sukai. Misalnya buku tentang “Kiat-Kiat Mengajarkan bayi Membaca” karangan Glenn Doman, atau “Kiat-Kiat Mengajarkan Bayi Matematika” karangan Siegfried, “Berikan Anakmu pemikiran Cemerlang” karangan Therese Engelmann, dan “Kiat-Kiat Mengajarkan Anak Dapat Membaca Dalam Waktu 6 Hari ” karangan Sidney Ledson

Encounter Group Parents–(ORTU NGERUMPI)
Merupakan kelompok orangtua yang memiliki dan menyenangi pergaulan. Mereka terkadang cukup berpendidikan, namun tidak cukup berada atau terkadang tidak memiliki pekerjaan tetap (luntang lantung). Terkadang mereka juga merupakan kelompok orangtua yang kurang bahagia dalam perkawinannya. Mereka menyukai dan sangat mementingkan nilai-nilai relationship dalam membina hubungan dengan orang lain. Sebagai akibatnya kelompok ini sering melakukan ketidakpatutan dalam mendidik anak-anak dengan berbagai perilaku “gang ngrumpi” yang terkadang mengabaikan anak.

Kelompok ini banyak membuang-buang waktu dalam kelompoknya sehingga mengabaikan fungsi mereka sebagai orangtua. Atau pun jika mereka memiliki aktivitas di kelompokya lebih berorientasi kepada kepentingan kelompok mereka. Kelompok ini sangat mudah terpengaruh dan latah untuk memilihkan pendidikan bagi anak-anaknya. Menjadikan anak-anak mereka sebagai “Superkids” juga sangat diharapkan. Namun banyak dari anak-anak mereka biasanya kurang menampilkan minat dan prestasi yang diharapkan. Namun banyak dari anak-anak mereka biasanya kurang menampilkan minat dan prestasi yang diharapkan.

Milk and Cookies Parents-(ORTU IDEAL)
Kelompok ini merupakan kelompok orangtua yang memiliki masa kanak-kanak yang bahagia, yang memiliki kehidupan masa kecil yang sehat dan manis. Mereka cendcrung menjadi orangtua yang hangat dan menyayangi anak-anaknya dengan tulus. Mereka juga sangat peduli dan mengiringi tumbuh kembang anak-anak mereka dengan penuh dukungan. Kelompok ini tidak berpeluang menjadi oraugtua yang melakukan “miseducation” dalam merawat dan mengasuh anak-anaknva. Mereka memberikan lingkungan yang nyaman kepada anak-anaknya dengan penuh perhatian, dan tumpahan cinta kasih yang tulus sebagai orang tua.

Mereka memenuhi rumah tangga mercka dengan buku-buku, lukisan dan musik yang disukai oleh anak-anaknya. Mereka berdiskusi di ruang makan, bersahabat dan menciptakan lingkungan yang menstimulasi anak-anak mereka untuk tumbuh mekar segala potensi dirinya. Anak-anak mereka pun meninggalkan masa kanak-kanak dengan penuh kenangan indah yang menyebabkan.

Kehangatan hidup berkeluarga menumbuhkan kekuatan rasa yang sehat pada anak untuk percaya diri dan antusias dalam kehidupan belajar. Kelompok ini merupakan kelompok orangtua yang menjalankan tugasnya dengan patut kepada anak-anak mereka. Mercka bcgitu yakin bahwa anak membutuhkan suatu proses dan waktu untuk dapat menemukan sendiri keistimewaan yang dimilikinya.

Dengan kata lain mereka percaya bahwa anak sendirilah yang akan menemukan sendiri kekuatan didirinya. Bagi mereka setiap anak adalah benar-benar scorang anak yang hebat dengan kekuatan potensi yang juga berbeda dan unik !

Anak-anak Karbitan (Sebuah Renungan Untuk Orang Tua) – Bagian 1

Ditulis oleh Dewi Utama Faizah*)
*) Dewi Utama Faizah, bekerja di Direktorat pendidikan TK dan SD Ditjen Dikdasmen, Depdiknas, Program Director untuk Institut Pengembangan Pendidikan Karakter divisi dari Indonesia Heritage Foundation.

Anak-anak yang digegas Menjadi cepat mekar Cepat matang
Cepat layu…

Pendidikan bagi anak usia dini sekarang tengah marak-maraknya. Dimana mana orang tua merasakan pentingnya mendidik anak melalui lembaga persekolahan yang ada. Mereka pun berlomba untuk memberikan anak-anak mereka pelayanan pendidikan yang baik.

Taman kanak-kanak pun berdiri dengan berbagai rupa, di kota hingga ke desa. Kursus-kursus kilat untuk anak-anak pun juga bertaburan di berbagai tempat. Tawaran berbagai macam bentuk pendidikan ini amat beragam. Mulai dari yang puluhan ribu hingga jutaan rupiah per bulannya. Dari kursus yang dapat membuat otak anak cerdas dan pintar berhitung, cakap berbagai bahasa, hingga fisik kuat dan sehat melalui kegiatan menari, main musik dan berenang. Dunia pendidikan saat ini betul-betul penuh dengan denyut kegairahan. Penuh tawaran yang menggiurkan yang terkadang menguras isi kantung orangtua.

Captive market !
Kondisi diatas terlihat biasa saja bagi orang awam. Namun apabila kita amati lebih cermat, dan kita baca berbagai informasi di intenet dan lileratur yang ada tentang bagaimana pendidikan yang patut bagi anak usia dini, maka kita akan terkejut! Saat ini hampir sebagian besar penyelenggaraan pendidikan bagi anak-anak usia dini melakukan kesalahan. Di samping ketidak patutan yang dilakukan oleh orang tua akibat ketidaktahuannya!

Anak-Anak Yang Digegas…
Ada beberapa indikator untuk melihat berbagai ketidakpatutan terhadap anak. Di antaranya yang paling menonjol adalah orientasi pada kemampuan intelektual secara dini. Akibatnya bermunculanlah anak-anak ajaib dengan kepintaran intelektual luar biasa. Mereka dicoba untuk menjalani akselerasi dalam pendidikannya dengan memperoleh pengayaan kecakapan-kecakapan akademik dl dalam dan di luar sekolah.

Kasus yang pernah dimuat tentang kisah seorang anak pintar karbitan ini terjadi pada tahun 1930, seperti yang dimuat majalah New Yorker. Terjadi pada seorang anak yang bernama William James Sidis, putra seorang psikiater. Kecerdasan otaknya membuat anak itu segera masuk Harvard College walaupun usianya masih 11 tahun. Kecerdasannya di bidang matematika begitu mengesankan banyak orang. Prestasinya sebagai anak jenius menghiasi berbagai media masa. Namun apa yang terjadi kemudian ?

James Thurber seorang wartawan terkemuka. pada suatu hari menemukan seorang pemulung mobil tua, yang tak lain adalah William James Sidis. Si anak ajaib yang begitu dibanggakan dan membuat orang banyak berdecak kagum pada bcberapa waktu silam.

Kisah lain tentang kehebatan kognitif yang diberdayakan juga terjadi pada scorang anak perempuan bernama Edith. Terjadi pada tahun 1952, dimana seorang Ibu yang bemama Aaron Stern telah berhasil melakukan eksperimen menyiapkan lingkungan yang sangat menstimulasi perkembangan kognitif anaknya sejak si anak masih benapa janin. Baru saja bayi itu lahir ibunya telah memperdengarkan suara musik klasik di telinga sang bayi. Kemudian diajak berbicara dengan mcnggunakan bahasa orang dewasa. Setiap saat sang bayi dikenalkan kartu-kartu bergambar dan kosa kata baru. Hasilnya sungguh mencengangkan! Di usia 1 tahun Edith telah dapat berbicara dengan kalimat sempurna. Di usia 5 tahun Edith telah menyelesaikan membaca ensiklopedi Britannica. Usia 6 tahun ia membaca enam buah buku dan Koran New York Times setiap harinya. Usia 12 tahun dia masuk universitas.

Ketika usianya menginjak 15 lahun la menjadi guru matematika di Michigan State University. Aaron Stem berhasil menjadikan Edith anak jenius karena terkait dengan kapasitas otak yang sangat tak berhingga. Namun khabar Edith selanjutnya juga tidak terdengar lagi ketika ia dewasa. Banyak kesuksesan yang diraih anak saat ia mcnjadi anak, tidak menjadi sesuatu yang bemakna dalam kehidupan anak ketika ia menjadi manusia dewasa.

Berbeda dengan banyak kasus legendaris orang-orang terkenal yang berhasil mengguncang dunia dengan penemuannya. Di saat mereka kecil mereka hanyalah anak-anak biasa yang terkadang juga dilabel sebagai murid yang dungu. Seperti halnya Einsten yang mengalami kesulitan belajar hingga kelas 3 SD. Dia dicap sebagai anak bebal yang suka melamun.

Selama berpuluh-puluh tahun orang begitu yakin bahwa keberhasilan anak di masa depan sangat ditentukan oleh factor kognitif. Otak memang memiliki kemampuan luar biasa yang tiada berhingga. Oleh karena itu banyak orangtua dan para pendidik tergoda untuk melakukan “Early Childhood Training”.

Era pemberdayaan otak mencapai masa keemasanmya. Setiap orangtua dan pendidik berlomba-lomba menjadikan anak-anak mereka menjadi anak-anak yang super (Superkids). Kurikulum pun dikemas dengan muatan 90 % bermuatan kognitif yang mengfungsikan belahan otak kiri. Sementara fungsi belahan otak kanan hanya mendapat porsi 10% saja. Ketidakseimbangan dalam memfungsikan ke dua belahan otak dalam proses pendidikan di sekolah sangat mencolok. Hal ini terjadi sekarang dimana-rnana, di Indonesia.

“Early Ripe, early Rot…!”
Gejala ketidakpatutan dalam mendidik ini mulai terlihat pada tahun 1960 di Amerika. Saat orangtua dan para professional merasakan pentingnya pendidikan bagi anak-anak semenjak usia dini.

Orangtua merasa apabila mereka tidak segera mengajarkan anak-anak mereka berhitung, membaca dan menulis sejak dini maka mereka akan kehilangan “peluang emas” bagi anak-anak mereka selanjutnya. Mereka memasukkan anak-anak mereka sesegera mungkin ke Taman Kanak-Kanak (Pra Sekolah). Taman Kanak-kanak pun dengan senang hati menerima anak-anak yang masih berusia di bawah usia 4 tahun. Kepada anak-anak ini gurunya membelajarkan membaca dan berhitung secara formal sebagai pemula.

Terjadinya kemajuan radikal dalam pendidikan usia dini di Amcrika sudah dirasakan saat Rusia meluncurkan Sputnik pada tahun 1957. Mulailah “Era Headstart” merancah dunia pendidikan. Para akademisi begitu optimis untuk membelajarkan sains dan matematika kepada anak sebanyak dan sebisa mereka (tiada berhingga). Sementara mereka tidak tahu banyak tentang anak, apa yang mereka butuhkan dan inginkan sebagai anak.

Puncak keoptimisan era Headstart diakhiri dengan pernyataan Jerome Bruner, seorang psikolog dari Harvard University yang menulis sebuah buku terkenal “The Process of Education” pada tahun 1960, la menyatakan bahwa kompetensi anak untuk belajar sangat tidak berhingga. Inilah buku suci pendidikan yang mereformasi kurikulum pendidikan di Amerika. “We begin with the hypothesis that any subject can be taught effectively in some intellectually honest way to any child at any stage of development”.

Inilah kalimat yang merupakan hipotesis Bruner yang di salahartikan oleh banyak pendidik, yang akhirnya menjadi bencana! Pendidikan dilaksanakan dengan cara memaksa otak kiri anak sehingga membuat mereka cepat matang dan cepat busuk.

early ripe, early rot!
Anak-anak menjadi tertekan. Mulai dari tingkat pra sekolah hingga usia SD. Di rumah para orangtua kemudian juga melakukan hal yang sama, yaitu mengajarkan sedini mungkin anak-anak mereka membaca ketika Glenn Doman menuliskan kiat-kiat praktis membelajarkan bayi membaca.

Bencana berikutnya datang saat Arnold Gesell memaparkan konsep “kesiapan-readiness” dalam ilmu psikologi perkembangan temuannya yang mendapat banyak decakan kagum. Ia berpendapat tentang “biological limitations on learning”. Untuk itu ia menekankan perlunya dilakukan intervensi dini dan rangsangan inlelektual dini kepada anak agar mereka segera siap belajar apapun.
Tekanan yang bertubi-tubi dalam memperoleh kecakapan akademik di sekolah membuat anak-anak menjadi cepat mekar.

Anak -anak menjadi “miniature orang dewasa”. Lihatlah sekarang, anak-anak itu juga bertingkah polah sebagaimana layaknya orang dewasa. Mereka berpakaian seperti orang dewasa, berlaku pun juga seperti orang dewasa. Di sisi lain media pun merangsang anak untuk cepat mekar terkait dengan musik, buku, film, televisi, dan internet.
Lihatlah maraknya program teve yang belum pantas ditonton anak-anak yang ditayangkan di pagi atau pun sore hari. Media begitu merangsang keingintahuan anak tentang dunia seputar orang dewasa. sebagai seksual promosi yang menyesatkan. Pendek kata media telah memekarkan bahasa.

berpikir dan perilaku anak lumbuh kembang secara cepat.
Tapi apakah kita tahu bagaimana tentang emosi dan perasaan anak? Apakah faktor emosi dan perasaan juga dapat digegas untuk dimekarkan seperti halnya kecerdasan? Perasaan dan emosi ternyata memiliki waktu dan ritmenya sendiri yang tidak dapat digegas atau dikarbit. Bisa saja anak terlihat berpenampilan sebagai layaknya orang dewasa, tetapi perasaan mereka tidak seperti orang dewasa. Anak-anak memang terlihat tumbuh cepat di berbagai hal tetapi tidak di semua hal. Tumbuh mekarnya emosi sangat berbeda dengan tumbuh mekarnya kecerdasan (intelektual) anak. Oleh karena perkembangan emosi lebih rumit dan sukar, terkait dengan berbagai keadaan, Cobalah perhatikan, khususnva saat perilaku anak menampilkan gaya “kedewasaan “, sementara perasaannya menangis berteriak sebagai “anak”.

Dampak Berikutnya Terjadi… ketika anak memasuki usia remaja. Akibat negatif lainnya dari anak-anak karbitan terlihat ketika ia memasuki usia remaja. Mereka tidak segan-segan mempertontonkan berbagai macam perilaku yang tidak patut. Patricia 0′ Brien menamakannya sebagai “The Shrinking of Childhood” Lu belum tahu ya… bahwa gue telah melakukan segalanya”, begitu pengakuan seorang remaja pria berusia 12 tahun kepada teman-temannya. “Gue tahu apa itu minuman keras, drug, dan seks ” serunya bangga.

Berbagai kasus yang terjadi pada anak-anak karbitan memperlihatkan bagaimana pengaruh tekanan dini pada anak akan menyebabkan berbagai gangguan kepribadian dan emosi pada anak. Oleh karena ketika semua menjadi cepat mekar…. kebutuhan emosi dan sosial anak jadi tak dipedulikan! Sementara anak sendiri membutuhkan waktu untuk tumbuh, untuk belajar dan untuk berkembang, sebuah proses dalam kehidupannya !

Saat ini terlihat kecenderungan keluarga muda lapisan menengah ke atas yang berkarier di luar rumah tidak menuliki waktu banyak dengan anak-anak mereka. Atau pun jika si ibu berkarier di dalam rumah, ia lebih mengandalkan tenaga “baby sitter” sebagai pengasuh anak-anaknya. Colette Dowling menamakan ibu-ibu muda kelompok ini sebagai “Cinderella Syndrome” yang senang window shopping, ikut arisan, ke salon memanjakan diri, atau menonton telenovela atau buku romantis. Sebagai bentuk ilusi rnenghindari kehidupan nyata vang mereka jalani.

Kelompok ini akan sangat bangga jika anak-anak mereka bersekolah di lembaga pendidikan yang mahal, ikut berbagai kegiatan kurikuler, ikut berbagai Ies, dan mengikuti berbagai arena, seperti lomba penyanyi cilik, lomba model ini dan itu. Para orangtua ini juga sangat bangga jika anak-anak mereka superior di segala bidang, bukan hanya di sekolah. Sementara orangtua yang sibuk juga mewakilkan diri mereka kepada baby sitter terhadap pengasuhan dan pendidikan anakÂanak mereka. Tidak jarang para baby sitter ini mengikuti pendidikan parenting di Iembaga pendidikan eksekutif sebagai wakil dari orang tua.

Monday, March 10, 2008

Character Education

May 6th 2006
By Brent Sitton

Every parent wants their child to develop positive character traits. One way to supplement your child's character education is to act as a filter for the movies and television shows your child watches, and to review the books your child reads.

The following categories are modeled after "The Book of Virtues for Young People," an excellent book for children in its own right, written by William Bennett. When developing a curriculum of character education for your child, it's helpful to review each children's book, television show, and movie for both positive and negative examples of each of the ten virtues outlined in "The Book of Virtues for Young People." The stronger the message, the more it will contribute to your child's character education.

Following are some ways in which the virtues can manifest as character traits in children's books, movies, and in television shows:

Self-Discipline: A character discusses his feelings of anger rather than impulsively striking out. Or, a character gets his chores done before he goes out to play.

Compassion: A character understands the pain or suffering of a friend, and steps in to help, even when it means she can't attend the party she was looking forward to.

Responsibility: A character admits it was his baseball that broke the window, and offers to pay for a replacement. Or, a character keeps her promise to babysit her younger sister, even though she'd rather go to the movies with her friends.

Friendship: A character stands up for her friend in front of her peers, even though it's not popular. Or, a character befriends the class bully in an effort to get him to change his ways.

Work: A character approaches her job with a positive attitude, and does her very best even when her boss is being unfair. Or, a character makes up a game to get through an unpleasant task, and takes pride in her work even though it goes unnoticed.

Courage: A character is afraid of the raging waters, but takes the risk and dives in to save her family. Or, a character stands up for what he believes in, even though it's unpopular.

Perseverance: A character continues to strive to make the basketball team, even though he's a foot shorter than the other players. Or, a family works together to keep their home, even though the father has lost his job and the mother is ill.

Honesty: A character admits to himself that he isn't trying his hardest. Or, a character talks to an adult about a friend in trouble, even though the friend will get angry at her.

Loyalty: A character sticks with his losing soccer team in the hope of helping them become better, rather than joining a winning soccer team. Or, a character stays at her friend's side during a serious illness or hardship.

Faith: A character reaches out to God to help him in his time of need.

When evaluating character traits and virtues in kids' books, movies, and television shows, also look at negative behavioral influences. Ideally, these influences will be minimal. Consider, for example:

Violence: Does the character hurt himself, another person, or an animal through his words or actions, and does he act without remorse?

Profanity: Does the character use foul language, sexual language, or take God's name in vain?

Nudity: Does the movie, television show, or book show or describe suggestive styles of dress or partially clothed or nude characters?

Sexual Content: Do the characters engage in implied or overt sexual behavior, or do they engage in aberrant sexual behavior?

Drugs, Alcohol, and Tobacco: Do the characters use or abuse legal or illegal substances?

Scary Elements: Are the scenarios depicted gratuitously frightening?

Negative Behaviors: Does the character show disrespect to his parents? Or, does he neglect his homework? Or, does he frighten other children?

By evaluating both the positive character traits and negative behaviors of movies, television shows, and books, and selecting those that reinforce the values and virtues that are important to you, you'll go far in developing your child's character education.

Why Can't Character Ed End Your Classroom Management Nightmares?

May 6th 2006
By: Ruth Wells

Character ed is becoming more and more popular in schools all over the U.S. But in our workshops around the country, more and more educators and counselors are complaining that character ed is not the solution for every youngster. They want to know what is wrong with character ed approaches.

First, let's make sure you know what character ed is. Character ed approaches attempt to use character-building to ensure or engender appropriate behavior. A character ed approach to bullying might require that the bully apologize and make amends to the victim of the bullying, for example. Character ed methods essentially use a single force to elicit satisfactory conduct. The logic is that by building character, conscience and moral values, students' behavior can be improved or maintained at a satisfactory level.

Unfortunately, human beings are not "uniform" creatures. Single-mode interventions of any type can be expected to fail with at least a portion of any group. Character ed is subject to this potential flaw just like any other style of student management. The education world does tend to move from trend to trend, and character ed may be the current one. This article will explain the biggest flaws and serious safety issues you may encounter if you use character ed, and will explain how to supplement character ed approaches to make them more effective with different types of youngsters. We'll also look at how to avoid the predictable safety issues that character ed methods can engender.

WHO DOES CHARACTER ED WORK WELL WITH? Ironically, character ed works best with the students who least need it. So, character ed can most impact youngsters who have a conscience, remorse and values. Obviously, youngsters who fit that description are not likely to be your worst bullies and agitators.

WHO DOES CHARACTER ED WORK WORST WITH? The sentence above may not be grammatically correct, but that is the least of your problems. Character ed works worst with students who lack a conscience, remorse and compassion. A whopping 11-15% of young people will fit this description. The mental health term that might be applied by a counselor to some of these youngsters is "conduct disorder," but the rather grim bottom line is that character ed is utterly ineffective with these students. You can can't successfully use conscience-based approaches with students who lack a conscience. These students will be your worst bullies and agitators yet character ed is virtually powerless to control them. These students are likely to be the source of many of your worst classroom and group management nightmares but character ed is utterly ineffective when used with them-- plus, safety concerns may be generated.

HOW CAN CHARACTER ED CAUSE SAFETY PROBLEMS? Safety problems can easily be created or worsened by using character ed methods with conduct disorders (children without a conscience). Here is an example: A conduct disordered child bullies another youngster. The bully is given classic character ed-style consequences such as being asked to apologize and make amends. Lacking relationship capacity, the child is unable to benefit from these relationship-based approaches, but it gets worse. Having been caught and required to make an apology may have angered or annoyed the bully, putting the victimized student at high risk of retribution.

ARE THERE OTHER SAFETY CONCERNS? Character ed approaches often involve helping the misbehaved child understand the harm he has done to his peer. If you help the bully "understand" how his behavior upset or saddened the victim-- which was his goal in the first place-- aren't you marking the victim for more torment? Bullies love a strong negative reaction from their victims, and character ed methods often highlight the victims' negative reaction. The effect is to place a "kick me more" sign on the back of the victim. Expect the bully's problem behavior towards the victim to increase. There are additional, important safety concerns that we cover in our workshops, books and ebooks (http://www.youthchg.com); we have covered just the most common concern here.

HOW CAN I SUPPLEMENT CHARACTER ED TO AVOID SAFETY PROBLEMS? It's easy to supplement character ed methods and eliminate the safety concerns. The most important step is to be sure all your staff are trained to know about conduct disorders. You must use a different set of interventions with conduct disorders. You can continue to use character ed methods with others if you are satisfied with the results that style of intervention delivers with some students.

HOW ELSE CAN I ENHANCE CHARACTER ED TO WORK BETTER? Character ed won't make up for a lack of skills, a bad attitude, or if students lack the motivation to improve their behavior. Add in those items, and watch the improvement. So, be sure to teach all the skills you want students to use, and cover everything from what to say to where do hands belong and not belong. Any behavior that you expect, you must teach. Without skills, students can not perform better no matter how much you build their character. Similarly, character ed usually doesn't make up for a bad attitude or poor motivation, so be sure to teach both of those. If you are thinking that no one knows how to teach students to have better attitudes and motivation, then you haven't been exposed to my terrific motivation-builders and bad attitude-busters. Great methods do exist. For example, check out a completely free sampler of great bad attitude-busters at http://www.youthchg.com/solvat.html so you can see that these tools do exist.

Manusia "Instan"

oleh: Iwan Gunawan
Guru SD Salman Al Farisi Bandung

Mendengar kata “instant”, pikiran kita mungkin akan tertuju pada mie instant, makanan instant, atau bumbu masak instant. Itu tidak salah, karena memang kata tersebut sering dicantumkan secara nyata pada pembungkusnya, sehingga setiap orang bisa membacanya. Tetapi pernahkan kita mendengar kata “instant” yang ditujukan untuk manusia? Tampaknya hal tersebut ‘mungkin’ mengada-ada. Benarkah demikian? Ayo kita telusuri.

Pendidikan pada dasarnya adalah suatu proses untuk menciptakan kedewasaan pada manusia. Proses yang dilalui untuk mencapai kedewasaan tersebut membutuhkan waktu yang lama, karena aspek yang ingin dikembangkan bukanlah hanya kognitif semata-mata melainkan mencakup semua aspek kehidupan, termasuk didalamnya nilai-nilai ketuhanan.

Apabila kita cermati secara mendalam, ternyata ‘pendidikan’ sudah mengalami pergeseran makna dan penyempitan nilainya, menuju pada ‘pengajaran’ yang lebih cenderung mengagungkan ‘angka’ (score).
Disadari atau tidak, kita pada saat ini telah digiring untuk membentuk anak kita menjadi manusia-manusia instant yang sekali pakai, dan tidak bertahan lama. Hal ini semakin terasa, disaat menjelang ujian akhir sekolah atau ujian nasional. Dimana pada saat itu banyak orang tua yang dengan gencarnya mencari “lembaga bimbingan belajar” untuk mendrill dan ‘memaksakan’ anak-anaknya agar bisa menguasai bidang studi yang diujikan, dalam waktu yang relative singkat. Lalu dimana peran sekolah selama ini, apabila anak-anak didiknya masih ‘harus’ mencari bimbingan belajar?

Suatu hari ada seorang ibu di Bandung yang mendatangi sekolah anaknya untuk mengadukan keluhan anaknya yang tidak bisa masuk sekolah lanjutan (SMP) yang berwawasan internasional (SBI), hanya karena nilai raport anaknya tidak memenuhi standar rata-rata yang ditentukan yaitu 7,50, sedangkan anak tersebut nilai rata-ratanya 7.45.

Diakhir penyampaian keluhan pada wakil kepala sekolah bidang kurikulum, si ibu tersebut tanpa ada rasa malu mengatakan, ”mengapa sekolah ini tetap mempertahankan skor asli, dan tanpa ada keinginan untuk mengkatrol nilai. Padahal sekolah-sekolah yang ada sekarang sudah lazim menerapkan seperti itu.”. Akan tetapi diluar dugaan, anaknya yang sejak dari tadi menyimak pembicaraan orang tuanya, dengan tenang menaggapi, “bu, biarlah nilai saya seperti itu. Kalau nanti diubah, saya khawatir nilai raport saya tidak barokah”.

Kejadian ini, mungkin tidak hanya terjadi di Bandung, bisa saja terjadi di tempat lain. Kisah ini telah memberikan suatu pelajaran pada kita bahwa nilai-nilai luhur yang selama ini disampaikan oleh para guru, pada akhirnya akan dihancurkan dan dikalahkan oleh angka-angka. Betapa banyak orang tua yang seolah-olah mengecilkan arti pendidikan yang telah dienyam oleh anaknya selama ini, apabila pada akhir masa sekolah nilainya ujian anaknya jelek. Sedangkan perilaku-perilaku yang baik seperti taat pada orang tua dan guru, rajin sholat, tidak suka berbohong, berani memimpin dan perilaku baik lainnya, jarang disentuh orang tua sebagai kriteria keberhasilan suatu pendidikan. Betapa jawaban anak tersebut lebih mulia –sebagai hasil pendidikan- dibandingkan ambisi orang tuanya.

Mengapa hal ini bisa terjadi? Karena memang pendidikan kita belum menjadikan pembentukan karakter sebagai tolok ukur keberhasilan pendidikan, dan masih menjadikan ‘angka-angka’ sebagai patokannya. Akibatnya banyak sekolah-sekolah yang memberi nilai ‘instan’ hanya untuk memenuhi ambisi orang tua dan menjaga citra sekolahnya sebagai sekolah yang unggul dan berprestasi, tidak peduli anak-anaknya nanti kelipungan dan tergusur mengejar materi yang tidak dikuasainya di sekolah lanjutan.

Memasukan anak ke lembaga bimbingan belajar tidaklah salah, kalau memang tujuannya hanya untuk menutupi kekurangan pada anaknya pada saat belajar, misalnya kurang menguasai matematika. Akan tetapi apabila hal tersebut, dijadikan sebagai penentu dan patokan keberhasilan pendidikan anak semata-semata – yang menjadikan ‘angka’ sebagai raja – tampaknya kita telah berperilaku tidak bijak pada anak kita, dan bersiaplah pada akhirnya nanti anak kita hanya menjadi anak ‘karbitan’ pada bidangnya. Kita telah digiring untuk menggapai tujuan jangka pendek semata

Proses menjadikan manusia instant, bukan hanya terjadi pada bidang pendidikan saja, melainkan juga pada bidang yang lain. Kita lihat pada saat ini menjamurnya kontes dan lomba-lomba yang ‘menghasilkan’ artis instant, seperti mamamia, akademi fantasi, KDI, dan masih banyak acara lainnya. Tetapi coba kita simak, berapa persen para lulusan lomba dan kontes tersebut yang bisa bertahan lama di pentas keartisan. Hampir sebagian besar lulusan tersebut menyandang gelar ‘layu sebelum berkembang’. Adakah diantara lulsan tersebut yang bisa melegenda seperti Chrisye, Titik Puspa, Vina Panduwinata, atau mungkin Deddy Mizwar? Mereka-mereka ini telah ditempa oleh sebuah perjuangan untuk bertahan hidup, keinginan belajar yang kuat dan satu hal yang pasti mereka tidak mengenal kata “instan’, sehingga dalam hidupnya tidak ada kata “layu sebelum berkembang”.
Ayo bangun negeri ini dengan generasi-generasi yang tangguh, ulet, dan mau terus belajar dan berjuang. Jauhkan anak-anak kita dari paham ‘instan people’, yang bisa melahirkan para pencari uang instant (koruptor), pencari jalan kemudahan (penyuap) dan generasi-generasi merugikan lainnya.

Teringat pada pepatah Imam Syafii ‘Tak akan kau dapatkan ilmu, kecuali dengan waktu yang lama, bersahabat dengan guru, ada biaya yang cukup, rajin dan ulet,…”.
 

WHEN SUHENG TALK... Template by Ipietoon Cute Blog Design