Thursday, August 2, 2012

Kecerdasan Yang Tergadai


Bagaimana cara meningkatkan iq Anda ?Kalau Anda masih berpendapat bahwa iq manusia tetap tidak berubah, alangkah baiknya artikel belajar online gratis tentang bagaimana cara meningkatkan iq Anda.

Selain tentang bagaimana cara meningkatkan iq Anda penulis juga telah sharing tentang bahaya bermain game online dari sisi kesehatan. Coba perhatikan anak-anak yang telah kecanduan bermain game online. Mereka menghabiskan sebagian besar waktunya di depan monitor, sehingga sinar ultraviolet telah merubah keadaan mata pecandu online game tersebut.

Kalau pada artikel tersebut diatas penulis belajar online gratis sharing tentang bahaya-bahaya game online ditinjau dari sisi kesehatan. Pada kesempatan ini penulis akan sharing bahaya-bahaya game online ditinjau dari sisi budaya oleh Radhar Panca Dahana.

Ketika muncul sebuah berita di sebuah harian ternama, tentang seorang anak 13 tahun yang seminggu tidak pulang, dan akhirnya diketahui sepanjang seminggu itu ia habiskan waktunya, tidur, makan, dan cari uang di dalam sebuah warung internet, semestinya kita segera menyadari, bukan saja ada sesuatu yang tidak beres, tapi juga telah munculnya ancaman tidak remeh yang sedang kita, bahkan sebagai sebuah bangsa, sedang hadapi.

Apa yang dilakukan oleh anak menjelang remaja di atas, mungkin sudah banyak ditemui belakangan ini. Kegilaan pada internet, terutama pada game online yang ternyata sudah menjadi lahan bisnis luar biasa dengan penjualan poin, di mana anak-anak yang menjadi pasar atau konsumen utamanya, telah begitu luar biasa menyita perhatian anak-anak di daerah urban, suburb, bahkan hingga perdesaan.

Apa yang kemudian terjadi, bukan saja dunia anak-anak yang telah direnggut, program-program pendidikan di segala modus dan media ternafikan, hingga program sosialisasinya dalam keluarga dan lingkungan sosial lainnya pun tercampakkan. Tapi apa yang paling menggiriskan adalah sebuah contoh yang diberikan oleh seorang anak SD saat melewati sebuah pasar atau kerumunan orang (terminal, mal, tontonan, dll), berkomentar, “Asyik banget yang kalau di tengah mereka kita lempar bom, atau kita tembakkan mitralyur.” Anak itu tertawa senang.

Kisah terakhir itu nyata. Dan kita tak hanya terpana, karenanya. Kita merasa gagal, karena tidak mampu mencegah pertumbuhan imajinasi sang anak yang melampaui batas kewajaran, melampaui kemampuan imajiner anak-anak masa lalu: dunia imaji yang keras, sadis, dan tidak manusiawi telah memenuhi memori abstrak anak-anak kita.

Sebuah kenyataan pun kini terbentang di depan kita: ternyata pendidikan formal dan informal kian hari kian memperlihatkan ketidakberdayaannya berhadapan dengan lingkungan sosial dan lingkungan kebudayaan atau adab baru yang mengelilingi dan menghisap seluruh perhatian anak-anak kita. Tarikan-tarikan produk-produk teknologi baru yang adiktif, penuh rangsang, memuaskan nafsu-nafsu dasar dan kasar manusia, betapapun ia sangat berongkos, telah membentuk cara bersikap, berperilaku, hingga kemampuan imajiner generasi baru kita saat ini.

Pada saat yang bersamaan, sekolah ternyata tidak lagi bisa memenuhi kriterium-kriterium dasar pedagogik yang sebenarnya sudah sangat dikenal dalam sejarah pendidikan dalam negeri kita. Modul dan kurikulum disusun dalam satu intense untuk memenuhi kebutuhan pasar, dan visi yang berjangkau diabaikan. Sehingga pendidikan formal pun hanya menjadi semacam pabrikan manusia yang pada akhirnya lahir sebagai unit budaya yang terkomodifikasi.

Begitupun keluarga dan rumah tangga, tidak lagi memiliki ruang dan waktu yang memadai untuk menghadapi perkembangan anak yang semakin kompleks karena benturan-benturan sosial dan kulturalnya meningkat. Para penanggungjawab pendidikan keluarga, orangtua, dihabiskan waktunya sudah oleh kesibukan memenuhi kebutuhan-kebutuhan sangat praktis dan pragmatis yang seakan senantiasa kritis, senantiasa mendesak. Padahal sesungguhnya kebutuhan itu lebih untuk memenuhi gaya hidup, yang notabene bersifat artifisial serta temporer.

Dalam kelindan semua masalah di atas itulah ancaman itu muncul seperti monster masa depan yang menakutkan: terbentuknya sebuah masyarakat atau bangsa yang dikontrol oleh sebuah kultur –melalui penetrasi media-media berteknologi canggih— yang memiliki nafsu mekanis dan tak tertahankan untuk melahap apa pun yang ditawarkan pasar. Menjadikan mereka sebagai manusia kasar karena menghambakan semua unsur kemanusiaannya hanya untuk kepuasan sesaat. Sebuah zaman dimana manusia menzalimi dirinya sendiri, juga tentu dengan entengnya menzalimi orang lain, dengan cara yang hampir brutal.

Kecerdasan Fisikal

Perkara sistem, mekanisme, hingga praktik pendidikan yang berlaku saat ini serta kritik-kritik yang dapat ajukan padanya, kita abaikan dulu dalam pembicaraan ini. Kita menyorot lebih dulu, bagaimana sesungguhnya kita selama ini telah mengabaikan beberapa kecerdasan yang sangat vital dari manusia.

Kecerdasan-kecerdasan natural yang sesungguhnya bisa menjadi modal penting dalam menghadapi kompleksitas hidup manusia, di saat yang lain, juga berperan vital dalam mengaktualisasi atau mengembangkan kemampuan kemanusiaan hingga tingkat optimal.
Tiga dari kecerdasan-kecerdasan yang terbaikan itu adalah: kecerdasan fisikal (tubuh), kecerdasan sosial, dan kecerdasan kultural. Ketiga kecerdasan ini bersanding dengan dua kecerdasan natural lain: kecerdasan intelektual (rasional/akal) dan kecerdasan mental-spiritual, yang selama ini sudah banyak kita kenal.

Kecerdasan fisikal (tubuh) sebenarnya satu di antara tiga kesadaran paling alamiah, di samping mental-spiritual dan akal-intelektual. Di banding dua yang terakhir, kesadaran fisikal adalah bagian yang paling terbelakangkan dan kurang tersadari dengan baik. Sementara kedudukan, peran, dan kemampuannya, sebenarnya setara dengan kedua kesadaran lainnya. Masing-masing kesadaran itu memiliki kemampuan menyerap input/data yang sama baik dan banyaknya. Input data itu pun kemudian diolah melalui metabolisme yang sama kuat dan uniknya dari ketiga kesadaran itu.

Dari metabolisme kesadaran itulah akhirnya ketiganya akan memiliki pengetahuan (knowledge/connaisance) yang setara, sama kokoh dan sama perannya dalam menentukan hidup, karakter juga kualitas kemanusiaan seseorang. Dari pengetahuan inilah, world view atau weltanschauung, hingga kosmologi seseorang (bahkan sebuah bangsa) akhirnya dimungkinkan untuk terbentuk.

Persoalannya, kehidupan manusia berbagai zaman, selain gagal menyadari keberadaan vital satu atau dua dari kesadaran, dan hanya mengutamakan satu/dan dua di antaranya, juga melakukan perbuatan-perbuatan yang justru zalim dan destruktif pada kesadaran lainnya. Kita paham misalnya, peradaban Barat (Oksidental) yang melalui adagium Descartian, cogoti ergo sum (I think therefore I am), mendepankan dan hanya mengakui akal sebagai dasar eksistensial, secara terang-terang mengabaikan dua kesadaran lainnya.

Akibatnya sangat bisa diperkirakan, adab dan kebudayaan pun berjalan tidak seimbang. Ketimpangan atau lack pada sisi emosional dan spiritual misalnya sudah menciptakan keresahan sejak lama, dan ditunjukkan misalnya pada tumbuhnya pemikiran atau mazhab-mazhab artistik sepanjang abad 19 dan 20. Walaupun kemudian Sigmund Freud muncul pada akhir abad 19, kesadaran pada kekuatan psikis berbanding dengan akal tetap timpang, minor dan dominatif (pada sisi akalnya).

Sementara di belahan dunia lain, Timur (Oriental), pendekatan dan kesadaran emosional-spiritual sebenarnya dipahami dan dipraktikkan secara kuat, terutama dalam tradisi dan adatnya. Pendekatan akal dipergunakan, walaupun tidak harus melakui proses yang materialistik dan positivistik sebagaimana di Eropa (Barat), menjadi penyeimbang yang membuat hidup manusia jadi lebih harmonis dan lengkap, hingga menciptakan kecemburuan pada umumnya masyarakat Barat (yang belakangan cenderung atheis, misalnya).

Tapi, bagi kedua kutub peradaban itu ternyata kesadaran fisikal ternyata masih tetap berposisi minor. Adab dan budaya kedua peradaban itu masih diisi oleh berbagai pola sikap dan perilaku yang justru destruktif pada tubuh. Gaya-gaya hidup yang hedonis, makan dan minum tanpa takaran, cara dan waktu kerja yang berlebihan, konsumsi asupan yang keras dan merusak (alkohol, kopi, rokok, drugs, dll), hingga lingkungan yang merusak sistem kerja serta kualitas organ tubuh, adalah ciri-ciri yang memperlihatkan peradaban masa kini –yang mengikuti arus globalisasi—menempatkan tubuh hanya sebagai alat atau medium pemuas kebutuhan dan nafsu liar dua kesadaran lainnya (akal dan emosional).

Sementara sesungguhnya, kesadaran fisikal (tubuh) juga memiliki tuntutan dan kemampuan ekspresionalnya sendiri yang independen dan berdaulat. Yang juga dapat menjadi peralatan kebudayaan, produsen dari perangkat-perangkat budaya, yang sama adekuat dan bermanfaatnya dengan dua kesadaran lainnya. Ia tidak dapat dipelihara hanya dengan sekadar program diet, asupan mineral atau vitamin, atau senam di berbagai fitness center. Semua itu tetap memperlihatkan, bagaimana tubuh dipelihara, bukan untuk memberikan kesempatannya untuk bicara dan memproduksi kebudayaannya sendiri, tapi sekadar dibutuhkan kondisi bugarnya demi kepuasan kerja atau kepuasan hedoniknya belaka.

Pendidikan di Timur

Dalam tradisi di berbagai bangsa Timur, katakanlah China, India, Jepang atau Indonesia, sebenarnya ada berbagai disiplin pendidikan atau pengajaran yang secara cukup komprehensif, sistemik dan konseptual, bagaimana ketiga kesadaran dasar manusia itu dilatih, dikembangkan, dan diaktualisasi dalam kehidupan umum sehari-hari. Manusia-manusianya lahir dalam keseimbangan semua kesadaran itu, ekspresi utuh, dan harmonis.

Berbagai perguruan di Jawa masa lalu misalnya, selain mengajarkan berbagai ilmu tentang alam, di saat yang bersamaan juga melakukan lakon spiritual yang intensif, plus latihan kanuragan yang terpola ketat. Di China, misalnya juga, lembaga-lembaga tradisional dan besar macam Siauw Lim, juga memberikan pengajaran yang lengkap, antara kemampuan dan kesadaran tubuh, spiritual, dan fisikal. Kualitas seorang manusia pun kemudian diukur dari kemampuannya mengembangkan ketiga kesadaran itu dalam ensemble yang selaras-setimbang, membuatnya paripurna.

Tapi kemudian perang modern, kolonialisme, modernisme, hingga globalisme, menggeser semua bentuk pendidikan yang komprehensif di atas. Termasuk beberapa model pendidikan yang coba menggabungkan dua pendekatan itu (tradisional-modern), seperti Santiniketan di Indonesia atau Taman Siswa di Indonesia. Mulailah kemudian manusia berkembang dengan melakukan subordinasi salah satu kesadaran atau kecerdasan yang satu di hadapan yang lainnya.

Adab akal di Eropa Barat, atau adab spiritual seperti di Timur Tengah, sudah menunjukkan pada kita bagaimana dominasi hanya sebuah kesadaran/kecerdasan seakan sudah cukup untuk membangun peradaban yang luar biasa. Walaupun pada akhirnya adab-adab itu merasakan –belum tentu memahami kenapa—kemudian kehidupan masih terasa timpang, dan kebudayaan berjalan dengan kesalahan-kesalahan yang tiada hentinya.

Di negeri Timur, seperti Indonesia, dimana kecerdasan akal sejak satu abad lalu mulai mendominasi peri hidup dan pembangunan manusia kita, sebenarnya memiliki peluang yang jauh lebih baik untuk memperbaiki civilization fallacies yang telah terjadi/dilakukan oleh belahan dunia lainnya. Bukannya justru mengikuti dengan taqlid kebodohan mereka, terutama dalam program pendidikan anak-anak kita.

Semua medium pendidikan dan pengajaran kita, tidak hanya yang bersifat formal dan institusional, mulai menyadari dan menjalankan program pendidikan yang juga melatih kecerdasan emosional –yang masih kurang—dan fisikal –yang masih terabaikan. Mesti dibicarakan bersama untuk penciptaan modul atau kurikulum yang memungkinkan ketiga kecerdasan itu berkembang bersama, hingga akhirnya tercipta ensemble, keharmonisan kerja di antara ketiganya. Dan pada puncaknya terjadi integrasi di antara tiga kesadaran itu dalam setiap perilaku manusia yang dilahirkannya.

Intinya adalah pelajaran-pelajaran yang memungkinkan semua anak didik memiliki kemampuan untuk menyadari dan memahami data-data yang menjadi input dari ketiga kesadaran itu (yang bentuk dan esensinya masing-masing berbeda). Kemudian melatih masing-masing perangkat utama kesadaran-kesadaran itu (akal, jiwa, dan tubuh) untuk bisa menyelenggarakan metabolismenya masing-masing dalam program pengolahan data yang terinput. Dan pada akhirnya, peluang dan ruang yang kondusif, agar kecerdasan dan produk-produk budaya dapat dilahirkan oleh ketiga kesadaran itu baik, sendiri-sendiri maupun secara terintegrasi.

Penutup

Dengan model pendidikan semacam itu, kita sangat bisa mengharapkan munculnya bukan hanya manusia-manusia yang terintegrasi, kokoh dalam bekerja, kuat dalam karakter, tapi juga kreativitas dan produk-produk kultural yang mumpuni sebagai jawaban dari persoalan-persoalan mutakhir kita saat ini.

Adapun dua kecerdasan lain, sosial dan kultural, sebenarnya adalah tingkat lanjutan dari tiga kesadaran alamiah di atas. Kelompok kecerdasan yang pertama dapat dikatakan sebagai kecerdasan natural, sementara yang kedua nurtural. Namun kecerdasaan kelompok kedua sungguh tidak dinafikan urgensi dan vitalitasnya, karena ia juga desisif dalam menentukan kualitas manusiannya, kualitas kehidupan dan sebuah bangsa pada umumnya.

Tapi karena waktu terbatas yang ada, penjabaran sederhana seperti di atas untuk kecerdasan sosial dan kultural dapat kita cari waktu lain untuk membincangkannya. Karena untuk kecerdasan yang satu ini, fisikal/tubuh pun, masih membuktikan elaborasi juga beberapa ekperimentasi lebih lanjut.

Sumber artikel: Radhar Panca Dahana, Budayawan, Sastrawan dan Pekerja Teater, dihttp://www.metrotvnews.com/read/analisdetail/2011/12/12/230/Kecerdasan-yang-Terabaikan

Contoh Pendidikan Karakter


Contoh penerapan pendidikan karakter dikembangkan di 500 institusi pendidikan formal dan nonformal di 33 provinsi. Praktik-praktik pendidikan karakter yang sudah dijalankan itu, diharapkan dapat memberi insiprasi sekolah lain untuk melaksanakan dan mengembangkan pendidikan karakter yang sesuai dengan kondisi dan kebutuhan sekolah atau daerah masing-masing.

Pendidikan karakter di sekolah-sekolah itu mestinya juga mengambil dari kearifan lokal, selain nilai-nilai kebajikan yang umum. "Kita ingin penerapnnya sesuai dengan kondisi dan kebutuhan sekolah yang dapat diukur. Misalnya, kebersihan masih jadi problem banyak sekolah. Bisa dimulai dari situ, lalu dikembangkan pada karakter lain yang mudah diukur dan diterapkan," kata Erry Utomo, Kepala Bidang Kurikulum dan Pendidikan Dasar Kementerian Pendidikan Nasional, dalam seminar bertajuk Pendidikan Harmoni Sebagai Pendidikan Karakter Yang Kontekstual di Jakarta, Senin (26/9/2011).

Guru Besar Emeritus Universitas Negeri Jakarta, HAR Tilaar, mengkritisi pendidikan karakter yang tidak memiliki konsep yang jelas. Pendidikan karakter di Indonesia mestinya berdasarkan kebudayaan Indonesia yang multikultural.

"Pendidikan karakter Indonesia semestinya dengan mengembangkan nilai-nilai yang kita sepakati bersama yang memepersatukan Indonesia. Ini akan menjadi karakter yang khas Indonesia dibanding dari negara lain, sebagai negara yang hidup dalam budaya multikultural," kata Tilaar.

Menurut Tilaar, nilai-nilai karakter Indoensia yang hendak dibangun itu ada di dalam nilai-nilai Pancasila, yang sebenarnya digali dari kebudayaan-kebudayaan daerah. Yang dibutuhkan sekarang ini, bagaimana pendidikan nasional kita dapat menerapkan pendidikan yang mengembangkan kreativitas, berpikir kritis, memecahkan masalah, dan berkarakter," kata Tilaar.

Sementara itu, Tjahjono Soerjodibroto, Direktur Nasional World Vision Indonesia, mengatakan perlu dikembangkan pendidikan kontekstual yang sesuai dengan isu dan kebutuhan pengembangan wilayah setempat.

Pendidikan kontekstual merupakan pendidikan yang memberdayakan dan membangun kesadaran kritis. Pendidikan itu yang bertumpu pada kearifan dan potensi lokal, guna menyiapkan anak untuk dapat hidup utuh sepenuhnya dan memiliki karakter yang baik.
Pendidikan karakter yang kontekstual, antara lain dikembangkan World Vision Indonesia - Wahana Visi Indonesia melalui pendidikan harmoni. Di sini diajarkan nilai-nilai harmoni dengan diri sendiri, sesama, dan alam untuk dapat hidup dalam masyarakat multikultural.
Pendidikan harmoni ini sebagai salah satu model pendidikan karakter yang kontekstual yang dikembangkan di banyak sekolah di Sulawesi Tengah.

"Dengan menggali kembali warisan budaya dan kearifan lokal yang sejatinya telah mencontohkan kehidupan yang rukun dan damai, maka nilai-nilai harmoni kembali digali dari budaya setempat," kata Tjahjono.

Sumber contoh pendidikan karakter : http://edukasi.kompas.com/read/2011/09/26/21215179/Contoh.Pendidikan.Karakter.Dikembangkan

18 Indikator Pendidikan Karakter Bangsa


Dengan seringnya tawuran antar pelajar dan menurunnya karakter berkebangsaan pada generasi maka dicetuskan pendidikan karakter bangsa sebagai wujud pendidikan karakter kebangsaan kepada peserta didik. Pendidikan karakter bangsa Indonesia. Dalam pelaksanaannya pendidikan karakter bangsa indonesia tidak berdiri sendiri tetapi berintegrasi dengan pelajan-pelajaran yang ada dengan memasukkan nilai-nilai karakter dan budaya bangsa Indonesia.

Pendidikan karakter bangsa bisa dilakukan dengan pembiasaan nilai moral luhur kepada peserta didik dan membiasakan mereka dengan kebiasaan (habit) yang sesuai dengan karakter kebangsaan. Berikut 18 Indikator Pendidikan Karakter bangsa sebagai bahan untuk menerapkan pendidikan karakter bangsa:

1. Religius
Sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama  yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, serta hidup rukun dengan pemeluk agama lain. 


INDIKATOR SEKOLAH
A Merayakan hari-hari besar keagamaan.
B Memiliki fasilitas yang dapat digunakan untuk beribadah.
C Memberikan kesempatan kepada semua peserta didik untuk melaksanakan ibadah.

INDIKATOR KELAS
A Berdoa sebelum dan sesudah pelajaran.
B Memberikan kesempatan kepada semua peserta didik untuk melaksanakan ibadah.

2. JujurPerilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai
orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan. 

INDIKATOR SEKOLAH
A Menyediakan fasilitas tempat temuan barang hilang.
B Tranparansi laporan keuangan dan penilaian sekolah secara berkala.
C Menyediakan kantin kejujuran.
D Menyediakan kotak saran dan pengaduan.
E Larangan membawa fasilitas komunikasi pada saat ulangan atau ujian.

INDIKATOR KELAS
A Menyediakan fasilitas tempat temuan barang hilang.
B Tempat pengumuman barang temuan atau hilang.
C Tranparansi laporan keuangan dan penilaian kelas secara berkala.
D Larangan menyontek.

3. Toleransi
Sikap dan  tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku,
etnis,pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya


INDIKATOR SEKOLAH
A Menghargai dan memberikan perlakuan yang sama terhadap seluruh warga sekolah tanpa membedakan suku, agama, ras, golongan, status sosial, status ekonomi, dan kemampuan khas.
B Memberikan perlakuan yang sama terhadap stakeholder tanpa membedakan suku, agama, ras, golongan, status sosial, dan  status ekonomi.

INDIKATOR KELAS
A Memberikan pelayanan yang sama terhadap seluruh warga kelas tanpa membedakan suku, agama, ras, golongan, status sosial, dan status ekonomi.
B Memberikan pelayanan terhadap anak berkebutuhan khusus.
C Bekerja dalam kelompok yang berbeda.

4. Disiplin
Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan. 

INDIKATOR SEKOLAH
A Memiliki catatan kehadiran.
B Memberikan penghargaan kepada warga sekolah yang disiplin.
C Memiliki tata tertib sekolah.
D Membiasakan warga sekolah untuk berdisiplin.
E Menegakkan aturan dengan memberikan sanksi secara adil bagi pelanggar tata tertib sekolah.
F Menyediakan peralatan praktik sesuai program studi keahlian (SMK).

INDIKATOR KELAS
A Membiasakan hadir tepat waktu.
B Membiasakan mematuhi aturan.
C Menggunakan pakaian praktik sesuai dengan program studi keahliannya (SMK).
D Penyimpanan dan pengeluaran alat dan bahan (sesuai program studi keahlian) (SMK).

5. Kerja Keras
Perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi berbagai hambatan belajar, tugas dan menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya. 


INDIKATOR SEKOLAH
A Menciptakan suasana kompetisi yang sehat.
B Menciptakan suasana sekolah yang menantang dan memacu untuk bekerja keras.
C Memiliki pajangan tentang slogan atau motto tentang kerja.

INDIKATOR KELAS
A Menciptakan suasana kompetisi yang sehat.
B Menciptakan kondisi etos kerja, pantang menyerah, dan daya tahan belajar.
C Mencipatakan suasana belajar yang memacu daya tahan kerja.
D Memiliki pajangan tentang slogan atau motto tentang giat bekerja dan belajar.

6. Kreatif
Berpikir dan melakukan sesuatu untuk  menghasilkan cara atau hasil baru dari  sesuatu yang telah dimiliki.

INDIKATOR SEKOLAH
A. Menciptakan situasi yang  menumbuhkan daya  berpikir dan bertindak kreatif.

INDIKATOR KELAS
A Menciptakan situasi belajar yang bisa menumbuhkan daya pikir dan bertindak kreatif.
B Pemberian tugas yang menantang munculnya karya-karya baru baik yang autentik maupun modifikasi.

7. Mandiri
Sikap dan prilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas.

INDIKATOR SEKOLAH
Menciptakan situasi sekolah yang membangun kemandirian peserta didik.

INDIKATOR KELAS
Menciptakan suasana kelas yang memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk bekerja mandiri.

8. Demokratis
Cara berpikir, bersikap, dan bertindak yang menilai sama  hak dan kewajiban dirinya dan orang lain.

INDIKATOR SEKOLAH
A Melibatkan warga sekolah dalam setiap pengambilan keputusan.
B Menciptakan suasana  sekolah yang menerima perbedaan.
C Pemilihan kepengurusan OSIS secara terbuka.

INDIKATOR KELAS
A Mengambil keputusan kelas secara bersama melalui musyawarah dan mufakat.
B Pemilihan kepengurusan kelas secara terbuka.
C Seluruh produk kebijakan  melalui musyawarah dan mufakat.
D Mengimplementasikan model-model pembelajaran yang dialogis dan interaktif.

9. Rasa Ingin Tahu
Sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas dari sesuatu yang dipelajari, dilihat, dan didengar. 

INDIKATOR SEKOLAH
A Menyediakan media komunikasi atau informasi (media cetak atau media
elektronik) untuk berekspresi bagi warga sekolah.
B Memfasilitasi warga sekolah untuk bereksplorasi dalam pendidikan, ilmu
pengetahuan, teknologi, dan budaya.

INDIKATOR SEKOLAH
A Menciptakan suasana kelas yang mengundang rasa ingin tahu.
B Eksplorasi lingkungan secara terprogram.
C Tersedia media komunikasi atau informasi (media cetak atau media elektronik).

10. Semangat Kebangsaan
Cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya. 

INDIKATOR SEKOLAH
A Melakukan upacara rutin sekolah.
B Melakukan upacara hari-hari besar nasional.
C Menyelenggarakan peringatan hari kepahlawanan nasional.
D Memiliki program melakukan kunjungan ke tempat bersejarah.
E Mengikuti lomba pada hari besar nasional.

INDIKATOR KELAS
A Bekerja sama dengan teman sekelas yang berbeda suku, etnis, status sosial-ekonomi.
B Mendiskusikan hari-hari besar nasional.

11. Cinta Tanah Air
Cara berpikir, bersikap, dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan  yang tinggi terhadap bahasa,  lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsa.

INDIKATOR SEKOLAH
A Menggunakan produk buatan dalam negeri.
B Menyediakan informasi  (dari sumber cetak, elektronik) tentang kekayaan alam dan budaya Indonesia.
B Menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar.

INDIKATOR KELAS
A Memajangkan: foto presiden dan wakil presiden, bendera negara, lambang negara, peta Indonesia, gambar kehidupan masyarakat Indonesia
B. Menggunakan produk buatan dalam negeri.

12. Menghargai Prestasi
Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat,  mengakui, dan menghormati keberhasilan orang lain. 

INDIKATOR SEKOLAH
A Memberikan penghargaan atas hasil prestasi kepada warga sekolah.
B Memajang tanda-tanda penghargaan prestasi.

INDIKATOR KELAS
A Memberikan penghargaan atas hasil karya peserta didik.
B Memajang tanda-tanda penghargaan prestasi.
C Menciptakan suasana pembelajaran untuk memotivasi peserta didik berprestasi.

13. Bersahabat/ Komuniktif
Tindakan yang memperlihatkan rasa senang berbicara, bergaul, dan bekerja sama dengan orang lain. 

INDIKATOR SEKOLAH
A Suasana sekolah yang memudahkan terjadinya interaksi antarwarga sekolah.
B Berkomunikasi dengan bahasa yang santun.
C Saling menghargai dan menjaga kehormatan.
D Pergaulan dengan cinta kasih dan rela berkorban.

INDIKATOR KELAS
A Pengaturan kelas yang memudahkan terjadinya interaksi peserta didik.
B Pembelajaran yang dialogis.
C Guru mendengarkan keluhan-keluhan peserta didik.
D Dalam berkomunikasi, guru tidak menjaga jarak dengan peserta didik.

14. Cinta Damai
Sikap, perkataan, dan tindakan yang menyebabkan orang lain merasa senang dan aman atas kehadiran dirinya  

INDIKATOR SEKOLAH
A Menciptakan suasana sekolah dan bekerja yang nyaman, tenteram, dan harmonis.
B Membiasakan perilaku warga sekolah yang anti kekerasan.
C Membiasakan perilaku warga sekolah yang tidak bias gender.
D Perilaku seluruh warga sekolah yang penuh kasih sayang.

INDIKATOR KELAS
A Menciptakan suasana kelas yang damai.
B Membiasakan perilaku warga sekolah yang anti kekerasan.
C Pembelajaran yang tidak bias gender.
D Kekerabatan di kelas yang penuh kasih sayang.

15.  Gemar Membaca
Kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai bacaan yang memberikan kebajikan bagi dirinya.


INDIKATOR SEKOLAH
A Program wajib baca.
B Frekuensi kunjungan perpustakaan.
C Menyediakan fasilitas dan suasana menyenangkan untuk membaca.

INDIKATOR KELAS
A Daftar buku atau tulisan yang dibaca peserta didik.
B Frekuensi kunjungan perpustakaan.
C Saling tukar bacaan.
D Pembelajaran yang memotivasi anak menggunakan referensi.

16. Peduli Lingkungan
Sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya dan mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi.


INDIKATOR SEKOLAH
A Pembiasaan memelihara kebersihan dan kelestarian lingkungan sekolah.
B Tersedia tempat pembuangan sampah dan tempat cuci tangan.
C Menyediakan kamar mandi dan air bersih.
D Pembiasaan hemat energi.
E Membuat biopori di area sekolah.
F Membangun saluran pembuangan air limbah dengan baik.
G Melakukan pembiasaan memisahkan jenis sampah organik dan anorganik.
H Penugasan pembuatan kompos dari sampah organik.
I Penanganan limbah hasil praktik (SMK).
J Menyediakan peralatan kebersihan.
K Membuat tandon penyimpanan air.
L Memrogramkan cinta bersih lingkungan.

INDIKATOR KELAS
A Memelihara lingkungan kelas.
B Tersedia tempat pembuangan sampah di dalam kelas.
C Pembiasaan hemat energi.
D Memasang stiker perintah mematikan lampu dan menutup kran air pada setiap ruangan apabila selesai digunakan (SMK).

17. Peduli Sosial
Sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan pada orang lain dan masyarakat yang membutuhkan.  

INDIKATOR SEKOLAH
A Memfasilitasi kegiatan bersifat sosial.
B Melakukan aksi sosial.
C Menyediakan fasilitas untuk menyumbang.

INDIKATOR KELAS
A Berempati kepada sesama teman kelas.
B Melakukan aksi sosial.
C Membangun kerukunan warga kelas.

18. Tanggung jawab
Sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial dan budaya), negara dan Tuhan Yang Maha Esa. 

INDIKATOR SEKOLAH
A Membuat laporan setiap kegiatan  yang dilakukan dalam bentuk lisan maupun tertulis.
B Melakukan tugas tanpa disuruh.
C Menunjukkan prakarsa untuk mengatasi masalah dalam lingkup terdekat.
D Menghindarkan kecurangan dalam pelaksanaan tugas.

INDIKATOR KELAS
A Pelaksanaan tugas piket secara teratur.
B Peran serta aktif dalam kegiatan sekolah.
C Mengajukan usul pemecahan masalah.
Mau mengetahui bagaimana penerapan pendidikan karakter bangsa ? berikut contoh penerapan pendidikan karakter bangsa.
 

WHEN SUHENG TALK... Template by Ipietoon Cute Blog Design