Monday, September 24, 2007

Tujuan Model Pendidikan Holistik Berbasis “INDONESIA HERITAGE FOUNDATION (IHF)"

Membentuk manusia secara utuh (holistik) yang berkarakter, yaitu mengembangkan aspek fisik, emosi, sosial, kreativitas, spiritual dan intelektual siswa secara optimal. Selain itu untuk membentuk manusia yang lifelong learners (pembelajar sejati)

STRATEGI

  1. Menerapkan metode belajar yang melibatkan partisipasi aktif murid, yaitu metode yang dapat meningkatkan motivasi murid karena seluruh dimensi manusia terlibat secara aktif dengan diberikan materi pelajaran yang konkrit, bermakna, serta relevan dalam konteks kehidupannya (student active learning, contextual learning, inquiry-ased learning, integrated learning)
  2. Menciptakan lingkungan belajar yang kondusif (conducive learning community) sehingga anak dapat belajar dengan efektif di dalam suasana yang memberikan rasa aman, penghargaan, tanpa ancaman, dan memberikan semangat.
  3. Memberikan pendidikan karakter secara eksplisit, sistematis, dan berkesinambungan dengan melibatkan aspek knowing the good, loving the good, and acting the good.
  4. Metode pengajaran yang memperhatikan keunikan masing-masing anak, yaitu menerapkan kurikulum yang melibatkan juga 9 aspek kecerdasan manusia.
  5. Seluruh pendekatan di atas menerapkan prinsip-prinsip Developmentally Appropriate PracticesModel pendidikan ini telah diterapkan di lebih dari 200 lokasi dalam program “Semai Benih Bangsa” (SBB), yaitu kegiatan TK. alternatif untuk anak-anak yang tidak mampu, dan juga dibeberapa TK dan SD swasta dan negeri lainnya.

Beberapa perusahan telah mengadopsi program IHF untuk program ”Community Development” dalam bidang pendidikan, seperti Exxon Mobil (sejak tahun 2002 yang telah membuka 110 lokasi SBB dan pembinaan beberapa SD negeri di Aceh), Chevron/Caltex (30 lokasi SBB dan pembinaan TK/SD milik yayasan Caltex di Riau), ConocoPhillips, Star Energy, Excelcomindo, Indosat (sedang dalam proses pendirian 11 lokasi SBB), serta Lumbung Peduli Pemirsa TVRI. (R.Megawangi)

Membangun SDM Indonesia Melalui Pendidikan Holistik Berbasis Karakter

oleh: Ratna Megawangi

Barangkali tidak banyak yang menyadari bahwa sistem pendidikan di Indonesia sebetulnya hanya menyiapkan para siswa untuk masuk ke jenjang perguruan tinggi, atau hanya untuk mereka yang memang mempunyai bakat pada potensi akademik (ukuran IQ tinggi). Hal ini terlihat dari bobot mata pelajaran yang diarahkan kepada pengembangan dimensi akademik siswa saja, yang sering diukur dengan kemampuan logika-matematika dan abstraksi (kemampuan bahasa, menghafal, abstraksi – atau ukuran IQ).

Padahal ada banyak potensi lainnya yang perlu dikembangkan, karena berdasarkan teori Howard Gardner tentang kecerdasan majemuk, potensi akademik hanyalah sebagian saja dari potensi-potensi lainnya. Sistem pendidikan kita sebenarnya mengacu kepada sistem yang dipakai Amerika Serikat (AS), yang dikembangkan terutama sebagai reaksi AS terhadap keberhasilan Uni Soviet meluncurkan pesawat luar angkasa Sputnik pada tahun 1957. Para pemimpin AS saat itu “panik”, sehingga segera mereformasi sistem pendidikannya agar lebih berorientasi pada penyiapan siswa untuk memasuki ke perguruan tinggi serta menitikberatkan pada kemampuan akademik siswa agar para lulusan mampu menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK). AS memang telah berhasil mengembangkan IPTEK, dan kualitas perguruan tinggi di AS menjadi paling unggul di dunia.

Namun, trategi pendidikan ini dikritik - terutama oleh Lester Thurow, seorang ekonom dari MIT (perguruan tinggi terkenal di AS) - sebagai strategi yang “salah” dalam menghadapi persaingan global. Thurow mengatakan bahwa strategi ini lebih mementingkan bagaimana menyiapkan 10 persen terpandai dari penduduk AS, karena yang akan berhasil hingga jenjang pendidikan tinggi untuk menguasai IPTEK hanyalah mereka yang mempunyai potensi akademik tinggi (IQ di atas 120). Hukum alam selalu menunjukkan bahwa dimana pun di muka bumi ini, yang memiliki IQ di atas angka tersebut (di atas 120) tidak lebih dari 10 persen penduduk.

Namun sebaliknya, sebagian besar penduduk adalah mereka yang kecerdasannya bukan pada dimensi akademik (ilmuwan, pemikir, dan ahli strategis), tetapi dimensi-dimensi lainnya – misalnya pekerjaan teknisi, musisi, manual (motorik), artis, atau hal-hal lain yang sifatnya “lebih konkrit”.Kualitas produksi barang dan jasa pun sangat tergantung pada kualitas segmen penduduk yang mayoritas ini. Tantangannya adalah apakah penduduk mayoritas ini sudah dipersiapkan untuk dapat bekerja secara profesional sehingga dapat menghasilkan barang dan jasa yang berkualitas tinggi?
Distribusi IQ dari Setiap Populasi berdasarkan Studi yang Dikompilasikan oleh University of Maine, USA IQ
Range 0-70 = 2.27% (Mentally Retarded)
IQ Range 71-84 =13.59%
IQ Range 85-115 = 68.26% (Average)
IQ Range 116-129 = 13.59%
IQ Range 130 & > = 2.27% (Gifted)
Menurut Thurow, dalam hal kualitas produksi, negara AS kalah dengan Jepang karena strategi pendidikan di Jepang lebih mementingkan bagaimana menyiapkan tenaga kerja yang berkualitas dan profesional - yang merupakan bagian terbesar dari penduduk. Berbeda dengan AS yang lebih mementingkan 10 persen siswa terpandai, strategi pendidikan Jepang justru sebaliknya, yaitu terutama menyiapkan 50 persen siswa terbawah (dalam skala IQ) untuk menjadi tenaga kerja yang handal. Sedangkan mereka yang sangat tinggi kemampuan akademisnya (yang populasinya tidak lebih dari 15 %), akan masuk ke jenjang perguruan tinggi setelah menempuh ujian saringan perguruan tinggi yang sangat sulit (sering disebut “neraka ujian”). Dengan strategi seperti ini, maka terlihat bahwa sistem pendidikan di Jepang - terutama pendidikan dasar - dianggap relatif tidak sulit dan menyenangkan bagi anak-anak.

Berbeda dengan Jepang, sistem pendidikan di Indonesia sebenarnya justru menyiapkan seluruh siswa untuk dapat menjadi ilmuwan dan pemikir (filsuf), sehingga seluruh mata pelajaran dirancang sedemikian rupa sulitnya, sehingga hanya dapat diikuti oleh 10 sampai 15 persen siswa terpandai saja atau mereka yang mempunyai IQ di atas 115. Memang, beberapa siswa Indonesia bisa berprestasi mendapatkan hadiah olimpiade, namun dapat dipastikan bahwa mereka adalah bagian dari top 0.1% tingkat IQ tertinggi saja (bukan cerminan dari kondisi seluruh siswa Indonesia). Sudah puluhan tahun energi bangsa kita terbuang sia-sia untuk menciptakan manusia Indonesia yang menguasai IPTEK dengan segala beban kurikulum yang luar biasa beratnya.
Padahal, jika potensi (IQ) siswa hanya 90 atau 100, diberi pelajaran tambahan berapa pun, tidak akan bisa meningkatkan hingga 120. Seandainya energi kita lebih difokuskan pada bidang keterampilan untuk menyiapkan 85 persen penduduk agar mereka siap dan terampil bekerja secara profesional, mencintai pekerjaannya dan berkomitmen pada kualitas produksi yang tinggi, mungkin kondisi Indonesia tidak akan separah sekarang. Apa yang telah kita tanam selama ini, ternyata membuahkan hasil. Kualitas SDM (Human Development Index) Indonesia sekarang berada di bawah Vietnam, atau nomor 4 terbawah (nomor 102 dari 106 negara). Hasil Survei PERC di 12 negara juga menunjukkan bahwa Indonesia berada di urutan terbawah, satu peringkat di bawah Vietnam. Hasil survey matematika di 38 negara Asia, Australia, dan Afrika oleh TIMSS-R, menunjukkan bahwa Indonesia menduduki peringkat 34.
Mengapa kualitas SDM kita sedemikian buruknya? Penyebabnya adalah para pemimpin kita sejak Indonesia merdeka tidak mempunyai visi dan strategi yang jitu dalam membawa bangsa Indonesia ke depan. Jepang dan Jerman, misalnya, mempunyai strategi utama untuk mencetak tenaga kerja handal, yaitu dengan mendidik 60 persen penduduk terbawah dengan pendidikan keterampilan. Di sisi lain, mereka tetap menyadari bahwa untuk mencetak manusia yang menguasai IPTEK hingga mampu menciptakan teknologi baru, perlu pendidikan yang tepat bagi 15 persen terpandai (brain power) sehingga mereka siap masuk ke jenjang perguruan tinggi.

Namun setiap teknologi baru dapat ditiru dan dapat diproduksi di mana saja. Sedangkan pekerja yang terampil dan handal - ujung tombak yang menjadi tangan-tangan produktif untuk menghasilkan produk teknologi apa saja - merupakan kelebihan (comparative advantage) yang sulit untuk ditiru. AS merupakan negara penemu teknologi kamera, recorder, dan mesin faks, tetapi sekarang produk-produk tersebut sudah menjadi unggulan Jepang. Jerman dan Jepang terkenal dengan apprentice system (keterampilan) yang handal, sehingga produk-produk merekaterk enal paling bagus kualitasnya di dunia, karena dikerjakan oleh para pekerja yang terampil, pekerja keras, percaya diri dengan kemampuannya dan mempunyai kualitas karakter lainnya yang mendukung.
Mereka adalah para pekerja manual, bukan saintis atau ilmuwan! Tentu saja Jerman dan Jepang juga memperhatikan perguruan tinggi untuk menampung 15 persen penduduk terpandai (yang daya abstraksi dan analitiknya tinggi).Namun demikian, tidak dengan cara memaksakan target perguruan tinggi - supaya menjadi ilmuwan kepada 85 persen lainnya. Apabila strategi pendidikan ditujukan untuk menciptakan para pekerja yang handal (yang meliputi 85 % penduduk), maka fokus pendidikan harus lebih memperhatikan penyiapan anak didik sehingga siap bekerja dan terampil selepas SLTA atau bahkan SLTP, tergantung bidang-bidang keterampilannya. Namun kenyataannya, mayoritas siswa Indonesia sejak usia SD sudah habis energinya mengikuti pelajaran yang dirancang supaya mereka tidak mampu mengikutinya.
Selain itu, metode pembelajaran di kelas banyak yang menyalahi teori-teori perkembangan anak. Hasilnya adalah generasi yang tidak percaya diri (apalagi kalau divonis dengan sistem ranking di sekolah), sehingga sempurnalah pencetakan SDM Indonesia yang berada di urutan terbawah; tidak bisa bekerja, tidak terampil, tidak percaya diri, dan tidak berkarakter. Mereka tumbuh dikondisikan oleh sebuah sistem yang salah. Aspirasi siswa yang keliru sejak dini sudah terbentuk, yaitu tidak menghargai pekerjaan manual yang memerlukan keterampilan, kerajinan, dan ketekunan. Dalam hal ini, termasuk juga mereka yang memasuki sekolah kejuruan (SMK), yang umumnya tidak mempunyai gairah untuk mencintai bidang keterampilannya karena merasa dicap bodoh, terlebih jika lingkungannya menganggap bahwa simbol keberhasilan adalah memiliki gelar kesarjanaan – bukan memiliki keterampilan kerja.
Selain itu, karena tujuan pendidikan diarahkan untuk mencetak anak pandai secara kognitif (yang menekankan pengembangan otak kiri saja dan hanya meliputi aspek bahasa dan logis-matematis), maka banyak materi pelajaran yang berkaitan dengan pengembangan otak kanan (seperti kesenian, musik, imajinasi, dan pembentukan karakter) kurang mendapatkan perhatian (mengenai bahasan multiple intelligences sembilan aspek kecerdasan). Kalaupun ada, maka orientasinya pun lebih kepada kognitif (hafalan), tidak ada apresiasi dan penghayatan yang dapat menumbuhkan kegairahan untuk belajar dan mendalami materi lebih lanjut. Celakanya, pendekatan yang terlalu kognitif telah mengubah orientasi belajar para siswa menjadi semata-mata untuk meraih nilai tinggi. Hal ini dapat mendorong para siswa untuk mengejar nilai dengan cara yang tidak jujur, seperti mencontek, menjiplak, dan sebagainya.
Mata pelajaran yang bersifat subject matter juga makin merumitkan permasalahan karena para siswa tidak melihat bagaimana keterkaitan antara satu mata pelajaran dengan yang lainnya, serta tidak relevan dengan kehidupan nyata. Akibatnya, para siswa tidak mengerti manfaat dari materi yang dipelajarinya untuk kehidupan nyata. Sistem pendidikan seperti ini membuat manusia berpikir secara parsial, terkotak-kotak, yang menurut David Orr adalah akar dari permasalahan yang ada :“Isu-isu terbesar saat ini pasti berakar dari kegagalan kita untuk melihat segala sesuatu secara keseluruhan. Kegagalan tersebut terjadi ketika kita terbiasa berpikir secara terkotak-kotak dan tidak diajarkan bagaimana untuk berpikir secara keseluruhan dalam melihat keterkaitan antar kotak-kotak tersebut, atau untuk mempertanyakan bagaimana suatu kotak (perspektif) dapat terkait dengan kotak-kotak lainnya.” (David Orr) Hal yang sama diungkapkan oleh Fitjrof Capra bahwa betapa pengetahuan manusia tentang sains, masyarakat, dan kebudayaan telah begitu terkotak-kotak, sehingga manusia tidak mampu melihat gambar keseluruhan (wholeness) dari setiap fenomena.

Akibatnya banyak solusi yang dilakukan manusia dalam menghadapi berbagai segi kehidupan manusia didekati pula secara fragmented (parsial), sehingga tidak dapat memperbaiki masalah, tetapi justru semakin memperburuknya. Inti pemikiran Fitjrof Capra adalah menekankan pentingnya untuk melihat segala sesuatu secara keseluruhan : “multidisciplinary, holistic approach to reality ”.
Apabila dalam dunia fisika paradigma telah bergeser dari pendekatan mekanistik dan terfragmentasi dalam menelaah partikel-partikel benda mati ke arah pendekatan menyeluruh, maka sudah seharusnya pendekatan yang sama diterapkan dalam bidang-bidang keilmuan lainnya, terutama yang menyangkut bagaimana mempelajari manusia dan semua unsur-unsur peradabannya. Oleh karena itu, perlu dilaksanakan reformasi pendidikan ke arah yang lebih kondusif untuk terciptanya kualitas SDM yang berkualitas, terutama melalui pengenalan konsep pendidikan holistik (menyeluruh). Tujuan pendidikan holistik, seperti yang dikatakan oleh J. Krishnamurti, adalah “The highest function of education is to bring about an integrated individual who is capable of dealing with life as a whole”(Fungsi terpenting pendidikan adalah menghasilkan manusia yang terintegrasi, yang mampu menyatu dengan kehidupan sebagai satu kesatuan). Sizer dan Sizer (1999) mengatakan bahwa tujuan pendidikan selain untuk mempersiapkan manusia untuk masuk ke dalam dunia kerja, adalah untuk membuat manusia dapat berpikir secara menyeluruh serta menjadi manusia yang bijak (thoughtful and decent human being). Sejak 2500 tahun yang lalu Socrates telah berkata bahwa tujuan yang paling mendasar dari pendidikan adalah untuk membuat seseorang menjadi “good and smart”.
Manusia yang terdidik seharusnya menjadi orang bijak, yaitu yang dapat menggunakan ilmunya untuk hal-hal yang baik (beramal shaleh), dan dapat hidup secara bijak dalam seluruh aspek kehidupan berkeluarga, bertetangga, bermasyarakat, dan bernegara. Karenanya, sebuah sistem pendidikan yang berhasil adalah yang dapat membentuk manusia-manusia berkarakter yang sangat diperlukan dalam mewujudkan sebuah negara kebangsaan yang terhormat. Seperti menurut Socrates: "Then the man who's going to be a fine and good guardian of the city for us will in nature be philosophic, spirited, swift, and strong " Pengembangan Model Pendidikan Holistik Berbasis Karakter Oleh Indonesia Heritage FoundationIndonesia Heritage Foundation adalah yayasan yang bergerak dalam bidang Character Building (Pendidikan Karakter) yang mempunyai visi “Membangun Bangsa Berkarakter” melalui pengkajian, dan pengembangan pendidikan holistik dengan fokus menanamkan 9 pilar karakter.
Adapun 9 pilar karakter ini adalah nilai-nilai luhur universal yang terdiri dari:
1. Cinta Tuhan dan alam semesta beserta isinya
2. Tanggung jawab, Kedisiplinan, dan Kemandirian
3. Kejujuran
4. Hormat dan Santun
5. Kasih Sayang, Kepedulian, dan Kerjasama
6. Percaya Diri, Kreatif, Kerja Keras, dan Pantang Menyerah
7. Keadilan dan Kepemimpinan
8. Baik dan Rendah Hati
9. Toleransi, Cinta Damai, dan Persatuan
Kurikulum yang digunakan adalah “Kurikulum Holistik Berbasis Karakter” (Character-based ntegrated Curriculum), yaitu kurikulum terpadu yang “menyentuh” semua aspek kebutuhan anak. Sebuah kurikulum yang terkait, tidak terkotak-kotak dan dapat merefleksikan dimensi, keterampilan, dengan menampilkan tema-tema yang menarik dan kontekstual. Bidang-bidang pengembangan yang ada di TK dan mata pelajaran yang ada di SD yang dikembangkan dalam konsep pendidikan kecakapan hidup yang terkait dengan pendidikan personal dan sosial, pengembangan berpikir/kognitif, pengembangan karakter dan pengembangan persepsi motorik juga dapat teranyam dengan baik apabila materi ajarnya dirancang melalui pembelajaran yang terpadu dan menyeluruh (Holistik). Pembelajaran holistik terjadi apabila kurikulum dapat menampilkan tema yang mendorong terjadinya eksplorasi atau kejadian-kejadian secara autentik dan alamiah.
Dengan munculnya tema atau kejadian yang alami ini akan terjadi suatu proses pembelajaran yang bermakna dan materi yang dirancang akan saling terkait dengan berbagai bidang pengembangan yang ada dalam kurikulum.Pembelajaran holistik berlandaskan pada pendekatan inquiry dimana anak dilibatkan dalam merencanakan, bereksplorasi dan berbagi gagasan. Anak-anak didorong untuk berkolaborasi bersama teman-temannya dan belajar dengan “cara” mereka sendiri. Anak-anak diberdayakan sebagai si pembelajar dan mampu mengejar kebutuhan belajar mereka melalui tema-tema yang dirancang.

Sebuah pembelajaran yang holistik hanya dapat dilakukan dengan baik apabila pembelajaran yang akan dilakukan alami-natural-nyata-dekat dengan diri anak, dan guru-guru yang melaksanakannya memiliki pemahaman konsep pembelajaran terpadu dengan baik. Selain itu juga dibutuhkan kreativitas dan bahan-bahan/sumber yang kaya serta pengalaman guru dalam berlatih membuat model-model yang tematis juga sangat menentukan kebermaknaan pembelajaran.

Jangan Remehkan Pengasuhan Otak Anak

oleh: Ratna Megawangi
(8 Juni 2007)


Tiga tahun pertama adalah membangun fondasi struktur otak. Perilaku manusia yang ada di bumi ini, semuanya dikendalikan oleh organ tubuh yang bernama otak. Peran otak inilah yang membuat sifat manusia berbeda-beda. Bila diteliti lebih jauh, ternyata perbedaan perilaku tersebut sejalan dengan berbedanya struktur komposisi otak manusia.

Menurut pendiri dan Direktur Eksekutif Indonesia Heritage Foundation (IHF), Ratna Megawangi, bagian-bagian otak mempunyai fungsi masing-masing. Karenanya, stimulasi atau rangsangan terhadap bagian-bagian otak tersebut sangat mempengaruhi karakter diri yang mengendap dalam diri seseorang. Sama halnya seperti tumbuhan, otak juga berkembang dan tumbuh sejak saat anak berada dalam kandungan sang ibu, usia awal kelahiran, sampai dewasa. Kendati demikian, stimulasi terhadap otak pada anak usia 0-7 tahun merupakan fase penting dalam pembentukan karakter seseorang. "Di usia inilah rangsangan pada otak akan mengendap dan memberikan dampak permanen terhadap karakter anak," ujar Ratna pada acara seminar dan workshop Pendidikan Karakter Melalui Brain Based Parenting (Pola Asuh Ramah Otak) di Jakarta, beberapa waktu lalu.

Dengan latar belakang tersebut, istri Menteri Negara BUMN Sofyan Djalil ini, mengatakan, kunci membangun karakter anak adalah mengembangkan struktur otak secara optimal sejak usia dini. "Karenanya para orang tua harus mempunyai pemahaman yang benar tentang pola asuh yang ramah otak." Dikatakan, perkembangan otak 95 persen terjadi pada usia di bawah tujuh tahun. Masa tiga tahun pertama adalah membangun fondasi struktur otak yang berdampak permanen bagi karakter seseorang. Menurut Ratna, semua pengalaman masa usia dini memegang kunci penting dalam membangun fondasi dan semua kemampuan otak. Inilah sebabnya mengapa orang tua harus melindungi anak-anaknya terhadap lingkungan yang buruk.

Apabila lingkungan anak tidak bagus, misal penuh kekerasan, tidak ada stimulasi (sosial, emosi, motorik, dan kognitif), maka semua potensi yang sejatinya dimiliki semua anak, menjadi tidak berkembang. Sebaliknya, apabila lingkungan anak aman, penuh kasih sayang, dan kaya dengan stimulasi, maka semua potensi anak akan berkembang optimal. "Semua stimulasi inilah yang akan direspons otak dan direkam secara permanen untuk menanggapi situasi serupa di kemudian hari," imbuh Ratna. Para orang tua, lanjut pemegang gelar doktor (PhD) dari Tufts University School ini, menjadi subjek penting dalam membentuk perilaku anak, baik negatif maupun positif.

Anak-anak yang mengalami stress, kekerasan fisik atau seksual, maka pembentukan sinyal di otaknya (synapse) akan terfokus pada bagian otak yang merespons ancaman dari lingkungannya. Anak yang stress akan membentuk perilaku bertahan dan menyelamatkan diri, kemudian otak yang terus distimulasi menjadi dominan untuk menyerang atau lari, bertahan, selalu waspada terhadap lingkungan, dan berakibat pada sikap sombong/minder serta manipulatif/pembohong.
Untuk mencegah anak tidak stress, Ratna pun menyarankan agar para orang tua jangan terlalu banyak melarang anak terhadap hal-hal yang tidak terlalu prinsip. Misalnya saat anak bermain kotor-kotoran. "Biarkan anak bermain kotor-kotoran, yang penting dia gembira," ujar Ratna. Anak yang banyak dilarang melakukan sesuatu yang dia senangi, cenderung membuat kepribadian yang stress.

Pola pendidikan di sekolah juga memegang peranan penting bagi pertumbuhan karakter anak. Ratna menuturkan, sekolah yang terlalu banyak memberikan pekerjaan rumah dan menerapkan sistem evaluasi proses belajar dengan nilai angka-angka, membuat anak belajar dengan beban. "Akibatnya, banyak sekolah justru menjadikan anak-anak stress. Dia tidak bisa fun dalam proses belajarnya." Orang tua pun harap memperhatikan keseimbangan stimulasi terhadap otak kanan dan otak kiri. Sejak usia dua tahun, anak sudah mulai mengetahui mana hal yang benar dan mana hal yang salah.

Dengan melibatkan feeling, yang merupakan domain otak kanan, bersamaan dengan stimulasi pengetahuan baik dan buruk yang merupakan domain otak kiri, perkembangan otak anak menjadi seimbang. "Sehingga anak pun tumbuh menjadi pribadi yang tidak hanya cerdas, tapi juga bermoral dan unggul," tandas Ratna. Sembilan Pilar Mendidik anak dalam lingkungan yang aman, penuh kasih-sayang, dan kaya rangsangan sikap-sikap positif, masih kata Ratna, hendaknya dilakukan dengan orientasi dan pijakan yang benar.

Setidaknya ada sembilan pilar karakter yang bisa dijadikan panduan bagi orang tua untuk membentuk kepribadian anak yang cerdas, bermoral, dan unggul.
Sembilan pilar itu adalah:
pertama, cinta kepada Allah SWT dan semesta beserta isinya. Hal ini bisa diwujudkan dengan sering mengajak anak bepergian ke alam bebas sambil menerangkan dan menjelaskan seluruh benda-benda yang ada di alam.
Pastikan juga anak mengerti kalau semua benda-benda itu ada yang menciptakan dan mengatur keadaan mereka, yaitu Allah SWT.
Pilar kedua, menumbuhkan rasa tanggung jawab, kedisiplinan, dan kemandirian. Cara pendidikan ini tidak perlu seperti pendidikan militer yang diterapkan dengan keras dan penuh paksaan. "Biarkan anak memahami sifat-sifat dari hal-hal yang kecil, seperti membereskan mainan mereka sendiri setelah selesai digunakan atau belajar sikat gigi sendiri sejak kecil," ujar Ratna.
Pilar selanjutnya, yaitu kejujuran. Ajak anak berkata apa adanya, tidak ada yang ditutup-tutupi dan berani mengatakan apa yang dipikirkan atau dirasakannya.
Pilar keempat adalah hormat dan santun. Sikap ini bisa dimulai dengan mengajarkan cara memperlakukan adik atau kakak atau teman main anak-anak sesuai dengan keadaan dan kondisi yang dihadapi.
Pilar kelima yaitu kasih sayang, kepedulian, dan kerja sama. Bisa dirangsang dengan bermain bersama-sama anggota keluarga dengan model permainan membangun bangunan pasir atau membuat rumah-rumahan dari mainan plastik.
Pilar keenam melingkupi percaya diri, kreatif, kerja keras, dan pantang menyerah. Implementasi aspek ini bisa dikembangkan dengan permainan yang dilakukan seperti membentuk karakter pada pilar kelima.
Pilar selanjutnya adalah keadilan dan kepemimpinan. Bisa juga diajarkan melalui membaca atau dibacakan cerita-cerita para raja dan para nabi yang mencerminkan sikap adil dalam memimpin.
Pilar kedelapan dan kesembilan, yaitu sikap baik dan rendah hati serta toleransi, cinta damai, dan persatuan, dapat dipatrikan kepada anak melalui kegiatan bersifat kompetitif dan kreatif yang mengajarkan anak bersikap sportif terhadap apa pun hasil kegiatan tersebut.

Bila ada anak yang lebih baik daripada anak lainnya dalam melakukan sesuatu, yakinkan pada anak kalau semua yang mereka lakukan itu adalah prestasi yang tak ternilai harganya. "Anak tidak perlu diajarkan untuk mengalahkan anak yang lainnya. Nilai pentingnya adalah bagaimana semua anak mampu berbuat optimal sebisa yang mereka lakukan. Hormati apa pun hasil yang mereka raih," tutur Ratna. Bila sembilan pilar ini dijadikan dasar dalam mendidik dan mengasuh otak anak, Ratna yakin, pribadi-pribadi cerdas, unggul, dan bermoral bukan sekadar mimpi di siang bolong. "Ini akan menjadi kenyataan. Dan kita akan melihat bagaimana bangsa ini bangkit setelah bermunculan generasi-generasi yang lahir dari pendidikan yang mengutamakan pendidikan karakter," pungkas Ratna. Fakta Angka 95 persen Perkembangan otak pada usia di bawah tujuh tahun.

Mendidik 1.3 Milyar Manusia

oleh : Ratna Megawangi

Minggu lalu penulis sempat mengunjungi Lapangan Tiananmen di Beijing.Tempat tersebut memang amat terkenal, karena sempat menjadi perhatiandi seluruh dunia ketika terjadi protes mahasiswa terbesar di RepublikRakyat Cina pada Juni 1989. Katanya tempat tersebut selalu ramai,bahkan kalau hari-hari libur sulit bagi kita untuk melihat lantainyakarena begitu banyaknya manusia.
Banyak sekali objek menarik yang dapat kita kunjungi di sana,misalnya Mausoleum Mao Tse Tung yang jasadnya masih terlihat segarterbujur, monumen bersejarah, People's House, museum, dan ForbiddenCity (istana yang dibangun lebih 500 tahun yang lalu).Namun, ada satu hal yang membuat penulis kagum, yaitu dengan puluhanribu orang yang berlalu-lalang di tempat yang begitu luas, tidak adasatu pun sampah yang bergeletak di sana.
Di seluruh tempat keramaianyang penulis kunjungi di Beijing, tidak sekali pun dapat menemukansampah tergeletak di jalan. Padahal, manusianya begitu banyak, danmasih banyak penduduk yang miskin. Di Indonesia, di tempat-tempat keramaian pasti identik dengan sampahberserakan. Penulis pernah saksikan di sebuah ruangan seminar diJakarta yang dihadiri para guru yang jumlahnya tidak sampai 100 orang. Setelah seminar berakhir, lantai ruangan penuh berserakankotak-kotak snack, gelas air minum kemasan, dan plastik.
Bayangkan, di sebuah ruang kecil yang dihadiri para guru yang kerjanya mendidikmanusia, tetapi sudah bisa mengotori sebuah ruangan!Penulis jadi tertarik untuk mengetahui, mengapa negara Cina yangrelatif baru bangkit dari keterpurukan ekonomi, sosial, dan budayaa kibat Revolusi Kebudayaan yang dijalankan oleh Mao, bisa begitucepat mengejar ketertinggalannya? Padahal, pada akhir 1970-an, kitamasih melihat bagaimana miskinnya rakyat Cina yang masih memakai bajuhitam atau abu-abu.
Terus terang, tidak terasakan adanya perbedaan yang menyolok antara ketika penulis sedang di Beijing, dan di Tokyo,Seoul, Hong Kong, ataupun Singapura. Kebetulan, ketika sedang transit di Bandara Changi Singapura dalam perjalanan ke Beijing, penulis sempat mencari buku tentang sejarahCina, dan menemukan sebuah buku yang ditulis oleh Li Lanqing (mantanWakil PM Cina), berjudul Education for 1.3 Billion (Pearson Educationand China: Foreign Language Teaching & Research Press, 2005). Setelahmembaca buku tersebut, bisa dimengerti mengapa Cina bisa begitu cepatmaju, karena reformasi pendidikan yang dijalankan di Cina tampaknya berhasil membentuk SDM yang memang cocok untuk iklim modern.

Terus terang, cukup surprised membaca pemikiran Li Lanqing, seorang politikus dan birokrat, tetapi anehnya mempunyai pemahaman yangkomprehensif dan mendalam tentang pendidikan. Semua kebijakan yangdiambilnya dalam mereformasi pendidikan di Cina, diinspirasikan olehberbagai buku yang dibacanya, misalnya, ia menguasai bagaimanaperkembangan hasil riset otak dari sejak tahun 1950-an sampai tahun1990-an, sehingga ia mengerti bahayanya sistem pendidikan yangterlalu menekankan hapalan, drilling, dan cara mengajar yang kaku,termasuk sistem pendidikan yang berorientasi hanya untuk lulus dalam ujian.Ia juga terinspirasi pemikiran Howard Gardner tentang multipleintelligences, yang ia baca buku-bukunya sejak Frames of Minds(1983). Li Lanqing begitu antusias untuk menerapkan berbagai teorimutakhir ke dalam sistem pendidikan di Cina, dan menurutnya:
"I aminterested in it because I want to call the attention of oureducators and scientists ....so that education in this nation can bemade to enhance people's all-round development and tap the potentialof human resources to the fullest measure" (hal 316-317). Namun, Li Lanqing juga masih membawa nilai-nilai luhur Cina ke dalam reformasipendidikannya.

Pendidikan Karakter Dalam program reformasi pendidikan yang diinginkan oleh Deng Xiaoping pada tahun 1985, secara eksplisit diungkapkan tentang pentingnyapendidikan karakter: Throughout the reform of the education system,it is imperative to bear in mind that reform is for the fundamentalpurpose of turning every citizen into a man or woman of character andcultivating more constructive members of society (Decisions of Reformof the Education System, 1985).
Karena itu program pendidikan karakter telah menjadi kegiatan yang menonjol di Cina yang dijalankansejak jenjang pra-sekolah sampai universitas.Tentunya, pendidikan karakter adalah berbeda secara konsep danmetodologi dengan pendidikan moral, seperti PPKN, budi pekerti, ataubahkan pendidikan agama di Indonesia. Pendidikan karakter adalahuntuk mengukir akhlak melalui proses knowing the good, loving thegood, and acting the good, yaitu proses pendidikan yang melibatkanaspek kognitif, emosi, dan fisik, sehingga akhlak mulia bisa terukirmenjadi habit of the mind, heart, and hands.Sedangkan pendidikan moral, misalnya PPKN dan pelajaran agama, adalah hanya melibatkan aspek kognitif (hapalan), tanpa ada apresiasi(emosi), dan praktik.
Sehingga jangan heran kalau banyak manusia Indonesia yang hapal isi Pancasila atau ayat-ayat kitab suci, tetapitidak tahu bagaimana membuang sampah yang benar, berlaku jujur,beretos kerja tinggi, dan menjalin hubungan harmonis dengan sesama.Kebijakan reformasi pendidikan ke arah pembentukan karakter memangterus mendapat dukungan secara eksplisit oleh Presiden Jiang Zemin,yaitu melalui pidato-pidatonya.
Sehingga, seperti yang diungkapkanoleh Li Lanqing: "After many years of practice, character educationhas become the consensus of educators and people from all walks oflife across this nation. It is being advanced in a comprehensive way". Pendidikan karakter memerlukan keterlibatan semua aspek dimensimanusia, sehingga tidak cocok dengan sistem pendidikan yang terlalumenekankan hapalan dan orientasi untuk lulus ujian (kognitif). Hampirsemua pemimpin di Cina, dari Jiang Zemin, Li Peng, Zhu Rongji sampaiHu Jianto dan lainnya, sangat prihatin dengan sistem pendidikan yangterlalu menekankan aspek kognitif saja, yang dianggapdapat "membunuh" karakter anak, misalnya PR yang terlalu banyak,pelajaran yang terlalu berat, orientasi hapalan dan drilling, yangsemuanya dapat membebani siswa secara fisik, mental, dan jiwa (hal336).
Bahkan pada tanggal 1 Februari, 2000, Presiden Jiang Zeminmengumpulkan semua anggota Politburo khusus untuk membahas bagaimanamengurangi beban pelajaran siswa melalui adopsi sistem pendidikanyang patut secara umur dan menyenangkan, dan pengembangan seluruhaspek dimensi manusia; aspek kognitif (intelektual), karakter, aestetika, dan fisik (atletik).Walaupun masih belum sempurna, dengan ideologi komunisnya, tampaknya Cina ingin menunjukkan "wajah" yang berbeda dari negara komunislainnya. Mungkin Cina bisa mewujudkan impian para pemikir sosialisyang berseberangan dengan pemikiran Karl Marx, seperti Proudhon danRobert Owen, bahwa kesadaran moral sosialis sejati harus menjadi alatuntuk mencapai tujuan akhir ideologi sosialisme, dan praksisnyaadalah bagaimana menyiapkan manusia untuk mempunyai karakter seorangsosialis sejati (persaudaraan antarmanusia; saling peduli, danberkeadilan) . Karl Marx justru tidak setuju dengan pemikiran itu,karena kesadaran moral sosialis baginya adalah hanya tujuan akhir,dan praksisnya adalah perubahan struktur masyarakat yang tidak adakaya-miskin, dengan pemaksaan atau kediktatoran (bertentangan denganmoral sosialis sejati)--- the end justifies the means.

Kekuatan Dahsyat
Apabila Cina bisa berhasil mendidik 1,3 miliar manusianya menjadi manusia yang berkarakter (rajin, jujur, peduli, dan sebagainya), maka jumlah penduduk sebesar itu akan menjadi kekuatan yang amat dahsyat bagi kemajuan Cina. Inilah yang membuat para pakar Amerika Serikatdeg-degan, seperti kata Bill Bonner yang mengkhawatirkan kondisi ASdi masa depan: "Bisa dibayangkan dalam waktu 20 atau 30 tahun kedepan, mungkin akan banyak orang Amerika yang mencari pekerjaansebagai baby sitter di Cina."Nah, apabila Cina bisa melakukan pendidikan karakter untuk 1,3 miliar manusianya, Indonesia tentunya bisa melakukannya. Namun, gaung pendidikan karakter belum banyak terdengar dari para pemimpin kita.Tentunya, sebagai warga negara yang bertanggung jawab, kita semuabisa melakukannya di lingkungan terkecil kita; keluarga dan sekolah.

Pendidikan Indonesia Kehilangan Nilai Luhur Kemanusiaan

Oleh: Garin Nugroho

Mengapa film horor Indonesia banyak digemari masyarakat? Karena, hantu-hantu Indonesia adalah hantu yang paling mulia di dunia. Kok bisa? "Coba saja Anda saksikan film horor Indonesia. Pasti hantu atau setan dalam film horor Indonesia bisa memberi nasihat moral yang mencerahkan," kata budayawan Garin Nugroho saat memberikan orasi budaya bertema "Pendidikan Karakter Kunci Kemajuan Bangsa," di Jakarta, Sabtu (3/3). Orasi budaya itu sekaligus peresmian asosiasi alumni Kolese Yesuit. Yakni, Kolese Loyola, Kolese Kanisius, dan Kolese De Britto. Kontan saja, ratusan undangan yang hadir tertawa.

Garin mengatakan, ada sebuah film horor yang menampilkan cara-cara memperoleh kekayaan dengan cara yang instan. Misalnya, dengan menjadi hewan. Orang yang ingin kaya menjadi hewan lalu mengambil uang. Namun, sang dukun menasihatinya, kalau mau mengambil uang, ambillah uang para koruptor. "Lha kalau begini, tidak usah ada KPK (Komisi Pemberansatan Korupsi). Semua hewan jadi-jadian kumpul, lalu mengambil uang para koruptor. Tidak perlu alat penyadap. Cukup konsesi para hewan jadi-jadian itu saja." Lagi- lagi, ucapan Garin mengundang gelak tawa para undangan.
Prolog orasi budaya Garin itu memang ampuh menyegarkan suasana temu kangen alumnus itu. "Kita ini bangsa yang aneh dan kita bisa menertawakan diri kita sendiri," kata Garin. Berbagai peristiwa, tidak hanya dunia film, yang terjadi pada bagsa ini kata Garin, eharusnya membuka pikiran kritis masyarakatnya. "Ada apa ini? Apa sebenarnya yang terjadi dengan bangsa ini? Saya pikir, karena ternyata dunia pendidikan kita tidak mencerahkan. Pendidikan kita kehilangan nilai-nilai luhur kemanusiaan," katanya.

Lagi-lagi Garin mencontohkan betapa pendidikan telah kehilangan gregetnya seperti rasionalitas, kerja keras, dan lainnya. "Saat pengambilan gambar salah satu film horor di Jakarta. Saya sedang asyik berbincang dengan teman. Tiba-tiba, saya ditegur oleh salah satu kru film itu. Ternyata, saya tidak boleh ngobrol karena lokasi pengambilan gambar itu sedang "dibersihkan" oleh seorang paranormal kondang. Lha aneh kan," katanya yang langsung disambut tertawa para undangan.
Garin mengatakan, sampai saat ini dunia pendidikan di Indonesia dinilai belum mendorong pembangunan karakter bangsa. Hal ini disebabkan karena ukuran-ukuran dalam pendidikan tidak dikembalikan pada karakter peserta didik, tapi dikembalikan pada pasar. "Pendidikan nasional belum mampu mencerahkan bangsa ini. Pendidikan kita kehilangan nilai-nilai luhur kemanusiaan. Padahal, pendidikan seharusnya memberikan pencerahan nilai-nilai luhur itu," katanya. Garin mengemukakan, pendidikan nasional kini telah kehilangan rohnya lantaran tunduk terhadap pasar bukan pencerahan terhadap peserta didik. "Pasar tanpa karakter akan hancur dan akan menghilangkan aspek-aspek manusia dan kemanusiaan, karena kehilangan karakter itu sendiri," ucapnya.
Menurut Garin, ada beberapa hal yang bisa terlihat dalam pendidikan yang tidak memiliki karakter. Pertama, hilangnya kebajikan umum. Kedua, sikap maladaktif. Yakni, malapraktik dalam demokratisasi. "Kebajikan umum di ruang-ruang publik sudah tidak ada. Sementara Maladaktif adalah ketika manipulasi politik," katanya. Ketiga, lanjut Garin, adalah rendahnya sikap profesionalisme dalam dunia pendidikan nasional. Keempat adalah belum adanya pendidikan kenegarawanan, dan terakhir adalah sektor ekonomi tanpa perlindungan konsumen. "Sebaiknya, pemerintah mulai memikirkan pendidikan yang berkarakter, jika tidak, ya negara ini akan tetap saja seperti ini," ucapnya.
Selain dunia pendidikan yang sudah tunduk pada pasar, Garin menerangkan, ada hal lain yang menghambat pembangunan karakter. Yakni, tidak diberikannya ruang untuk tumbuhnya nilai-nilai pembangunan karakter. Baik itu ruang publik maupun ruang-ruang penyelenggaraan negara. Garin mencontohkan, maraknya KKN dan ketidaksadaran akan proses yang dilalui. "Ada dua nilai pendidikan yang harus menjadi skala prioritas. Yakni, kritis dan menghargai orang lain. Dua nilai ini saling melengkapi. "Untuk bangsa yang dilahirkan menjadi multikultur, dua nilai ini harus benar-benar ditanamkan dalam pendidikan. Inilah nilai yang mencerahkan bangsa ini," katanya.

Dampak Pendidikan Karakter Terhadap Keberhasilan Akademik

oleh:
Russell T. Williams (Jefferson Center For Character Education-USA)

Ratna Megawangi (Indonesia Heritage Foundation)


Apa dampak pendidikan karakter terhadap keberhasilan akademik? Beberapa penelitian bermunculan untuk menjawab pertanyaan ini. Ringkasan dari beberapa penemuan penting mengenai hal ini diterbitkan oleh sebuah buletin, Character Educator, yang diterbitkan oleh Character Education Partnership.

Dalam buletin tersebut diuraikan bahwa hasil studi Dr. Marvin Berkowitz dari University of Missouri- St. Louis, menunjukan peningkatan motivasi siswa sekolah dalam meraih prestasi akademik pada sekolah-sekolah yang menerapkan pendidikan karakter. Kelas-kelas yang secara komprehensif terlibat dalam pendidikan karakter menunjukan penurunan drastis pada perilaku negatif siswa yang dapat menghambat keberhasilan akademik.Pendidikan karakter adalah pendidikan budi pekerti plus, yaitu yang melibatkan aspek pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action). Menurut Thomas Lickona, tanpa ketiga aspek ini, maka pendidikan karakter tidak akan efektif, dan pelaksanaannya pun harus dilakukan secara sistematis dan berkelanjutan. Dengan pendidikan karakter, seorang anak akan menjadi cerdas emosinya. Kecerdasan emosi adalah bekal terpenting dalam mempersiapkan anak menyongsong masa depan, karena dengannya seseorang akan dapat berhasil dalam menghadapi segala macam tantangan, termasuk tantangan untuk berhasil secara akademis.

Sebuah buku yang baru terbit berjudul Emotional Intelligence and School Success (Joseph Zins, et.al, 2001) mengkompilasikan berbagai hasil penelitian tentang pengaruh positif kecerdasan emosi anak terhadap keberhasilan di sekolah. Dikatakan bahwa ada sederet faktor-faktor resiko penyebab kegagalan anak di sekolah. Faktor-faktor resiko yang disebutkan ternyata bukan terletak pada kecerdasan otak, tetapi pada karakter, yaitu rasa percaya diri, kemampuan bekerja sama, kemampuan bergaul, kemampuan berkonsentrasi, rasa empati, dan kemampuan berkomunikasi. Hal ini sesuai dengan pendapat Daniel Goleman tentang keberhasilan seseorang di masyarakat, ternyata 80 persen dipengaruhi oleh kecerdasan emosi, dan hanya 20 persen ditentukan oleh kecerdasan otak (IQ).

Anak-anak yang mempunyai masalah dalam kecerdasan emosinya, akan mengalami kesulitan belajar, bergaul dan tidak dapat mengontrol emosinya. Anak-anak yang bermasalah ini sudah dapat dilihat sejak usia pra-sekolah, dan kalau tidak ditangani akan terbawa sampai usia dewasa. Sebaliknya para remaja yang berkarakter atau mempunyai kecerdasan emosi tinggi akan terhindar dari masalah-masalah umum yang dihadapi oleh remaja seperti kenakalan, tawuran, narkoba, miras, perilaku seks bebas, dan sebagainya.Pendidikan karakter di sekolah sangat diperlukan, walaupun dasar dari pendidikan karakter adalah di dalam keluarga. Kalau seorang anak mendapatkan pendidikan karakter yang baik dari keluarganya, anak tersebut akan berkarakter baik selanjutnya. Namun banyak orang tua yang lebih mementingkan aspek kecerdasan otak ketimbang pendidikan karakter. Selain itu Daniel Goleman juga mengatakan bahwa banyak orang tua yang gagal dalam mendidik karakter anak-anaknya entah karena kesibukan atau karena lebih mementingkan aspek kognitif anak. Namun ini semua dapat dikoreksi dengan memberikan pendidikan karakter di sekolah.

Namun masalahnya, kebijakan pendidikan di Indonesia juga lebih mementingkan aspek kecerdasan otak, dan hanya baru-baru ini saja pentingnya pendidikan budi pekerti menjadi bahan pembicaraan ramai. Ada yang mengatakan bahwa kurikulum pendidikan di Indonesia dibuat hanya cocok untuk diberikan pada 10-20 persen otak-otak terbaik. Artinya sebagian besar anak sekolah (80-90 persen) tidak dapat mengikuti kurikulum pelajaran di sekolah. Akibatnya sejak usia dini, sebagian besar anak-anak akan merasa “bodoh” karena kesulitan menyesuaikan dengan kurikulum yang ada. Ditambah lagi dengan adanya sistem ranking yang telah “memvonis” anak-anak yang tidak masuk “10 besar”, sebagai anak yang kurang pandai. Sistem seperti ini tentunya berpengaruh negatif terhadap usaha membangun karakter, dimana sejak dini anak-anak justru sudah “dibunuh” rasa percaya dirinya.

Rasa tidak mampu yang berkepanjangan yang akan membentuk pribadi yang tidak percaya diri, akan menimbulkan stress berkepanjangan. Pada usia remaja biasanya keadaan ini akan mendorong remaja berperilaku negatif. Maka, tidak heran kalau kita lihat perilaku remaja kita yang senang tawuran, terlibat kriminalitas, putus sekolah, dan menurunnya mutu lulusan SMP dan SMU.

Jadi, pendidikan karakter atau budi pekerti plus adalah suatu yang urgent untuk dilakukan. Kalau kita peduli untuk meningkatkan mutu lulusan SD, SMP dan SMU, maka tanpa pendidikan karakter adalah usaha yang sia-sia. Kami ingin mengutip kata-kata bijak dari pemikir besar dunia. Mahatma Gandhi memperingatkan tentang salah satu tujuh dosa fatal, yaitu “education without character”(pendidikan tanpa karakter). Dr. Martin Luther King juga pernah berkata: “Intelligence plus character….that is the goal of true education” (Kecerdasan plus karakter….itu adalah tujuan akhir dari pendidikan sebenarnya). Juga Theodore Roosevelt yang mengatakan: “To educate a person in mind and not in morals is to educate a menace to society” (Mendidik seseorang dalam aspek kecerdasan otak dan bukan aspek moral adalah ancaman mara-bahaya kepada masyarakat).

Membangun Karakter dan Watak Bangsa Melalui Pendidikan Mutlak Diperlukan

Oleh: Drs. Bambang Nurokhim

Apabila kita simak bersama, bahwa dalam pendidikan atau mendidik tidak hanya sebatas mentransfer ilmu saja, namun lebih jauh dan pengertian itu yang lebih utama adalah dapat mengubah atau membentuk karakter dan watak seseorang agar menjadi lebih baik, lebih sopan dalam tataran etika maupun estetika maupun perilaku dalam kehidupan sehari-hari.

Memang idealnya demikian. Namun apa yang terjadi di era sekarang? Banyak kita jumpai perilaku para anak didik kita yang kurang sopan, bahkan lebih ironis lagi sudah tidak mau menghormati kepada orang tua, baik guru maupun sesama. Banyak kalangan yang mengatakan bahwa "watak" dengan "watuk" (batuk) sangat tipis perbedaannya. Apabila "watak" bisa terjadi karena sudah dari sononya atau bisa juga karena faktor bawaan yang sulit untuk diubah, namun apabila "watak" = batuk, mudah disembuhkan dengan minum obat batuk. Mengapa hal ini bisa terjadi? Jelas hal ini tidak dapat terlepas adanya perkembangan atau laju ilmu pengetahuan dan teknologi serta informasi yang mengglobal, bahkan sudah tidak mengenal batas-batas negara hingga mempengaruhi ke seluruh sendi kehidupan manusia.

Makna Pendidikan
Banyak kalangan memberikan makna tentang pendidikan sangat beragam, bahkan sesuai dengan pandangannya masing-masing. Azyumardi Azra dalam buku "Paradigma Baru Pendidikan Nasional Rekonstruksi dan Demokratisasi", memberikan pengertian tentang "pendidikan" adalah merupakan suatu proses di mana suatu bangsa mempersiapkan generasi mudanya untuk menjalankan kehidupan dan untuk memenuhi tujuan hidup secara efektif dan efisien. Bahkan ia menegaskan, bahwa pendidikan lebih sekedar pengajaran, artinya, bahwa pendidikan adalah suatu proses dimana suatu bangsa atau negara membina dan mengembangkan kesadaran diri diantara individu-individu.

Di samping itu, pendidikan adalah suatu hal yang benar-benar ditanamkan selain menempa fisik, mental dan moral bagi individu-individu, agar mereka menjadi manusia yang berbudaya, sehingga diharapkan mampu memenuhi tugasnya sebagai manusia yang diciptakan Allah Tuhan Semesta Alam sebagai makhluk yang sempurna dan terpilih sebagai khalifahNya di muka bumi ini yang sekaligus menjadi warga negara yang berarti dan bermanfaat bagi suatu negara.

Perkembangan Pendidikan
Bangkitnya dunia pendidikan yang dirintis oleh Pahlawan kita Ki Hadjar Dewantara untuk menentang penjajah pada massa lalu, sungguh sangat berarti apabila kita cermati dengan saksama. Untuk itu tidak terlalu berlebihan apabila bangsa Indonesia sebagai bangsa yang besar memperingati hari Pendidikan Nasional yang jatuh setiap tanggal 2 Mei ini, sebagai bentuk refteksi penghargaan sekaligus bentuk penghormatan yang tiada terhingga kepada para Perintis Kemerdekaan dan Pahlawan Nasional. Di samping itu, betapa jiwa nasionalisme dan kejuangannya serta wawasan kebangsaan yang dimiliki para pendahulu kita sangat besar, bahkan rela berkorban demi nusa dan bangsa. Lantas bagaimana perkembangan sekarang? Sangat ironis, memang. Banyak para pemuda kita yang tidak memiliki jiwa besar, bahkan sangat mengkhawatirkan, janganjangan terhadap lagu kebangsaan kita pun sudah tidak hafal, jangankan menghayati. Namun, kita sangat yakin dan semakin sadar, bahwa hanya melalui dunia pendidikanlah bangsa kita akan menjadi maju, sehingga dapat mengejar ketertinggalan dengan bangsa lain di dunia, sekaligus merupakan barometer terhadap kualitas sumber daya manusia.

Krisis moneter yang berlanjut dalam krisis ekonomi yang terjadi hingga puncaknya ditandai dengan jatuhnya rezim Soeharto dari kekuasaannya pada Mei 1998 yang lalu, telah mendorong reformasi bukan hanya dalam bidang politik dan ekonomi saja, melainkan juga terimbas dalam dunia pendidikan juga. Reformasi dalam bidang pendidikan, pada dasarnya merupakan reposisi dan bahkan rekonstruksi pendidikan secara keseluruhan atau secara komprehensif integral. Reformasi, reposisi dan rekonstruksi pendidikan jelas harus melibatkan penilaian kembali secara kritis pencapaian dan masalah-masalah yang dihadapi dalam penyelenggaraan pendidikan nasional.

Apabila kita amati secara garis besar, pencapaian pendidikan nasional kita masih jauh dan harapan, apalagi untuk mampu bersaing secara kompetitif dengan perkembangan pendidikan pada tingkat global. Baik secara kuantitatif maupun kualitatif, pendidikan nasional masih memiliki banyak kelemahan mendasar. Bahkan pendidikan nasional, menurut banyak kalangan, bukan hanya belum berhasil meningkatkan kecerdasan dan keterampilan anak didik, melainkan gagal dalam membentuk karakter dan watak kepribadian (nation and character building), bahkan terjadi adanya degradasi moral.

Reformasi Pendidikan
Kita harus sadar, bahwa pembentukan karakter dan watak atau kepribadian ini sangat penting, bahkan sangat mendesak dan mutlak adanya (tidak bisa ditawar-tawar lagi). Hal ini cukup beralasan. Mengapa mutlak diperlukan? Karena adanya krisis yang terus berkelanjutan melanda bangsa dan negara kita sampai saat ini belum ada solusi secara jelas dan tegas, lebih banyak berupa wacana yang seolah-olah bangsa ini diajak dalam dunia mimpi. Tentu masih ingat beberapa waktu yang lalu Pemerintah mengeluarkan pandangan, bahwa bangsa kita akan makmur, sejahtera nanti di tahun 2030. Suatu pemimpin bangsa yang besar untuk mengajak bangsa atau rakyatnya menjadi "pemimpi" dalam menggapai kemakmuran yang dicita-citakan.
Banyak kalangan masyarakat yang mempunyai pandangan terhadap istilah "kelatahan sosial" yang terjadi akhir-akhir ini.
Hal ini memang terjadi dengan berbagai peristiwa, seperti tuntutan demokrasi yang diartikan sebagai kebebasan tanpa aturan, tuntutan otonomi sebagai kemandirian tanpa kerangka acuan yang mempersatukan seluruh komponen bangsa, hak asasi manusia yang terkadang mendahulukan hak daripada kewajiban. Pada akhirnya berkembang ke arah berlakunya hukum rimba yang memicu kesukubangsaan (ethnicity). Kerancuan ini menyebabkan orang frustasi dan cenderung meluapkan perasaan tanpa kendali dalam bentuk "amuk massa atau amuk sosial".

Berhadapan dengan berbagai masalah dan tantangan, pendidikan nasional pada saat yang sama (masih) tetap memikul peran multidimensi. Berbeda dengan peran pendidikan pada negara-negara maju, yang pada dasarnya lebih terbatas pada transfer ilmu pengetahuan, peranan pendidikan nasional di Indonesia memikul beban lebih berat Pendidikan berperan bukan hanya merupakan sarana transfer ilmu pengetahuan saja, tetap lebih luas lagi sebagai pembudayaan (enkulturisasi) yang tentu saja hal terpenting dan pembudayaan itu adalah pembentukan karakter dan watak (nation and character building), yang pada gilirannya sangat krusial bagi notion building atau dalam bahasa lebih populer menuju rekonstruksi negara dan bangsa yang lebih maju dan beradab.

Oleh karena itu, reformasi pendidikan sangat mutlak diperlukan untuk membangun karakter atau watak suatu bangsa, bahkan merupakan kebutuhan mendesak. Reformasi kehidupan nasional secara singkat, pada intinya bertujuan untuk membangun Indonesia yang lebih genuinely dan authentically demokratis dan berkeadaban, sehingga betul-betul menjadi Indonesia baru yang madani, yang bersatu padu (integrated). Di samping itu, peran pendidikan nasional dengan berbagai jenjang dan jalurnya merupakan sarana paling strategis untuk mengasuh, membesarkan dan mengembangkan warga negara yang demokratis dan memiliki keadaban (civility) kemampuan, keterampilan, etos dan motivasi serta berpartisipasi aktif, merupakan ciri dan karakter paling pokok dari suatu masyarakat madani Indonesia. Jangan sampai yang terjadi malah kekerasan yang meregenerasi seperti halnya yang terjadi di IPDN yang menjadi sorotan akhir-akhir ini (Kompas 16/4), Kekerasan fisik yang mengorbankan nyawa dan harta benda tersebut, sangat jelas terkait pula dengan masih bertahannya "kekerasan struktural" (structural violence) pada tingkat tertentu. Akibatnya, perdamaian hati secara hakiki tidak atau belum berhasil diwujudkan.

Pendidikan Karakter
Tidak perlu disangsikan lagi, bahwa pendidikan karakter merupakan upaya yang harus melibatkan semua pihak baik rumah tangga dan keluarga, sekolah dan lingkungan sekolah, masyarakat luas. Oleh karena itu, perlu menyambung kembali hubungan dan educational networks yang mulai terputus tersebut. Pembentukan dan pendidikan karakter tersebut, tidak akan berhasil selama antar lingkungan pendidikan tidak ada kesinambungan dan keharmonisan.
Dengan demikian, rumah tangga dan keluarga sebagai lingkungan pembentukan dan pendidikan karakter pertama dan utama harus lebih diberdayakan.
Sebagaimana disarankan Philips, keluarga hendaklah kembali menjadi school of love, sekolah untuk kasih sayang (Philips, 2000) atau tempat belajar yang penuh cinta sejati dan kasih sayang (keluarga yang sakinah, mawaddah, dan warrahmah). Sedangkan pendidikan karakter melalui sekolah, tidak semata-mata pembelajaran pengetahuan semata, tatapi lebih dari itu, yaitu penanaman moral, nilai-nilai etika, estetika, budi pekerti yang luhur dan lain sebagainya. Pemberian penghargaan (prizing) kepada yang berprestasi, dan hukuman kepada yang melanggar, menumbuhsuburkan (cherising) nilai-nilai yang baik dan sebaliknya mengecam dan mencegah (discowaging) berlakunya nilai-nilai yang buruk. Selanjutnya menerapkan pendidikan berdasarkan karakter (characterbase education) dengan menerapkan ke dalam setiap pelajaran yang ada di samping mata pelajaran khusus untuk mendidik karakter, seperti; pelajaran Agama, Sejarah, Moral Pancasila dan sebagainya.

Di samping itu tidak kalah pentingnya pendidikan di masyarakat. Lingkungan masyarakat juga sangat mempengaruhi terhadap karakter dan watak seseorang. Lingkungan masyarakat luas sangat mempengaruhi terhadap keberhasilan penanaman nilai-nilai etika, estetika untuk pembentukan karakter. Menurut Qurais Shihab (1996 ; 321), situasi kemasyarakatan dengan sistem nilai yang dianutnya, mempengaruhi sikap dan cara pandang masyarakat secara keseluruhan. Jika sistem nilai dan pandangan mereka terbatas pada kini dan di sini, maka upaya dan ambisinya terbatas pada hal yang sama.

Apabila kita cermati bersama, bahwa desain pendidikan yang mengacu pada pembebasan, penyadaran dan kreativitas sesungguhnya sejak masa kemerdekaan sudah digagas oleh para pendidik kita, seperti Ki Hajar Dewantara, KH. Ahmad Dahlan, Prof. HA. Mukti Ali, Ki Hajar Dewantara misalnya, mengajarkan praktek pendidikan yang mengusung kompetensi/kodrat alam anak didik, bukan dengan perintah paksaan, tetapi dengan "tuntunan" bukan "tontonan". Sangat jelas cara mendidik seperti ini dikenal dengan pendekatan "among"' yang lebih menyentuh langsung pada tataran etika, perilaku yang tidak terlepas dengan karakter atau watak seseorang. KH. Ahmad Dahlan berusaha "mengadaptasi" pendidikan modern Barat sejauh untuk kemajuan umat Islam, sedangkan Mukti Ali mendesain integrasi kurikulum dengan penambahan berbagai ilmu pengetahuan dan keterampilan. Namun mengapa dunia pendidikan kita yang masih berkutat dengan problem internalnya, seperti penyakit dikotomi, profesionalitas pendidiknya, sistem pendidikan yang masih lemah, perilaku pendidiknya dan lain sebagainya.

Oleh karena itu, membangun karakter dan watak bangsa melalui pendidikan mutlak diperlukan, bahkan tidak bisa ditunda, mulai dari lingklingan rumah tangga, sekolah dan masyarakat dengan meneladani para tokoh yang memang patut untuk dicontoh. Semoga ke depan bangsa kita lebih beradab, maju, sejahtera kini, esok dan selamanya. Seiring dengan peringatan Hari Pendidikan Nasional 2 Mei Tahun 2007 yang lalu dan mereka yang lahir pada tanggal yang sama, semoga panjang umur dan berjiwa pendidik yang patut disuri tau-ladani generasi yang akan datang, bahkan lestari selamanya.
 

WHEN SUHENG TALK... Template by Ipietoon Cute Blog Design